Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 172 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Iwan Limanjaya
"ABSTRAK
Sindrom terowongan karpal (STK) merupakan penyakit yang menjadi beban bagi banyak negara di seluruh dunia, dengan berbagai macam pilihan terapi dari medikamentosa hingga pembedahan yang memiliki efek samping yang menurunkan kualitas hidup. Akupunktur telah terbukti dapat menangani nyeri dan memperbaiki saraf, dan salah satu modalitas akupunktur terbaru adalah laser acupuncture. Studi serial kasus ini bertujuan menilai efektivitas laser acupuncture dengan jumlah sampel 6 pergelangan tangan, dengan luaran yang dinilai adalah kuesioner Boston (BCTQ), visual analogue scale (VAS), tes Tinned, Tes Phalen, dan pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS). Titik yang digunakan adalah PC6, PC7, EXUE9, dan LI4. Hasil studi menunjukkan 3 pergelangan tangan mengalami penurunan derajat KHS, seluruh pergelangan tangan mengalami perbaikan skor BCTQ, nilai VAS mengalami penurunan, tetapi tidak terlihat perbaikan tes Tinel dan Phalen yang bermakna. Disimpulkan bahwa laser acupuncture dapat digunakan sebagai pilihan terapi dalam tatalaksana sindrom terowongan karpal.

ABSTRACT
Carpal tunnel syndrome (CTS) is disease that gives burdens for many countries, with a number of choices for the management such as drugs or surgery, each has side effects that decrease the quality of life. Acupuncture is proven to be an effective treatment for pain and can restore nerve functions, and laser acupuncture is one of the modalities. This study aims to asses the effectiveness of laser acupuncture with 6 wrists and the outcomes are Boston questionnaire (BCTQ), visual analogue scale (VAS), Tinel sign, Phalen sign, and nerve conduction study (NCS). Acupuncture points used here are PC6, PC7, EXUE9, and LI4. The results show a decrease in NCS grades for 3 wrists, all wrists have BCTQ score improvements, VAS also decreases, but no significant improvement in Tinel and Phalen signs. The conclusion is that laser acupuncture can be used as a treatment for the management of carpal tunnel syndrome."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Dala Intan Sapta Nanda
"ABSTRAK
Latar Belakang : Low-level Laser Therapy (LLLT) merupakan suatu modalitas fisik yang digunakan dalam menunjang rehabilitasi. Pada pasca operasi impaksi molar tiga, dapat terjadi penurunan kualitas hidup karena beberapa respon fisiologis yaitu perdarahan ringan, bengkak, kekakuan dan nyeri. Yang menyebabkan disabilitas dalam aktivitas sehari-hari seperti makan dan minum. Dan mempengaruhi kualitas hidup pasien selama hari-hari pertama pasca operasi.
Metode :Desain penelitian studi Randomized Control Trial (RCT), single blind, terdiri dari 21 subjek grup intervensi LLLT dan 21 subjek grup kontrol (sham-LLLT) dengan rentang usia 18-30 tahun. Subjek grup intervensi diberikan dosis 54 J, densitas energi 18J/cm2 di hari 0, 3 & 7 pasca operasi impaksi molar tiga bawah. Kualitas hidup dinilai dengan memakai Short Form 36 (SF-36) sebelum dan sesudah terapi Laser.
Hasil : Terdapat perbedaan signifikan menurunkan nyeri (VAS) pasca operasi di hari ke 3 & 7 (p<0,05) antara kedua grup. Terdapat pengurangan trismus secara statistik bermakna pasca operasi di hari ke 3 dan 7 (p<0,05) antara kedua grup. Terdapat perbedaan statistik yang bermakna (p<0,05) terhadap kualitas hidup SF-36 domain Peran Fisik (PF), Rasa Nyeri (RN), Kesehatan Umum (KU) antara kedua grup. Perbaikan kualitas hidup SF-36 juga terlihat bermakna secara statistik (p<0,05) pada komponen fisik (KF) setelah pemberian LLLT.
Kesimpulan : LLLT dapat menurunkan nyeri pasien pasca operasi impaksi molar 3 bawah dari hari 0 hingga 3 dan nyeri menghilang di hari ke 7 pasca-operasi. LLLT mengurangi trismus pasien terutama di hari ke 3 pasca operasi, trismus menghilangkan di hari ke 7 pasca operasi. Gambaran kualitas hidup melalui SF-36 pasien pasca operasi impaksi pada penelitian ini menunjukkan hasil lebih rendah pada komponen fisik dibandingkan komponen mental. Dan terdapat peningkatan kualitas hidup pada pasien pasca operasi impaksi molar tiga bawah post-LLLT.

ABSTRACT
Background: Low-level Laser Therapy (LLLT) is a physical modality used in rehabilitation support. In lower third molar impacted patients, a decline in QOL due to some physiological response such as mild bleeding, swelling, stiffness and pain. This leads to disability in daily activities such as eating and drinking. And also can affect QOL of patients during the first days after surgery.
Methods: Study design Randomized Control Trial (RCT), single blind, consisting of 21 subjects in intervention group & 21 subjects LLLT sham-LLLT with an age range of 18-30 years. Subjects in the intervention group was given a dose 54 J, energy density 18J/cm2 at day 0, 3 & 7 pasca lower third molar removal. Both groups were assessed QOL using the Short Form 36 (SF-36) before and after LLLT.
Results: There was a statistically significant reduction in pain (VAS) post-operative on day 3 and 7 (p <0.05) between both groups. There is a statistically significant reduction of post-operative trismus at day 3 and 7 (p <0.05) between both groups. There is QOL improvement on the SF-36 domains Role Physical (RP), Bodily Pain (BP), General Health (GH), which was statistically significant (p <0.05) in both groups. Improvement of QOL SF-36 was also statistically significant (p <0.05) on the Physical Component (PCS) between both groups.
Conclusion: LLLT can reduce post-operative pain of lower third molar impacted patients from day 0 to 3 and disappeared at day 7 post-surgery. LLLT therapy reduces trismus under particularly at day 3 post-surgery and eliminate trismus on post-surgery day 7. Profile of the QOL through the SF-36 after lower third molar removal showed lower results on the Physical Component than the Mental Component. And increase QOL of lower third molar removal patients after post-LLLT."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Norman Hardi Utama
"Obesitas telah menjadi salah satu masalah kesehatan yang besar di dunia. Di Indonesia, prevalensi obesitas dilaporkan meningkat dari tahun ke tahun. Pada penderita obesitas, penurunan berat badan dengan latihan fisik dapat memberikan banyak manfaat kesehatan. Akan tetapi, pada penderita obesitas dengan osteoartritis sendi lutut latihan disik harus dilakukan dengan hati-hati. Kombinasi latihan aerobik pada intensitas submaksimal dengan sepeda statis, disertai latihan keseimbangan dan kekuatan otot tungkai bawah yang disesuaikan dengan kapasitas fisik diberikan pada individu obesitas dengan osteoartritis lutut untuk menurunkan berat badam. Restriksi asupan kalori juga diberikan bersamaan.
Penelitian ini bertujuan menentukan efektifitas kombinasi terapi di atas dalam menurunkan berat badan. Pada penelitian ini dilakukan analisis data sekunder yang diperoleh dari status pasien dari Klinik Obesitas di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. 200 status pasien dari Januari 2009 sampai April 2012 dipilih secara acak oleh petugas ruang penyimpanan status. Dari 200 status tersebut, diambil 37 status yang dipilih berdasarkan tabel nomor acak.
Semua dari 37 subjek adalah wanita, dengan rerata umur 59.41+5.91tahun. Rerata berat badan awal adalah 71.91+11kg. Rerata indeks masa tubuh adalah 31.18+5.15, dan semua subjek adalah penderita obesitas. Rerata lingkar pinggang adalah 96.4+9.51cm. Tiga subjek tidak mengalami perubahan berat badan, sedangkan 34 subjek mengalami penurunan berat badan. Didapatkan rerata perubahan berat badan -2.08 kg(95% CI: -1.48kg to 2.67kg, standar deviasi 1.789kg). Tidak ditemukan korelasi yang bermakna secara statistik antara pengukuran antropometri awal dan usia dengan jumlah penurunan berat badan.
Penelitian ini membuktikan bahwa latihan fisik yang diberikan efektif dalam menurunkan berat badan pasien obesitas dengan osteoartritis lutut. Pengukuran antropometri awal dan usia tidak tampak berkorelasi dengan penurunan berat badan.

Obesity has become a major health problem around the world. In Indonesia, the prevalence of obesity is increasing annually. Weight loss by physical exercise have been demonstrated to have a lot of benefit in people suffering from obesity. However, physical exercise have to be done carefully in patients with osteoarthritis. A delicate combination of aerobic exercise done in submaximal intensity with balance exercise and lower extremity strength which were individually tailored is given to obese patient who also suffer from knee osteoarthritis. Caloric restriction is also given along the physical exercise
This study tried to find out how effective is this regimen in inducing weight loss. Analysis of secondary data obtained from medical record of patients from Obesity Clinic in Cipto Mangunkusumo Hospital was done. 200 medical records from January 2009 up to April 2012 were taken randomly. From those 200, 37 was chosen randomly with the aid of random number table.
All of the 37 subjects were women with average age of 59.41+5.91year. The initial body weight averaged at 71.91+11kg. The BMI averaged at 31.18+5.15, and all of the subjects were obese. The average waist circumference was 96.4+9.51cm. Three subjects had stable weight and 34 subjects lost weight. The average change was -2.08 kg(95% CI: -1.48kg to 2.67kg, standard deviation 1.789kg). Age and all baseline anthropometric measurement does not correlate with the change in bodyweight.
The study have shown that the physical exercise given was effective in reducing body weight of obese patient‟s with knee osteoarthritis. The baseline age and anthropometric measurement does not appear to correlate with the degree of weight loss.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Michelle Frastica
"Askariasis adalah penyakit parasitik yang sering ditemukan di daerah tropis termasuk Indonesia. Lingkungan tempat tinggal yang padat misalnya panti asuhan mendukung tingginya prevalensi askariasis. Untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap askariasis, anak perlu diberikan penyuluhan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peran penyuluhan dalam meningkatkan pengetahuan anak panti asuhan tentang gejala askariasis. Studi eksperimental (pre-post study) ini dilaksanakan di panti asuhan di Lubang Buaya, Jakarta Timur. Data dikumpulkan tanggal 12 Juni 2012, dengan memberikan kuesioner mengenai gejala askariasis kepada semua anak sebelum dan sesudah penyuluhan. Data diproses menggunakan SPSS 11.5 dan diuji dengan marginal homogeneity.
Hasilnya menunjukkan sebelum penyuluhan subyek yang mempunyai pengetahuan buruk, sedang dan baik adalah 73 (51,4%), 52 (36,6%) dan 17 (12%) anak. Setelah penyuluhan subyek dengan pengetahuan baik dan sedang menjadi 8 (5,6%) dan 50 (35,2%), sedangkan subyek dengan pengetahuan buruk meningkat menjadi 84 (59,2%). Tingkat pengetahuan sebelum dan sesudah penyuluhan berbeda bermakna (marginal homogeneity, p<0,01). Disimpulkan penyuluhan tidak efektif untuk meningkatkan pengetahuan tentang gejala askariasis.

Ascariasis is parasitic disease that is frequently found in warm tropical countries including Indonesia. Crowded living places such as orphanage also contribute to high prevalence of ascariasis. To increase the awareness toward ascariasis, children are needed to be given health education. The aim of this research is to know the effectiveness of health education in increasing the knowledge on ascariasis symptoms among the orphans. This experimental study (pre-post study) is conducted in an orphanage in Lubang Buaya Village, East Jakarta. The data was collected on June, 12th 2012 by giving questionnaires regarding ascariasis symptoms to all orphans before and after health education. The data is processed using SPSS 11.5 and tested with marginal homogeneity.
The results show that before health education the number of the subjects who have poor, fair and good knowledge are 73 (51.4%), 52 (36.6%) and 17(12%) children, respectively. After health education the number of subjects with good and fair knowledge reduce to 8 (5.6%) and 50 (35.2%), while subjects with poor knowledge increase to 84 (59.2%). Knowledge level before and after health education has a significant different (p<0.001). In conclusion, health education is not effective to increase the knowledge level on symptoms of ascariasis among the orphans."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Celestina Apsari H.
"Askariasis memiliki angka prevalensi yang masih tinggi di Indonesia terutama pada anak yang tinggal di daerah padat penghuni. Pengetahuan akan A. lumbricoides merupakan kunci pencegahan askariasis. Tujuan penelitian ini mengetahui efektifitas penyuluhan untuk meningkatkan pengetahuan anak panti asuhan mengenai A. lumbricoides. Penelitian experimental (pre-post study)dilakukan di panti asuhan X di Kelurahan Lubang Buaya, Jakarta Timur. Data diambil pada tanggal 10 Juni 2012dengan mengisi kuesioner sebelum dan setelah penyuluhan.Semua anak yang hadir saat penyuluhan dijadikan subyek penelitian (total population). Kuesioner berisi pertanyaan tentang siklus hidup A.lumbricoides.Data diolah dengan program SPSS versi 11,5 dan diuji dengan marginal homogeneity.
Hasil penelitian menunjukkan 59 (41.5%) responden adalah laki-laki dan 83 responden (58.5%) perempuan; terdiri dari 78 murid(54.9%) SD, 55 murid (38.7%) SMP, dan 9murid (6.4%) SMA. Sebelum penyuluhan, tingkat pengetahuan baik, sedang, dan kurang adalah 1 responden (0.7%), 11 responden (7.7%), dan 130 responden (91.6%). Setelah penyuluhan, jumlah responden dengan pengetahuan baik dan sedang meningkat menjadi 8 responden (5.6%) dan 50 responden (35.2%) sedangkan responden dengan pengetahuan kurang menurun menjadi 84 responden (59.2%). Uji marginal homogeneitymemberikan p<0.001, berarti ada perbedaan bermakna dalam hasil sebelum dan sesudah penyuluhan. Disimpulkan penyuluhan efektif meningkatkan pengetahun responden mengenai A. lumbricoides.

The prevalence of ascariasis in Indonesia remains high, especially in children who live in crowded area. Knowledge on A. lumbricoides is the key in preventing ascariasis. The purpose of this research is to know the effectiveness of health education in increasing the knowledge on the life cycle of A. lumbricoides among the orphans. This experimental study (pre-post study) was conducted at orphanage in Lubang Buaya Village, East Jakarta. The data was taken on June, 12th 2012 by handing out questionnaires about the life cycle of A.lumbricoides to the subjects before and after health education. All orphans who gathered were becoming the research subjects. Data was processed using SPSS 11.5 and tested with marginal homogeneity.
The results show the numbers male subjects and female subjects are 59 (41.5%) and 83 (58.5%), 78 primary school (54.9%), 55 junior highschool (38.7%), and 9 senior highschool students(6.4%). Before health education, the numbers of respondents with good, fair, and poor knowledge level of A. lumbricoides were 1 (0.7%), 11 (7.7%), 130 subjects (91.6%). After education, the number of subjects with good and fair knowledge increased to 8 (5.6%) and 50 subjects (35.2%), while poor knowledge decreased to 84 (59.2%). Marginal homogeneity test showed a significant difference (p<0.001) between the orphans? knowledge before and after health education. In conclusion, health education is effective to increase knowledge of A. lumbricoides in orphans.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kimberly Gabrielle Batanghari
"Prevalensi soil-transmitted helminthes (STH) tinggi di Indonesia, terutama di daerah padat penduduk dan berpenghasilan rendah. Pengetahuan tentang pencegahan infeksi STH adalah kunci penanggulangan masalah ini. Tujuan riset ini untuk mengetahui efektifitas penyuluhan terhadap peningkatan pengetahuan tentang pencegahan infeksi STH pada anak panti. Studi eksperimental ini dilakukan di panti asuhan kelurahan Lubang Buaya, Jakarta Timur. Koleksi data dilakukan tanggal 10 Juni 2012 dimana anak panti asuhan diminta mengisi kuesioner sebelum dan sesudah penyuluhan. Kuesioner meliputi pertanyaan tentang pencegahan infeksi STH. Data diolah menggunakan program SPSS versi 11.5 dan diuji dengan chi square test dan marginal homogeneity. Hasil yang didapat sebagai berikut; Dari 142 anak, 59 (41,5%) laki-laki dan 83 (58,5%) perempuan berpartisipasi, 78 (54,9%) berpendidikan SD, 55 (38.7%) SMP dan 9 (6.4%) SMA. Tingkat pengetahuan respoden tidak berhubungan dengan karakteristik demografi (chi square, p>0,05). Sesudah penyuluhan jumlah responden dengan tingkat pengetahuan sedang dan baik 33 (23,2%) menjadi 42 (29.6%) dan 1 (0.7%) menjadi 14 (9.9%). Tingkat pengetahuan buruk menurun dari 108 (76,1%) menjadi 86 (60,6%). Terdapat perbedaan bermakna pada Uji marginal homogeneity (p<0,001). Disimpulkan penyuluhan kesehatan efektif meningkatkan pengetahuan anak panti asuhan mengenai pencegahan STH.

Prevalence of soil-transmitted helminthes (STH) infection is high in Indonesia, especially amongst those who live in crowded, low-income areas. The knowledge of preventive measures towards STH infection, mainly A. lumbricoides and T. Trichuria could be the pivotal answer in reducing the spread of STH infections. The aim of this research is finding out the effectiveness of health education with the hopes of increasing the knowledge level of the subjects. This experimental study was conducted in an orphanage located in Lubang Buaya, East Jakarta on 10th of June 2012 by filling up questionnaires before and after health education was given. All subjects participated. Questionnaire contains questions pertaining preventive measures to avoid STH infections. Data was processed with SPSS version 11.5 and tested with chi- square test and marginal homogeneity. Collected information showed 59 (41.5%) male and 83 (58.5%) female participants. Of the 142 correspondents, 78 (54.9%) were in primary school, 55 (38.7%) in middle school and 9 (6.4%) in high school. Before and after health education showed an increase in knowledge levels for fair and good; from 33 (23.2%) to 42 (29.6%) and 1 (0.7%) to 14 (9.9%) respectively. Marginal homogeneity test showed a significant difference with p<0.001 between the orphans? knowledge level before and after health education. To conclude, health education for respondents was effective in increasing the knowledge level towards prevention of STH."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Charissa Karyadi
"Prevalensi trikuriasis di Indonesia masih tinggi terutama pada anak yang tinggal di lingkungan padat penghuni, seperti di panti asuhan. Pengetahuan tentang trikuriasis penting untuk mencegah infeksi tersebut. Riset ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan pengetahuan mengenai trikuriasis sebelum dan setelah penyuluhan. Penelitian eksperimental dilakukan di sebuah panti asuhan di Desa Lubang Buaya, Jakarta Timur. Data diambil dengan mengisi kuesioner berisi pertanyaan mengenai trikuriasis sebelum dan setelah penyuluhan pada tanggal 10 Juni 2012. Anak panti yang menghadiri penyuluhan diikutsertakan sebagai subjek penelitian. Data diolah menggunakan program SPSS versi 11,5 lalu dites dengan marginal homogeneity.
Data yang didapat menunjukkan 59 (41,5%) responden laki-laki dan 83 (58,5%) perempuan, 78 (54,9%) murid SD, 55 (38,7%) SMP dan 9 (6,3%) SMA. Sebelum penyuluhan, responden dengan tingkat pengetahuan baik, sedang dan kurang adalah 4 (2,8%), 31 (20,4%), dan 107 (75,4%). Setelah penyuluhan, responden dengan pengetahuan baik meningkat menjadi 7 (4,9%) dan sedang menjadi 37 (26%), sedangkan responden dengan pengetahuan kurang menurun menjadi 98 (69,4%). Uji marginal homogenity menghasilkan perbedaan signifikan (p<0,01). Disimpulkan tingkat pengetahuan responden mengenai trikuriasis dipengaruhi penyuluhan.

The prevalence of trichuriasis in Indonesia is still high, especially in children that live in crowded areas, like in an orphanage. Knowledge on trichuriasis is important to prevent the infection itself. This research is purposed to know the knowledge difference on trichuriasis before and after health education. An experimental study is conducted in an orphanage in Lubang Buaya Vilage, East Jakarta. Data was taken by completing questionnaires filled with questions on trichuriasis before and after health education on June 10th, 2012. All orphans that attended the health education are included as the research?s subject. Data was processed by SPSS version 11.5 and tested with marginal homogeneity.
Data collections showed 59 (41.5%) are male respondents and 83 (58.5%) are female, 78 (54.9%) primary school students, 55 (38.7%) middle school students and 9 (6.3%) are high school students. Before health education, respondents with good, fair and poor knowledge level are 4 (2.8%), 31 (20.4%), and 107 (75.4%). After health education, respondent with good knowledge increased to 7 (4.9%) and fair became 37 (26%), and respondents with poor knowledge decreased becoming 98 (69.4%). Marginal homogeneity test showed significant difference (p<0.01). As a conclusion, respondent?s knowledge level on trichuriasis is affected by health education.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hansen Angkasa
"Skabies menempati peringkat ke-3 dari 12 penyakit kulit tersering di Indonesia. Permetrin merupakan obat pilihan skabies, namun memberikan efek samping eritema, rasa panas, gatal, nyeri;pengolesan permetrin ke seluruh tumbuh menambah ketidaknyaman. Karena itu timbul pemikiran mengobati skabies di lesi saja diikuti mandi dua kali sehari dengan sabun. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui efektivitas permetrin yang dioleskan ke seluruh tubuh dibandingkan dengan lesi saja. Penelitian eksperimental ini dilakukan di Pesantren, Jakarta Timur. Semua santri dilakukan anamnesis dan pemeriksaan kulit untuk mendiagnosis skabies.Santri positif skabies dibagi tiga kelompok berdasarkan kamar tidur. Kelompok satu diobati permetrin metode standar, kelompok dua dan tiga hanya diberikan permetrin di lesi saja. Ketiga kelompok diharuskan mandi dua kali menggunakan sabun namun kelompok tiga menggunakan sabun antiseptik. Data diambil pada bulan Mei-Juli 2012, diolah dengan SPSS 11.5 dan dianalisis dengan uji Kruskal-Wallis. Hasilnya menunjukkan dari 188 santri, 94 orang positif skabies, namun yang diikutkan dalam penelitian 69 santri. Pada minggu pertama jumlah santri yang sembuh dengan permetrin standar, lesi+sabun dan lesi+sabun antiseptik adalah 1/23, 4/23 dan 1/23 (p=0,198); minggu kedua 18/23, 12/23 dan 8/23 (p=0.012); minggu ketiga 22/23, 21/23 dan 18/23(p=0,163). Disimpulkan pengobatan skabies menggunakan permetrin standar sama efektifnya dengan pengobatan hanya di lesi saja.

Ranked 3rd out of the 12 most common skin diseases in Indonesia. Permethrin remains the drug of choice for scabies but has side effects: erythema, tingling, pain, itch and prickling sensation. Topical whole-body application causes discomfort for the patient. Thus, we proposed modified usage of permethrin by confining topical application to the lesion enforced with baths twice daily. The objective of the study is to know the effectiveness of whole body against lesiononly application of permethrin. The experimental study was done at Pesantren X, located at East Jakarta. All students were diagnosed for scabies via anamnesis and physical examination. Infested students were divided into three groups based on bedroom allocation. First group was treated with whole-body application while the rest were given lesion-only application. All groups were instructed to take baths twice daily with soap except the third group, which used antiseptic soap. Data collection was done from May-July 2012, processed using SPSS 11.5, tested with Kruskal-Wallis Test. Result showed 94 out of 188 scabies positive, but 69 were randomly picked for analysis. In week one, cure rates in the first, second and third group were 1/23, 4/23 and 1/23 respectively (p=0.198); Week two: 18/23, 12/23, 8/23 (p=0.012); Week three: 22/23, 21/23 and 18/23 (p=0.163). Thus, the three methods yield similar results that are statistically insignificant."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Beta Canina Harlyjoy
"Hipertensi, salah satu contoh penyakit degeneratif, patut diwaspadai di Indonesia karena adanya transisi epidemiologis penyebab kematian utama, yakni dari penyakit infeksi menjadi degeneratif. Hipertensi memiliki berbagai akibat yang membahayakan, salah satunya adalah peningkatan leptin yang nantinya dapat memengaruhi pulsasi GnRH. Ketika pulsasi GnRH terganggu, maka dapat memengaruhi sekresi Follicle Stimulating Hormone (FSH) yang apabila terganggu, dapat menyebabkan gangguan menstruasi. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbandingan kadar FSH berdasarkan hipertensi pada perempuan usia subur, terutama pada perempuan dengan gangguan menstruasi.
Desain penelitian yang digunakan adalah cross-sectional analitik dengan melibatkan 75 perempuan usia subur (15-45 tahun) yang mengalami gangguan menstruasi. Penelitian dilakukan dengan menggunakan data sekunder hasil pemeriksaan laboratorium dan kuesioner SCL-90 pada penelitian 'Peranan Adiponektin terhadap Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) dan Hubungannya dengan Faktor Genetik, Endokrin, dan Metabolik'. Analisis data dilakukan dengan program SPSS for Windows versi 17.0 dengan menggunakan analisis bivariat uji T-Independen. Variabel bebas yang diuji adalah usia, aktivitas fisik, status gizi, gejala mental emosional, status hipertensi, serta status SOPK.
Berdasarkan analisis, didapatkan bahwa kadar FSH pada perempuan dengan hipertensi memiliki median yang lebih rendah (3,50: 1,70 - 4,80) dibandingkan dengan perempuan tanpa hipertensi (4,90: 1,20 - 33,40). Secara statistik, perbedaan tersebut bermakna dengan p = 0,025. Sementara, tidak terdapat perbedaan bermakna kadar FSH pada usia, aktivitas fisik, status gizi, gejala mental emosional, serta status SOPK perempuan dengan gangguan menstruasi. Dapat disimpulkan bahwa terdapat peran hipertensi dalam perbedaan kadar FSH pada perempuan dengan gangguan menstruasi.

Hypertension, as one of the degenerative disease, should be one of the main issue in Indonesia because of the epidemiologic transition of the main cause of death, which is from infection diseases to degenerative diseases. Hypertension could lead to many dangerous complications. One of which is increased level of plasma leptin. Increased level of plasma leptin could disturb the GnRH pulsatility. When the pulsatility of GnRH is disturbed, it could influence the secretion of Follicle Stimulating Hormone (FSH), which when disturbed could lead into an abnormal menstrual cycle.
This analytical cross-sectional study was conducted to compare the FSH level in abnormal cycling reproductive women according to their hypertension status, using secondary laboratory and SCL-90 questionnaire data from the 'Peranan Adiponektin terhadap Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) dan Hubungannya dengan Faktor Genetik, Endokrin, dan Metabolik' research that was conducted since year 2009 to 2011. In this study, 75 samples were used and analyzed with SPSS for Windows 17.0 version program using the bivariate T-independent analysis. Independent variables in this study included age, physical activity, nutritional status, mental and emotional symptoms, hypertension status, and PCOS status.
The analysis showed that FSH levels in hypertensive women is lower (3,50: 1,70 - 4,80) than non-hypertensive women (4,90: 1,20 - 33,40) with a statistically significant difference (p = 0,025). However, other variables such as age, physical activity, nutritional status, mental and emotional symptoms, and PCOS status did not have significant different FSH levels. It can be concluded that hypertension could be associated with FSH level in abnormal cycling women.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dheeva Noorshintaningsih
"Usia subur merupakan usia yang paling penting dalam reproduksi perempuan. Usia subur berkisar 15 tahun hingga 46 tahun. Usia memiliki pengaruh terhadap sekresi GnRH, pada saat perempuan menempuh dekade ketiga dan keempat folikel akan mengalami penurunan sehingga sekresi GnRH juga akan terpengaruh, namun menjelang menopause sekresi GnRH akan meningkat karena folikel sudah tidak ada lagi dan tidak akan yang memberikan umpan balik negatif kepada GnRH, maka itu sekresi GnRH pada orang menopause tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan kadar LH berdasarkan perempuan dengan usia subur yang mengalami gangguan menstruasi. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional analitik, dalam penelitian ini terdapat 74 perempuan usia subur (15-45 tahun) yang mengalami gangguan menstruasi yang terlibat. Data pada penelitian didapatkan dengan menggunakan data sekunder yang berasal dari hasil pemeriksaan laboratorium dan kuesioner SCL-90 pada penelitian ?Peranan Adiponektin terhadap Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) dan Hubungannya dengan Faktor Genetik, Endokrin, dan Metabolik?. Data pada penelitian ini dianalisis dengan menggunakan program SPSS for Windows versi 17.0 dengan analisis chi-square. Berdasarkan analisis, didapatkan hasil bahwa proporsi usia dibawah 30 tahun yang memiliki kadar LH yang tergolong normal lebih tinggi dibandingkan dengan proporsi usia dibawah 30 tahun yang mempunyai kadar LH abnormal yaitu masing-masing nilainya 60,9% dan 39,1%. Perbedaan proporsi tersebut secara statistic bermakna dengan P sama dengan 0,009. Sementara, tidak terdapat perbedaan bermakna kadar LH pada aktivitas fisik, status gizi, gejala gangguan mental emosional, serta status SOPK perempuan dengan gangguan menstruasi. Dari penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa usia memiliki peran dalam perbedaan kadar LH pada perempuan dengan gangguan menstruasi.

Reproductive age is the most important phase in women?s reproductive cycle. In most women the reproductive age is around 15-46 years old. Age has influence on GnRH secretion, when women take the third and fourth decades of follicles will decrease so the secretion of GnRH may also be affected, but the menopause GnRH secretion will increase as the follicle is no longer there and that will not give negative feedback to GnRH, the GnRH secretion was higher in the menopause. This study aimed to compare the levels of LH by women of reproductive age, especially in women with menstrual disorders. The study design is cross-sectional analytic involving 74 women of childbearing age (15-45 years) who experience menstrual disorders. The study was conducted using secondary data derived from the results of laboratory tests and the SCL-90 questionnaire of study titled "The Role of Adiponection to polycystic ovary syndrome (PCOS) and Its Relationship to Genetic Factors, Endocrine and Metabolic". Data analysis was performed with SPSS for Windows version 17.0 using chi-square analysis. Based on the analysis, showed that the proportion aged under 30 years who have a relatively normal LH levels higher than the proportion aged under 30 years who have abnormal levels of LH values ​​respectively 60.9% and 39.1%. The difference was statistically significant proportion of the P equals 0.009. Meanwhile, there were no significant differences in the levels of LH in physical activity, nutritional status, symptoms of mental, emotional, as well as the status of PCOS women with menstrual disorders. It can be concluded that there are differences in the role of age in LH levels in women with menstrual disorders."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>