Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 37 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sabrina
"Latar Belakang: Keterlambatan bicara adalah salah satu bentuk keterlambatan perkembangan pada anak. Untuk meminimalisir dampak negatif keterlambatan bicara, faktor risiko dibutuhkan untuk membantu mendiagnosis pasien, agar intervensi dini dapat dimulai.
Tujuan: Identifikasi asosiasi antara jenis kelamin, usia kehamilan, berat lahir, lingkar kepala, penutupan anterior fontanel, perkembangan motorik kasar, periode ASI eksklusif, pengasuh sehari-hari, jumlah saudara kandung, paparan media, interaksi sosial dengan pasien, dan keterlambatan bicara pada anak usia 1 sampai 2 tahun.
Metode: Penelitian kasus kontrol pada anak usia 1 sampai 2 tahun di Rumah Sakit Pusat Nasional (RSUPN) Cipto Mangunkusumo dan Klinik Anakku, Pondok Pinang di Jakarta, Indonesia, dari Januari 2018 sampai Maret 2018. Data dikumpulkan dari wawancara orang tua. Data yang diperoleh diolah dengan SPSS Statistics for Mac, dengan uji Chi-Square dan metode logistic regression. Hasil: Jumlah subjek pada studi ini adalah 126 anak, dengan 63 anak dengan keterlambatan bicara, dan 63 anak lainnya dengan perkembangan bicara yang normal. Pada uji multivariat, variabel yang signifikan adalah keterlambatan perkembangan motorik kasar (p < 0.001; OR = 9.607; 95% CI = 3.403-27.122), periode ASI eksklusif kurang dari 6 bulan (p = 0.016; OR = 3.278; 95% CI = 1.244-8.637), dan paparan gadget dan televisi selama lebih dari 2 jam sehari (p < 0.001; OR = 8.286; 95% CI = 2.555-26.871). Kontak sosial yang buruk (p = 0.998) adalah confounding factor pada studi ini.
Kesimpulan: Keterlambatan perkembangan motorik kasar, periode ASI eksklusif kurang dari 6 bulan, paparan media selama lebih dari 2 jam, dan kontak yang buruk adalah faktor risiko keterlambatan bicara pada anak.

Background: Speech delay is one of the most common developmental delay in children. To minimize the negative outcomes of speech delay, risk factors should be explored to help in patient diagnosis, so an early intervention can be initiated. Aim: Identify the association between gender, age, birth weight, asphyxia during birth, head circumference, closure of anterior fontanel, gross motor development, period of
breastfeeding, caregiver, number of siblings, media exposure, social interaction with subject and delayed speech in children between 1 to 2 years old. Method: A case-control study for children between 1 to 2 years old in Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) Cipto Mangunkusumo and Klinik Anakku, Pondok Pinang in Jakarta, Indonesia, from January 2018 to March 2018. Data was collected from parent interviews. The data obtained was processed with SPSS Statistics for Mac, with Chi-Square test and logistic regression method.
Result: The total number of subjects in this study was 126, with 63 children with speech delay and 63 children with normal speech development. In the multivariate analysis, the significant risk factors were delayed gross motor development (p < 0.001; OR = 9.607; 95% CI = 3.403-27.122), period of exclusive breastfeeding of less than 6 months (p = 0.016; OR = 3.278; 95% CI = 1.244-8.637), and exposure to gadgets and television for more than 2 hours (p < 0.001; OR = 8.286; 95% CI = 2.555-26.871). Poor social interaction (p = 0.998) was found to be the confounding factor. Conclusion: Delayed gross motor development, period of exclusive breastfeeding of less than 6 months, media exposure for more than 2 hours, and poor are risk factors of
delayed speech development in children.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kindah Mahdiyyah
"Empati penting dimiliki manusia untuk beradaptasi dalam kehidupan. Untuk beradaptasi di kehidupan sosial, manusia membutuhkan soft skill berupa manajemen perilaku prososial yang baik dan kemampuan dalam membangun relasi teman sebaya. Penelitian ini menggambarkan hubungan empati dengan perilaku prososial dan relasi teman sebaya pada anak sekolah dasar usia 4-14 tahun. Studi dalam penelitian ini yaitu studi potong lintang. Instrumen yang digunakan yaitu kuesioner EQ-C/ SQ-C berbahasa indonesia yang sudah tervalidasi dengan nilai alpha 0,979. Kuesioner EQ-C/SQ-C digunakan untuk mengukur empati anak. Sedangkan, untuk mengukur perilaku prososial dan relasi teman sebaya, peneliti menggunakan kuesioner SDQ. Sejumlah 620 kuesioner diisi oleh orangtua anak sekolah dasar dan dijadikan sampel dari penelitian ini. Orangtua yang dapat mengisi kuesioner memiliki riwayat pendidikan minimal sekolah menengah pertama. Setelah mendapatkan seluruh sampel, dilakukan random sampling dan didapatkan data sejumlah 384 data yang akan dianalisis. Pada proses analisis, brain type dibagi menjadi tiga kelompok, yakni brain type E (Extreme E dan E), brain type B, dan brain type S (Extreme S dan S). Analisis data dilakukan dengan uji Chi-Square menggunakan windows SPSS versi 20. Hasil analisis menunjukkan terdapat hubungan antara empati terhadap perilaku prososial dan relasi teman sebaya (p<0.05).

Empathy is the ability to understand and relate to others feelings or emotion. Empathy is one of the critical skills to alter in life. To adapt in human social life, people requires soft skills in the form of good prosocial behavior and good management in building peer relations. This cross-sectional study describes the relationship of empathy skills with prosocial behavior and peer relations in primary school children aged 4-14 years. The instrument used for this study is Indonesian language EQ-C/SQ-C questionnaire which value 0,979 in Cronbachs alpha to measure childrens empathy skills. To measure prosocial behavior and peer relationships, researchers used the SDQ questionnaire. A total of 620 questionnaires were filled in by parents of primary school children in Indonesia and were sampled for this study. Parents who can fill out the questionnaire have a minimum education of junior high school. Researchers obtained 384 data through random sampling to be analyzed. In the analysis process, empathy skills are devided into three groups, namely type E (Extreme E and E), type B and type S (Extreme S and S). Data analysis was done by Chi-Square test with SPSS program version 20 for both sample. Due to lack of sample (<5) for abnormal prosocial behavior, we look for Fisher test for the result of prosocial behavior. The result shows siginificant outcome. State that there is a relationship between empathy skills with prosocial behavior and peer relationships (p<0.05).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eloisa Nathania
"Empati dan kemampuan mengatur emosi yang baik penting dimiliki anak untuk memiliki kualitas hidup dan hubungan sosial yang baik,. Defisit empati dan masalah emosi pada anak dapat menyebabkan gangguan pada perkembangan, kualitas hidup, dan hubungan sosial dengan teman serta saudara. Penelitian ini mencari hubungan empati dengan masalah emosi pada anak sekolah dasar. Penelitian ini menggunakan teknik potong lintang dengan sampel sejumlah 384 yang diambil secara acak dari 620 yang didapatkan secara daring dan langsung. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berbahasa Indonesia untuk menilai empati anak dan kuesioner SDQ untuk menilai masalah emosi anak. Kedua kuesioner tersebut diisi oleh orangtua anak sekolah dasar yang telah setuju untuk mengikuti penelitian. Analisis data dilakukan dengan uji Chi-Square dan uji korelasi Rank Spearman pada SPSS Windows versi 20. Berdasarkan hasil analisis, terdapat hubungan yang bermakna antara empati dengan masalah emosi pada laki-laki, perempuan dan seluruh sampel serta terdapat korelasi berbanding terbalik yang bermakna antara empati dan masalah emosi dengan koefisien korelasi. Hubungan bermakna antara empati dan masalah emosi menunjukkan bahwa anak dengan empati tinggi cenderung lebih sering memunyai masalah emosi dibandingkan anak dengan empati yang rendah.

In order to have good quality of life and social relationships, empathy skills and ability to regulate emotion are important for children. Empathy deficits and emotional problems can cause interference child development, quality of life and social relationships with friends and relatives. This study aims to determine whether there is a relationship between empathy skills and emotional problems in primary school children. This was a cross-sectional study with 384 samples taken randomly from 620 existing data. The instrument used in this study is that has been validated in Indonesian version to determine the level of childrens empathy skills and the SDQ to determine the emotional problems in children. Both of the questionnaire filled out by primary student parents who have agreed to participate in this study. Data analysis was performed by Chi-Square test and Rank Spearman correlation test on SPSS for Windows version 20. Based on the analysis results, there was a significant relationship between empathy skills and emotional problem in boys, girls and there was a negative significant correlation between empathy skills and emotional problems. The significan relationship between empathy skills and emotional problems in primary school children showed that children with better empathy skills are tend to have an emotional problems than children with low empathy skills.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amanda Ayu Putri
"ABSTRAK
Dokter anak merupakan lini pertama penanganan masalah kesehatan pada anakanak.
Gangguan Pemusatan Perhatian/Hiperaktivitas (GPPH) adalah gangguan
perkembangan mental dan perilaku yang sering terjadi pada anak-anak usia sekolah
dasar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara pengalaman
praktek dengan tingkat pengetahuan/pemahaman, persepsi, dan sikap terhadap
GPPH diantara dokter anak di Indonesia. Rancangan studi potong lintang dan
metode uji acak sederhana digunakan dalam pemilihan sampel penelitian ini. Data
yang didapat adalah hasil dari kuesioner yang telah diuji validitas dan
reliabilitasnya menggunakan formula Pearson Alpha dan Cronbach’s Alpha. Hasil
dianalisis dengan uji korelasi spearman menggunakan program SPSS versi 20. Dari
total 109 responden, penelitian ini mengambil 96 responden melalui randomizer
sesuai formula sampel. Hasil dari 96 responden menunjukan bahwa tingkat
pengetahuan/pemahaman, persepsi, dan sikap terhadap GPPH berada pada tingkat
yang sangat rendah dan rendah (65.6%, 57.3%, dan 76%). Hasil analisis statistik
menunjukan bahwa hanya terdapat perbedaan bermakna antara persepsi dengan
pengalaman praktek (p<0.05), sehingga terdapat korelasi antara pengalaman
praktek dengan persepsi terhadap GPPH. Kesimpulannya, tingkat
pengetahuan/pemahaman, persepsi, dan sikap terhadap GPPH adalah sangat rendah
dan rendah dikalangan dokter anak, sehingga memerlukan edukasi lebih lanjut
terhadap ADHD kepada dokter anak tanpa melihat pengalaman praktek yang
dimiliki.

ABSTRACT
Pediatricians are the first primary care to seek for children’s health
problem. Attention – Deficit / Hyperactivity Disorder (ADHD) is a common mental
and behavioral developmental disorder in children. In Indonesia, pediatricians
usually do not realize ADHD and effect to its inappropriate management thus leads
to high prevalence of ADHD. The aim of this research is to identify the correlation
between practice experience and level of knowledge / understanding, perception,
and attitude towards ADHD among pediatricians in Indonesia. For the sample
selections, a cross-sectional study design with simple random sampling method was
used in this research. The data that has been acquired from questionnaire is
analyzed with spearman correlation test method using SPSS program 20th version.
The result from 96 respondents showed the level of knowledge / understanding,
perception, and attitude towards ADHD were in very poor and poor levels (65.6%,
57.3%, and 76% respectively). Statistical analysis showed that there were no
significant differences in between knowledge / understanding and attitude with
practice experience (p>0.05) that imply there are no correlation between practice
experience and level of knowledge / understanding and attitude towards ADHD. On
the other hand, there was a significant difference in between perception with
practice experience (p<0.05) that implies there is a correlation between practice
experience and level of perception towards ADHD. In conclusion, the levels of
knowledge / understanding, perception, and attitude towards ADHD were very
poor and poor on knowledge / understanding, perception, and attitude among
pediatricians in Indonesia, so that a follow-up about ADHD is necessary among
pediatricians without considering their practice experience."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmah Yulam Sari
"Gangguan perkembangan pervasif (GPP) merupakan kelompok gangguan yang ditandai dengan terlambatnya perkembangan keterampilan fungsional dalam sosialisasi, komunikasi, bahasa dan fungsi motorik.Prevalensi GPP dari tahun ke tahun semakin meningkat.Berbagai faktor diduga berkaitan dengan kejadian GPP termasuk faktor kehamilan ibu.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara faktor kehamilan dengan GPP. Penelitian ini menggunakan desain kasus kontrol dengan melibatkan 52 anak dengan GPP (44 laki-laki, 8 perempuan) dan 156 anak tanpa GPP sebagai kontrol (132 laki-laki, 24 perempuan) dengan umur rata-rata kelompok kasus dan kontrol 7,3 tahun, untuk menganalisis enam faktor kehamilan ibu yang mungkin berpengaruh terhadap kejadian GPP. Data diperoleh dari wawancara terhadap ibu kandung masing-masing anak.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebiasaan ibu merokok saat hamil berhubungan secara bermakna dengan GPP (OR = 6,417; 95% CI 1,140-36,12; p = 0,035). Demikian pula dengan riwayat infeksi (OR = 4,250; CI 3,319-5,443; p = 0.004) dan riwayat depresi ketika hamil (OR = 4,508; 95% CI 2,015-10,084; p = 0,001). Riwayat ibu sebagai perokok pasif, kebiasaan meminum alkohol, dan konsumsi obat-obatan selama hamil tidak berhubungan secara bermakna dengan GPP.
Disimpulkan bahwa kebiasaan ibu merokok, riwayat infeksi, dan riwayat depresi saat hamil merupakan faktor risiko penting Gangguan Perkembangan Pervasif.

Pervasive developmental disorder (PDD) is a group of developmental disorders that is characterized by delays in the development of functional skills in socialization, communication, language and motor function. Prevalence of PDD is increasing every year. Various factors are suspected to have correlation with PDD including maternal pregnancy factors.
This study aims to determine the relationship between pregnancy factors with PDD. This study used case -control design involving 52 children with PDD (44 males and 8 females) and 156 children without PDD as controls (132 men and 24 women) with an average age of cases and controls 7.3 years , to analyze the correlation between six maternal pregnancy factors that may affect the incidence of PDD. Data were obtained from interviews with the biological mother of each child.
The results showed that maternal smoking habits during pregnancy significantly correlate with PDD (OR = 6.417; 95% CI 1.140 - 36.12; p = 0.035). As well as a history of infection (OR = 4.250; CI 3.319 -5.443; p = 0.004) and a history of depression during pregnancy (OR = 4.508; 95% CI 2.015 -10.084; p = 0.001). Meanwhile, maternal history of passive smoking, alcohol drinking habits, and consumption of drugs during pregnancy was not significantly associated with PDD.
In conclusion, maternal smoking, history of infection and a history of depression during pregnancy have an important role as risk factors ofPervasive Development Disorders.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
RR Mindo Poetri Permata
"Gangguan Perkembangan Pervasif (GPP) merupakan kelompok gangguan yang ditandai dengan abnormalitas dalam interaksi sosial, pola komunikasi, kecenderungan minat, gerakan yang terbatas, stereotipik, dan berulang. Prevalensi GPP dari tahun ke tahun semakin meningkat. Berbagai faktor diduga berkaitan dengan GPP termasuk faktor perkembangan anak usia 0-12 bulan.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara gangguan perkembangan anak usia 0-12 bulan dengan gangguan perkembangan pervasif. Penelitian ini menggunakan metode kasus-kontrol dengan jumlah kasus sebanyak 52 anak (44 laki-laki dan 8 orang perempuan) dan kelompok kontrol berjumlah 156 anak (132 laki-laki dan 24 orang perempuan). Kedua kelompok memiliki usia rerata 7,3 tahun. Data diperoleh dari wawancara dengan ibu kandung masing-masing anak.
Hasil penelitian menunjukkan gangguan perkembangan berdasarkan skor KPSP berhubungan dengan gangguan perkembangan pervasif. Sebanyak 16 anak (30,8%) pada kelompok kasus mengalami gangguan perkembangan pada usia 3 bulan dengan nilai p=0,001 dan OR=25,818. Hasil penelitian juga menunjukkan hasil yang bermakna pada KPSP 6 bulan (p=0,001 OR=30,477), 9 bulan (p=0,001 OR=18,442), dan 12 bulan (p=0,001 OR=245,333). Disimpulkan bahwa gangguan perkembangan anak usia 0-12 bulan merupakan faktor resiko penting Gangguan Perkembangan Pervasif.

Pervasive development disorders (PDD) is a group of developmental disorder that is characterized by abnormalities in social interaction, communication, tendency of interest, limited movement, stereotyped and repetitive. Prevalence of PDD is increasing every year. Many factors are suspected to have correlation with PDD including children development aged 0-12 months factors.
This study aimed to analyze the relationship between developmental disorders of children aged 0-12 months with pervasive developmental disorder. This case-control study includes 52 children diagnosed with PDD (44 males, 8 females, mean age of 7.3 years) and 156 normal developing children as control group (132 males, 24 females, mean age of 7.3 years). Historical data was obtained from their mothers. The results showed developmental disorders based on the scores KPSP associated with pervasive developmental disorder. A total of 16 children (30.8%) in the case group experienced a developmental disorder at the age of 3 months with a value of p = 0.001 and OR = 25.818.
The results also show significant results on KPSP 6 months (p = 0.001 OR = 30.477), 9 months (p = 0.001 OR = 18.442), and 12 months (p = 0.001 OR = 245.333). In coclusion, developmental disorders of children aged 0-12 months has an important role as risk factors of Pervasive Developmental Disorder (PDD).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Okla Sekar Martani
"Gangguan Perkembangan Pervasif (GPP) merupakan suatu kelompok gangguan perkembangan yang ditandai dengan gangguan kualitatif interaksi sosial, komunikasi, pola perilaku repetitif, dan stereotipik. Prevalensi GPP dari tahun ke tahun semakin meningkat. Berbagai faktor diduga berkaitan dengan GPP termasuk faktor risiko terkait kelahiran bayi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranan faktor risiko terkait kelahiran bayi terhadap GPP. Penelitian ini berdesain kasus kontrol dengan melibatkan 52 anak dengan GPP (44 laki-laki, 8 perempuan, umur rata-rata 7,3 tahun) dan 156 anak tanpa GPP (132 laki-laki, 24 perempuan, umur rata-rata 7,3 tahun). Faktor risiko terkait kelahiran meliputi riwayat BBLR, panjang badan lahir pendek, lingkar kepala kecil, asfiksia, penggunaan alat bantu napas, infeksi kongenital, kelainan kongenital, hiperbilirubinemia, dan nilai APGAR rendah. Data diperoleh dari wawancara terhadap ibu kandung dan rekam medik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa asfiksia (OR = 3,31; 95% CI 1,103 – 9,941; p = 0,048) dan penggunaan alat bantu napas saat lahir (OR = 3,31; 95% CI 1,103 – 9,941; p = 0,048) merupakan faktor risiko yang berperan terhadap GPP. Riwayat BBLR, panjang badan lahir pendek, lingkar kepala kecil, infeksi kongenital, kelainan kongenital, hiperbilirubinemia, dan nilai APGAR rendah tidak berperan terhadap GPP. Disimpulkan bahwa asfiksia dan penggunaan alat bantu napas berperan penting sebagai faktor risiko GPP.

Pervasive Developmental Disorder (PDD) is a group of developmental disorder that is characterized by social interaction impairment and communication impairment along with repetitive and stereotyped behaviors. Prevalence of PDD is increasing every year. Many factors are suspected to have correlation with PDD including neonatal risk factors. The purpose of this study is to discover the role of neonatal risk facors in PDD. This case-control study includes 52 children diagnosed with PDD (44 males, 8 females, mean age 7.3 years) and 156 normal developing children (132 males, 24 females, mean age 7.3 years). The neonatal risk factors include low birth weight, low birth height, small head circumference, asphyxia, assisted ventilation, congenital infection, congenital malformation, hiperbilirubinemia, and low APGAR score. Historical data was obtained from their mothers and medical record. The results show that asphyxia (OR = 3.31; 95% CI 1.103 – 9.941; p = 0.048) and assisted ventilation (OR = 3.31; 95% CI 1.103 – 9.941; p = 0.048) had a role in PDD. Meanwhile low birth weight, low birth height, small head circumference, congenital infection, congenital malformation, hiperbilirubinemia, and low APGAR score didn’t have a role in PDD. In conclusion, asphyxia and assisted ventilation are important risk factors of PDD.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Agung Bhagaskoro Hardiyan Syahputro
"Gangguan Perkembangan Pervasif (GPP) merupakan suatu kelompok gangguan perkembangan yang ditandai dengan gangguan kualitatif interaksi sosial, komunikasi, pola perilaku yang repetitif dan stereotipik. Prevalensi GPP semakin meningkat di berbagai negara, dari tahun ke tahun. Berbagai faktor diduga berkaitan dengan kejadian GPP, termasuk faktor riwayat persalinan ibu.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara 12 faktor riwayat persalinan ibu dengan GPP. Riwayat persalinan ibu termasuk prematuritas <37 minggu, urutan persalinan, durasi persalinan yang terlalu lama, komplikasi persalinan dan pendarahan postpartum, tekanan darah saat persalinan, komplikasi terkait tekanan darah, persalinan letak sungsang, bantuan persalinan, abruptio placentae, placenta previa, dan induksi persalinan. Penelitian ini menggunakan desain kasus kontrol dengan melibatkan 52 anak dengan GPP (44 laki-laki, 8 perempuan) dan 156 anak sehat sebagai kontrol (132 laki-laki, 24 perempuan) dengan umur rata-rata baik untuk kelompok kasus dan kelompok kontrol adalah 7,3 tahun.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa durasi persalinan yang terlalu lama >12 jam berhubungan secara bermakna dengan GPP (OR = 3,22; IK95% 1,324 - 7,829; p = 0,007) demikian pula dengan komplikasi persalinan (OR = 2,42; IK95% 1,000 - 5,831; p = 0,045) dan jumlah perdarahan postpartum 501-1000 ml (OR =3,11; IK95% 1,373 - 7,025; p = 0,007), jumlah perdarahan >1000 ml (OR = 4,87; IK95% 1,401 - 16,947; p = 0,013). Faktor lainnya seperti prematuritas <37 minggu, urutan persalinan, tekanan darah saat persalinan, komplikasi terkait tekanan darah, persalinan letak sungsang, bantuan persalinan, abruptio placentae, placenta previa, dan induksi persalinan tidak berhubungan secara bermakna dengan GPP. Disimpulkan bahwa durasi persalinan yang terlalu lama, komplikasi persalinan dan pendarahan postpartum merupakan faktor risiko penting Gangguan Perkembangan Pervasif.

Pervasive Developmental Disorder (PDD) is a group of developmental disorder that is characterized by social interaction impairment and communication impairment along with repetitive and stereotyped behaviors. Prevalence of PDD is increasing in many countries every year. Many factors are suspected to have association with PDD, including maternal perinatal factors.
The purpose of this study is to discover the association between maternal perinatal facors and PDD. Maternal perinatal factors include prematurity less than 37 weeks, birth order, prolonged labor, labor complication, post-partum hemorrhage, blood pressure in labor, blood pressure complication, breech presentation, assisted labor, abruptio placentae, placenta previa, and labor induction. This case-control study includes 52 children diagnosed with PDD (44 males, 8 females) and 156 tipically developing children as control group (132 males, 24 females), with mean age for both groups are 7,3 years.
This study shows that prolonged labor more than 12 hours was significantly associate with PDD (OR = 3.22, 95% CI 1.324 - 7.829; p = 0.007), as well as labor complication (OR = 2.42, 95% CI 1.000 - 5.831; p = 0.045) and postpartum hemorrhage 501-1000 ml (OR = 3.11, 95% CI 1.373 - 7.025; p = 0.007), postpartum hemorrhage >1000 ml (OR = 4.87; 95% CI 1.401 - 16.947; p = 0.013). Meanwhile prematurity less than 37 weeks, birth order, blood pressure in labor, blood pressure complications, assisted delivery, abruptio placentae, placenta previa, and labor induction were not significantly associate with PDD. In conclusion, prolonged labor, labor complications, and amount of postpartum hemorrhage play important roles as risk factors of Pervasive Developmental Disorder (PDD).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tasha Farhana Dahlan
"Gangguan Perkembangan Pervasif (GPP) adalah gangguan perkembangan neuron atau saraf dengan tanda-tanda gangguan pada interaksi sosial, komunikasi, dan melakukan kegiatan dan ketertarikan dengan streotipe tertentu yang berulang-ulang. Prevalensi GPP yang semakin meningkat menjadi penyebab dilakukannya penelitian pada berbagai faktor yang diduga berhubungan dengan GPP.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara faktor karakter sosiodemografi orangtua dan riwayat keluarga dengan GPP. Faktor karakter sosiodemografi orangtua meliputi usia Ayah saat kelahiran anak, usia Ibu saat kelahiran anak, dan sosial ekonomi keluarga. Faktor riwayat kesehatan keluarga meliputi diabetes, epilepsi, gangguan perkembangan pervasif, dan gangguan mental lainnya.
Penelitian ini menggunakan desain kasus kontrol dengan melibatkan 52 anak dengan GPP (44 laki-laki, 8 perempuan, umur rata-rata 7,3 tahun) dan 156 anak tanpa GPP sebagai kontrol (132 laki-laki, 24 perempuan, umur rata-rata 7,3 tahun) untuk menganalisis sembilan faktor kelahiran bayi yang diduga berperan pada kejadian GPP. Data diperoleh melalui wawancara ibu kandung dan catatan rekam medik.
Hasil penelitian mengemukakan usia Ayah saat kelahiran anak berhubungan secara bermakna dengan GPP (OR = 0,47; 95% CI 0.240-0.912; p = 0,024). Usia Ibu saat kelahiran anak, sosial ekonomi keluarga, riwayat kesehatan keluarga seperti diabetes, epilepsi, gangguan perkembangan pervasif, dan gangguan mental lainnya tidak terbukti berhubungan secara bermakna dengan gangguan perkembangan pervasif pada penelitian ini.
Disimpulkan bahwa usia Ayah saat kelahiran anak adalah faktor risiko Gangguan Perkembangan Pervasif.

Pervasive Developmental Disorder (PDD) is a neuronal development disorder manifested as impairment of social interaction and communication,with certain repetitive and stereotyped behaviors. Studies to discover potential factors of PDD have been made as the consequence of increasing Prevalence of PDD.
The purpose of this study is to discover the correlation between parental demographic factors and family history with PDD. The parental demographic includes that paternal age at birth, maternal age at birth, and socioeconomic of family. The family history includes diabetes, epilepsy, PDD, and other mental disorder.
This case-control study involves the parents of 52 children diagnosed with PDD (44 males, 8 females, mean age 7.3 years) and the parents of 156 normal developing children as control group (132 males, 24 females, mean age 7.3 years) to analyze the correlation between parental demographic factors and family history with PDD. The data was obtained from biological mothers and medical records.
The results show that paternal age at birth was significantly correlate with PDD (OR = 0.47; 95% CI 0.240-0.912; p = 0.024). Meanwhile maternal age at birth, socioeconomic of family, family history of diabetes, epilepsy, PDD, and other mental disorder were not significantly correlate with PDD.
In conclusion, paternal age at birth is the risk factors of Pervasive Developmental Disorder (PDD).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Albert Prabowo Limawan
"ABSTRAK
Latar Belakang: Perundungan merupakan masalah di seluruh dunia termasuk di
Indonesia. Kondisi ini memberikan dampak negatif dan sudah banyak dijelaskan
dalam berbagai riset di dunia. Namun, riset tentang perundungan di Indonesia
masih belum banyak dilakukan terutama pada remaja. Metode: Penelitian ini
merupakan penelitian dengan rancang potong lintang. Remaja yang merupakan
subjek penelitian adalah siswa/i dari lima sekolah menengah pertama yang
berpartisipasi dalam riset ini untuk menjawab kuesioner perundungan traditional
yang disusun oleh Nansel dan kolega pada 2001 serta kuesioner demografi yang
khusus dibuat untuk penelitian ini. Data dianalisa menggunakan program SPSS
versi 20 untuk Windows melalui uji korelasi Spearman?s dan uji Chi-Kuadrat.
Hasil: Korban perundungan paling banyak terjadi pada murid berusia 13 tahun
(50.0%) dan kelas delapan (41.1%). Sementara korban perundungan terbanyak
berusia 13 tahun (55.6%) dan kelas tujuh dan delapan (44.4% masing-masing).
Korban sekaligus pelaku terbanyak berusia 13 dan 14 tahun (38.5% masingmasing)
dan berasal dari kelas delapan dan sembilan (46.2% masing-masing).
Tidak dijumpai adanya perbedaan jenis kelamin dalam angka kejadian
perundungan (50.9% perempuan vs. 49.1% laki-laki). Mengejek nama adalah
jenis perundungan yang paling sering terjadi baik pada kelompok korban, pelaku
maupun pada kelompok korban sekaligus pelaku (55.9% vs. 66.6% vs. 84.6%).
Terdapat korelasi lemah antara usia dengan korban perundungan (r = 0.4).
Kemudian, tidak ditemukan perbedaan signifikan antara jenis kelamin di antara
remaja dengan dan tanpa perundungan. Kesimpulan: Sekolah menengah pertama
adalah masa penting untuk terjadinya perundungan oleh karena itu perlu
dirancang suatu program untuk mengendalikan kejadian perundungan di SMP
terutama pada anak yang berusia 13 tahun.

ABSTRACT
Background: Bullying happens all over the world including Indonesia. This
condition cause negative effects that has been mentioned in several studies all
around the world. However, there are not sufficient researches on bullying in
Indonesia, especially among adolescents. Methods: This research was a cross
sectional study. The research subjects are students from five participating junior
high schools in Jakarta, which they were given to answer the traditional bullying
questionnaire by Nansel and colleagues in 2001 and demography questionnaire
made for this study. Data is being analyzed using SPSS version 20 for Windows
with Spearman?s correlation and Chi-Square. Result: Most victim of bullying
were 13 years old (50%) and grade eight (41.1%). Majority of perpetrator of
bullying were 13 years old (55.6%) and grade seven and eight (44.4%
respectively). Furthermore, for both victim and perpetrator of bullying, majority
came from age 13 and 14 years old (38.5% respectively) and grade eight and nine
(46.2% respectively). There were no dominant gender involved in bullying
(50.9% female and 49.1% male). Calling names was the major type of bullying
among all bullying group (victim, perpetrator, both) (55.9% vs. 66.6% vs. 84.6%).
There was weak correlation between age and victimization (r = 0.4). Moreover,
there was no significant gender difference among adolescents with or without
bullying. Conclusion: Junior high school is the critical age for bullying behavior
to occur, so it is important to design a program to control bullying in junior high
school, especially students aging 13 years old.;"
2016
S70406
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>