Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 375 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rora Roikhani Endah Retnowati
Abstrak :
Kepailitan mempunyai akibat bagi seluruh Kreditor, tidak terkecuali bagi Kreditor Pemegang Jaminan Fidusia. Pengembalian utang Debitor kepada Kreditor dalam hal Debitor dinyatakan pailit akan sangat tergantung pada kedudukan dari Kreditor tersebut. Kedudukan Kreditor Pemegang Jaminan Fidusia adalah sebagai Kreditor Preferen. Hak ini tidak hapus karena adanya kepailitan atau likuidasi Debitor Pemberi Jaminan Fidusia. Kreditor Preferen (secured creditors) dalam kepailitan biasanya disebut Kreditor Separatis. Kreditor Pemegang Jaminan Fidusia sebagai Kreditor Separatis sangat berkepentingan agar tetap dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Kepailitan maupun Undang-undang Fidusia yang berlaku saat ini, ternyata kurang memberikan perlindungan hukum terhadap Kreditor Pemegang Jaminan Fidusia sebagai Kreditor Separatis dalam proses kepailitan. Dalam penyusunan penelitian ini, Penulis mempergunakan tipe penelitian-hukum normatif dan bersifat deskriptif analitis, dengan dilengkapi melakukan wawancara kepada 2 (dua) orang Kurator dan 3 (tiga) orang Legal Officer Bank terkemuka di Jakarta. Dalam proses kepailitan di Pengadilan Niaga, dalam hal obyek jaminan fidusia sudah tidak ada lagi maka Kreditor Pemegang Jaminan Fidusia sebagai Kreditor Separatis tidak memiliki hak untuk didahulukan dari kreditor lainnya, sehingga untuk mengajukan tagihannya dalam kedudukannya sebagai Kreditor Konkuren. Dengan demikian perlu diberikan perlindungan hukum bagi Kreditor Pemegang Jaminan Fidusia dalam proses kepailitan agar tetap dapat melaksanakan haknya sebagai Kreditur Separatis.
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T14529
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adriyadi Lukita
Abstrak :
Dalam melaksanakan pembangunan ekonomi diperlukan dana dalam jumlah besar yang sebagian disalurkan oleh bank kepada masyarakat dalam bentuk pemberian kredit, yang selalu mengandung risiko, sehingga diperlukan suatu jaminan kredit. Disinilah Jaminan fidusia memiliki peran dalam pemberian kredit, sebagai jaminan utang. Hanya bagi sebagian kalangan, jaminan fidusia hanya merupakan jaminan pelengkap dari jaminan hak tanggungan. Walaupun seharusnya tanpa hak tanggungan pun, pihak bank seharusnya memberikan kredit dengan jaminan fidusia. Tesis ini mengangkat pokok permasalahan seperti, apakah lembaga jaminan fidusia dalam praktek perbankan sudah sesuai dengan yang dikehendaki dalam Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia; apakah peranan lembaga jaminan fidusia sebagai jaminan utang dalam praktek pemberian kredit; dan apa saja upaya hukum yang dilakukan oleh bank untuk memperkecil risiko pemberian kredit yang dijamin dengan lembaga jaminan fidusia. Untuk menjawab pokok permasalahan tersebut tesis ini digunakan tipe penelitian yang bersifat deskriptif analitis, di mama penelitian dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai peranan dari lembaga jaminan fidusia sebagai jaminan utang dalam pemberian kredit bank. Dari penelitian yang telah dilakukan, ditemukan bahwa ternyata Undang-undang Fidusia belum dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya, baik dari segi waktu pendaftaran, biaya pembuatan AJF dan biaya pendaftaran jaminan fidusia di Kantor Pendaftaran Fidusia, maupun untuk menjamin kepastian hukum bagi para pihak maupun pihak ketiga. Kekurangan-kekurangan tersebut menyebabkan jaminan fidusia kurang dapat dimanfaatkan oleh dunia perbankan. Peranan lembaga Jaminan Fidusia dalam pemberian kredit bank yaitu dapat menjadi jaminan utama atau hanya menjadi jaminan tambahan. Dalam memperkecil risiko-risiko maka bank biasanya meminta jaminan tambahan berupa benda tetap seperti tanah, membuat Surat Kuasa Jual, Surat Kuasa Tarik dan kwitansi kosong yang telah ditandatangani debitur.
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T14579
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutagaol, Victor
Abstrak :
Eksekusi objek jaminan fidusia merupakan masalah yang penting seiring dengan semakin berkembangnya pemberian kredit dengan jaminan fidusia dalam perjanjian kredit. Eksekusi objek jaminan fidusia diatur dalam pasal 29 sampai dengan pasal 34 Undang-undang No. 42 tentang Jaminan Fidusia, dimana dalam ketentuan tersebut diatur apabila seorang debitur melakukan wanprestasi, eksekusi terhadap objek jaminan fidusia dapat dilakukan dengan dua cara yaitu melalui parate eksekusi dan penjualan di bawah tangan, akan tetapi dalam prakteknya, khususnya pada Bank X di kota Jogjakarta, ketentuan tersebut sulit untuk dilaksanakan sebagaimana mestinya. Berdasarkan hal-hal tersebut perlu dikaji lebih lanjut pada saat bagaimana seorang kreditur dapat dikatakan melakukan cidera janji atau wanprestasi, bagaimana proses eksekusi objek jaminan fidusia pada Bank X tersebut, dan kendala-kendala apa saja yang menghambat untuk melakukan proses eksekusi jaminan fidusia tersebut. Metode penelitian dalam penulisan tesis ini menggunakan metode normatif yuridis dengan tipe penelitian eksplanatoris yaitu dengan mengkaji dan menganalisis hubungan antara praktek eksekusi objek jaminan fidusia pada Bank X di Kota Jakarta dengan didasarkan kepada peraturan-peraturan yang berkaitan dengan hal tersebut, dalam penelitian ini, digunakan data sekunder, dimana untuk memperoleh data sekunder tersebut maka alat pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumen yang dilakukan dengan data tertulis baik berupa bahan hukum primer, sekunder dan tertier dan wawancara dengan wawancara bebas kepada beberapa informan, untuk kemudian data tersebut dianalisis secara kwalitatif. Berdasarkan penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa suatu debitur dapat dikatakan telah melakukan wanprestasi adalah jika melanggar klausula cidera janji dalam perjanjian kredit dan kredit tersebut telah masuk dalam kategori kredit bermasalah, dan dalam proses eksekusi jaminan fidusia ternyata tidak dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang No. 34 tahun 1999 tentang jaminan fidusia, serta dalam proses eksekusi tersebut banyak terjadi hambatan--hambatan baik dari debitur itu sendiri ataupun karena kelemahan-kelemahan dalam Undang-Undang yang mengatur proses eksekusi jaminan \ fidusia tersebut.
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T15523
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Efran Yuniarto
Abstrak :
Dalam pemberian kredit tentunya bank memerlukan jaminan yang kiranya dapat menjamin pelunasan hutang dari debitur atau minimal dapat meminimalisir resiko dalam pemberian kredit dimaksud. Dalam hal ini penulis akan membahas masalah penjaminan pesawat udara khususnya pesawat terbang dan helikopter yaitu terkait dengan masih belum jelasnya penggolongan benda sesuai KUHPerdata dari pesawat udara sendiri, lembaga penjaminan yang tersedia serta belum lengkapnya peraturan-peraturan pelaksana yang ada. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini menggunakan metode penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis normatif dan metode penelitian lapangan. Dari pembahasan yang dilakukan maka dapatlah disimpulkan bahwa pesawat udara khususnya pesawat terbang dan helikopter dapat diberikan suatu exceptional status sebagai "benda bergerak" yang diatur secara khusus dan menamakannya dengan movable property sui generic. Selain itu mengenai Lembaga Penjaminan yang tersedia maka selain dengan menggunakan hipotik sesuai dengan ketentuan Pasal 12 UU Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan maka khusus helikopter juga dapat digunakan Fidusia untuk pengikatan jaminannya. Hal ini dapat kita simpulkan dari ketentuan Pasal 3 UU Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Atas praktek penjaminan pesawat terbang dan helikopter dengan menggunakan hipotik yang berlaku saat ini, maka penulis melihat belum menimbulkan suatu hak istimewa yang sebenarnya diharapkan oleh pihak bank selaku kreditur pemegang jaminan. Akhirnya penulis menyarankan kiranya atas pesawat udara khususnya pesawat terbang dan helikopter terkait dengan hipotik sebagai lembaga penjaminan yang dapat digunakan sesuai dengan ketentuan Pasal 12 UU Nomor 12 Tahun 1992 tentang Penerbangan sesegera mungkin dikeluarkan peraturan pemerintah yang diamanatkan yang mengatur tata cara pendaftaran hipotik sebagaimana dimaksud dan atau diberikannya suatu definsi dan penggolongan yang khusus terkait dengan pesawat terbang dan helikopter. Sehingga nantinya akan memberikan suatu kepastian hukum sebagaimana yang diharapkan oleh pihak perbankkan selaku pemegang jaminan.
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T16284
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Leila Gentjana
Abstrak :
Perbankan sebagai lembaga yang mempunyai fungsi dan berperan sebagai sarana memobilisasi dana masyarakat dan menyalurkannya untuk pembiayaan yang produktif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dengan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya dalam bentuk pinjaman. Dalam memberikan pinjaman tersebut mempunyai resiko yang besar bagi bank apabila debitur cidera janji. Untuk menghindari risiko tersebut dalam pemberian kredit, bank meminta jaminan dari debitur untuk pelunasan piutang berupa jaminan pokok dan jaminan tambahan. Jaminan pokok berupa proyek yang dibiayai oleh kredit tersebut, sedangkan jaminan tambahan dapat berupa kebendaan atau jaminan perorangan, dalam hal ini biasanya bank memilih jaminan kebendaan untuk pelunasan hutang debitur. Objek jaminan tambahan yang banyak digunakan oleh bank adalah piutang karena bernilai ekonomis dan bisa dialihkan. Piutang ini dapat dibebankan dengan jaminan gadai, cessie dan jaminan fidusia. Piutang yang dapat dibebankan jaminan fidusia serta kedudukan pemilik piutang pada jaminan fidusia berkaitan dengan penyerahan secara constitutum possessorium. Penelitian dilakukan dengan metode penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis normatif dengan menganalisis bahan-bahan pustaka bidang hukum dan perundang-undangan. Pada dasarnya semua jenis piutang dapat dibebankan dengan jaminan fidusia, namun piutang atas nama yang sering dibebankan dengan jaminan fidusia yang timbul dalam kegiatan perdagangan karena penyerahannya dilaksanakan dengan constitutum possesorium. Kedudukan pemilik piutang pada jaminan fidusia adalah sebagai penerima kuasa dari bank untuk melakukan penagihan pada pihak ketiga dan menyerahkannya pada bank tersebut.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16322
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuliawati
Abstrak :
Lahirnya UU No. 4 tahun 1974 tentang Kesejahteraan Anak dilandasi dengan semangat akan terwujudnya suatu jaminan ternadap kesejahteraan anak Indonesia secara merata dan berkesinambungan. Undang-undang ini selain memberikan kewajiban kepada pemerintah juga memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk berperan serta sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Permasalahannya adalah bagaimana UU No. 4 tahun 1979 mengatur pelaksanaan usaha kesejahteraan anak. Dalam hal kasus, bagaimana PP No. 2 tahun 1988 dipraktekkan ndalam kegiatan Yayasan Al-Sofwa. Penelitian dilakukan dengan penelitian hukum yang bersifat normatif melalui pengkajian data sekunder yang dikumpuian berupa perundang-undangan dan pustaka hukurn perlindungan dan kesejahteraan anak. Hasil penelitian dapat disimpulkan, UU No. 4 tahun 1979 memberikan perlindungan kepada anak yang tidak memiliki orang tua, anak terlantar, anak yang memiliki masalah kelakuan dan anak cacat melalui usaha kesejahteraan anak yang bertujuan untuk menjamin pemenuhan kebutuhan pokok yang meliputi pangan, pemukiman, pendidikan dan kesehatan oieh orang tua dari anak itu sendiri, pemerintan dan masyarakat. Bentuknya meliputi pembinaan, pencegahan dan renabilitasi. Pemerintah melakukan pengaranan, bimbingan, bantuan dan pengawasan terhadap badan atau perorangan yang meiakukan usaha kesejahteraan anak. Yayasan Al-Sofwa melakukan layanan bantuan korban bencana, layanan anak jaianan, pembagian sembako, dhuata mandiri serta meningkatkan kesejahteraan rohani anak melalui program beaslswa bagi anak yang kurang mampu dan telah sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1998. Disarankan agar Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 2002 diaktualisasikan dan disosialisasikan dan Yayasan Alsofwa menambah kegiatan penanganan bagi anak-anak yang melakukan pekerjaan terburuk bagi anak sebagaimana terurai dalam tesis ini.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T16514
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sopiatun
Abstrak :
Sesuai ketentuan Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentanq Perkawinan, perjanjian perkawinan mulai berlaku terhadap pihak ketiga sejak disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, artinya perjanjian perkawinan yang dibuat dihadapan notaris harus dicatat dalam akta perkawinan sebelum atau pada waktu pencatatan perkawinan. Namun ternyata telah terjadi perkembangan di dalam masyarakat, dimana pencatatan perjanjian perkawinan dapat dilakukan sepanjang perkawinan. Hal tersebut ternyata dari adanya pencatatan perjanjian perkawinan sepanjang perkawinan berdasarkan Penetapan Pengadilan Negeri No.15/Pdt.P/2004/Jkt.Sel. Dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan yang bersifat deskriptif yuridis analistis, penulis mencoba untuk melakukan penelitian mengenai pencatatan perjanjian perkawinan yang dilakukan sepanjang perkawinan. Dari hasil penelitian penulis ternyata memang dimungkinkan pencatatan perjanjian perkawinan sepanjang perkawinan berdasarkan Penetapan Pengadilan, namun ternyata pertimbangan hukum yang diberikan oleh Hakim dalam mengabulkan permohonan suami-isteri tersebut tidak jelas ketentuan atau peraturan perundang-undangan mana yang dimaksud, seharusnya Hakim menunjuk pada peraturan penyelenggaraan daftar-daftar catatan sipil untuk golongan Tionghoa yakni Stb. 1917 Nomor 130 yaitu pasal 95 sampai dengan pasal 98. Dimana berdasarkan ketentuan tersebut perbaikan dan penamhahan akta catatan sipil dapat dilakukan dengan Penetapan Pengadilan. Meskipun hal tersebut dimungkinkan, namun seharusnya Hakim dapat mempertimbangkan dari segi waktu, sehingga Hakim tidak nmngabulkan permohonan pencatatan perjanjian perkawinan yang telah berumur selama lima belas tahun, karena hal itu akan merugikan pihak ketiga yang selama ini telah menjadi kreditur suami-isteri tersebut, hal itu berkaitan dengan harta yang dapat ditagih oleh kreditur. Sehubungan dengan hal tersebut diperlukan penyempurnaan peraturan yang telah ada di Kantor Catatan Sipil mengenai batasan waktu perbaikan dan penambahan suatu akta perkawinan tentang adanya perjanjian perkawinan. Hal itu untuk mengantisipasi terjadinya penyelundupan hukum atas peraturan tersebut.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16493
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Basri
Abstrak :
Masalah perkawinan antar pemeluk agama atau perkawinan beda agama merupakan masalah yang sangat rumit, Sebelum berlakunya Undang-undang Perkawinan, yang mengatur mengenai perkawinan beda agama ialah Regeling op de Regemengde Huwelijken, 5. 1898 No. 158 (SHR) namun ketentuan-dari GHR ataupun dari Ordornansi perkawinan Indonesia, Kristen {S.1933 No. 74 tidak mungkin dapat dipakai karena terdapat perbedaan prinsip maupun falsafah yang amat lebar dengan Undang-undang Perkawinan, jika diteliti pasal-pasal dalam Undang-undang perkawinan tidak akan ditemukan satu pasal pun yang yang mengatur secara jelas dan tegas, hal ini menimbulkan perbedaan dalam penafsirannya, bagi sebagian menganggap perkawinan beda agama adalah dilarang, bagi yang lain membolehkan, Pasal 2 Undang-undang perkawinan menentukan bahwa, (1)Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. (2)Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagi yang beragama Islam pencatatan Perkawinan dilaksanakan di Kantor Urusan Agama, sedangkan yang beragama selain Islam dilaksanakan di Kantor Catacan Sipil. Hal tersehut mengharuskan perkawinan dilakukan menurut Negara dan tanpa mengabaikan agamanya akan membingungkan jika perkawinan dilakukan oleh pasangan yang berbeda agama, pasal ini berlaku untuk perkawinan pasangan yang seagama, sehingga dapat dikatakan bahwa pada hakekatnya Undang-undang Perkawinan melarang perkawinan beda agama. Dalam penelitian yuridis normatif ini, analisis yang digunakan ialah dengan cara mengumpulkan data untuk kemudian diolah dan dianalisa sesuai dengan sifat data yang terkumpul, untuk selanjutnya disajikan secara evaluatif analis. Terutama mengenai alasan mengapa Mahkamah Agung dapat mengijinkan perkawinan yang jelas-jelas dilarang oleh agama. Sehingga walau perkawinan dapat dialaksanakan, namun bagaimana dengan keabsahannya. Dengan kata lain perkawinan perkawinan tersebut memenuhi syarat perkawinan perdata, namun belum memenuhi syarat perkawinan agama, seperti yang dimaksud Pasal 2 Undang-undang Perkawinan.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16523
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Tedjo Anggono Budi
Abstrak :
Jaminan Fidusia merupakan salah satu pilihan yang dapat memberi kemudahan kepada para Debitor dengan tidak mengabaikan keamanan atas resiko kredit bagi Kreditur. Guna terjaminannya kepastian hukum bagi Kreditur, Undang Undang No. 42 Tahun 1999 dan peraturan pelaksanaannya memberikan kewajiban kepada Kreditur (Penerima Fidusia) untuk melakukan pendaftaran fidusia yang saat ini dilayani oleh Kantor Pendaftaran Fidusia di Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM masing-masing wilayah yang sebelum tahun 2001 masih dilakukan di Departemen Hukum dan HAM. Dalam masa transisi pemindahan tempat pendaftaran dalam praktek sering terjadi perbedaan kebijakan antara Kantor Pendaftaran Fidusia sebagai pelaksana dengan Departemen Hukum dan HAM sebagai pembuat kebijakan. Kasus yang dianilisis adalah Kasus Perubahan nama Pemberi Fidusia yaitu PT "A" menjadi PT. "B" yang mengakibatkan ditolaknya Permohonan Perubahan Pendaftaran dari PT "X" oleh Kantor Pendaftaran Fidusia "J". Permasalahannya adalah bagaimana perbedaan penafsiran terhadap Undang Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang jaminan Fidusia dan Peraturan Pelaksanaannya oleh Institusi Pemerintah yang terkait dengan pendaftaran, perubahan dan pengalihan Jaminan Fidusia dalam Kasus Pendaftaran Fidusia PT. "X" serta bagaimana Departemen Hukum dan HAM dan Kantor Pendaftaran Fidusia Wilayah "J" menafsiran perubahan nama Perseroan Terbatas dalam hubungannya dengan pendaftaran jaminan fidusia. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode kepustakaan yang didukung dengan penelitian lapangan dalam bentuk observasi dan wawancara. Hasilnya, Kantor Pendaftaran Fidusia "J" menganggap bahwa Pendaftaran Perubahan Nama Pemberi Fidusia tidak memiliki landasan hukum dan menafsirkan Pasal 23 ayat (2) secara tidak utuh sedangkan Departemen Hukum dan HAM menyatakan bahwa perubahan nama yang sesuai prosedur tidak boleh menghambat perubahan pendaftaran jaminan fidusia sebagaimana tertuang pada tesis ini.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16559
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rusmaedi
Abstrak :
Perkembangan ekonomi saat ini disertai meningkatnya penyaluran dana dalam bentuk pemberian fasilitas kredit. Ukuran bagi kreditor menjaga kepentingannya ketika menyalurkan kredit adalah sejauh mana penguasaan jaminan (hak kebendaan) yang diserahkan debitor. Dalam konteks inilah kita membicarakan jaminan fidusia sebagaimana didefinisikan Pasal 1 butir 2 UU Nomor 42/1999. Ketentuan dalam UU Nomor 42/1999 yang tadinya diharapkan dapat memberikan perlindungan, dalam implementasi praktisnya dirasakan tidak berbeda dengan lembaga jaminan fidusia sebelum diatur dengan undang-undang. Pembebanan di bawah tangan, tidak dilakukan pendaftaran dan bentuk pembebanan lain yang tidak diatur oleh UU masih dijumpai dalam praktik sehari-hari. Berkaitan pengecualian prinsip droit de suite benda persediaan, dapat dikritisi jika mengingat benda persediaan terdiri yang satuannya tidak dilengkapi bukti kepemilikan dan yang dilengkapi bukti kepemilikan. Dapatkah pengecualian prinsip droit de suite Pasal 20 UU Nomor 42/1999 berlaku untuk semua jenis benda persediaan?, Mengapa terjadi praktik pembebanan tidak sesuai ketentuan UU Nomor 42/1999? Penelitian kepustakaan dilakukan bersifat yuridis normatif. Untuk menjawab pokok permasalahan, penelitian lebih bersifat eksplanatoris dengan bentuk evaluatif mengarah pada problem finding. Pengecualian prinsip droit de suite berlaku bagi semua agunan yang dinyatakan sebagai benda persediaan. UU tidak mendefinisikan benda apa saja termasuk kategori benda persediaan. Bentuk pembebanan fidusia tidak sesuai UU terjadi karena kreditor merasa kepentingannya terlindungi dengan pemblokiran bukti kepemilikan dan tandatangan kuitansi kosong oleh pemilik jaminan. Karena UU tidak mengatur secara tegas dan tidak antisipatif terhadap kebutuhan praktis maka masih ditemukan akta pembebanan tidak didaftar dan bentuk surat kuasa memberikan jaminan fidusia. UU seharusnya memberi definisi benda apa saja termasuk benda persediaan, diatur hubungan antara instansi yang menangani bukti kepemilikan suatu benda (seperti Kepolisian) dengan Kantor Pendaftaran Fidusia, hendaknya UU lebih tegas menentukan batas waktu pendaftaran dan kemungkinan pengaturan bentuk Surat Kuasa Membebankan Jaminan Fidusia, meniru SKMHT pada lembaga Hak Tanggungan.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T16500
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>