Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 109 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Adrianto Gazali
Abstrak :
Pembiayaan bidang kesehatan di Indonesia belum menjadi prioritas pembangunan, bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga lainnya, alokasi pembiayaan kesehatan termasuk kecil (sekitar $ 2,5 % GDP). Demikian pula halnya dengan Kabupaten Bungo, alokasi anggaran pembangunan (tidak termasuk belanja rutin) APBD Dinas Kesehatan Kabupaten Bungo Tahun 2001, masih terbilang kecil, yakni Rp. 2,7 M atau 6,4 % dari total anggaran pembangunan APBD Kabupaten. Keadaan yang dihadapi saat ini, sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, mempunyai implikasi munculnya para pemain baru (stakeholder) dalam penentuan alokasi dana pembangunan. Anggaran kesehatan daerah sekarang tergantung pada skala prioritas pembangunan daerah yang ditetapkan oleh daerah sendiri yakni Pemerintah Kabupaten dan DPRD. Oleh karena itu sangat diperlukan kemampuan ketenagaan Dinas Kesehatan untuk melakukan advokasi kepada Pemda dan DPRD, serta kemampuan menetapkan skala prioritas program kesehatan. Dalam kaitan dengan rendahnya alokasi dana Dinas Kesehatan Kabupaten Bungo, perlu diketahui bagaimana kesiapan ketenagaan Dinas Kesehatan dalam pembiayaan kesehatan di Kabupaten Bungo Tahun 2002. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi yang mendalam tentang kesiapan input ketenagaan Dinas Kesehatan, proses kegiatan advokasi, penyusunan rencana program dan anggaran serta pengaruh lingkungan eksternal Bappeda dan anggaran legislatife (DPRD) dalam pembiayaan kesehatan di Kabupaten Bungo Tahun 2002. Penelitian ini dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Data diperoleh melalui : (1) Wawancara mendalam sebanyak 7 orang informan dari DPRD, Bappeda, Dinas Kesehatan dan RSUD, (2) Diskusi kelompok terarah, sebanyak dua kelompok yakni kelompok Kepala Puskesmas dan kelompok Kepala Seksi/Sub Bagian Dinas Kesehatan/RSUD, (3) Penelusuran data yang terdokumen. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa tenaga Dinas Kesehatan Kabupaten Bungo siap menghadapi otonomi daerah, walaupun dengan kondisi kualitas tenaga yang ada saat ini masih kurang : Proses penyusunan APBD menunjukkan indikasi berdasarkan bottom up, tetapi kegiatan APBN masih bersifat 'top down. Upaya advokasi yang dilakukan Dinas Kesehatan sudah cukup berhasil yang ditandai dengan adanya peningkatan APBD Dinas Kesehatan dari Rp. 10,7 M (Tahun 2001), menjadi Rp. 13,0 M atau naik 17,36 %. Untuk mengoptimalkan implementasi desentralisasi sistem pelayanan kesehatan dan paradigma sehat, disarankan agar Kepala Dinas mengusulkan kepada Bupati Kabupaten Bungo daftar PNS yang memenuhi syarat untuk dapat mengisi jabatan dua Kepala Sub Dinas dan empat Kepala Seksi yang masih kosong. Serta mengefektifkan Tim Perencanaan Kesehatan sebagai alternatif tidak adanya unit struktural/Sub Dinas Perencanaan dan Penyusunan Program. Daftar bacaan : 38 (1990 - 2001)
The financing of health sector in Indonesia has not yet been the priority in National Development Program. Compared with neighbor nations, the fund allocated for the health program is considered to below (about 2,5 % of GDP). This also happens in Bingo Regency, where the fund allocated for the regional development (excluding the routine expenses) of the Health Bureau from the Regional Allocation Income and Budget (APBD) year 2001 is considered low, i.e. Rp. 2,7 billion or 6,4 % out of the of the total Regional Allocation. Income and Budget. The current situation, in Iine with the implementation of Regional Autonomy Policy, has an implication that there will be new players (stakeholders) in determining the development fund allocation. The Regional Health Allocation will now depend on the priority scale in the regional development measured by each region, in this case, the Regional Government (Pemda) and the Regional House of Representatives (DPRD). Therefore, the ability of the Health Bureau Manpower will be deeply required to show the ad vocation which will in turn up grade the priority scale of the health program. In relation with-the low allocation in the Regional Health Bureau in Bungo, it is certainly needed to learn about the readiness of the Health Bureau Manpower in this financing matter in year 2002. The objective of the study is to acquire important and necessary information regarding the readiness of the manpower in the Health Bureau, the ad vocation, the planning and budgeting of the program, and the Health Bureau, the ad vocation, the Development Agency (Bappeda), and the Legislative Allocation (Regional House of Representatives) in the financing of the Health Program in Bungo Regency in year 2002. This study is qualitative. The data are obtained from, I) Intensive interview towards 7 (seven) informants from the Regional House of Representatives (DPRD), Regional Development Agency (Bappeda), Health Bureau, and Regional General Hospital (RSUD), 2) Guided Group Discussion, among (a) The Heads of Public Health Centers, (b) The Division Heads of Health Bureau/Regional General Hospital (RSUD), 3) Other documented data. The result the study reveals that in spite of the inadequate quality of the available manpower at present time; the manpower of the Health Bureau of Bungo Regency is ready for the implementation of Regional Autonomy Policy. Bottom up process is taking place in the designing process of Regional Allocation of Income and Budget (APBD), however, the implementation of it is still top down. The ad vocation performed by the Health Bureau is quite well done. It can be seen from the allocation raise by 17,36 % from Rp. 10,7 billion in year 2001 to Rp. 13,0 billion in year 2002, To optimize the implementation of decentralization system of the health service and healthy paradigm, it is suggested that the Heat of the Bureau propose to the regent to provide a list of qualified civil servants, from which to be selected two candidates to fill the available two positions of the Heat of Sub-Bureaus and four positions of the Heads of Divisions. It is also suggested that the Health Planning Team to be effectuated as an alternative for the absence of the structural Sub-Bureau of Health Program Planning and Designing. Bibliography : 38 (x990 - 2001)
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T2000
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Tajudin
Abstrak :
Penetapan tarif Unit Kamar Bedah (UKB) di Rumah Sakit Islam Jakarta Timur (RSIJT) tanpa menggunakan perhitungan biaya satuan yang benar dapat mengakibatkan kerugian pihak Rumah Sakit. Pada unit pelayanan yang produknya beragam (heterogen) seperti UKB perlu dilakukan analisis biaya di tiap golongan karena pemakaian yang bervariasi untuk bahan medis, alat kesehatan dan lama operasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran penetapan tarif yang lebih realistis berdasarkan biaya satuan di UKB. Penelitian ini merupakan penelitian operasional yang bersifat deslaiptif. Metode analisis biaya yang digunakan adalah dengan memberikan pembobotan (relative value unit) pada setiap golongan operasi yang dibagi menjadi 4 kelompok yaitu golongan operasi kecil, sedang, besar dan khusus. Untuk setiap kelompok dipilih satu jenis operasi yang dapat mewakili. Hasil penelitian menunjukkan bahwa biaya satuan di masing-masing golongan operasi adalah Rp.770.830 untuk operasi kecil, Rp.835.304 untuk operasi sedang, Rp.1.035.938 untuk operasi besar dan Rp.1.651.445 untuk golongan operasi khusus. Penelitian ini juga membuat simulasi tarif yang dihitung menurut kelas perawatan. Hasil simulasi tarif bila memperhitungkan semua komponen biaya (full cost) ternyata lebih tinggi dari tarif yang berlaku sekarang. Sebagai contoh untuk operasi kecil di kelas VIP sebesar Rp.1.510.827 sedangkan tarif yang saat ini berlaku adalah Rp.850.000. Dibanding tarif Rumah Sakit pesaing, tarif di RSUT lebih rendah. Akhirnya penelitian ini ditutup dengan saran agar RSIJT hendaknya melakukan evaluasi terhadap tarif operasi yang berlaku saat ini. ......Analysis of Price Setting of Surgical Unit at Rumah Sakit Islam Jakarta-East Jakarta in the Year 2000Price setting of surgery unit without computation of unit cost will lead loss to the hospital. Therefore, in a service unit producing various products needs to be supported by proper cost analysis. The study was aimed to get more realistic description of price computation and price setting in a Surgical Unit. This research was a descriptive operational research using relative value unit technique as method of unit cost computation for every group of surgery, which divided into 4 (four) groups i.e. minor surgery, middle surgery, major surgery, and special surgery. For each surgery group was picked one of surgeries that represented its group. The finding of this research showed that unit cost of every group of surgery was as follows: minor surgery was Rp 770.830,-, middle surgery was Rp 835.304,-, major surgery was Rp 1.035.938,-, and special surgery was Rp 1.651.445,-. This study also conducted tariff simulation that computed according to type of inpatient class. The finding of this simulation which including full cost revealed that tariff for every group of surgery was higher than the existing tariff in the hospital. For example, the tariff for minor surgery in VIP class was Rp 1.510.827,-while the existing tariff was Rp 850.000,-. In comparison to the tariff applied in the hospital's competitors, the tariff applied in Rumah Sakit Islam Jakarta was lower. Based on the above-mentioned findings, it is suggested to Rumah Sakit Islam Jakarta to conduct the evaluation for surgery tariff.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2002
T 9269
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bagus Trihandoyo
Abstrak :
Tingkat pemulihan biaya pada unit-unit produksi di RSUD sangat bervariasi yang dipengaruhi oleh masing masing tingkat pendapatannya. Diharapkan konsep subsidi silang dapat berjalan guna pemerataan pelayanan kesehatan. Penelitian ini merupakan penelitian kasus yang dilakukan di 2 RSUD di Propinsi Jawa Tengah (RSUD Sragen dan RSUD Wonogiri). Pengumpulan data dilakukan dengan melihat data yang sudah ada hasil dari penelitian penulis pada tahun 2000, dan untuk data keuangan tahun 2001 menggunakan penyesuaian (adjustment) dengan indeks harga konsumen dari data biaya tahun 2000. Perhitungan biaya dilakukan dengan dengan 2 Cara yaitu secara full cost maupun secara direct cost. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan unit produksi yang tertinggi di RSUD Sragen pada tahun 2000 adalah rawat inap dan terendah elektro diagnostik, sedangkan tahun 2001 pendapatan tertinggi rawat inap dan terendah radiologi. Pada RSUD Wonogiri pada tahun 2000 pendapatan tertinggi rawat inap dan terendah diagnostik, untuk tahun 2001 pendapatan tertinggi juga rawat inap dan terendah kamar operasi (OK). Biaya total unit produksi pada tahun 2000 berdasarkan perhitungan full cost di RSUD Sragen tertinggi rawat inap dan terendah adalah fisioterapi, untuk tahun 2001 biaya total unit produksi tertinggi juga rawat inap dan terendah fisioterapi. Sedangkan biaya total unit produksi tahun 2000 di RSUD Wonogiri yang tertinggi adalah rawat inap dan terendah adalah tindakan diagnotik, tahun 2001 tertinggi rawat inap dan terendah diagnostik Jika perhitungan berdasarkan direct cost, biaya total unit produksi tahun 2000 di RSUD Wonogiri tertinggi rawat inap dan terendah elektro diagnostik, tahun 2001 tertinggi rawat inap dan terendah elektro diagnostik. RSUD Wonogiri tahun 2000 tertinggi rawat inap dan terendah diagnostik, tahun 2001 tertinggi juga rawat inap terendah diagnostik CRR RSUD Sragen tahun 2000 dan 2001 dihitung secara full cost, hanya satu unit produksi yang CRR > 100%, CRR hasil retribusi RSUD Sragen sebesar 35.54% dan 27.81% jika dihitung direct cost ada lima unit produksi yang CRR > 100%, CRR hasil retribusi RSUD Sragen sebesar 70.75% dan 54.31%. CRR RSUD Wonogiri tahun 2000 dan 2001 dihitung secara full cost, ada dua unit produksi yang CRR > 100%, CRR hasil retribusi RSUD Wonogiri sebesar 35.27% dan 29.95% jika dihitung direct cost ada di unit produksi yang CRR > 100%, CRR hasil retribusi RSUD Wonogiri sebesar 56.98% dan 47.09%. Dan perhitungan SHU unit produksi tahun 2000 dan 2001 dihitung secara full cost pads RSUD Sragen dan RSUD Wonogiri, hampir tidak ada unit produksi mempunyai SHU positif sehingga tidak terjadi subsidi silang. Jika dihitung secara direct cost ada beberapa unit produksi yang mempunyai SHU positif, jadi masih terjadi subsidi silang antar unit produksi. Namun SHU total dari hasil retribusi di kedua RSUD tersebut masih teriihat negatif. Terlihat adanya perbedaan besaran subsidi silang antara kedua RSUD pada tahun 2000 dan 2001, dimana unit produksi yang CRR >100% (SHU positif) berbeda antara RSUD Sragen dan RSUD Wonogiri. RSUD Sragen sebagian besar (5 unit produksi) yang mempunyai SHU positif, sedangkan di RSUD Wonogiri ada 2 unit produksi yang mempunyai SHU positif yaitu unit produksi laboratorium dan radiologi.
Analysis Of Cross-Subsidy for Production Unit at Sragen District Hospital and Wonogiri District Hospital, 2000-2001Cost Recovery Rate (CRR) for production unit at District Hospital are various influenced by each income level to expect establishing cross-subsidy concept for equity of health care service. This case research performed at 2 District Hospital in Central Java Province (Sragen District Hospital and Wonogiri District Hospital). The data is collected by observing available research result of writer in 2000 and the financial data collection 2001 by applies adjustment with Consumption Price Index (CPI) of budget 2000. There are 2 methods of cost calculation namely full cost and direct cost. The research result shows that the highest production unit income at Sragen District Hospital 2000 is from hospital wards and the lowest electrical diagnostic; in 2001 the highest production unit income is from hospital wards and the lowest electrical diagnostic. At Wonogiri District Hospital 2000 the highest production unit income is from hospital wards and the lowest electrical diagnostic, in 2001 the highest also from hospital wards and the lowest operation room (OK). Full cost calculation defined that biggest total cost at production unit of year 2000 at Sragen District Hospital is hospital ward and the lowest is physiotherapy, in 2001 the biggest and the lowest also from hospital ward and physiotherapy. At Wonogiri District Hospital the biggest total cost at production unit of year 2000 is hospital ward and the lowest electro diagnostic, in 2001 the biggest and the lowest are also from hospital ward and electro diagnostic. If calculation with direct cost the biggest and the lowest total cost at production unit at Sragen District Hospital in 2000 are hospital ward and electro diagnostic, in 2001 the biggest and the lowest also from hospital ward and electro diagnostic. At Wonogiri District Hospital in 2000 the biggest is hospital ward and the lowest electro diagnostic, in 2001 the biggest and the lowest also from hospital ward and electro diagnostic CRR at Sragen District Hospital in 2000 and 2001 full cost calculation define that only one production unit having CRR > 100%, CRR percentage of retribution at Sragen District Hospital 35.54% and 27.81%, and direct cost calculation define that there are 5 production units having CRR > 100%, CRR percentage of retribution at Sragen District Hospital 7035% and 54.31%. CRR at Wonogiri District Hospital full cost calculation define that there are 2 units production unit having CRR > 100%, CRR percentage of retribution at Wonogiri District Hospital 35.27% and 29.95%, and direct cost calculation define that there are 2 unit production unit having CRR > 100%, CRR percentage of retribution at Wonogiri District Hospital 56.98% and 47.09%. Full cost calculation business yield remaining (SHU) of production unit at Sragen District Hospital and Wonogiri District Hospital in 2000 and 2001, production unit almost never have positive SHU more ever cross-subsidy was not establish there. Meanwhile direct cost calculation define that there are some units having positive S}JU where such cross-subsidy is establish among production units. However total SHU from total retribution of both District Hospital shows negative result. There is define difference cross-subsidy of both District Hospital of year 2000 and 2001, the production unit having CRR > 100% (positive SHU) between Sragen District Hospital and Wonogiri District Hospital was difference. Almost the production unit at Sragen District Hospital having positive SHU and only 2 production units at Wonogiri District Hospital having positive SHU there are Iaboratory and radiology. Reference: 24 (1980 - 2001)
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T 9446
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Waluyo
Abstrak :
Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap orang sehingga dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Rumah Sakit sebagai sarana pelayanan kesehatan, meskipun dengan dana terbatas dituntut tetap survive dan siap melayani masyarakat umum dan peserta Askes. Untuk menjaga kelangsungan pelayanan Rumah Sakit menyesuaikan tarif yang harus dibayar oleh pasien. Tarif pasien Askes lebih rendah dari tarif pasien umum. Data RS Persahabatan menunjukkan bahwa pendapatan sesuai tarif umum tahun 2001 meningkat cukup bermakna sebesar 52% dari tahun 2000, pendapatan terbesar dari Rawat Inap yang meningkat 39%. Meskipun pendapatan Rawat Inap meningkat, namun terdapat kesenjangan dimana pendapatan yang diterima (sesuai tarif Askes) hanya 32%. Hal ini terjadi akibat tarif pasien Askes lebih rendah dari tarif pasien umum. Akibat kesenjangan tersebut Rumah Sakit menanggung subsidi cukup besar, sehingga dapat mengganggu likuiditas dan terjadi deficit anggaran Rumah Sakit. Untuk itu perlu dikaji lebih lanjut perhitungan pendapatan berdasarkan tarif Askes. Hal inilah yang melatarbelakangi penelitian ini. Penelitian ini bertujuan mendapatkan gambaran seberapa besar kesenjangan pendapatan dan besarnya subsidi sesuai hasil perhitungan kembali serta distribusinya pada Unit Instalasi Rawat inap, akibat perbedaan tarif Askes dengan tarif umum dan bagaimana kebijakan penetapan tarif dimana yang akan datang. Penelitian ini bersifat kualitatif dengan cara observasi dan evaluasi dengan melakukan estimasi perhitungan data sekunder dan diskusi/wawancara. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan (1) terdapat perbedaan hasil (output) antara perhitungan pendapatan dan subsidi oleh rumah sakit, dengan hasil perhitungan yang dilakukan pada penelitian ini, dimana kesenjangan menurut Rumah Sakit sebesar 68%, sedangkan menurut hasil perhitungan kembali sebesar 54%; (2) terdapat pasien Askes yang menggunakan kelas perawatan melebihi haknya tanpa membayar selisih tarif secara penuh, akibatnya Rumah Sakit menanggung biaya bagi pasien tersebut, dan seharusnya Rumah Sakit membukukannya sebagai beban pasien bukan Subsidi Askes; (3) subsidi bagi pasien Askes terjadi secara progresif yaitu makin tinggi golongan PNS dan Penerima Pensiun makin besar subsidi yang dinikmati; atau subsidi Rumah Sakit saat ini dinikmati oleh siapapun yang dirawat, baik pasien miskin maupun mampu; (4) kelemahan pembukuan terdapat pada sistem akuntansi, dimana rekening (account) yang ada belum menjangkau jenis tindakan yang jumlahnya banyak (comprehensive), seperti tindakan pelayanan pasien Askes belum seluruhnya dibukukan dalam akuntansi Rumah Sakit; (5) Pola tarif RS Perjam sampai saat ini belum ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Saran yang dapat diberikan adalah agar Rumah Sakit dapat mengembangkan jenis pelayanan luar paket, karena tarifnya mendekati tarif Rumah Sakit. Secara aktif memberikan masukan kepada PT. Askes agar dilakukan peninjauan kembali tarif paket. Pengolahan dan pencatatan transaksi keuangan agar dilakukan secara terintegrasi antara Bagian Keuangan dan Bagian Akuntansi sehingga laporan keuangan dapat diuji kelayakannya dan wajar. Selanjutnya perlu dilakukan percepatan penagihan (klaim) biaya pelayanan kepada PT. Askes, karena akan membantu likuiditas Rumah Sakit. Depkes perlu segera menetapkan Pola Tarif Rumah Sakit Perjam dan mengupayakan penambahan premi peserta Askes.
Analysis of Service Subsidies to Obligatory Participating Patients in PT. (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia at the In-Patient Installation Unit of Persahabatan Hospital Jakarta Year 2001 Health development aims to improve individual awareness, willingness and ability to lead a healthy-life in order achieve an optimum status of health. Hospital as the facility of health care service is required, although in limited funds, to survive and get ready to serve general public and members of Askes. To keep it survive, the hospital should adjust the rate to be paid by patients. Well, the rate charged on the Askes-member patients is usually lower than that on general patients. Data collected from the Persahabatan Hospital of common rate-based income in 2001 show that the income raised significantly on to 52% from that in the previous year (2000), and the largest income is drawn from In-Patient service, raised 39%. Although In-Patient Income raised, less difference still occurred since the income (according to the rate of Askes) is only 32%. This is because lower rate of Askes-member patients than that of general patient. Such a thing makes the Hospital bear relatively larger subsidies and thus troubles its liquidity and leads to budget-deficit. Therefore, further review of the income needs an Askes-based estimation. It is this which underlies the research. This research aims at revealing the picture of difference between income and amount of subsidies according to its re-estimation and distribution at the In-Patient Installation Unit due to the different rate of Askes from that of general patient and considering rate policies in the future. This research is qualitative in manner carried out through observation and evaluation by reviewing secondary data estimates and discussion/interview. From results of research, one may come to the following conclusions that (1) difference of output exists between income and subsidy estimates by the hospital party and that in this research; 68% in the former and 54% in the latter, respectively (2) Askes patients using service facilities extend their rights without paying any full different rate. It becomes, therefore, a subsidy charged on the Hospital whereas the hospital should, otherwise, impose this charge on the patients rather than Askes subsidies, (3) Subsidy for Askes patients occurs progressively, viz., the higher level of Civil Servant and Pension receiver, the greater the subsidy he or she enjoys and that it draws a conclusion that hospital subsidy are currently received by any patient, be poor or able patients, (4) weak book-keeping entries occur in the accounting system in which the existing account does not yet record comprehensively such as Askes-patient care service. Rate schemes for Public-Owned Hospital have not been determined by the Minister for Health. A suggestion that may be proposed is to get the Hospital develop services included in the fist of external package, since rate of the Askes approaches that of the Hospital. Another suggestion is to provide active input to PT. Askes in order to have rate of package reviewed. Financial data processing and account should be integrated between Finance Department and Accounting Department and therefore financial statement is allowable to test its reasonable feasibility. Further, claim for service costs should be accelerated to PT. Askes for it would help the hospital liquidity. The Department of Health should really determine the Rate Schemes for Public-Owned Hospital and exert to increase premium for Askes-members.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2002
T9914
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Henny Chaerani
Abstrak :
Penelitian ini dilatar belakangi oleh adanya perubahan lingkungan rumah sakit di Indonesia yaitu globalisasi dan desentralisasi. Kebijakan desentralisai mempengaruhi kebijakan kesehatan termasuk rumah sakit di daerah terutama menyangkut pembiayaan. Selama ini masalah pembiayan tergantung pada kebijakan pemerintah pusat saat ini beralih menjadi kewenangan pemerintah daerah dan tergantung kepada sumber dana yang tersedia di daerah padahal dana yang tersedia terbatas. Hal ini menyebabkan rumah sakit dituntut meningkatkan kemampuannya untuk mendapatkan sumber pembiayaan baik dari pemerintah maupun non pemerintah atau masyarakat. Pelayanan Rawat Inap di Rumah Sakit Umum Ajjappannge Soppeng sebagai rumah sakit daerah pada tahun 2002 telah mencapai cakupan pelayanan cukup tinggi dengan BOR 70%. Namun pendapatan dari retribusi pelayanan masih rendah. Hal ini disebabkan tarif pelayanan masih rendah juga belum dihitung berdasarkan biaya satuan dan analisa biaya. Maka untuk meningkatkan pendapatan unit rawat inap dari retribusi perlu melakukan analisis tarif rawat inap untuk mobilisasi dana dari masyarakat melalui penyesuaian pola tarif. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran tarif rawat inap yang ditetapkan berdasarkan biaya satuan pada masing-masing kelas perawatan di RSUA Soppeng. Termasuk didalamnya untuk mengetahui total biaya, cost recovery rate (CRR), kebijakan maupun kemampuan membayar dari masyarakat sebagai dasar penetapan tarif. Jenis penelitian ini merupakan penelitian studi kasus dengan analisis biaya rawat inap menggunakan metode simple distribution di RSUA Soppeng tahun anggaran 2001. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tarif yang belaku pada kelas I, II dan III kecuali VIP berdasarkan Perda Kabupaten Soppeng no 4 tahun 1998 masih di bawah. biaya satuan aktual sebesar Rp 51.696,- demikian pula biaya satuan normatif sebesar Rp 34.975,31. Hasil pada simulasi tarif dapat meningkatkan CRR dari 25 % manjadi 44,7 %, terjadi peningkatan mobilisasi dana untuk menutupi sebagian biaya pelayanan unit rawat inap di Rumah Sakit Ajjappannge Soppeng. Peneliti menyarankan untuk dilakukan penyesuaian tarif pelayanan rawat inap yang dibuat berdasarkan biaya satuan, tingkat pemulihan biaya, kebijakan dan kemampuan membayar masyarakat.
Analysis of Inpatient Tariff at General Hospital of Ajjappannge Soppeng, South Sulawesi, 2001. This research was initiated due to environmental change in the hospital setting in Indonesia that is globalization and decentralization. Decentralization policy affects health care and hospital policies at district government, especially on the issue of financing. Under previous mechanism, the central government subsidized directly to the district hospitals. After the implementation of autonomy, financing of district hospitals has shifted to the local government through Dana Alokasi Umum (DAU) whereas that financing source is limited. As a consequence, has to improve their capability to seek for additional of financing both from government and public sector. Utilization rate of inpatient care units of General Hospital of Ajjappannge Soppeng South Sulawesi was quite high which showed in 2000 where Bed Occupancy Rate (BOR) indicate 70 %, although the revenue from retribution inpatient care units was still low. One potential cause is due to low tariff that is set by the local government; this tariff is not based on the unit cost analysis. Resource mobilization should be explore from both public and government sector. One of the attempts is to adjust tariff that is base on unit cost. The research aim to estimate inpatient tariff that state base on unit cost in each class ward at inpatient care units at General Hospital of Ajjappannge Soppeng. Include the analysis to estimate total cost, cost recovery rate (CRR), tariff policy, and community ability to pay (ATP) as the basis in the deciding the tariff. This is a case study; using cost analysis of in patient ward with simple distribution method at General Hospital of Ajjappannge Soppeng used the year of budget 2001. The result of this study showed that the tariff of inpatient care in each class (The 151, 2nd and 3rd class except VIP class) ward by Perda Kabupaten Soppeng No 4 Tahun 1998 is lower than units cost services, Actual Unit Cost is Rp 51.696; and Normative Unit Cost is Rp 34.975,31. The tariff pattern on simulation of inpatient care, would improvement CRR from 25,5 % to 44,7 %, it means that resource mobilization may increase financing in the inpatient unit. Finally the researcher suggests the inpatient care tariff which stated base on unit cost, cost recovery, policy and ability to pay.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2002
T 10655
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
A. Heri Iswanto
Abstrak :
Rumah sakit harus berorientasi pada kemandirian pembiayaannya untuk dapat bertahan dan berkembang. Seringkali terjadi bahwa pendapatan rumah sakit belum dapat memenuhi kebutuhan keuangannya. Hal ini dikarenakan rumah sakit kurang bisa menciptakan produk / jasa yang diinginkan konsumennya atau karena harga jual dari produk / jasa telah minimal. Rumah sakit Aneka Tambang - Kijang merupakan 1 (satu) dari 4 (empat) rumah sakit milik PT. Aneka Tambang Tbk. Rumah sakit ini menjadi Unit Swa Kelola berdasarkan Nota Dinas Direktur Utama PT. ANTAM Tbk No.161D/020/1996. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang sejauh mana potensi kemandirian keuangan RSAT-K. Dengan menggunakan penelitian deskriptif analitik, studi ini melakukan analisis biaya, analisis laporan keuangan dan analisis rasio keuangan untuk tahun anggaran 2000, 2001, dan 2002. Hasil penelitian menunjukkan bahwa unit produksi instalasi farmasi (perlengkapan kesehatan) memberikan kontribusi terbesar di rumah sakit, yaitu sebesar Rp. 3.403.594.168 atau (71,5%). Pendapatan dari penjualan obat terbesar didapat dari perusahaan (95.8%) dan sisanya bersumber dari pihak ketiga (4,2%). Biaya satuan aktual terbesar adalah unit kamar operasi sebesar Rp. 7.620.818 dan normatifnya sebesar Rp. 5.198.317 sedangkan tarifnya hanya Rp. 3.500.000. Unit produksi yang sudah mandiri adalah instalasi farmasi (perlengkapan kesehatan) dengan nilai CRR sebesar 123,28%. Hasil analisis laporan keuangan tahun 2002 menunjukkan komponen aktiva lancar terbesar adalah persediaan obat sebesar Rp. 302.274.554 atau 43,4% sedangkan 91,34% pasiva bersumber dari modal. Tahun 2001 menunjukkan komponen aktiva lancar terbesar adalah persediaan obat sebesar Rp. 264.656.470 atau 61,6% sedangkan 95,9% pasiva bersumber dari modal. Tahun 2000 menunjukkan komponen aktiva lancar terbesar adalah persediaan obat sebesar Rp. 201.275.675 atau 83,1% sedangkan 98,9% pasiva bersumber dari modal. Hasil perhitungan rasio keuangan menunjukkan Rasio Likuiditas yang semakin turun dari tahun ketahun dari 10,23 pada tahun 2000 menjadi 1,98 pada tahun 2002, Rasio Leverage semakin meningkat dari tahun ketahun dari 1,01 pada tahun 2000 menjadi 8,66 tahun 2002, Rasio Aktivitas juga semakin meningkat dari 0,89 pada tahun 2000 menjadi 1,42 tahun 2002 begitu juga halnya dengan Rasio Profitability dari - 41,34% pada tahun 2000 menjadi --16,09 % tahun 2002. Atas dasar hasil penelitian ini, potensi RS. Aneka Tambang - Kijang untuk mandiri bisa, namun harus dengan melakukan berbagai upaya seperti melakukan pengontrolan dalam pembelian investasi, menciptakan produk yang bermutu, memperbaiki prosedur yang ada dan melakukan kegiatan pemasaran yang lebih luas, agar dapat menjaring pasar yang dapat meningkatkan penerimaan.
Financial Independency Analysis of Aneka Tambang - Kijang Hospital Year 2002 in Preparation of Self Management Post Bauxite MiningHospital must be oriented to its financial independency to survive and developed. Often happened, that hospital revenue could not fulfill it financial needs. This is due to the lack of creativity of it to provide services that demanded by it customers or the price of the service itself has minimized. Aneka Tambang - Kijang Hospital is one of four hospitals owned by PT. Aneka Tambang Tbk. This hospital has now become self-managed unit based on Nota Dinas Direktur Utama PT. ANTAM Tbk. No.16/D/020/1996. This research objective is to obtain information of the potential limit of RSATK financial independency. The research method of Descriptive Analytical is best suited method to study cost analysis, financial report analysis, and financial ratio analysis from the year period of 2000, 2001, and 2002. The result of this research indicates that pharmacy installation production unit (health equipment) had provided the biggest contribution for the hospital the amount of Rp. 3.403.594.168 or 71.5%. The biggest hospital revenue came from the medicine sales by the company --- PT. Aneka Tambang Tbk -- (95.8%) and the other came from the third party (4.2%). The biggest actual unit cost is surgery unit that costly Rp.7.620.818,- and normative Rp.5.198.317 with its tariff only Rp.3.500.000,-. The production unit that already independent is pharmacy installation (health equipment) with 123.28% of CRR rate. The financial report of the year 2002 indicates the biggest liquid asset component of the hospital is the medicines stock which is Rp. 302.274.554 or 43.4% while its 91.34% fixed assets with the hospital capital as it sources. In the year of 200I indicates that the biggest liquid asset components of the hospital is the medicines stocks which is Rp_264.656.470,- or 61.6% while its 95.9% fixed assets came from the hospital capital. And in the year 2000, the biggest liquid asset component is the medicines stocks which are Rp.201.275.675,- or 83.1% fixed assets came from the hospital capita. The calculation result of financial ratio indicates that liquidity ratio decreasing within years, start from 10,23 in the year of 2000 decrease into 1.98 in the year of 2002. Leverage ratio increasing within year from 1.01 in the year 2000 increase into 8.66 in the year 2002. Activity ratio also increasing within years, start from 0.89 in the year 2000 increase into 1.42 in the year 2002, the same thing also happened to Profitability ratio from (41.34%) increase into (16.69%) the year 2000 until 2002. Based on this result, Aneka Tambang - Kijang Hospital is potential to be independent, somehow it has to do significant actions such as controlling in purchasing for investment, providing best services, renewing the current operational procedures, and intensify marketing activities to gain more customers which generate hospital revenues.
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T 10921
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Desiriana Dinardianti
Abstrak :
Rumah sakit merupakan suatu usaha pelayanan kesehatan yang perlu dikelola secara profesional. Dengan perubahan status rumah sakit pemerintah menjadi unit swadana, saat ini rumah sakit pemerintah tidak lagi dipandang sebagai suatu lembaga sosial melainkan sudah beralih menjadi lembaga sosio ekonomi. Dengan demikian rumah sakit pemerintah juga harus dikelola secara efektif dan efisien. Agar dapat mengelola keuangan secara efektif dan efisien diperlukan adanya informasi akuntansi yang akurat. Oleh karena itu sebagai syarat menjadi unit swadana harus menggunakan sistem akuntansi accrual basis dalam pengelolaan keuangan rupiah sakit. Rumah Sakit Umum Tangerang sudah menerapkan sistem akuntansi accrual basis untuk akuntansi pendapatan dan biaya rumah sakit. Hal ini didukung oleh pendapat dari Wakil Direktur Umum dan Keuangann. Sejauh ini Rumah Sakit Umum Tangerang belum pemah melakukan evaluasi terhadap jalannnya pelaksanaan sistem akuntansi seeara accrual. Untuk mengetahui sudah seberapa jauh pelaksanaan sistem accrual basis di Rumah Sakit Umum Tangerang perlu ditelaah secara mendalam. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penatalaksanaan sistem akuntansi pendapatan dan biaya di Rumah Sakit Umum Tangerang, setelah lima tahun menjadi unit swadana daerah. Metodologi yang dipakai adalah metode telaah data dan observasi langsung. Data diperoleh melalui wawancara mendalam, menggunakan check list serta penelusuran dokumen. Kemudian dilakukan analisis deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Dari hasil pcnelitian dapat disimpulkan bahwa sistem akuntansi accrual basis mulai diaplikasikan untuk akuntansi pendapatan dan biaya di Rumah Sakit Umum Tangerang ,walaupun masih dalam tahap awal. Masih banyak dijumpai berbagai kendala dalam pelaksanaannya, sehingga masih perlu terus menerus disempurnakan. Sementara itu untuk pertanggung jawaban keuangan rumah sakit ke pemerintah daerah masih menggunakan sistem akuntansi cash basis . Hal ini mengakibatkan sampai saat ini rumah sakit menggunakan dua sistem akuntansi dalam pengelolaan keuangannya. Sebagai saran untuk penyempumaan sistem akuntansi pendapatan dan biaya di Rumah Sakit Tangerang adalah dengan membuat pedoman tertulis yang teknis operasional untuk akuntansi pendapatan dan biaya sehingga dapat dijadikan acuan bagi staf akuntansi dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Masih perlu disosialisaikan kembali akan pentingnya sistem akuntansi rumah sakit kepada seluruh staf di rumah sakit agar dapat dibuat suatu komitmen secara menyeluruh untuk menjalankan sistem akuntansi ini. Selain itu juga perlu dilakukan pendekatan kepada pemerintah daerah untuk membuat kebijakan pengelolaan keuangan rumah sakit dengan menggunakan sistem akuntansi accrual basis, seperti yang dituangkan dalam Keputusan Menteri Dalam Negri No : 92 tahun 1993, sehingga dapat membantu rumah sakit untuk berkonsentrasi pada satu sistem akuntansi dalam pengelolaan keuangannya. Kepustakaan : 17 (1989-2000)
A hospital constitutes a health service that should be managed professionally. With the change of status of government hospitals into self-funding units, nowadays a government hospital is not any more considered as a social institute, but has changed into a socio-economic institute. Thus government hospitals should also be managed effectively and efficiently. In order to operate its finances in an effective and efficient way, accurate accounting information is needed Therefore as a condition to become a self-funding unit, an accrual basis accounting system should he used in the financial management of a hospital. The Tangerang General Hospital has applied an accrual basis accounting system for the hospital's accounting of income and expenditures. This is supported by the opinion of the Vice Director for General Matters and Finance. So far the Tangerang General Hospital has never carried out any evaluation on the course of the implementation of the accounting system in a accrual way. To know in how far the accrual basis system has been implemented an in-depth study is needed. This research has the aim to evaluate the implementation of the accounting system for income and expenditures at the Tangerang General Hospital, after it has become a regional self-funding unit for five years. The methodology used is that of data examination and direct observation. The data are obtained through in-depth interviews, by using checklists and document investigation. Afterwards a descriptive analysis was made with a qualitative approach. From the results of research the conclusion could be made that the accrual basis accounting system has been applied for the accounting of income and expenditures at the Tangerang General Hospital, although still at a beginning stage. Many obstructions are still found in its implementation, so that it still needs continuous completion. Meanwhile for the hospital's financial responsibility to the regional government the cash basis accounting system is still in use Therefore until now the hospital still uses a dual accounting system in its financial management. As a proposal for the perfection of the accounting system for income and expenditures at the Tangerang Hospital a technical operational written guide shoal be compiled for income and expenditure accounting, as reference for the accounting staff in carrying out their task and function. The importance of the accounting system for the hospital should be resocialized to the entire hospital staff in order that a comprehensive commitment can be made to implement this accounting system. Besides, the regional government should be approached to form a policy for financial hospital management by using the accrual basis accounting system, as cast in the Decree of the Minister for Home Affairs year 1992 year 1993, in order to assist the hospital in concentrating on one accounting system in its financial management. Bibliography: 17 (1989 - 2000)
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T1518
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Aziz
Abstrak :
Era globalisasi yang dimulai dengan AFTA ikut merubah paradigma institusi kesehatan. Hal tersebut tercermin dari kebijakan pemerintah meregulasi 13 Rumah Sakit Umum Pusat menjadi Rumah Sakit Perjan, salah satunya adalah RSMH. Regulasi ini menyebabkan pengurangan subsidi-subsidi dari pemerintah. Oleh karena itu, RSMH harus dapat mengelola sumber daya yang dimiliki sebaik-baiknya. Salah satu sumber daya yang harus dikelola dan dimanfaatkan secara efeklif dan efisien adalah alat-alat medis.

Instalasi radiologi merupakan salah satu instalasi yang banyak memiliki peralatan medis dengan harga yang relatif mahal. Tingkat pemanfaatan alat-alat ini akan berpengaruh pada biaya-biaya kesehatan secara umum.

Pihak Manajemen RSMH sedang mempertimbangkan untuk menginvestasikan sebagian dana yang bersumber dart pinjaman ke instalasi radiologi untuk pembelian pesawat diagnostik Baru. Namun perlu analisis mengenai pemanfaatan pesawat diagnostik yang ada di Instalasi Radiologi RSMH agar dapat diketahui sejauhmana kapasitas yang masih tersedia, dengan demikian pembelian pesawat diagnostik baru dapat lebih terarah kepada kebutuhan instalasi itu sendiri.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran pemanfaatan pesawat diagnostik di lnstalasi Radiologi RSMH pada tahun 2002 serta kebutuhan penambahan pesawat diagnostik.

Metode penelitian yang digunakan bersifat deskriptif analitik dengan analisis kualitatif dan kuantitatif. Penelitian ini dilaksanakan selama 2 bulan dari minggu ke-3 bulan April sampai dengan minggu ke-3 bulan Juni di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Mohammad Hoesin Palembang.

Hasil penelitian ini memberikan gambaran bahwa pemanfaatan pesawat diagnostik masih dibawah kapasitas optimal. Pesawat konvensional hanya dimanfaatkan sebesar 49,86% dari kapasitas maksimal pada jam kerja rutin, pesawat CT-Scan hanya dimanfaatkan sebesar 26,66% dari kapasitas maksimal pada jam kerja rutin dan pesawat panoramic hanya dimanfaatkan sebesar 5,39% dari kapasitas maksimal pada jam kerja rutin. Dari hasil analisis menunjukkan bahwa pemanfaatan yang tidak optimal disebabkan adimisi RS secara keseluruhan memang rendah. Temuan-temuan dilapangan juga menunjukkan bahwa instalasi ini memerlukan penambahan pesawat diluar ketiga jenis pesawat yang telah ada (pesawat konvensional, CT-Scan dan panoramic) baik untuk mengikuti perkembangan teknologi maupun mengikuti peraturan dari BAPETEN. Jenis pesawat yang akan dibeli dan tergolong mahal adalah pesawat MRI, sehingga dilakukan perhitungan kelayakan ekonomis pembelian pesawat ini dengan metode NPV. Hasil perhitungan menunjukkan NPV sebesar Rp2.079.723.036 yang akan diperoleh dalam waktu 10 tahun dan BEP akan dicapai pada tahun ke 9.

Daftar bacaan: 39 (tahun 1979-2003)
An Analysis of Utilization of Diagnostic Units in Installation of Radiology 2002 (A case study: Mohammad,Hoesin Hospital in Palembang)Globalization era has started with AFTA. It has changed paradigm of health institution, It was showed from government policy that regulated 13 General Hospital Center to become Perjan Hospital, one of them is RSMH, The regulation caused reduction of subsidies from government. There fore, RSMH has to manage its available resources as well as possible. One of those which must be managed and utilized effectively and efficiently is medical equipments.

Installation of radiology is Corms one of hospital's installation which has costly medical equipments. Usually the use of these equipments will influence the medical cost.

RSMH management is considering investing some of loan to purchase new diagnostic equipments to radiology installation. !t needs an analysis about utilization of diagnostic units existing in radiology installation. It is important to know what capacities are still available therefore buying new diagnostic units are appropriate to installation need itself.

The purpose of this research is to get view about utilization of diagnostic units in radiology installation in 2002 as well as to provide a new diagnostic unit if needed.

Research method uses analytic descriptive with qualitative and quantitative analysis. This research was executed during 2 months, from the third week of April to the third week of June in Radiology Installation of Mohammad Hoesin Hospital in Palembang, The result of this research shows that utilization of diagnostic units are still under optimal capacities. X-ray conventional unit is only utilized about 49,86% from maximal capacities at routine office hours, CT-Scan unit is utilized about 26,66% from maximal capacities, and only 5,39% for X-ray panoramic unit.

The result of the analysis shows that utilization for all diagnostic units are not on optimal level. It is because that hospital admission as a whole is lower.

Further, the research found that this installation needs new kind of diagnostics in addition three diagnostic units (X-ray conventional unit, CT-Scan unit and X-ray panoramic unit). It is good to keep abreast of technology and also go by the BAPETEN regulation. The new diagnostic type to be bought is MRI. MRI is costly, so that it needs economic calculation using NPV method, The result shows NPV equal to Rp.2.079.723.036 to be obtained during 10 years and BEP will be reached in the ninth year.

Bibliography: 39 (1979-2003)
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T11214
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dharsono Yusuf
Abstrak :
Rumah sakit adalah bagian dari sistem pelayanan perawatan kesehatan yang sangat dipengaruhi globalisasi dan krisis ekonomi. Mahalnya biaya perawatan kesehatan dan tingginya persaingan pasar juga mempengaruhi seluruh kegiatan rumah sakit. Selain itu meningkatnya kebutuhan akan perawatan kesehatan juga menambah tuntutan untuk meningkatnya standar kualitas pelayanan yang akan mengakibatkan meningkatnya juga biaya pelayanan. Data menunjukkan bahwa 31,4% dari total pasien yang dirawat di RSMH Palembang pada tahun 2002 adalah pasien dengan PT Askes. Masalah yang ditemukan adalah adanya perbedaan pelayanan antara pasien yang menggunakan PT Askes dengan pasien Non-Askes. Pasien peserta wajib PT Askes sering mengeluhkan kualitas pelayanan yang diterima selama dirawat di rumah sakit, terutama pada rawat Inap. Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan kualitas layanan yang diberikan antara pasien Askes dengan pasien Non-Askes, yang dirawat di ruang rawat inap kelas II dengan diagnosis Hipertensi. Enam indikator digunakan untuk mengukur kualitas pelayanan meliputi jenis obat yang diberikan terhadap pasien, jumlah pemeriksaan medis, lama rawat, jumlah kunjungan dokter, asuhan keperawatan dan total biaya. Data tersebut diambil dari rekam medis. Berdasarkan hasil menunjukkan tidak ada perbedaan kualitas pelayanan yang bermakna yang diberikan baik kepada pasien PT Askes maupun Non-Askes yang dirawat di ruang kelas II dengan diagnose hipertensi. Secara khusus tidak terdapat perbedaan pada jumlah jenis obat yang diberikan baik terhadap pasien PT Askes maupun Non-Askes. Dengan kriteria minimal lima jenis pemeriksaan penunjang medis, ditemukan bahwa pasien dengan PT Askes menerima jumlah pemeriksaan yang sama dengan pasien Non-Askes, dengan rentang antara 2 sampai dengan 8 jenis pemeriksaan penunjang medis. Penelitian ini juga melihat pada lama rawat, dan tidak ditemukan perbedaan antara pasien PT Askes dengan Non-Askes. Rata-rata lama hari rawat adalah 5,58 hari dengan rentang dari 1 sampai 19 hari. Dalam hal kunjungan oleh dokter selama dirawat inap seringkali menjadi alasan utama keluhan para pasien peserta PT Askes. Dan pads kenyataannya menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan pada kunjungan dokter antara pasien PT Askes dengan pasien Non-Askes. Asuhan keperawatan sebagai salah satu kriteria tidak ada perbedaan kualitas layanan antara pasien PT Asked dengan Non-Askes. Berdasarkan hasil menunjukkan bahwa baik pasien PT Askes maupun Non-Askes mendapat asuhan keperawatan yang kurang, dengan rata-rata 2,19 kali. Secara keseluruhan, baik pasien PT Askes dan Non-Askes yang dirawat di kelas II dengan hipertensi mendapat pelayanan yang baik, berdasarkan pemberian obat, jumlah pemeriksaan penunjang medis, lama rawat, jumlah kunjungan dokter dan total biaya. Sedangkan asuhan keperawatan mendapat pelayanan yang kurang baik bagi pasien PT Askes maupun Non-Askes. Dilihat dari informasi rekam medik pasien, perlu disarankan kepada petugas medis untuk menyadari betapa pentingnya informasi yang ditulis dalam rekam medik secara jelas, lengkap dan konsisten. Analisis sangat tergantung pada kualitas informasi yang tersedia pada rekam medik. Lebih jauh lagi, diperlukan juga untuk perbaikan pelayanan perawatan secara berkelanjutan untuk memudahkan proses pemulihan pasien. Untuk PT Askes perlu mengevaluasi besaran tarif rumah sakit dalam rangka mengurangi beban keuangan rumah sakit. Selanjutnya perlu analisis lebih lanjut untuk Rumah Sakit Mohamad Hoesin Palembang guna perbaikan kualitas pelayanan. Daftar bacaan : 42 (1990-2002) Analysis of Service of Hospital for the Patients with Hypertension Case at Ward Class Two which are Assured by PT.Askes and General Patients in the Mohamad Hoesin Hospital Palembang 2002Hospitals as part of the health care delivery system are highly influenced by globalization and economic crisis. High cost of health services and highly competitive market also contribute to the sustainability of the overall operation of the hospital. In addition, increasing demand on health care services also add to the requirements of high standard of quality of care that further increase the cost of delivery services. The data indicated that 31.4% of total admitted patients hospitalized in the RSMH in 2002 was P.T.ASKES patients. There are issues that members of PT ASKES are treated differently than Non-ASKES patients. Members of PT ASKES frequently complain on the quality of services received during treatment in the hospital, especially in the inpatient care setting. This study aims to address issues on differences on quality of care given to patients of PT ASKES and Non-ASKES who are admitted in the ward class two with diagnosis of hypertension. Six indicators are used to measure quality of care that include numbers of types of drugs given to patients, numbers of medical examination taken, length of stay, numbers of visite by doctors, nursing services, and cost Data is taken from medical records. The results indicated that there is no significant differences on quality of care given to patients of PT. ASKES and Non-ASKES patients admitted in the ward two diagnosed with hypertension. In specific, there is no difference on numbers of types of drugs given to PT ASKES and Non-ASKES patients. Using criteria of minimum five types of medical examination, it is found that ASKES patients receive same numbers of medical examination, with range from 2 to 8 types of medical examinations. The study also address the issue on length of stay, which is found no differences between PT ASKES and Non-ASKES patients. The average length of stay is 5,58 days ranging from 1 - 19 days. Issues on number of visit by medical doctors during hospitalization frequently become the main reason of complain among PT ASKES patients. Again, the result describes that there is no differences on numbers of visite by medical doctors for both PT ASKES and Non-ASKES patients. Nursing care is also used as one of the criteria to identify no differences on quality of care between PT ASKES and Non-ASKES patients. The results indicated that both patients ASKES and Non-ASKES receive bad services on nursing care aspect, with the average of 2,19 times. Overall, patients of PT ASKES and Non-ASKES admitted in the ward class two diagnosed with hypertension both receive good quality of care, as measured by types of drugs given, numbers of medical examination taken, length of stay, numbers of visite by doctors, and cost. Nursing care is considered as bad, both for PT ASKES and Non-ASKES patients. Since the above information is taken from patients medical records, it is highly recommended for medical staffs to be aware on the importance on clear, valid, concise and consistent information written in the medical records. The analysis will depend on the quality of information available on the medical records. Furthermore, it is needed to continue improve on nursing care to ease process of recovery of the patients. For PT ASKES, it is important to reevaluate tariff given to the hospital in attempt to reducing financial burden of the hospital. For further detailed analysis, Rumah Sakit Mohamad Hoesin Palembang require to continue improve its quality of services. References : 42 (1990-2002)
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T 11355
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Charlis Djamaluddin Hartono
Abstrak :
Penelitian ini dilatarbelakangi situasi ekonomi terakhir, di mana biaya operasional meningkat, daya beli masyarakat menurun, tarif perawatan kelas III yang ditetapkan melalui Perda, menyebabkan kelas III di rumah sakit memerlukan subsidi, karena tarif yang ditentukan di bawah biaya satuan. Subsidi diharapkan didapat dari pelayanan pasien kelas II ke atas, yang dikenal sebagai subsidi silang. Dengan subsidi silang diharapkan rumah sakit dapat mencapai titik impas dalam pembiayaannya. Rumah Sakit Atma Jaya didirikan dengan tujuan melayani masyarakat kurang mampu dan menunjang pendidikan bagi Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya. Jiwa subsidi silang sesuai dengan misi rumah sakit, option for the poor. Tujuan penelitian adalah menganalisa subsidi silang di unit produksi Rumah Sakit Atma Jaya (yang terdiri dari unit rawat jalan, unit rawat inap kelas III, unit rawat inap gedung E untuk kelas II ke atas dan unit penunjang medik), termasuk mendapatkan gambaran biaya dan pendapatan masing - masing unit produksi. Penelitian bersifat deskriptif, berdasar data sekunder, yaitu laporan pertanggungjawaban direksi rumah sakit Atma Jaya, tahun 2000. Dalam perhitungan pembebanan biaya overhead, digunakan metode relative value. Berdasar hasil penelitian di Rumah Sakit Atma Jaya, Jakarta, dapat disimpulkan bahwa : 1. Subsidi silang seperti yang dimaksud oleh Yayasan tidak terjadi seperti yang diharapkan, bahkan pasien gedung E yang merupakan pasien kelas menengah ke atas masih disubsidi oleh Yayasan. 2. Subsidi silang terjadi walau tidak seperti yang dimaksud Yayasan, yaitu dari unit penunjang medik, ke unit perawatan pasien. 3. Subsidi untuk pasien, makin besar jika pasien dirawat dikelas lebih tinggi 4. Biaya satuan setiap kelas perawatan berada di atas tarif yang ditetapkan. 5. Tingkat hunian tempat tidur masih rendah, terutama untuk kelas yang diharapkan dapat memberikan subsidi silang. Sebagai saran untuk kelanjutan operasional rumah sakit, perlu dicari penyebab rendahnya tingkat pengisian tempat tidurnya, terutama untuk kelas II ke atas.
A Crosswise Subsidy Analysis at the Revenue Center of Atma Jaya Hospital in JakartaWith recent economic situation as a background, where operational expenditures are increasing and purchasing power of the community is declining, this research is conducted to estimate total subsidy required by the hospital due to low tariff determined by the Regional Regulation. This subsidy is supported to generate from the second class of inpatient care and up, known as cross-subsidy. By crosswise subsidy, it is expected that the hospital can reach a break-even point in its expenditures. The Atma Jaya Hospital is established with the aim to serve the needy community, and to facilitate educational program for Unika Atma Jaya's Faculty of Medicine. The principle of crosswise subsidy is in accordance with the hospital's mission, namely option for the poor. The purpose of this research is to analyse the crosswise subsidy at the revenue center of Atma Jaya Hospital (consisting of out-patients unit, third-class hospitalization unit, the E building hospitalization unit for the second class and above, and the unit for medical support), as well as to get a picture of costs and revenues of each revenue unit. This quantitative research is based on secondary data, the responsibility report of the board of the Atma Jaya Hospital, year 2000. In calculating the overhead costs the relative-value method is used. Base on the research outcome at the Atma Jaya Hospital in Jakarta, it may be concluded that : 1. The crosswise subsidy as meant by the Foundation is not occuring as expected; the E building patients who are of the intermediate class and above, are still even subsidized by the Foundation. 2. Crosswise subsidy does occur. Eventhough not expected by the Foundation,namely from the medical support unit to the hospitalized patient unit. 3. Subsidy for the patients increases if they are hospitalized in a higher class. 4. The unit cost for each class of hospitalized exceed the established rates. 5. The level of bed occupancy is still low, mainly for classes which are expected to provide crosswise subsidy. As a recommendation to the hospital, further research should be conducted to explore causes of low bed occupancy rate (BOR), especially of the second and above.
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T2531
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>