Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 91 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Witono Santoso
"ABSTRAK
Talasemia β merupakan penyakit herediter yang dapat mengakibatkan terjadinya kelainan fisik maupun mental. Penyebaran penyakit ini terutama bersifat etnis dan adanya perkawinan antar bangsa menyebabkan angka kejadian semakin tinggi dan merata.
Penemuan penderita talasemia β heterozigot berdasarkan pemeriksaan analisis Hb dinilai mahal dan cukup sulit.
Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan gambaran pola kadar HbA2 dan HbF penderita talasemia β heterozigot serta gambaran parameter hematologis penderita talasemia β heterozigot dan talasemia β-HbE; mendapatkan fungsi diskriminasi yang dapat digunakan sebagai pemeriksaan penyaring talasemia β heterozigot serta menilai perubahan kadar HbA2 pada talasemia β heterozigot yang disertai defisiensi besi setelah pengobatan besi selama 3 bulan.
Dari bulan Maret 1988 sampai akhir tahun 1990 di UPF Bagian Patologi Klinik FKUI-RSCM telah dilakukan pemeriksaan analisis Hb terhadap 740 contoh darah penderita. Sejumlah 31,1% (230/740) didiagnosis sebagai talasemia β heterozigot dan sejumlah 2,2% (16/740) sebagai talasemia β-HbE. Rasio penderita wanita terhadap pria adalah 1,1:1 untuk talasemia β heterozigot dan 1,67:1 untuk talasemia β-HbE. Pola HbA2
normal HbF tinggi merupakan bentuk talasemia β heterozigot yang paling sedikit ditemukan, namun mempunyai gambaran parameter hematologis yang lebih berat dibandingkan pola lainnya.
Kadar Hb pada talasemia β heterozigot berkisar antara 5,8-16,5 g/dl dengan rata-rata 11,63 g/dl dan pada talasemia β-HbE antara 3,2-8,2 g/dl dengan rata-rata 6,10 g/dl. Nilai Ht pada talasemia β heterozigot berkisar antara 20,9-57,1% dengan rata-rata 35,48% dan pada talasemia β-HbE antara 9,4-26,5% dengan rata-rata 19,57%. Terdapat kadar Hb dan nilai Ht yang lebih rendah secara bermakna pada penderita talasemia β heterozigot dibandingkan talasemia bentuk HbA2 tinggi. Demikian juga halnya pada penderita wanita dibandingkan pria.
Hitung eritrosit pada penderita talasemia β heterozigot berkisar antara 2,20-8,27 juta/μl dengan rata-rata 4,67 juta/μl dan pada talasemia p - HbE antara 1,54-4,08 juta/μl dengan rata-rata 3,01 juta/μl. Pada penderita wanita hitung eritrosit lebih rendah dibandingkan penderita pria.
Nilai VER pada penderita talasemia β heterozigot berkisar antara 55-111 fl dengan rata-rata 76,9 fl, sedangkan pada talasemia β-HbE antara 52-80 fl dengan rata-rata 64,7 fl. Nilai HER pada penderita talasemia β heterozigot antara 15,1-33,5 pg dengan rata-rata 25,19 pg dan pada talasemia β-HbE 17,0-23,9 pg dengan rata-rata 20,27 pg. Kedua parameter ini berbeda bermakna dibandingkan dengan kontrol.
Hitung trombosit yang meningkat pada talasemia β heterozigot, dan talasemia β-HbE, karena peningkatan eritrosit mikrositik dan poikilosit yang terukur sebagai trombosit. Hitung retikulosit absolut yang meningkat dengan RPI normal menunjukkan terjadinya eritropoisis yang tidak efektif.
Pada 3 penderita talasemia β heterozigot dengan defisiensi besi setelah diobati besi diperoleh peningkatan kadar HbA2 dari rata-rata 2,56% sebelum pengobatan menjadi 4,95% pada akhir pengobatan disertai peningkatan kadar feritin serum.
Fungsi diskriminasi Hb+(4xHER)-(0,5xVER)-83, memberikan sensitifitas 73%, spesifisitas 95% dan efisiensi 76,3%. Fungsi diskriminasi 4,657.(0, lxHb)-SASARAN-MIKR, memberikan sensitifitas 92%, spesifisitas 100% dan efisiensi 95%. Dengan menggunakan gabungan kedua fungsi tersebut diperoleh peningkatan sensitifitas, spesifisitas dan efisiensi sampai 100%.
Kesimpulan penelitian ini adalah Talasemia β heterozigot pola HbA2 tinggi HbF normal merupakan pola paling banyak ditemukan. Talasemia β heterozigot dan talasemia β-HbE mengakibatkan terjadinya perubahan parameter hematologis. Perubahan ini meliputi kadar Hb, nilai Ht, nilai VER & HER, hitung trombosit dan hitung retikulosit absolut serta morfologi eritrosit pada sediaan hapus darah tepi. Pada penderita wanita perubahan parameter ini menjadi semakin nyata.
Kadar HbA2 dipengaruhi oleh anemia defisiensi besi. Dengan demikian pemeriksaan kadar HbA2 pada penderita dengan dugaan adanya anemia defisiensi besi, sebaiknya dilakukan setelah penderita diobati terlebih dahulu.
Fungsi diskriminasi yang terdiri dari parameter hematologis sebagai variabel dapat digunakan sebagai pemeriksaan penyaring talasemia β heterozigot. Karena fungsi diskriminasi berbeda antara satu alat dengan alat yang lain, maka dianjurkan mencari fungsi diskriminasi yang sesuai untuk masingmasing alat tersebut.
"
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lina Ninditya
"ABSTRAK
Bencana alam yang banyak terjadi mengakibatkan banyaknya korban kelaparan, yang dapat menurukan sistem imun. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas produk pangan darurat BPPT dalam meningkatkan respon imun pada hewan coba mencit dalam keadaan lapar dengan pajanan tetanus toksoid. Penelitian ini menggunakan metode true experimental design. Penelitian dilakukan mulai dari bulan Februari tahun 2009 hingga bulan Juli tahun 2010 di Animal House, Tidak ada perbedaan bermakna perubahan jumlah leukosit, hitung jenis leukosit, jumlah IgG spesifik antara kelompok hewan coba dengan pajanan tetanus toksoid yang diberikan pakan biasa dengan hewan coba dengan pajanan tetanus toskoid yang diberikan produk pangan BPPT Perbedaan bermakna hanya pada perubahan jumlah IgG total dari minggu ke -4 sampai minggu ke-8. Disimpulkan produk pangan BPPT memiliki efektivitas lebih baik dibandingkan produk pangan biasa dilihat dari pengaruhnya terhadap kadar IgG total.

Abstract
In mostt disaster, most of victims are malnutritive causing decreasing of immune response. The aim of this research is to know the effectivity of food product of BPPT in increasing immune response of hungry mice given tetanus toxoid The method of This research is true experimental design.The research was started frrom February 2009 until July 2010 in Animal House There are no diffrences in the changes of total amount and differential count of leucocyte, IgG specific between mice ( with exposure of tetanus toxoid)given food product of BPPT and mice (with exposure of tetanus toxoid) given usual food. There is diffrence in changes of IgG tota from the fourth week until the eighth week between the two groups of mice. In conclusion, the effectivity of food product of BPPT in increasing the immune response is better than usual food because the effect of food product of BPPT in IgG total."
2011
S-Pdf
UI - Dokumentasi  Universitas Indonesia Library
cover
Atika
"BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) memproduksi suatu bahan pangan padat gizi mengandung polifenol, yang ditujukan bagi korban bencana alam yang rentan akan kondisi penurunan respon imun akibat kelaparan. Polifenol, pada beberapa penelitian disebutkan dapat meningkatkan respon imun. Sebelum dikonsumsi, perlu dilakukan penelitian untuk melihat bukti efektivitas pangan ini terhadap respon imun. Penelitian dilakukan dengan menggunakan desain eksperimental. Sebanyak 24 mencit dibuat dalam kondisi lapar selama satu minggu. Lalu 6 ekor mencit diambil datanya sebagai acuan kondisi awal. Kemudian sisa mencit dibagi dalam tiga kelompok perlakuan. Setiap kelompok, tetap dalam kondisi lapar, akan mengonsumsi bahan tambahan yang berbeda. Kelompok pertama diberikan produk pangan padat gizi mengandung polifenol, sedangkan kelompok kedua diberikan produk pangan padat gizi tanpa polifenol, untuk melihat apakah polifenol memang mempunyai efek atau produk pangan padat gizi saja sudah dapat meningkatkan respon imun. Sebagai tambahan perbandingan, maka kelompok ketiga diberikan imunostimulan Phyllanthus niruri. Setelah 4 minggu dilakukan pengambilan data. Sebagai indikator respon imun digunakan data jumlah dan hitung jenis leukosit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ditemukan perbedaan yang bermakna (p>0,05) pada perbandingan perubahan jumlah leukosit dan hitung jenisnya dari ketiga kelompok perlakuan. Disimpulkan bahwa bahan pangan padat gizi mengandung polifenol belum menunjukkan bukti efektivitas yang lebih tinggi terhadap respon imun dibandingkan tanpa mengandung polifenol, namun bahan pangan padat gizi ini sudah cukup baik karena menghasilkan efek seperti imunostimulan Phyllanthus niruri.

BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) produced a nutrient-rich food product with polyphenols, for disaster victims that vulnerable to condition of depressing immune response because of starvation. Polyphenols, in some research could enhance immune response. Before applying, this food product needs a research to prove the effectiveness toward immune response. Research was done with experimental design. 24 mices set in starving condition in one week. Then 6 mices were taken to get the beginning data. And then, the rest of mices was divided into three groups. Every group, stayed in starving condition, was given different additional materials. First group was given the nutrient-rich food product with polyphenols, and the second group was given the nutrient-rich food product but without polyphenols, to see whether the polyphenols gave the desired effect or the nutrient-rich food product alone could enhance immune response. For additional comparison, the third group was given the immunostimulant Phyllanthus niruri. The data was taken after 4 weeks. Total leukocyte and leukocyte differential count were used to be the indicator of immune response. The result showed that there is no significant differences (p>0,05) in comparison of the change of total and differential count of leukocyte from the three groups. In conclusion, the nutrient-rich food product with polyphenols not yet show a significant effectiveness in immune response than without polyphenols, but this food product had been good enough because resulting the similar effect as immunostimulant Phyllanthus niruri.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2011
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ika Yasma Yanti
"Infeksi Clostridium difficile toksigenik meningkat tajam pada satu dekade terakhir, menyebabkan pseudo membran colitis (PMC) dan Clostridium difficile associated diarrhea (CDAD). Salah satu faktor risikonya adalah penggunaan antibiotik. Tujuan penelitian adalah mengetahui prevalensi dan gambaran karakteristik subyek dengan Clostridium difficile toksigenik serta menilai kemampuan rapid test toksin terhadap real time PCR. Subyek penelitian prospektif ini adalah 90 subyek dewasa dengan terapi antibiotik lebih dari 2 minggu. Hasil pemeriksaan menggunakan rapid test dan real time PCR disajikan dalam tabel 2x2, dilakukan uji statistik dengan chi square. Hasil penelitian menunjukkan 2 spesimen dieksklusi karena hasil invalid, 24 spesimen positif dan 64 negatif dengan rapid test toksin; 33 spesimen positif dan 55 negatif dengan real time PCR. Prevalensi Clostridium difficile toksigenik berdasar rapid test toksin adalah 27,3% dan real time PCR 37,5%. Terdapat perbedaan bermakna antara konsistensi feses dan jumlah antibiotik dengan terdeteksinya Clostridium difficile toksigenik (p<0,05). Terdapat hubungan antara lama terapi antibiotik dengan terdeteksinya Clostridium difficile toksigenik menggunakan real time PCR (p=0,010, RR=2,116). Sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif, rasio kemungkinan positif dan rasio kemungkinan negatif rapid test toksin terhadap real time PCR berturut-turut adalah 69,7%; 98,2%; 95,8%; 84,4%; 39,2 dan 0,31. Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa prevalensi Clostridium difficile di RSCM lebih tinggi dibanding Malaysia, Thailand dan India; subyek dengan terapi antibiotik lebih dari 4 minggu berisiko terdeteksi Clostridium difficile toksigenik 2 kali lebih besar dibanding subyek dengan terapi antibiotik kurang dari 4 minggu; rapid test toksin dapat digunakan sebagai alat deteksi Clostridium difficile toksigenik.

Toxigenic Clostridium difficile infection have increased sharply in the last decade, causing a pseudo membrane colitis (PMC) and Clostridium difficile associated diarrhea (CDAD). One of the biggest risk factor is the use of antibiotics. The purpose of the study was to determine the prevalence and characteristics of subjects with toxigenic Clostridium difficile and assess the ability of the toxin rapid test compared to real-time PCR. Ninety adult subjects with antibiotic therapy more than 2 weeks were enrolled to this prospective study. The results of toxin rapid test and real-time PCR were presented in 2x2 table, statistical tests was calculated with chi square. Two specimens were excluded due to invalid results. The results showed 24 positive and 64 negative specimens by toxin rapid test; 33 positive and 55 negative specimens by real-time PCR. The prevalence of toxigenic Clostridium difficile based on toxin rapid test were 27.3% and 37.5% by real-time PCR. There were significant differences between stool consistency and number of antibiotics that were used with the detection of toxigenic Clostridium difficile. There was a relationship between duration of antibiotic therapy with detection of toxigenic Clostridium difficile using real-time PCR (p = 0.010, RR = 2.116). Sensitivity, specificity, positive predictive value, negative predictive value, positive likelihood ratio and negative likelihood ratio of toxin rapid test against real-time PCR were 69.7%; 98.2%; 95.8%; 84.4%; 39.2 and 0.31, respectively. The study concluded that the prevalence of Clostridium difficile in RSCM was higher than Malaysia, Thailand and India; subjects with antibiotic therapy for more than 4 weeks had double risk to have toxigenic Clostridium difficile than subjects with antibiotic therapy for less than 4 weeks and toxin rapid test could be used as a tool to detect toxigenic Clostridium difficile.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Marantina, Sylvia Sance
"ABSTRAK
Sebanyak 120 sampel Dried Blood Spot (DBS) malaria falciparum yang diperoleh dari studi efikasi obat DHP pada 5 wilayah di Indonesia dianalisis dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) dan sekuensing, untuk melihat varian SNPs K13 dan alel FcγRIIa -131 serta hubungannya dengan densitas parasit dan efikasi Dihidroartemisinin-Piperakuin. Hasil penelitian tidak menemukan mutasi gen K13 pada seluruh isolat P. falciparum yang diperiksa. Artemisinin masih efektif untuk pengobatan malaria di Indonesia. Analisis gen FcγRIIa menunjukkan bahwa genotip RH memiliki frekuensi yang paling tinggi (50,8%) dibandingkan RR (17,5%) dan HH (31,7%). Alel R131 gen FcγRIIa menunjukkan efek protektif terhadap High Density Parasitemia (HDP) (>5000 parasit/μL; odds ratio [OR]= 0.133, 95% confidence interval [CI]= 0.053?0.334, P< 0.001) dan berkaitan dengan keberadaan gametosit yang lebih lama pada inang (> 72 jam.

ABSTRACT
Relative Risk [RR]= 1,571, 95% confidence interval [CI]= 1,005?2,456, P= 0.090).;A total of 120 samples of Dried Blood Spot (DBS) falciparum malaria acquired from DHP drug efficacy studies in 5 regions in Indonesia were analyzed by Polymerase Chain Reaction (PCR) and sequencing, to look at variants of K13 SNPs and FcγRIIa-131 allele and its Association with Parasite Density and Efficacy of Dihydroartemisinin- Piperaquine. No mutations in the K13 gene was found in any of the isolates examined. Artemisinin is still effective for the treatment of malaria in Indonesia. The FcγRIIa gene analysis indicated that genotype RH has the highest frequency (50.8%) compared to RR (17.5%) and HH (31.7%). Allele R131 showed a protective effect against High Density Parasitemia (HDP) (>5000 parasites/μL; odds ratio [OR]= 0.133, 95% confidence interval [CI]= 0.053?0.334, P< 0.001) and associated with longer gametocytes carrier clearance time (> 72 hours; Relative Risk [RR]= 1,571, 95% confidence interval [CI]= 1,005?2,456, P= 0.090).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fajar Sulistya Utami
"ABSTRAK
Latar belakang. Potensi terjadinya kekambuhan paska pengobatan endometriosis
dengan terapi hormonal dan pembedahan konservatif masih terjadi sekitar 11-32
dalam waktu 1-5 tahun. Salah satu faktor pemicunya adalah proses inflamasi kronik
yang merangsang peningkatan sitokin proinflamasi dalam rongga peritoneum, sehingga
perlu pengembangan terapi baru. Heptil galat dan oktil galat merupakan senyawa
turunan asam galat yang berpotensi menekan proliferasi beberapa jenis sel kanker.
Penelitian kami sebelumnya membuktikan oktil galat dapat menekan ekspresi mRNA
NFkB yang merupakan faktor transkripsi aktivasi jalur proinflamasi, serta dapat
menekan proliferasi sel endometriosis in vitro. Saat ini kami ingin menganalisis
aktivitas heptil galat dan oktil galat terhadap protein target NFkB melalui teknik insilico
docking dan efeknya terhadap regulasi sitokin proinflamasi IL-1, COX-2, TGF-
1 dan IL-10 pada kultur primer sel endometriosis.
Metode. In silico docking heptil galat dan oktil galat terhadap protein target NFkB
melalui teknik bioinformatika. Sel endometriosis dari jaringan primer pasien diisolasi
secara enzimatis dan dikultur, kemudian diberi perlakuan heptil dan oktil galat dengan 2
macam dosis (51,2 μg/mL dan 102,4 μg/mL) selama 48 jam, dilanjutkan induksi LPS 10
ng/mL selama 24 jam. Kelompok kontrol positif hanya diinduksi LPS tanpa perlakuan,
dan kontrol negatif tanpa perlakuan dan LPS. Regulasi inflamasi dinilai dari tingkat
kadar sitokin IL-1, COX-2, TGF-1 dan IL-10 dengan teknik ELISA.
Hasil. Analisis in-silico docking protein NFkB menunjukan nilai ikatan energi oktil
galat lebih tinggi (-7,98 kkal/mol) dibandingkan heptil galat (-7,68 kkal/mol) dan asam
galat (-7,66 kkal/mol). Terjadi penurunan kadar sitokin COX-2 secara signifikan
(p<0,03) pada kelompok perlakuan dibandingkan dengan kontrol positif, begitu juga
dengan sitokin IL-1 dan IL-10 cenderung menurun (p>0,05). Sedangkan kadar sitokin
TGF-1 mengalami kenaikan pada kelompok perlakuan dibandingkan kontrol positif
meskipun kurang bermakna secara statistik (p>0,05).
Kesimpulan. Melalui jalur NF-kB sebagai regulator inflamasi, baik oktil galat dan
heptil galat terbukti dapat menekan produksi sitokin proinflamasi COX2 dan IL-1
serta meningkatkan sitokin TGF-1 dan menurunkan sitokin IL-10 sehingga berpotensi
sebagai bahan terapi tambahan pada endometriosis.

ABSTRACT
Background: The potential for relapse post endometriosis treatment with hormonal
therapy and conservative surgery still occurs around 11-32 within 1-5 years. One of
the trigger factors is a chronic inflammatory process that stimulates an increase
proinflammatory cytokines in the peritoneal cavity, so needed the development of new
therapies. Heptyl galate and octyl galate are gallic acid derivatives which have the
potential to suppress the proliferation of several types cancer cells. Our previous
research proved that octyl galate can suppress the expression of NFkB mRNA which is
a proinflammatory activation transcription factor, and can suppress endometriosis cell
proliferation in vitro. We currently want to analyze the activity of heptyl galates and
octyl galates against the NFκB target protein through in-silico docking techniques and
their effects on the regulation of proinflammatory cytokines IL-1, COX-2, TGF-1 and
IL-10 in primary cultures of endometriosis cells.
Method: In silico docking heptyl and octyl galates against the NFkB target proteins
through bioinformatics techniques. Endometriosis cells from primary tissue were
enzymatically isolated and cultured, then given heptyl and octyl gallate treatment with 2
doses (51.2 μg/mL and 102,4 μg/mL) for 48 hours, continued induction of 10 ng / mL
LPS for 24 hours. The positive control group only induced LPS without treatment, and
negative treatment without treatment and LPS. Inflammatory regulation was assessed
from levels of cytokines IL-1, COX-2, TGF-1 dan IL-10 with ELISA techniques.
Results: In-silico docking analysis of the NFkB gene showed higher energy bonding
values in octyl galate (-7,98 kcal / mol) than heptyl galate (-7,68 kcal / mol) and gallic
acid (-7,66 kcal / mol). Significantly decreased levels of COX-2 cytokine (p <0,03) in
the treatment group compared with positive controls, so also the cytokines of IL-1 and
IL-10 tended to decrease (p> 0,05). Whereas the levels of cytokine TGF-1 experienced
an increase in the treatment group compared to the positive control although it was less
statistically significant (p> 0,05).
Conclusion: Through the NFkB pathway as an inflammatory regulator, both octyl
galates and heptyl galates have been shown to suppress the production of
proinflammatory cytokines COX2 and IL-1, as well as increase TGF-1 cytokines and
reduce IL-10 cytokines so that they have the potential to be additional therapeutic
agents in endometriosis."
2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nisrina Asysyifa
"COVID-19 menunjukkan berbagai manifestasi klinis dengan tingkat keparahan berkaitan dengan peningkatan mediator inflamasi yang tidak terkendali. Sebagai terapi potensial COVID-19, penelitian tentang efek imunomodulator SPM telah berlangsung. Penggunaan sekretom SPM memiliki kelebihan daripada penggunaan SPM itu sendiri. Namun demikian, mekanisme dimana sekretom memberikan efek imunomodulatornya sebagai agen terapeutik untuk COVID-19 masih belum jelas. Penelitian ini bertujuan untuk menilai apakah komponen sekretom SPM-TP mampu mengubah karakteristik inflamatorik dari sel-sel imun dengan melakukan studi in vitro dari inkubasi darah lengkap dengan sekretom yang kemudian dipaparkan dengan LPS yang merupakan agen inflamasi kuat. Sebanyak 12 sampel darah subjek COVID-19 dan sehat dikultur ke dalam  tiga kelompok (kelompok kontrol RPMI, kelompok sekretom 3μl, dan 9μl) yang diinkubasi selama 24 jam, kemudian dipaparkan LPS dan diinkubasi selama 48 jam. Supernatan kultur sebelum dan setelah paparan LPS dipanen dan diukur kadar sIL-6R, sgp130, IL-1RA, IL-6, TNF-α, IFN-γ dan IL-10. Hasil penelitian menunjukkan bahwa paparan LPS meningkatkan produksi IL-6, TNF-α, dan IL-10 dan menurunkan produksi  sIL-6R, dan sgp130, sedangkan IFN-γ tidak mengalami perubahan pada kultur darah yang telah diinkubasi dengan sekretom SPM-TP. Analisis rasio post-LPS/pre-LPS dilakukan untuk menyelidiki potensi antiinflamasi sekretom dan ditemukan sekretom SPM-TP ini memberikan efek antiinflamasinya melalui peran IL-1RA.

COVID-19. However, the precise mechanism by which the secretome exerts its therapeutic effect on COVID-19 remains unclear. This study aims to investigate whether the components of the UC-MSC-derived secretome can alter the inflammatory characteristics of immune cells. To achieve this, an in vitro study will be conducted involving co-incubation of whole blood with secretomes, followed by LPS stimulation. A total of 12 blood samples from severe COVID-19 and healthy subjects were cultured into three groups (RPMI control group, 3μl and 9μl secretome group) incubated for 24 hours. Then, the cultures were exposed to LPS for 48 hours. The levels of sIL-6R, sgp130, IL-1RA, IL-6, TNF-α, IFN-γ, and IL-10 were measured. Results showed that LPS increased IL-6, TNF-α, and IL-10 production, while reducing sIL-6R, and sgp130, but no changes seen in IFN-γ in secretome-incubated blood cultures. The post-LPS/pre-LPS ratio analysis was conducted to investigate the anti-inflammatory potential of secretome. It was found that the secretome provides its anti-inflammatory effects through the role of IL-1RA."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maya Ulfah
"Latar Belakang: Coronavirus disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit infeksi saluran pernapasan yang pertama kali ditemukan di Wuhan. Sejak ditetapkan sebagai pandemi oleh WHO hingga 3 Juli 2021 terdapat sebanyak 183.098.615 kasus terkonfirmasi positif COVID-19 dengan jumlah kematian sebesar 3.964.145 kasus di seluruh dunia. Secara etiologi COVID-19 disebabkan oleh varian coronavirus baru yang dikenal sebagai SARS-CoV-2. Individu yang terinfeksi SARS-CoV-2 sebagian besar mengalami gejala ringan atau asimtomatik. Namun, pada sebagian orang dengan usia lanjut dan mengidap penyakit komorbid manifestasi gejala berat lebih sering ditemui. Salah satu faktor yang berkaitan terhadap manifestasi COVID-19 adalah respons imun host. Molekul sitokin merupakan protein yang berperan untuk mengaktifkan mekanisme perlawanan terhadap virus. Pengetahuan tentang profil imunitas yang diperantarai oleh sitokin dari saluran napas atas masih sangat sedikit sekali yang dipelajari. Penentuan biomarker yang dapat dijadikan penanda keparahan juga perlu untuk diketahui.
Metode: Sampel swab NP diperoleh dari pasien terkonfirmasi positif COVID-19. Subjek dibagi menjadi 2 kategori berdasarkan manifestasi COVID-19 gejala ringan dan berat. Kadar sitokin (pg/ml) IL-2, IL-4, IL-10, IL-13, IL-17A, dan GMCSF dianalisis dari sampel swab NP menggunakan Luminex® assay.
Hasil: Faktor demografi seperti usia (p=0,024) dan komorbid (p=0,017) secara signifikan berperan dalam menentukan keparahan gejala pada pasien COVID-19. Kadar (pg/ml) IL-2, IL-4, IL-10, IL-13, IL-17A, dan GMCSF antara kedua kelompok pasien COVID-19 gejala ringan dan berat tidak berbeda signifikan. Namun demikian, terdapat kecenderungan bahwa kadar (pg/ml) IL-2, IL-4, IL-13, dan GMCSF meningkat pada kelompok pasien COVID-19 gejala berat. Sedangkan, kadar (pg/ml) IL-10 dan IL-17A cenderung menurun pada pasien COVID-19 yang bergejala berat. Selain itu, rasio antara IL-2/IL-10 secara signifikan (p=0,004) lebih tinggi pada pasien COVID-19 gejala berat. Sebanyak 65,7% pasien COVID-19 dengan gejala berat memiliki nilai rasio IL-2/IL-10 yang tinggi.
Kesimpulan: Kadar sitokin (pg/ml) IL-2, IL-4, IL-10, IL-13, IL-17A dan kemokin GMCSF (pg/ml) dari sampel swab NP dapat terdeteksi menggunakan Luminex® assay. Rasio kadar sitokin IL-2/IL-10 dapat dijadikan sebagai kandidat biomarker keparahan infeksi COVID-19 di masa mendatang.

Background: Coronavirus disease 2019 (COVID-19) is a respiratory tract infectious disease. Since the outbreak in Wuhan, COVID-19 was declared as a pandemic by WHO. Data from July 3rd, 2021, showed that there have been 183,098,615 confirmed positive cases of COVID-19 with a death toll of 3,964,145 worldwide. Etiologically COVID-19 is caused by the new coronavirus known as SARS-CoV-2. The majority of people infected with SARS-CoV-2 experience mild symptoms or even are asymptomatic. However, for some people with older age and having comorbid diseases, severe manifestations are very common. Host immune response is one of the factors which affect disease severity. Playing a vital role in activating the immune system against viruses, cytokine protein can also contribute to the severity. Currently, very little is known about the profile of cytokine-mediated immunity from the upper respiratory tract. This research is aimed to find a potential candidate of biomarkers to predict severity in the early phase of COVID-19 infections.
Methods: NP swab samples were obtained from patients who were positively confirmed for COVID-19. Subjects were divided into 2 categories based on the manifestation as mild or severe symptoms of COVID-19. Cytokine levels (pg/ml) of IL-2, IL-4, IL-10, IL-13, IL-17A, and GMCSF were analyzed from NP swab samples using Luminex® assay.
Results: Demographic factors such as age (p=0.024) and comorbidities (p=0.017) significantly played a role in determining severity of COVID-19 patients. The levels (pg/ml) of IL-2, IL-4, IL-10, IL-13, IL-17A, and GMCSF between the two groups of patients with mild and severe COVID-19 symptoms were not significantly different. However, there was a tendency that the levels (pg/ml) of IL-2, IL-4, IL-13, and GMCSF to increase in the group of patients with severe COVID-19 symptoms. Meanwhile, levels (pg/ml) of IL-10 and IL-17A tend to decrease in COVID-19 patients with severe symptoms. In addition, the ratio of IL-2/IL-10 was significantly (p=0.004) higher in severe COVID-19 patients. A total of 65.7% of COVID-19 patients with severe symptoms had high values of IL-2/IL-10 ratio.
Conclusion: Cytokine levels (pg/ml) of IL-2, IL-4, IL-10, IL-13, IL-17A, and GMCSF from NP swab samples can be detected using the Luminex® assay. The ratio of IL-2/IL-10 cytokine levels can be used as a biomarker candidate to predict severity for COVID-19 infection in the future.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alexander Karmali Ruslim
"Maraton adalah salah satu jenis olah raga aerobik, sehingga sangat memerlukan hantaran oksigen yang baik di otot yang sedang aktif bekerja. Untuk ini diperlukan kadar dan fungsi hemoglobin yang normal, serta adanya perubahan fisiologis dari jantung, paru, pembuluh darah dan otot, untuk dapat bekerja lebih baik. Walaupun demikian, berbagai peneliti melaporkan adanya perubahan hemodinamik yang kurang menguntungkan, seperti misalnya hemokonsentrasi, hemolisis intravaskuler, perdarahan saluran kemih dan perdarahan saluran cerna. Perubahan hemodinamik ini dapat mempengaruhi prestasi atlit.
Oleh karena kadar dan fungsi hemoglobin yang normal sangat dibutuhkan dalam olah raga maraton, maka atlit dengan kelainan hemoglobinopati menunjukkan prestasi yang kurang memuaskan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh data frekuensi Hbpati pada atlit maraton Indonesia, serta untuk mengetahui pengaruhnya pada perubahan hemodinamik yang dialami atlit maraton Indonesia setelah perlombaan maraton.
Peserta penelitian adalah 35 orang atlit maraton pria yang mengikuti prokiamaton pada tanggal 5 Agustus 1990 di Jakarta. Dari 35 orang ini, yang bersedia untuk meneruskan penelitian sampai selesai berjumlah 17 orang, sedang sisanya 21 orang hanya bersedia untuk diambil bahan pemeriksaan 1x saja, yaitu 1 hari sebelum perlombaan berlangsung.
Didapatkan 17 (48,6%) dari 35 atlit mempunyai kadar HbA2 berkisar antara 3,6-7,3% dengan 5 orang diantaranya disertai peningkatan kadar HbF berkisar antara 1,02-1,27%. Kelompok ini didiagnosis sebagai talasemia R heterozigot. Empat dari 35 atlit (11,4%) mempunyai kadar HbA2 berkisar antara 27,20-30,60%. Elektroforesis Hb dengan dapar pH alkali dan asam menunjukkan bahwa ke 4 atlit ini adalah penderita HbE heterozigot. Atlit dengan hasil elektroforesis Hb, kadar HbA2 dan HbF normal, berjumlah 14 orang (40,0%).
Dari 17 orang atlit yang bersedia mengikuti penelitian sampai selesai, 8 atlit (47,1%) didiagnosis sebagai talasemia A heterozigot, 2 atlit (11,7%) sebagai HbE heterozigot dan 7 atlit (41,2%) adalah normal.
Bila dibandingkan hasil pemeriksaan berbagai parameter antara kelompok atlit normal, talasemia dan HbE, maka pada umumnya tidak didapatkan perbedaan yang bermakna, kecuali pada kadar Hb plasma dan kadar haptoglobin. Kadar Hb plasma atlit kelompok talasemia dan HbE lebih tinggi dibanding atlit kelompok normal. Kadar haptoglobin atlit kelompok talasemia dan HbE lebih rendah dibanding atlit kelompok normal.
Perubahan hemodinamik yang dapat ditemukan pada 17 atlit yang bersedia melanjutkan penelitian sampai selesai adalah hemokonsentrasi dengan penurunan volume plasma rata rata sebesar 5,44%; hemolisis intravaskuler dengan berbagai derajad pada 16 dari 17 atilt (94,12%), dan hematuria pada 3 dari 17 atlit (17,65%). Hemoglobinuria dijumpai pada 5 dari 17 atlit (29,41%). Proteinuria +1-+4 terdapat pada 14 dari 17 atlit (82,30%). Peningkatan jumlah leukosit dalam urin.
Bila ke 17 atlit tersebut dipisahkan menjadi kelompok atlit normal dan talasemia, maka hemokonsentrasi pada kelompok atlit normal sebesar 2,5%, dan hemokonsentrasi pada kelompok atlit talasemia sebesar 9,1%. Tidak terdapat perbedaan hemolisis intravaskuler yang bermakna antara kedua kelompok tersebut. Iskemia ginjal pada kelompok atlit talasemia lebih berat dibanding pada kelompok atlit normal. Prestasi yang ditunjukkan kelompok atlit normal lebih baik secara bermakna dibanding prestasi yang ditunjukkan kelompok atlit talasemia.
Tiga hari setelah perlombaan maraton, didapatkan perubahan hemodinamik berupa hemodilusi dengan peningkatan volume plasma rata rata sebesar 3,2%, dibanding keadaan sebelum perlombaan. Hemodilusi pada kelompok atlit normal sebesar 2,7% dan hemodilusi pada kelompok atlit talasemia sebesar 3,2%. Tidak dijumpai lagi hemolisis intravaskuler dan perdarahan saluran kemih serta tanda iskemia ginjal lainnya. Radar haptoglobin dan jumlah eritrosit mulai meningkat, tetapi belum mencapai kadar seperti sebelum perlombaan berlangsung.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1991
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahma Ayu Larasati
"ABSTRAK
Diabetes Melitus Tipe 2 (DMT2) adalah masalah global yang sangat serius. Penyakit ini menyerang pada usia yang paling produktif sehingga dapat menurunkan derajat ekonomi dan mengurangi usia harapan hidup. Patogenesis DM sangat erat kaitannya dengan inflamasi, ditandai dengan peningkatan kadar sitokin proinflamasi seperti IL-6, IL-8 dan TNF. Namun, belum ada agen antiinflamasi yang terbukti berperan dalam tatalaksana DMT2. Butirat merupakan asam lemak rantai pendek yang diproduksi dari fermentasi pati resisten di lumen usus. Dalam kondisi normal butirat diserap dan digunakan sebagai sumber energi bagi sel kolonosit, hati dan otot. Butirat mampu berikatan dengan reseptor GPR41 dan GPR43 pada monosit sehingga mampu mengubah pola ekspresi sitokin, aktivasi, migrasi dan diferensiasi sel. Sehingga menarik untuk meneliti pengaruh butirat terhadap migrasi dan sitokin yang diekspresikan oleh monosit pada pasien DMT2. Kadar sitokin dihitung dari supernatan yang diambil dari kultur monosit . Sebanyak 37 subJek dibagi menjadi dua perlakuan yaitu kontrol dan dengan penambahan butirat. Monosit hari pertama diisolasi dalam gel kolagen tipe 1 untuk dilakukan uji migrasi menggunakan μ-slide chemotaxis IBIDI. Analisis gambar menggunakan software ImageJ dan Chemotaxis tool. Terdapat adanya perbedaan yang bermakna pada rasio TNF/IL 10 antara kelompok sehat dan DMT2. Butirat juga terlihat menekan produksi sitokin TNF dan meningkatkan produksi IL10. Indikator migrasi monosit seperti jarak akumulasi dan kecepatan migrasi memiliki perbedaan bermakna antara kelompok sehat dan DMT2. Butirat dapat menekan laju migrasi monosit diikuti dengan penurunan jarak dan kecepatan migrasi monosit

ABSTRACT
Type 2 Diabetes Mellitus (DMT2) is a very serious global problem. This disease attacks at the most productive age so that it can reduce economic status and reduce life expectancy. The pathogenesis of DM is very closely related to inflammation. characterized by increased levels of proinflammatory cytokines such as IL-6, IL-8 and TNF. However, no anti-inflammatory agent has been proven to play a role in the management of T2DM. Butyrate is a short chain fatty acid produced from resistant starch fermentation in the intestinal lumen. In normal conditions the butyrate is absorbed and used as an energy source for colonocytes, liver and muscle cells. Butirate is able to bind to GPR41 and GPR43 receptors on monocytes so that it can change the pattern of cytokine expression, activation, migration and cell differentiation. So it is interesting to examine the effect of butyrate on migration and cytokines expressed by monocytes in T2DM patients. Cytokine levels were calculated from supernatants taken from monocyte cultures. A total of 37 subjects were divided into two treatments, namely control and with addition of butyrate. The first day monocytes were isolated in type 1 collagen gel for migration testing using the slide chemotaxis IBIDI. Image analysis using ImageJ and Chemotaxis tool software. There was a significant difference in the TNFα / IL 10 ratio between healthy groups and T2DM. Butyrate also appears to suppress TNF cytokine production and increase IL10 production. Monocyte migration indicators such as accumulation distance and migration speed have significant differences between healthy groups and T2DM. Butirat can reduce inflammation responds and the distance and speed of monocyte migration"
2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>