Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 355 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Azhar Rahadiyan Anwar
"Tujuan Perbankan di Indonesia adalah untuk mendukung perkembangan dan stabilitas perekonomian Indonesia. Untuk mencapai hal itu, Bank memiliki 2 (dua) fungsi utama yaitu menghimpun dana dari warga dan menyalurkan dana kepada warga. Fungsi semacam ini disebut sebagai fungsi intermediasi Bank. Salah satu produk Bank mengenai penyaluran dana kepada masyarakat yang diwujudkan dalam Bank Garansi. Bank Garansi adalah produk Bank yang bertujuan untuk memberikan jaminan kepada penerima bahwa prinsipal yang meminta Bank Garansi kepada Bank akan melaksanakan pekerjaan sesuai dengan kewajiban kontraktual antara penerima dan prinsipal. Berangkat dari ketentuan UU No. 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, Kementerian PUPR dalam membuat Perjanjian Pekerjaan dan Jasa Konstruksi mewajibkan agar Kontraktor dapat menyerahkan Jaminan baik dalam proses pengadaan maupun dalam pelaksanaan Perjanjian kepada Kementerian PUPR. Bank Garansi merupakan salah satu instrument yang dapat digunakan oleh Kontraktor sebagai Jaminan tersebut. Dalam praktiknya, Bank Garansi sebagai Jaminan dalam Perjanjian Pekerjaan dan Jasa Konstruksi seringkali diartikan sama dengan Jaminan dalam Konteks Hukum Jaminan dalam KUHPerdata. Secara khususnya, Bank Garansi disamakan dengan Perjanjian Penanggungan atau Borgtocht yang memiliki sifat buntut atau accesoir. Namun dalam praktiknya, pemahaman tersebut dapat dikatakan kurang tepat dikarenakan terdapat perbedaan yang mendasar terkait dengan sifat dari Bank Garansi dan Perjanjian Penanggungan. Oleh karenanya, dalam penelitian ini isu atau rumusan masalah yang akan dibahas berkaitan dengan penggunaan dari Bank Garansi sebagai jaminan dalam Perjanjian Pekerjaan dan Jasa Konstruksi antara Kementerian PUPR dan Kontraktor serta Kedudukan dari Bank Garansi dalam Perjanjian Pekerjaan dan Jasa Konstruksi antara Kementerian PUPR dan Kontraktor.

The purpose of banking in Indonesia is to support the development and stability of the Indonesian economy. To achieve this, the Bank has 2 (two) main functions, namely collecting funds from citizens and channeling funds to citizens. This kind of function is referred to as the Bank's intermediary function. One of the Bank's products regarding the distribution of funds to the public is realized in the Bank Guarantee. Bank Guarantee is a Bank product that aims to provide assurance to the recipient that the principal who requests the Bank Guarantee to the Bank will carry out the work in accordance with the contractual obligations between the recipient and the principal. Departing from the provisions of Law No. 2 of 2017 concerning Construction Services, the Ministry of PUPR in making Work and Construction Services Agreements requires that Contractors can submit Guarantees both in the procurement process and in the implementation of the Agreement to the Ministry of PUPR. Bank Guarantee is one of the instruments that can be used by the Contractor as a guarantee. In practice, the Bank Guarantee as a Guarantee in the Work and Construction Services Agreement is often interpreted as the same as the Guarantee in the Context of Guarantee Law in the Civil Code. In particular, the Bank Guarantee is equated with a Coverage Agreement or Borgtocht which has a tail or accesoir nature. However, in practice, this understanding can be said to be less precise because there are fundamental differences related to the nature of the Bank Guarantee and the Insuring Agreement. Therefore, in this research, the issues or problem formulations that will be discussed relate to the use of Bank Guarantees as collateral in the Work and Construction Services Agreement between the Ministry of PUPR and the Contractor and the Position of the Bank Guarantee in the Work and Construction Services Agreement between the Ministry of PUPR and the Contractor."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasna
"Berdasarkan hukum perjanjian, pihak yang terdampak peristiwa keadaan memaksa tidak dapat dimintai pertanggungjawaban karena tidak melaksanakan kewajiban kontraktualnya. Namun, dalam hal perjanjian memuat prinsip hell or high water, yang umumnya terdapat pada perjanjian sewa guna usaha pesawat, kewajiban penyewa bersifat absolut dan tanpa syarat, serta tanpa memperhatikan kondisi apapun yang dialami penyewa, termasuk apabila terdampak oleh peristiwa keadaan memaksa, sesuai
dengan asas kebebasan berkontrak. Keberlakuan prinsip hell or high water apabila terjadi peristiwa keadaan memaksa menjadi menarik untuk dibahas. Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh peristiwa keadaan memaksa terhadap pengaturan prinsip hell or high water dalam perjanjian sewa guna usaha pesawat. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dan didukung dengan wawancara terhadap narasumber di Maskapai Penerbangan X. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa prinsip hell or high water dimuat secara konsisten, bersifat
fundamental, dan merupakan praktik kebiasaan dalam sewa guna usaha pesawat.
Peristiwa keadaan memaksa tidak mempengaruhi keberlakuan klausul hell or high water. Namun pada praktiknya, para pihak masih dapat melakukan negosiasi terhadap penerapan prinsip hell or high water. Kewajiban penyewa tetap harus dilaksanakan secara absolut, akan tetapi waktu pelaksanaannya dapat disepakati bersama dengan mempertimbangkan kondisi penyewa. Meskipun demikian, tetap dibutuhkan peran serta pengadilan untuk menerapkan teori keadilan komutatif dan asas keseimbangan dalam berkontrak dalam rangka melindungi pihak yang terdampak peristiwa keadaan memaksa, terutama apabila para pihak tidak dapat menyepakati penyesuaian ketentuan dalam perjanjian pada tahapan negosiasi secara komersial.

According to the contract law, party affected by force majeure cannot be held responsible for not performing its contractual obligations. However, this does not apply if the agreement includes a hell or high water principle, generally found in the aircraft lease agreement, which stipulates lessee’s obligations to be absolute and unconditional, without regard to any circumstances, including force majeure, consistent with freedom of contract principle. It is interesting to discuss the applicability of hell or high water principle in case the lessee experienced force majeure event. This study aims to analyse
how force majeure events affects the application of the hell or high water principle in the aircraft lease agreement. The approach of this study is normative juridical approach supported by information obtained through interviews with employees of Airline X. This study shows that the hell or high water principle is stipulated consistently, fundamental in nature and a customary practice in aircraft leasing. Force majeure events do not affect the enforceability of a hell or high water principle. However, in
practice, the parties can still negotiate the application of the hell or high water principle. Lessee still absolutely obliged to perform the terms of the agreement, but the parties can mutually agree on the time of such performance, by taking into account circumstances surround Lessee. Even so, the role of the court is still needed to apply the commutative justice theory and the contractual balance principle in order to protect the party affected by the force majeure events, particularly if the parties cannot agree on adjusting the terms of the agreement at the commercial negotiation stage
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alifia Swatika Maharani
"Penelitian ini mengangkat permasalahan mengenai urgensi dari pengaturan mengenai Initial Coin Offering di Indonesia. Hal tersebut disebabkan meningkatnya sebuah konsep pendanaan untuk membiayai perusahaan yang ingin mendapatkan modal dengan menerbitkan token melalui mekanisme Initial Coin Offering. Namun legalitas dari praktek tersebut belum memiliki kepastian hukum karena belum adanya peraturan hukum yang mengatur secara khusus mengenai praktek tersebut di Indonesia, sehingga patut untuk melihat pengaturan best pratice yang telah diterapkan oleh negara lain. Penulisan ini menggunakan metode normatif dengan pendekatan menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan perbandingan, dan pendekatan analitis. Bahan hukum yang digunakan primer, sekunder, dan tesier yang diperoleh dengan studi kepustakaan. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan digital aset lebih lanjut di Indonesia yang salah satunya mengenai ICO sebagai pedoman dalam penyelenggaraan penawaran umum pada lingkup aset digital di Indonesia dengan didasari pengaturan ICO yang telah dilakukan Amerika. Hal tersebut dapat menjadi salah satu rujukan referensi best practice dalam rangka memberikan payung regulasi serta framework panduan teknis dalam praktek ICO di Indonesia.

This research raises the issue of the urgency of regulation regarding Initial Coin Offering in Indonesia. This is due to the increase in financial technology where there is a funding concept to finance startup companies that wish to obtain capital by issuing tokens through the Initial Coin Offering mechanism. However, the legality of this practice does not yet have legal certainty because there are no legal regulations that specifically regulate this practice in Indonesia, so it is appropriate to look at best practice arrangements that have been implemented by other countries. This writing uses a normative method with an approach using statutory approaches, comparative approaches, and analytical approaches. In this regard, it is important for regulators to follow matters related to the development of digital assets. Therefore, further regulation of digital assets is needed in Indonesia, one of which is regarding ICO as a guide in organizing public offerings in the scope of digital assets in Indonesia based on ICO arrangements that have been carried out by America. This can be one of the best practice references in order to provide a regulatory umbrella as well as a technical guidance framework in the practice of ICOs in Indonesia."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zippo Surya Anggara Putra
"Pembangunan infrastruktur membutuhkan jumlah dana yang besar. Rencana Jangka Menengah Nasional 2020-2024 memberikan mandate untuk mencari mekanisme pembiayaan inovatif untuk memenuhi gap funding pada pembangunan infrastruktur sehingga tidak semua pendanaan dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Salah satu mekanisme pembiayaan innovative yang dapat dipilih adalah Land Value Capture. Mekanisme ini dilakukan dengan memonetisasi tanah yang dikembangkan pemerintah untuk meningkatkan nilai tanah dan properti dari investasi infrastruktur, dan hasilnya digunakan untuk pembiayaan publik lainnya. Penelitian ini menggunakan penelitian normatif untuk mencari urgensi pembentukan Land Value Capture melalui Tax Increment Financing. Penelitian ini juga mencari Peluang penerapan Land Value Capture dalam konteks hukum di Indonesia dengan melihat best practice di Amerika Serikat untuk menemukan pembelajaran sehingga dapat dijadikan acuan untuk menetapkan Land Value Capture di Indonesia. 

Infrastructure development requires a large amount of money. The 2020-2024 National Medium-Term Development Plan (RPJMN) mandates exploring innovative financing mechanisms to meet funding gaps for infrastructure development so that not all funding is borne by the State Revenue and Expenditure Budget (APBN). An innovative financing option that can be chosen is Land Value Capture. This mechanism is carried out by monetizing land developed by the government to increase land and property values from infrastructure investment, and the proceeds are used for other public financing. This study uses normative Research to look for the urgency of forming Land Value Capture through Tax Increment Financing. This Research also looks for Opportunities for Land Value Capture application in the legal context in Indonesia by looking at best practices in the United States to find lessons learned so that they can be used as a reference for establishing Land Value Capture in Indonesia."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edwardo Warman Putra
"Pengaturan khusus Go Private diundangkan melalui POJK No. 3/2021. Selama ini pelaksanaan Go Private telah kerap dilakukan, dalam pelaksanaannya Go Private kerap terhambat dengan Pemegang Saham Tidak Hadir. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis ketentuan Go Private berdasarkan POJK No. 3/2021, beserta mekanisme yang dapat dilakukan untuk menangani Pemegang Saham Tidak Hadir. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif serta penelitian ini didukung dengan pelaksanaan wawancara bersama praktisi harta peninggalan. Berdasarkan hasil penelitian, Perseroan Terbuka melakukan Go Private secara sukarela maupun akibat perintah dari OJK. Pengaturan Go Private pasca diundangkannya POJK No. 3/2021, lebih memberikan kepastian hukum terhadap pemegang saham independen serta terhadap kelancaran Perseroan Terbuka dalam melakukan Go Private. Mekanisme penyelesaian masalah Pemegang Saham Tidak Hadir dapat diselesaikan dengan memohon jumlah maksimal pemegang saham lain kepada OJK atau melalui mekanisme lain yaitu dengan melakukan pengajuan permohonan penetapan Pengadilan agar Pemegang Saham Tidak Hadir dapat diwakilkan oleh BHP. Berdasarkan penetapan tersebut BHP akan melakukan pengurusan dengan menjual saham yang diurusnya dan menatausahakan uang hasil penjualan selama 30 (tiga puluh) tahun. Apabila jangka waktu penatausahaan tersebut sudah lewat, maka uang penjualan tersebut akan dimasukan ke dalam kas negara.

Go Private special regulation was promulgated through POJK No. 3/2021. During the time of implementation, Go Private is often hampered by the Absence of Shareholders. This study aims to analyze Go Private provisions based on POJK No. 3/2021, in conjunction with the implementation relevant mechanism for Absence Shareholder. The method used in this research is normative juridical and this research is supported by conducting interviews with practitioners of inheritance. Based on the research results, Public Companies transition to Go Private voluntarily or because of orders from the OJK. Go Private regulation after the promulgation of POJK No. 3/2021, provides more legal certainty for independent shareholders and make the transition of going private for publicly listed companies easy. The mechanism for resolving the Absence of Shareholders problem can be resolved by requesting the maximum number of other shareholders to the OJK or through another mechanism, mainly by submitting a request for a court order so that the Absent Shareholders can be represented by Property and Heritage Agency (BHP). Based on this stipulation, BHP will manage it by selling the shares and administering the proceeds from the sale for 30 (thirty) years. If the administration period has passed, the sales money will be included in the state treasury."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rizqi Ulil Abshor
"Permasalahan pinjaman online semakin kompleks seiring pertumbuhan Fintech itu sendiri, terutama Fintech ilegal. Jenis-jenis pelanggaran hukum yang dilakukan Fintech ilegal beragam, bisa berupa penagihan yang kasar hingga pelecehan seksual, tersebarnya data pribadi dari konsumen. Selain itu, tingginya bunga pinjaman hingga pencurian data pribadi melalui telepon seluler konsumen yang dilakukan perusahaan Fintech menimbulkan dampak buruk terhadap konsumen. Dengan mengambil perbandingan antara Uni Eropa dan Malaysia, ada beberapa aspek dalam penyusunan model regulasi Fintech. Pertama, Uni Eropa memiliki regulasi Fintech yang efisien dan transparan serta sanksi yang tegas bagi penyelenggara yang melanggar. Pengaturan hukum tentang mekanisme penagihan pinjaman online di Indonesia dijelaskan adanya  penyelenggara layanan, pemberi pinjaman pinjaman online dan penerima dana pinjaman telah diatur dalam Pasal 1 ayat 6 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 10/POJK.05/2022 Tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (POJK LPBBTI/Fintech P2P Lending). Pengaturan hukum tentang mekanisme penagihan pinjaman online Uni Eropa dan Malaysia yaitu di Uni Eropa dikenal suatu undang-undang yang disebut General Data Protection Regulation (GDPR). Regulasi tersebut mengatur pihak penyelenggara yang mengakses data pribadi dan lembaga penagihan yang bekerja sama dengan penyelenggara harus bertanggung jawab. Perbandingan pengaturan hukum tentang mekanisme penagihan pinjaman online antara Indonesia, Uni Eropa dan Malaysia sehingga dapat diterapkan di Indonesia.

The problem of online loans is increasingly complex as Fintech itself grows, especially illegal Fintech. The types of law violations that illegal Fintech commits vary, ranging from abusive billing to sexual harassment, the sharing of personal data from consumers. In addition, the high interest on loans and the theft of personal data via consumer cell phones by Fintech companies have had a negative impact on consumers. By taking a comparison between the European Union and Malaysia, there are several aspects in the preparation of the Fintech regulatory model. First, the European Union has efficient and transparent Fintech regulations and strict sanctions for violators. The legal arrangements regarding the online loan collection mechanism in Indonesia explain that there are service providers, online loan lenders and loan recipients that have been regulated in Article 1 paragraph 6 of the Financial Services Authority Regulation (POJK) Number 10/POJK.05/2022 concerning Technology-Based Co-Funding Services Information (POJK LPBBTI/Fintech P2P Lending). Legal arrangements regarding the European Union and Malaysia's online loan collection mechanism, namely in the European Union there is a law known as the General Data Protection Regulation (GDPR). The regulation stipulates that administrators who access personal data and collection agencies that work with administrators must be responsible. Comparison of legal arrangements regarding online loan collection mechanisms between Indonesia, the European Union and Malaysia so that they can be implemented in Indonesia."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zahra Adinda Atyarisma
"Perkembangan teknologi yang terjadi selalu menimbulkan inovasi baru yang dapat mempermudah keberlangsungan hidup, salah satunya dengan timbulnya perjanjian jual beli yang dilakukan secara elektronik. Namun dengan inovasi baru yang ada menyebabkan masyarakat kesulitan untuk memahami serta beradaptasi dengan ketentuan yang baru, contohnya dalam hal jual beli elektronik dengan sistem pembayaran cash on delivery Permasalahannya adalah terkadang terdapat beberapa kendala dalam jual beli elektronik seperti adanya cacat atau kerusakan pada pengiriman. Dengan adanya ketidaksesuaian tersebut pembeli merasa dirugikan hingga melakukan pembatalan jual beli secara sepihak. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif dengan menelaan bahan bacaan serta peraturan perundang-undangan terkait dengan sifat penelitian desktriptif analitis. Pengumpulan data menggunakan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan serta bahan hukum sekunder yaitu buku, jurnal, dan artikel terkait bahan hukum primer. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan mengenai syarat dan kondisi terkait jual beli elektronik dengan sistem pembayaran cash on delivery yang diatur oleh beberapa marketplace di Indonesia yaitu Shopee, Bukalapak, Tokopedia, dan Lazada memiliki ketentuan yang berbeda-beda. Ketentuan yang berbeda terletak pada tolok ukur dapat dibatalkannya perjanjian jual beli, yaitu Shopee melihat dari pengiriman, Bukalapak melihat dari pembayaran, Tokopedia melihat dari konfirmasi penjual, sedangkan Lazada sama seperti shopee yang melihat dari pengiriman. Persamaan dari keempat marketplace tersebut adalah apabila penyerahan barang dalam perjanjian jual beli elektronik dengan sistem pembayaran cash on delivery telah dilakukan maka kewajiban pembeli untuk membayar harga barang harus dipenuhi. Apabila terdapat ketidaksesuaian barang maka dapat dilakukan pengembalian barang setelah perjanjian jual beli terpenuhi. Sehingga, perjanjian jual beli harus selesai terlebih dahulu baru pembeli dapat mengajukan pengembalian sebagai bentuk ganti rugi.

Technological developments that occur always give rise to new innovations that can facilitate survival, one of which is the emergence of buying and selling agreements made electronically. However, with the existing new innovations, it is difficult for people to understand and adapt to the new provisions, for example in the case of buying and selling electronically with the Cash On Delivery payment system. The problem is that sometimes there are several obstacles in buying and selling electronics such as defects or damage to the shipment. With this discrepancy, the buyer feels disadvantaged and cancels the sale and purchase unilaterally. The research method used is normative juridical research by analyzing reading materials and laws and regulations related to the nature of analytical descriptive research. Data collection uses secondary data consisting of primary legal materials, namely legislation and secondary legal materials, namely books, journals, and articles related to primary legal materials. The results of the study show that arrangements regarding terms and conditions related to electronic buying and selling with the Cash On Delivery payment system regulated by several marketplaces in Indonesia, namely Shopee, Bukalapak, Tokopedia, and Lazada have different provisions. The different provisions lie in the benchmark for canceling a sale and purchase agreement, namely Shopee looks at delivery, Bukalapak looks at payment, Tokopedia looks at seller confirmation, while Lazada is the same as Shopee looking at delivery. The similarities of the four marketplaces are that if the delivery of goods in an electronic sale and purchase agreement with the Cash On Delivery payment system has been carried out, the buyer's obligation to pay the price of the goods must be fulfilled. If there is a discrepancy in the goods, then the goods can be returned after the sale and purchase agreement is fulfilled. Thus, the sale and purchase agreement must be completed first, then the buyer can submit a return as a form of compensation."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hania
"Tulisan ini menganalisis bagaimana prosedur dalam Bank untuk menetapkan bahwa debitur telah wanprestasi dan apakah terdapat unsur perbuatan melawan hukum dalam Putusan No. 1059/Pdt.G/2022/PN.Jkt.Sel.  Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal. Dalam prinsipnya, pemberian kredit harus dituangkan dalam sebuah perjanjian (“perjanjian kredit”). Selain itu, harus terdapat jaminan yang termuat dalam perjanjian accesoir (tambahan) dari perjanjian kredit agar keamanan kreditur lebih terjamin. Berdasarkan putusan No. 1059/Pdt.G/2022/PN.Jkt.Sel, jaminan yang digunakan adalah tanah dan bangunan yang berarti pengikatannya menggunakan Hak Tanggungan. Hak Tanggungan merupakan satu-satunya hak jaminan atas tanah. Apabila debitur mengalami kredit macet maka pihak bank akan melakukan upaya restrukturisasi agar debitur dapat memperbaiki kualitas kreditnya. Namun, apabila tetap tidak berhasil maka akan dikirimkan somasi sebagai bentuk pernyataan bahwa debitur telah lalai (wanprestasi). Setelah dikirimkan somasi sebanyak 3 (tiga) kali dan tetap tidak ada upaya debitur untuk pembayaran kewajibannya, maka akan dilaksanakan eksekusi objek jaminan dengan metode pelelangan umum. Pelaksanaan parate eksekusi dengan pelelangan umum merupakan hak bank selaku kreditur separatis untuk menjual objek jaminan melalui lelang dan hasil penjualan tersebut akan digunakan untuk melunasi hutang debitur sebagai upaya bank untuk recovery kredit macet. Dapat disimpulkan bahwa bank memiliki hak untuk melakukan eksekusi jaminan apabila debitur wanprestasi sesuai dengan prosedur dan peraturan yang ada dan gugatan perbuatan melawan hukum yang diajukan oleh pemilik objek jaminan yang akan dieksekusi tidak akan membatalkan proses lelang yang telah sesuai dengan prosedur. 

This paper analyzes the procedures within a bank to determine debtor default and whether there are elements of unlawful actions (tort) in verdict No. 1059/Pdt.G/2022/ PN.Jkt.Sel. This paper employs doctrinal legal research. In principle, the granting of credit should be formalized in a credit agreement. Additionally, there must be collateral included in an accessory agreement to the credit agreement to provide further security for the creditor. According to verdict No. 1059/Pdt.G/2022/PN.Jkt.Sel, the collateral used is land and buildings, indicating their encumbrance through a Mortgage Right. Mortgage Right is the sole security interest in land. In the event of a default, the bank will attempt to restructure the loan to allow the debtor to improve their credit quality. However, if these efforts prove unsuccessful, a notice of default (somasi) will be sent as a declaration that the debtor has defaulted. After sending the notice of default three times without any attempt by the debtor to fulfill their obligations, the bank will proceed with the execution of the collateral through a public auction. The execution of the collateral through a public auction is the right of the bank as a separate creditor to sell the collateral through an auction, and the proceeds will be used to settle the debtor's debt as part of the bank's efforts to recover from non-performing loans. In conclusion, the bank has the right to execute the collateral if the debtor defaults, following the existing procedures and regulations. Lawsuits claiming unlawful actions filed by the owner of the collateral to be executed will not invalidate the auction process that has adhered to the proper procedures."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizka Rahadiyani Aisyah
"PPJB Lunas berdasarkan SEMA Nomor 4 Tahun 2016 telah mengalihkan kepemilikan hak yang tidak mensyaratkan adanya AJB tidak dapat menjamin bukti pengalihan hak tersebut namun tidak sesuai dengan PP no. 24 tahun 1997 yang dimana peralihan hak harus dilakukan dihadapan PPAT , hal ini menimbulkan permasalahan ketika konsumen yang telah membayar lunas akan tetapi belum meningkatkan menjadi AJB , maka dalam hal ini mengalami masalah dengan dipailitkannya atau dengan dilakukan PKPU atau kepailitan oleh developer. Ketika di pailitkan konsumen menjadi kreditur konkuren. Dalam penelitian thesis ini metodologi normative yang bersifat preskriptif dengan kualitatif yang dimana mengacu pada perundang-undangan. Kesimpulan dari tesis ini bahwa bagi konsumen yang sudah memiliki PPJB lunas masih belum memiliki kepastian hukum tentang peralihan hak milik dan memiliki kendala dalam memperoleh kepemilikan haknya yang dimana PPJB bisa terhapus dan konsumen harus meminta untuk mengeluarkan dari boendel pailit serta meminta kepada curator untuk membantu mengeluarkan dari boendel pailit dan melanjutkan kepemilikan konsumen untuk dapat memperoleh Akta. Maka dalam hal ini disarankan ada pengaturan untuk mengatur jarak jangka waktu antara PPJB ke AJB serta Serta agar lebih meninjau tentang melindungi konsumen bahwa lebih disarankan jika dalam Undang-undang PKPU dan Kepailitan mewajibkan curator untuk memerhatikan pada pihak konsumen yang memiliki PPJB lunas sehingga konsumen tidak perlu dipermasalahkan untuk masuk ke dalam tagihan menjadi boendelpailit.

PPJB already paid off based on Supreme Court Circular (SEMA) Number 4 of 2016 has transferred ownership of rights without requiring the existence of a Deed of Sale and Purchase (AJB), cannot guarantee proof of the transfer of rights because it is not in accordance with Government Regulation (PP) Number 24 of 1997 where the transfer of rights must be carried out in front of the Official Land Deed Maker (PPAT), this causes problems when consumers who have paid in full but have not yet upgraded to AJB will face bankruptcy or by an act from Developer which doing PKPU or bankruptcy. When bankrupt, consumers become concurrent (unsecured) creditors. This thesis research uses a normative methodology that is prescriptive and qualitative that refers to legislation. The conclusion of this thesis is that for consumers who have a PPJB already paid off still do not have legal certainty about the transfer of ownership and have obstacles in acquire right of ownership where the PPJB can be eresed and consumers must ask to be removed from the boedel bankruptcy and ask the curator to help remove from the boedel bankruptcy and continue the consumer's ownership to acquire an AJB. So in this case, it is recommended that there is an regulation to regulate the period of time between PPJB and AJB and to further review consumer protection by suggesting that in the Bankruptcy Law more requires curators attention to consumers who have paid off PPJB, so that consumers do not need to be put into boedel bankruptcy."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saragih, Ricky Endrie
"Perkembangan teknologi internet telah memasuki suatu peradaban dimana semua orang melihat internet sebagai kebutuhan dasar. Demikian juga dengan perkembangan bisnis, dimana hampir semua bisnis pada masa ini telah berpindah dari yang bisnis yang konvensional ke dunia digital yang membutuhkan koneksi internet. Pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi adalah salah satu bisnis jasa yang juga sangat bergantung kepada teknologi internet. Pinjam meminjam uang ini mempertemukan pihak Pemberi Pinjaman dan pihak Penerima Pinjaman dalam suatu platform online yang dikelola oleh Penyelenggara Layanan. Di dalam platform online tersebut, Penyelenggara Layanan akan memberikan seluruh informasi yang dibutuhkan oleh Pemberi Pinjaman untuk menyalurkan dana yang dimiliki di dalam virtual account kepada setiap pengajuan pinjaman. Sistem pendanaan ini menggunakan sistem crowd funding atau urun dana, dimana untuk satu pinjaman yang diajukan akan didanai oleh beberapa Pemberi Pinjaman. Sebagai pihak yang memberikan pinjaman, maka keputusan para Pemberi Pinjaman ini sangat bergantung kepada informasi yang diberikan oleh Penyelenggara Layanan, baik informasi atas data-data calon Penerima Pinjaman atau hasil analisa dari Penyelenggara Layanan terhadap setiap pengajuan pinjaman. Karena itu, pembahasan adalah mengenai tanggung jawab dari Penyelenggara Layanan terhadap informasi yang disediakan di dalam platform online yang dikelolanya apabila Pemberi Pinjaman mengalami kerugian sebagai akibat dari informasi tersebut. Terhadap hal tersebut maka penelitian ini secara khusus akan mengelaborasi ketentuan Pasal 37 POJK 77/2016 yang memiliki konsep yang sama dengan tanggung jawab keperdataan yang timbul sebagai akibat dari suatu perbuatan melawan hukum. Peneliti memberikan saran, agar OJK membuat suatu peraturan baru yang khusus mengatur mengenai tanggung jawab Penyelenggara Layanan atas informasi yang disediakan di dalam platform pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi, yaitu kewajiban untuk memberikan informasi yang benar, ketentuan mengenai penggunaan artificial intelligence dalam menganalisa data dan bentuk tanggung jawab dari Penyelenggara Layanan atas kerugian yang timbul sebagai akibat dari informasi tersebut.

Internet technology development has entered a civilization where everybody sees internet as basic need. As well as business development, where almost all business nowadays has shifted from conventional business to the digital which needs internet connection. Peer to peer lending is a kind of service business which depends on the internet technology. Peer to peer lending bridges the Lender to the Borrower in an online platform managed by the Operator. In the online platform, the Operator will provide all the information needed by the Lender to deliver the fund available in the virtual account to the respective loan proposals. This peer to peer lending uses crowd funding system, where a loan proposal is funded by more than Lender. As the party who gives loan, then the Lenders decision will solely depend on the information provided by the Operator, both for the information of Borrowers data or information as the result of analysis from the Operator of respective loan proposals. Therefore, the aim is to study the liability of the Operator towards information provided in the online platform that managed by the Operator if the information has caused loss to the Lender. Regarding the matter, this research specifically elaborates the Article 37 POJK 77/2016 which has same concept with the liability as the result of tort. The researcher suggests OJK to draft new regulation specifically regarding the responsibility of the Operator towards information provided in the peer to peer lending online platform, the liability is to give correct information, article to regulate the usage of artificial intelligence for data analyzing and the form of liability of the Operator for the loss as the result of the information."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>