Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 55 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tisa Febriani
"Berkembangnya sekolah sebagai sebuah bisnis yang banyak diminati membawa banyak dampak bagi pihak pengelola sekolah. Salah satunya adalah semakin ketatnya persaingan antar sekolah dalam memperebutkan murid. Untuk dapat unggul dalam persaingan, sekolah harus memiliki keunggulan yang membedakannya dengan pesaing. Namun, memiliki daya pembeda saja tidak cukup untuk menjadikan sebuah sekolah unggul dalam persaingan. Daya pembeda tadi harus disampaikan pada publik melalui kegiatan komunikasi pemasaran.
SMA Cakra Buana merupakan salah satu sekolah yang mengandaikan komunikasi pemasaran dalam bersaing dengan sekolah Iain. Namun tampak bahwa sekolah ini mengalami lingkaran masalah dimana jumlanbangku yang belum sepenuhnya lerisi menyebabkan pendapatan di bawah target dan juga berpengaruh terhadap terbatasnya anggaran untuk kegiatan komunikasi pemasaran. Selama ini, komunikasi pemasaran terus dijalankan, namun jumlah murid tetap dibawah target. Untuk menyikapi hal ini, maka pihak sekolah harus memahami bahwa jika tidak dilakukan penyempurnaan terhadap kegiatan komunikasi pemasarannya, maka penurunan jumlah murid ini dapat terus terjadi dan tentunya sangat merugikan. Untuk mengetahui bagaimana komunikasi pemasarannya dapat disempumakan maka pertama-tama SMA Cakra Buana harus memahami proses pengambilan keputusan yang dilakukan dalam memilih SMU, sehingga dapat diketahui komunikasi pemasaran yang tepat untuk dilakukan.
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif. Data diperoleh melalui wawancara terstruktur dengan 2 orang pihak manajemen sekolah, 8 murid SMP Cakra Buana, 16 murid SMA Cakra Buana, dan 2 orang murid sekolah lain yang menjadi pesaing SMA Cakra Buana, Untuk pihak manajemen, penarikan sampel dilakukan secara nin-probability yaitu dengan convenience sampling, sedangkan untuk murid, penarikan sampel dilakukan secara probability yaitu clengan random sampling.
Dari data tentang proses pengambilan keputusan pemilihan sekolah yang diperoleh, ditemukan bahwa sumber informasi yang paling barpengaruh adalah teman dalam bentuk komunikasi word-of mouth. Penyampaian informasi yang sifatnya informal ini lebih dipercaya dibandingkan dengan penyampaian secara formal dalam bentuk komunikasi pemasarn oleh pihak sekolah. Sedangkan dalam hal kriteria pemilihan, jark antara lokasi sekolah dengan tempat tinggal merupakan kriteria yang paling menentukan, dimana murid dapat mengorbankan kualitas sekolah demi jarak yang lebih dekat. Dengan begitu, maka kegiatan komunikasi pemasaran dapat difokuskan pada wilayah Depok dimana sekolah ini berada."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
T17353
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suyanni Sapoetro
"Kebutuhan hasil cetak dokumen merupakan bagian dari kegiatan dalam masyarakat dari waktu ke waktu. Secara umum, dokumen dijabarkan sebagai media yang digunakan untuk menyampaikan informasi dari satu pihak kepada pihak lainnya. Informasi tersebut dapat berupa pemberitahuan ataupun data transaksi yang telah terjadi. Khusus untuk data transaksi yang terjadi secara periodik antara produsen dan konsumen, dokumen informasi tagihan / transaksi dicetak dengan menggunakan teknologi Document Printing System (DPS).
PT. X merupakan salah satu divisi AGDS yang melakukan usaha layan olah dokumen dengan memanfaatkan teknologi komputer mulai dari tahap pengolahan data, pembuatan desain tata letak, pencetakan dan pengamplopan (inserting) dalam suatu sistem yang terpadu. Produk PT. X berupa pencetakan dokumen berwarna ataupun hitam/putih untuk rekening koran bank, rekening telepon maupun aplikasi lainnya yang bervolume tinggi, akurat, rahasia dan tepat waktu. Pengguna terbesar jasa pencetakan DPS adalah produsen utilitas (listiik, air, gas, dan telekomunkasi) dan jasa keuangan (perbankan, kartu kredit, dan asuransi).
Guna mengembangkan usahanya, PT. X melakukan ekspansi usahanya dengan sistem waralaba. PT. X1 merupakan terwaralaba pertama sejak tahun 1997 dan berlokasi di Jakarta. Pesatnya pentumbuhan permntaan cetak DPS, ternyata tidak berjalan sejajar dengan perkembangan bisnis terwaralaba PT. X1 Hal ini sangat mempengaruhi pertumbuhan bisnis PT. X secara keseluruhan. Oleh karena itu yang menjadi isu utama bagi PT. X saat ini adalah bagaimana memperbaiki sistem pengembangan pewaralabaan PT. X guna mendukung bisnis DPS dan segera mengambil peluang yang ada.
Berdasarkan hal tersebut, studi pada karya akhir ini memiliki 3 tujuan yaitu memastikan bahwa sistem waralaba merupakan langkah yang tepat bagi pengembangan bisnis PT. X, mendapatkan area penyebab lambatnya pertumbutian usaha terwaralaba dibandingkan PT. X yang dikelola AGDS, serta memberikan masukan pada PT. X mengenai pioritas langkah perbaikan yang harus dilakukan guna mempercepat pertumbuhan pendapatan pewaralaba.
Analisis dilakukan pada hal yang terkait langsung dengan pengelolaan bisnis PT. X, tidak mencakup analisis industri DPS di Indonesia, baik dari sisi perkembangan teknologi DPS maupun pola permintaan. Dasar pembatasan ini diambil karena data perkembangan bisnis DPS bersumber dari Gartner (perusahaan riset dan analisis bisnis industri) yang sudah diolah oleh internal AGDS.
Hasil penelitian mengindikasikan bahwa PT. X harus memfokuskan pertumbuhan usahanya pada pelanggan dan sektor utilitas yang melakukan pencetakan DPS secara internal. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal yaitu jumlah pelanggan dan pertumbuhan usaha sektor utilitas terbesar dibandingkan usaha pelanggan DPS lainnya, trend alihdaya produsen internal ke eksternal, kompetisi yang tidak terlalu berat antara sesama produsen DPS karena, pangsa pasar yang sangat besar, seria perolehan keuntungan yang lebih besar dibandingkan melakukan pencetakan untuk pelanggan dan industri lain.
Pemberdayaan sistem waralaba PT. X merupakan pilihan terbaik dalam memperbesar pangsa pasar volume printing PT. X. Alasan utama yang mendorong hal di atas adalah keterbatasan dana yang ada pada PT. X sehingga tidak memungkinkan melakukan investasi sendiri serta sudah tersedianya sistern waralaba PT. X. Selain itu PT. X juga akan mendapatkan keuntungan finansial dan terwaralaba dalam bentuk pembayaran fee awal waralaba dan royalti.
Untuk menjawab isu utama di atas, PT. X perlu melakukan langkah-langkah konkrit yaitu memperbaiki kontrol sistem waralaba yang belum effektif seperti kesinambungan promosi penjualan dan pelatihan kembali tenaga kerja operasional agar tingkat pelayanan yang diberikan pada pelanggan sesuai dengan standar yang disepakati. Langkah konkrit Iainnya adalah memperketat kontrak, memperbaiki meloda peniiaian kinerju terwaralaba, inemberikan kompensasi atas keberhasilan dan kegagalan terwaralaba, dan melakukan terminasi kontrak bila ternyata kineija terwaralaba sulit diperbaiki lagi.
Terakhir PT. X harus memperkokoh fungsi pemasaran waralabanya dengan mempersiapkan tenaga pemasaran dan melakukan pelatihan bagi tenaga operasionalnya guna mendukung keberhasilan operasi usaha terwaralaba-terwaralaba baru."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T15960
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agung Prihanggoro
"Seiring dengan berkembangnya media massa karena kebebasan pers yang didukung oleh UU no 40 tahun 1999 maka media muncul ke masyarakat juga semakin beragam. Jenis media yang berkembang cukup pesat adalah media cetak lslami dalam format majalah yang kini sudah banyak ditemui di toko buku atau agen. Majalah - majalah tersebut muncul dengan topik - topik sesuai dengan tema yang diangkatnya sehingga menjadi sangat beragam, diantaranya adalah majalah Ghoib yang membahas tentang praktek mistik dan fenomena gaib dari sudut pandang syariat Islam.
Dalam perjalanan bisnisnya sejak terbit tahun 2004, majalah Ghoib sudah mengalami pasang surut penjualan. Hingga saat ini majalah Ghoib dalam kecenderungan memburuk ditandai dengan jumlah penjualannya yang menurun, bahkan sampai titik yang paling rendah. Bagi majalah Ghoib, penjualan sangat erat kaitannya dengan profitabilitas karena revenue majalah Ghoib saat ini hanya sebagai media berbasis langganan sehingga sumber pendapatannya dari penjualan majalah.
Literatur menyebutkan bahwa sebuah perusahaan media berbasis pelanggan hendaknya menggunakan strategi bersaing dengan mengoptimalkan basis pelanggannya. Permasalahan dalam melakukan optimalisasi yang dibahas dalam karya akhir ini meliputi pemahaman karaktcristik dan segmen pelanggan serta bagaimana memilih dan mengembangkan segmen pelanggan tersebut.
Upaya untuk memahami pelanggan dimulai dengan melakukan penelitian tentang karakteristik pelanggan kemudian dikelompokkan dalam segmen - segmen pelanggan. Segmen ini kemudian dievaluasi nilai dan karakteristiknya untuk dipilih mana yang sesuai untuk menunjang kelangsungan bisnis majalah Ghoib.
Dari hasil penelitian karakteristik pelanggan maka ditemukan adanya 3 segmen pelanggan dinamakan segmen A. B dan C. Segmen A dicirikan sebagai orang-orang yang aktif bekerja dan mengkonsumsi majalah Ghoib sebagai majalah yang memberi informasi tentang hal gaib sekaligus sudut pandangnya dari syariat. Segmen ini mengkonsumsi majalah Ghoib sebagai sumber pengetahuan tentang hal gaib yang sesuai syariat. Sedangkan segmen B merupakan orang - orang yang menjadikan majalah Ghoib sebagai majalah keluarga dengan ciri memiliki sosialisasi yang kuat. aktif mendiskusikan isi majalah Ghoib dengan keluarga tetapi mengkonotasikan hal gaib sebagai hal negatif. Segmen C berupa orang yang lebih banyak di rumah sehingga kurang aktif dalam aktivitas diskusi atau kajian. Bagi mereka majalah Ghoib mungkin sebagai pengisi waktu dan sumber pengetahuan Islami.
Dari hasil segmentasi tersebut akan dipilih segmen yang layak untuk digarap majalah Ghoib. Pemilihan ini berdasarkan kelayakan secara ekonomis dan non-ekonomis. Secara ekonomis segmen yang layak adalah yang dapat dikembangkan sehingga menguntungkan majalah Ghoib. Sedang secara non-ekonomis segmen yang layak adalah yang sesuai dengan misi dari majalah Ghoib. Karena pemilihan menggunakan dasar kelayakan maka hasilnya bisa lebih dari satu segmen yang layak.
Evaluasi Customer Lifetime Value (CLV) dan Customer Profitability (CP) terhadap segmen-segmen tersebut memperoleh hasil pelanggan pada ketiga segmen tersebut tidak berbeda nilainya. Besarnya nilai total profitabilitas pada tiap segmen hanya didorong oleh faktor jumlah anggota segmen yang besar. Dengan pendapatan tiap pelanggan sama, biaya relasi yang sama dan lama relasi yang relatif sama maka logis faktor penentu segmen hanya pada besar segmen.
Hasil analisa CP dan CLV menunjukkan bahwa nilai segmen yang sama tersebut karma program pemasaran majalah Ghoib van helium dirancang spesifik pada segmen-segmen tertentu. Jika dirancang secara spesifik, besarnya pendapatan dan biaya untuk mengembangkan dan membina tiap segmen dapat menjadi berbeda sehirigga profitabilitas segmen pelanggan menjadi berbeda. Kemudian perbedaan profitabilitas tersebut menjadi dasar dalam pemilihan segmen untuk digarap sebagai faktor ekonomis.
Program pemasaran tersegmentasi dirancang untuk mengembangkan dan membina segmen- segmen secara spesifik. Segmen A dapat dikembangkan dengan program kajian tematik dan diperdalam hubungannya melalui penjualan buku-buku. Sedangkan segmen B dapat dikembangkan dengan Program Jaring Pelanggan (PJP) dan workshop ruqyah serta dibina melalui program Tema pelanggan disertai penjualan merchandise atau seperti naik haji bersama, rekreasi dan lain - lain. Sedangkan segmen C hanya dapat dikembangkan melalui kerjasama dengan distributor tetapi belum ada cara untuk membinanya. Dengan demikian segmen yang layak secara ekonomis adalah segmen A dan B.
Faktor lain dalam pemilihan segmen adalah faktor non-ekonomis yang merefleksikan misi majalah Ghoib. Preferensi terhadap hal - hat gaib sesuai dengan syariat dan semangat untuk mengedukasi lingkungan sekitar untuk menjauhi praktek mistik dan hal gaib yang menyesatkan merupakan kriteria dari majalah Ghoib. Analisa karakteristik segmen menunjukkan bahwa segmen A mempunyai preferesi ke hal gaib sesuai syariat dan segmen B merupakan segmen dengan semangat edukasi yang diinginkan majalah Ghoib.
Dari faktor ekonomis dan non-ekonomis tersebut maka segmen yang layak direkomendasikan untuk digarap majalah Ghoib adalah segmen A dan B. Implikasinya majalah Ghoib harus menjalankan program pemasaran secara spesifik dengan prioritas kepada kedua segmen tersebut sehingga dapat berkembang. Sedangkan segmen C hanya dibiarkan saja karena segmen ini keberadaannya tidak merugikan majalah Ghoib dan nantinya akan mengecil seiring berkembangnya segmen lainnya.
Saran untuk majalah Ghoib terkait dengan kondisi penjualan yang menurun maka dijawab dengan program pemasaran tersegmentasi yang dikombinasikan sedemikian rupa sehingga laju akuisisi pelanggan baru dapat meredam laju penurunan pelanggan. Selain itu perlu penelitian tentang faktor yang mempengaruhi penjualan sehingga hasil program pemasaran tidak terbias oleh faktor-faktor lain yang tidak dikenali atau diluar kontrol majalah Ghoib.
Hal lain yang harus dilakukan majalah Ghoib adalah memperbaiki koordinasi dan perencanaan manajemen usahanya supaya lebih balk. Koordinasi antara redaksi majalah, klinik rugyah dan penjualan buku masih kurang di mana masing-masing belum memahami posisinya dalam mengembangkan dan membina pelanggan.
Terakhir majalah Ghoib dapat mencoba membuka wacana untuk menambah sumber pendapatan dari iklan. Upaya ini membutuhkan pemahaman terhadap karakteristik pelanggan dan keinginan dari pemasang iklan. Tetapi strategi majalah Ghoib harus tetap fokus pada pelanggannya karena para pelanggan inilah yang membantu majalah Ghoib dalam menjalankan misinya.

Along with the upcoming of mass-media supported by government law no 40, 1999, mass-media especially magazine become more varied. One of those with exceptional growth are Islamic magazines which could be found on every bookstore 1 agents nowadays. Islamic magazines came with numerous themes, and one of those which explains mystic and supernatural phenomenon in Islamic point of view is Ghoib magazine.
Since the beginning of 2004, Ghoib magazine has already risen and fallen on sales. Currently, sales is falling, even lower into Ghoib's lowest sales record. As for Ghoib, sales are their blood of the business because their revenue is mainly from their circulation.
Literature says subscriber-based media companies should optimize their customer base, rather than expanding the revenue source into advertising or other promotional programs. This paper tries to elaborate the problem in optimizing customer base. The problem includes undestanding customer characteristics divided into segments, then choosing and develop the customer bases.
Customer base understanding starts with marketing research to classify customer into homogenous segments. Next, these segments are evaluated based on economic value and their characteristics to choose which segment qualified to supports Ghoib in the future.
Research found Ghoib customers could be classified into 3 segments, named as segment A, B and C. Segment A consists of active people that consume Ghoib to satisfy their needs on information about supernatural phenomenon in syariah perspectives. Segment B has strong social-interaction, consumes Ghoib as a family magazine and discusses the content with their -family members: Segment B also need Ghoib magazine as a source of Islamic information and knowledge. Lastly, segment C consists of individuals who spend the time mostly at home, rarely attend to Islamic discussion forums. Segment C consume Ghoib magazine to fill his 1 her spare time with Islamic information.
Customer Lifetime Value (CLV) and Customer Profitability (CP) analyses show that these segments are similar. Segments value driven by its size. This means that every customer in each segment have the same value. This is because every revenue and cost related to the customer is unsegmented. If Ghoib's marketing programs are re-engineered into a segmented approach then every segment will be different in terms of its value.
Segmented marketing programs are designed to develop and maintain segment-specific customer relationships. Segment A is developed by running seminars, holding panel discussions, etc. The relationship with segment A can further deepen by cross-selling books discussed about supernatural phenomenon, Islamic preach, etc. Segment B can be developed by Program Jaring Pelanggan (Customer Development Program) and utilizing ruqyah workshop. Inspired by segment's B strong social-activities, Ghoib can initiate a subscriber gathering event where Ghoib's merchandises can be offered. Lastly, segmen C can only be developed with the cooperation Ghoib's distributors. However, there is no program economically suitable to maintain them. Thus, segment A and B are economically qualified for Ghoib to develop its customer base further.
Another qualification method, for confirmative purpose, is non-economic value of segments. The non-economic value determined from the fitness between Ghoib company values and each segment characteristics. The result is that segment A and 13 qualified because segment A has strong preference on supernatural issues as well as Ghoib, while segment B is fit with Ghoib's mission to spread supernaturalism in syariah perspective.
Within the context of declining sales trend, segmented marketing programs will be the answer to dampen the sales fall. A well-designed segmented marketing program coupled with careful execution will revive magazine sales. Finally, Ghoib should improve their internal marketing coordination in order to able to execute its segmented marketing program optimally.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
T18243
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yustinus Sadmoko
"Waralaba X adalah sebuah upaya untuk melaksanakan pengembangan Sekolah X melalui waralaba. Usaha ini melibatkan beberapa pihak yang mempunyai tujuan yang berbeda-beda baik yang berorientasi mencari laba maupun berorientasi nirlaba. Pihak-pihak tersebut meliputi Yayasan X, yang bertujuan untuk melaksanakan kegiatan keagamaan, sosial dan kemanusiaan, Pendiri Yayasan X sekaligus pemegang saham PT X, yang menjadi master pewaralaba, dengan misi pendidikan dan mencari laba, serta para calon terwaralaba yang bertujuan mencari laba. Karya akhir ini bertujuan untuk mencari skema waralaba yang tepat yang dapat mengakomodasi tujuan masing-masing pihak yang terlibat di atas. Di samping itu, upaya yang dapat dilakukan untuk mempertahankan/meningkatkan tingkat profitabilitas waralaba sehingga sustainability dari waralaba dapat diperoleh juga menjadi tujuan dari penyusunan karya akhir ini.
Struktur industri pendidikan tingkat pra sekolah dan sekolah dasar saat ini masih over demand tetapi tingkat persaingannya akan semakin ketat di masa depan. Untuk mengantisipasi hal tersebut, skema waralaba yang akan di lakukan harus difokuskan untuk memperoleh daya saing yang lebih tinggi di masa depan. Di samping investasi berkesinanibungan untuk meningkatkan mutu jasa pendidikannya, percepatan penetrasi pasar melalui pendirian sekolah di lokasi-lokasi yang dekat dengan target pasar dapat mendukung upaya peningkatan daya saing tersebut. Skema waralaba ini dibuat untuk membantu percepatan tadi tanpa membebani tuntutan dana bagi Yayasan X maupun PT X. Oleh karena itu, skema harus dibuat supaya Waralaba X ini menarik bagi para calon terwaralaba.
Sebelum menentukan format waralaba yang mampu mengakomodasi semua tujuan di atas, harus dilakukan identifikasi atas proyeksi laba (atas basis kas) operasi waralaba yang akan dialokasikan untuk memenuhi tujuan masing-masing pihak. Setelah dilakukan perhitungan dengan asumsi tertentu kondisi penyelenggaraan sekolah, hasilnya adalah sebagai berikut:
- Program Taman Bermain dan Taman Kanak-Kanak diproyeksikan akan menghasilkan laba (atas basis kas) sebesar Rp 784 juta di tahun pertama dan naik secara bertahap sampai Rp 1.211 juta di tahun kesepuluh.
- Program Sekolah Dasar diproyeksikan akan menghasilkan laba (atas basis kas) operasi sebesar Rp 994 juta di tahun pertama dan naik secara gradual sampai Rp 5.456 juta di tahun kesepuluh.
Dengan proyeksi laba operasi di atas, supaya proyek waralaba ini menarik bagi terwaralaba sehingga tingkat penetrasi pasar yang tinggi bisa diperoleh, imbal hasil bagi terwaralaba harus memenuhi dua persyaratan yaitu return atas investasi awal yang tinggi serta payback period. Dengan melakukan benchmarking dengan waralaba jasa pendidikan "LP3I", ditentukan return tersebut adalah 25% serta payback period maksimal 5 tahun . Selain itu, untuk mengakomodasi preferensi dan ketersediaan modal calon terwaralaba, perlu diberikan beberapa opsi kombinasi initial fee - ongoing fee yang fleksibel. Kombinasi yang bisa memenuhi persyaratan tersebut adalah sebagai berikut:
- Untuk program TB dan TK, tersedia 3 opsi kombinasi initial fee - ongoing fee untuk pewaralaba adalah Rp 600 juta dan 20,43% (dari arus kas operasi operasi), Rp 400 juta dan 27,40% serta Rp 200 juta dan 34,27%.
- Untuk program Sekolah Dasar, kombinasi initial fee - ongoing fee untuk pewaralaba adalah Rp 700 juta dengan 48,32% (dari arus kas operasi operasi), Rp 500 juta dengan 51,10% serta Rp 300 juta dengan 53,88%.
Kombinasi initial .fee ongoing fee bisa diturunkan secara bertahap oleh pewaralaba untuk meningkatkan keuntungannya setelah tingkat penetrasi pasarnya cukup tinggi. Initial fee dan ongoing fee ini selanjutnya harus dibagi antara Yayasan X di satu pihak, dengan PT X serta Pendiri. Karena Yayasan X tidak mengeluarkan biaya apapun dalam rangka skema waralaba ini, berapapun hasil yang diperolehnya nilai net present value-nya pasti positif. Selain itu, Yayasan X juga bisa memperoleh manfaat tambahan dalam pencapaian tujuan keagamaannya melalui penerapan prinsip ekonomi Islam dalam skema waralaba. Penerapan prinsip ini bisa dilakukan untuk mengakomodasi pembayaran initial fee dengan akad jual beli, pembayaran ongoing fee dengan cara bagi basil. Prinsip ini juga bisa diterapkan dalam penghitungan bagian Yayasam X melalui penggunaan tarif zakat, yaitu sebesar 2,5% sampai 10% dan laba sebelum pajak dan fee waralaba yang diperoleh waralaba (sesuai kesepakatan). Namun, Yayasan X tidak mendapat bagian dari initial fee. PT X dan pendiri mendapatkan seluruh sisanya tetapi bertanggung jawab untuk melaksanakan seluruh program pemasaran, supervisi dan kegiatan lain dalam skema waralaba ini.
Umuk mencapai tujuan meningkatkan daya saing di masa depan sehingga profitabilitas Waralaba X dapat terjaga, perlu dibuat strategi untuk meningkatkan perceived quality atas jasa Sekolah X. Perceived quality jasa ini sangat ditentukan oleh kemampuan penyedia jasa memenuhi harapan konsumen pada atribut-atribut yang dianggap penting bagi mereka dalam mengambil keputusan mengkonsumsi jasa ini. Dari hasil analisis dengan model Analytic Hierarchy Process diperoleh ranking atribut-atribut tersebut berdasarkan tingkat kepentingannya bagi konsumen yang menjadi target pasar Sekolah X sebagai berikut:
1. Prioritas pada pendidikan agama 26%
2. Letak sekolah yang dekat dengan tempat tinggal 17%
3. Kelengkapan fasilitas belajar dan bermain 16%
4. Biaya yang mnirah 15%
5. Penggunaan kurikulum dan sistem pengajaran dari negara maju 8%
6. Penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar 7%
7. Merk dan reputasi sekolah yang sudah terkenal 6%
8. Tersedianya jenjang pendidikan berikutnya 6%.
Dari data tersebut dapat disirnpulkan bahwa untuk meningkatkan perceived quality jasanya, selain mempertahankan posisinya sebagai sekolah yang memprioritaskan pendidikan agama, PT X juga harus berinvestasi lebih banyak pada fasilitas belajar dan bermain. Di samping itu juga diperlukan upaya untuk lebih mendekatkan diri secara fisik dengan konsumen. Kedekatan fisik pada konsumennya ini juga akan menurunkan biaya bagi konsumen untuk mengkonsumsi jasa Sekolah X yang menawarkan peluang bagi Waralaba X untuk meningkatkan keuntungannya dengan menaikkan harga jasanya tanpa menurunkan perceived quality-nya. Maka dari itu, skema waralaba di atas tepat untuk dipilih PT X dalam rangka ekspansinya.

Franchise X is the former of School X's expansion through franchising. This form of expansion will be done by various parties that have different objectives, both profit and non profit oriented. The parties are Foundation X, a religion, social and humanity oriented foundation, PT X. a profit oriented entity, Founder (of Foundation X and PT X), the master franchiser with both profit and social (education) orientation, and the candidates of franchisees with their profit orientation. The main objective of this study is to find a suitable scheme of the franchise that accommodate the above various objectives. Besides, the efforts to sustain/grow the profitability of Franchise X so that the business will be sustainable are also important things that will also be discussed.
The structure of the pre-school and elementary school industry is currently over demand, but the internal rivalry is growing higher. The industry is predicted to be more competitive in the future. To anticipate this matter, the scheme of the franchise should focus on earning higher competitive advantage in the future. Beside continuously investing on building higher quality, of its education service, speeding up the market penetration through establishing more schools that close to target market can also be useful to build the competitive advantage. Because the scheme should be developed with little fund from the franchiser (Foundation X and PT X), the scheme should also be interesting to the target franchisees.
Before developing the scheme the projected income (on cash basis) of the franchise that will be used to satisfy each objective of the parties should be calculated first. With certain assumption, the results of the projection arc as follow:
- Play Group and Kindergarten Program is projected to earn (on cash basis) Rp 784 million in the first year and growing continuously to Rp 1.211 million in the 10th year
- Elementary School Program is projected to earn (on cash basis) Rp 994 million in the first year and growing continuously to Rp 5.456 million in the 10th year.
With the above projected income, in order to make the project interesting for the candidates of franchisees so that the expected level of penetration can be reach, the return offered to them should fulfill two requirements: high return on investment and short payback period. From benchmarking with "LP3I", a franchise of a non-formal education, the return offered is 25% and the payback period is 5 year. Besides, to accommodate the various preference and capital adequacy of the candidates of the franchisees, some option of flexible combination of initial fee -- ongoing fee is also necessary to be offered. The combinations that fulfill the above two requirements are:
- For Play Group and Kindergarten Program, there arc three option of combination of initial fee - ongoing fee: Rp 600 million and 20,43% (from income on cash basis), Rp 400 million and 27,30%, and Rp 200 million and 34,27%.
- For Elementary School Program, there are three option of combination of initial fee - ongoing fee: Rp 700 million and 48,32% (from income on cash basis), Rp 500 million and 51,10%, and Rp 300 million and 53,88%.
The offered return for the franchisees can be gradually reduced to increase the profit of the franchiser after PT X can reach the expected level of penetration. The Ices should then be split to Foundation X and PT X (and Founder as the owner of PT X). Because Foundation X does not bear any expenses for this project, the net present value for the foundation will always be positive. Besides, Foundation X will also gain an achievement of its objectives in religion mission through the application of Islamic Economic principles in the scheme. The principles can be applied to accommodate the payments of initial fee through sale-purchase akad, and payment of ongoing fee through profit sharing agreement. The principles will also be applied to calculate the share of Foundation X from the ongoing fee received by PT X through the application of zakat tariff (between 2,5% to 10% from net profit (on cash basis) before franchise fee and income tax. Nevertheless, Foundation X will not get any share from initial fee. As a consequence, PT X should bear all the expenses in relation with the franchising project, including marketing, supervision and other related expenses.
To build a higher future competitive advantage so that the level of profitability of Franchise X can be sustainable, some efforts should be done to build the perceived quality of the education service of School X. The perceived quality of the service is determined by the ability of the service provider to fulfil the customers (parents)' expectation on certain attributes that they perceive to be important for choosing school for their children. The result from analysis with Analytic Hierarchy Process (AHP) model, the ranking of importance of the attributes are as follow:
1. Priority on religion subjects 26%
2. Close to home 17%
3. Completeness of education and playing facilities 16%
4. School Fees 15%
5. Application of curriculum from advanced countries 8%
6. Using English as daily language 7%
7. Brand and reputation of the school 6%
8. Presence of next level of education 6%
The conclusion that can be drawn from the above information is that to build its perceived quality, beside strengthening its positioning as a school that prioritizing education on religion, PT X should also investing more on education and playing facilities. Besides, the effort to build closer schools to target market is also important. The closer school can also be used to reduce the cost for consuming the service (for customers) that will offer a chance for Franchise X to increase its profitability by increasing the price without reducing the perceived quality. Because of those, the above scheme is suitable to be chosen by PT X for implementation if its expansion program.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
T18264
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ramadita Budhi Wadhana
"Inkubator bayi merupakan salah satu alat keseharan di rumah sakit yang sangat penting. Dalam dunia alat kesehatan, inkubator bayi termasuk ke dalam kategori neonaral care instrument. Fungsinya adalah untuk menolong bayi yang lahir prematur atau lahir dengan berat badan rendah (BBLR). Prinslp kerjanya adalah mengkondisikan bayi pada suhu dan kelembaban tertentu sehingga dengan bantuan alat ini bayi tersebut dapat terhinda: dari resiko kematian. Saat ini harga inkubator bayi lokal yang berkualitas relatif mahal, antara Rp 30 juta hingga Rp 60 juta, karena itu tidak semua rumah sakit, rumah bersalin dan puskesmas memiliki inkubator bayi yang memadai. Melihat kondisi tersebut, tim riset inkubator bayi FTUI terdorong untuk meneliti dan membuat prototipe inkubator bayi dan al-can memasarkannya den gan merk MEDIXE.
Banyaknya pesaing yang menawarkan berbagai keuntungan dan fasilitas membuat MEDIXE sebagai pemain baru di pasar neonaml care instrument perlu memiliki positioning yang jelas. Posirioning ini akan menjadi salah satu penentu utama apakah inkubator bayi ini mampu menembus pasar dan survive menjadi challanger terhadap marker leader yang sudah ada.
Peluang untuk memasarkan produk ini masih terbuka karena jumlah RS umum, rumah sakit bersalin dan klinik di wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi dan Depok cukup banyak. Guna menentukan posilionfng yang lepat, maka dalam karya akhir ini yang menjadi pokok-pokok permasalahan, adalah (1) siapa target pasar jangka pendek yang tepat bagi MEDIXE? (2) bagaimana positioning yang perlu dipilih oleh MEDIXE, sehingga produk inkubator MEDIXE dapat dipersepsi berbeda dan Iebih baik oleh calon user dari produk-produk sejenis yang telah ada di pasar? dan (3) apa implikasi pilihan target pasar dan positioning terhadap rencana bisnis awal MEDIXE?
Untuk menjawab permasalahan-permasalahan tersebut, maka penelitian diawali dengan mengumpulkan data dan informasi yang dibutuhkan. Pengumpulan data dilakukan dengan dua cara, yaitu primary research dan secondary research. Peneliti mengumpulkan data secara langsung ke lapangan dengan cara wawancara kepada user (perawat fumah sakit) dan pedagang alat kesehatan untuk mcmberikan gambaran awal mengenai penggunaan inkubator di rumah sakit dan kondisi pasar. Pengetahuan akan kondisi pasar sangat panting dalam melakukan segmentasi dan menenlukan target pasar yang akan dibidik oleh MEDIXE.
Penelitian dilanjutkan dengan penyebaran kuesioner kepada responden, yaitu kepala perawat di beberapa rumah sakit. Hal ini dilakukan karena perawat berperan sebagai injluencer dalam pembelian barang industri seperti inkubator bayi. Selain mencari data demografi, penyebaran kuesioner juga ditujukan untuk mencari atribut-atribut penting pada inkubator yang diperhatikan oleh perawat. Data ini digunakan untuk membuat peta persepsi dalam membuat beberapa altematif positioning yang mungkin dilakukan MEDIXE.
Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, diperoleh bahwa target segmen yang menarik bagi MEDIXE adalah rumah sakit swasta Iokal yang ada di wilayah Jabotabek dan Depok. Salah satu pertimbangannya adalah laju perkembangan RS swasta lebih pesat, yaitu sekitar 3%, sedangkan RS pemerintah hanya sekitar 1%. Pertimbangan lain adalah mudah menerima produk baru, dapat dijangkau secara operasional, proses pembelian dan pembayaran yang cepat, dan jumlahnya pembeliannya per rumah sakit tidak besar.
Dari tiga alternatif positioning yang mungkin dilakukan MEDIXE, Alternatif positioning yang paling tepat bagi MEDIXE adalah "Inkubator bayi yang setara produk Cina dengan service lebih baik." Alternatif ini dipilih karena selain masih mampu menunjukkan perbedaan dari pesaing, implikasi operasional dan pemasaran yang ditimbulkannya masih dapat didukung oleh sumber daya perusahaan. Implikasi bisnis yang terjadi karena pilihan positioning MEDIXE seperti membentuk 2-3 tim service, menyediakan perlengkapan untuk operasional tim service, membuka hotline 24 jam dan menyediakan stok suku cadang. Kegiatan pemasaran tambahana yang perlu dilakukan, seperti menambah jumlah salesperson, mengadakan training bagi salesperson, membuat brosur dan VCD promo berisikan testimony, mengikuti pameran/seminar, beriklan di media yang relevan, membuat website dan memberi bonus bagi pembeli MEDIXE.
Implikasi ini menimbulkan biaya-biaya, tetapi dengan positioning yang jelas dan pemasaran yang genear, diharapkan MEDIXE dapat menjual lebih banyak inkubator bayi karena peluangnya akan lebih besar. Dengan MEDIXE memilih positioning seperti tersebut diatas, MEDIXE akan mampu bersaing di pasar neonatal care instrument jika skenario most likely atau bahkan optimist terjadi. Return (IRR) yang dapat diharapkan oleh MEDIXE adalah sekitar 30 % hingga 52%. Walaupun demikian, MEDIXE perlu memiliki langkah-langkah taktis jika skenario pessimist yang terjadi."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
T18344
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Ulya
"Sebuah perusahaan harus mampu menyikapi berbagai perubahan lingkungan industri yang dapat mempengaruhi bisnisnya baik secara langsung maupun tidak langsung termasuk dalam industri penerbangan rute pengumpan dan perintis dimana industri penerbangan sarat dengan modal dan sifat produk yang mudah hangus. Strategi bersaing yang termanifestasi dalam bentuk model bisnis penting untuk dilakukan analisis guna mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan.
Studi Karya Akhir ini berangkat dari fenomena unik industri penerbangan rute pengumpan dan perintis dengan adanya outsourcing yang dilakukan maskapai penerbangan untuk proses pemasaran dan penjualan. Bentuk ini dikenal dengan model bisnis bulk yang memberikan hak eksklusif penjualan seluruh kapasitas pesawat.
Pokok mendasar penyebab urgensitas LYA Airlines harus meninjau model bisnisnya datang dari kebijakan pemerintah yang merangsang perkembangan usaha dimana memberikan kesempatan LYA Airlines untuk berkembang sekaligus membuka peluang peningkatan persaingan yang muncul dari maskapai lama ataupun pemain Baru. Tantangan tersebut aka' berwujud serangan alas kekuatan ikatan dua entitas yang bekerjasama antara LYA Airlines dengan mitra general sales agent (GSA).
GSA dapat melepaskan diri dan beralih kepada maskapai penerbangan lain yang menawarkan keuntungan lebih besar terutama dari national network carrier melalui jaringan rote yang besar. Kemungkinan lain adalah lepasnya GSA untuk mendirikan maskapai penerbangan sendiri. Indikasi kemungkinan pemutusan hubungan kerjasama tampak dari perilaku GSA yang berusaha melobi pemerintah dimana saat ini telah membuka kembali keran perijinan pendirian maskapai penerbangan khusus untuk rule pengumpan dan perintis.
Panting bagi LYA Airlines untuk mengamankan bisnis Non Papua mengingat wilayah ini menjadi sandaran pertumbuhan usaha dengan prospek masa depan yang menjanjikan, selain itu wilayah Papua mulai menampakkan kejenuhan dengan indikasi tidak terserapnya kapasitas angkutan kargo yang ditawarkan. Lepasnya GSA akan menyebabkan putusnya mata rantai penciptaan nilai pada proses hilir sehingga bisnis Non Papua tidak berjalan. Oleh karena itu, langkah yang harus dilakukan adalah memastikan bahwa seluruh rangkaian proses penciptaan nilai tersedia.
LYA Airlines memiliki asset speccity berupa armada pesawat dimana hal tersebut menjadi exit barrier yang besar sehingga akan sangat merugikan jika keluardari bisnis Non Papua karena harus menangguk beban biaya tetap yang timbul sementara pendapatan tidak dapat diperoleh dengan kekosongan operasi. Dengan demikian, ketergantungan LYA Airlines atas bisnis Non Papua bukan saja datang dari prospek yang menjanjikan namun jugs efek kerugian yang ditimbulkan jika keluar dari bisnis ini.
Meskipun demikian, upaya pengamanan proses hilir tidak serta merta dapat dilakukan dengan mengambil alih peranan GSA untuk dikerjakan secara internal perusahaan. Kendala yang mencuat adalah karakteristik industri penerbangan rate pengumpan dan perintis dimana terdapat afilasi biro perjalanan yang dapat bereaksi negatif dengan melakukan blockaded entry. Kendala lain adalah waktu yang dibutuhkan untuk membangun kesiapan internal. Semakin lama proses maka akan semakin besar biaya yang ditanggung.
Langkah preventif untuk pengamanan bisnis Non Papua dapat dilakukan dengan joint venture dengan mitra GSA terkuat yaitu LST Travel. Secara jangka pendek solusi joint venture akan menghindarkan dari resiko kehilangan bisnis dan investasi yang besar untuk pembentukan kapabilitas internal. Solusi ini secara strategic juga menguntungkan dalam jangka panjang dengan kesempatan pembelajaran proses hilir berupa marketing dan penjualan, khususnya dalam jaringan distribusi sekaligus penetrasi kepada afiliasi biro perjalanan.
Faktor kunci keberhasilan terbentuknya joint venture terletak pada daya tawar dimana LYA Airlines dapat menawarkan pertambahan keuntungan dari kondisi kerjasama model bisnis bulk yang berasal dari pemberian hak penjualan seluruh teritori ditambah jalinan kerjasama dengan maskapai lain dalam bentuk interline. Ancaman LST Travel akan dinetralisir melakui joint venture agar berubah menjadi mitra yang bersahabat.
Pada akhirnya independensi sebagai sasaran jangka panjang harus tetap diupayakan melalui peningkatan kapabilitas internal. Hal ini dapat dimulai dengan melakukan penyesuaian organisasi yang difasilitasi oleh joint venture.

Commuter airlines facing a fast changing business environments that can lead to company sustainability. Carriers are driven to conduct an appropriate strategy to obtain such a competitive advantage in order to adept with competition forces. The airlines industry basically is very capital-intensive business whilst produce perishable product. The increased competition thus associated with new regulation emphasizes the need to reconsider the business model.
Previous studies on outsourcing stated that the company should keep the core process inside, In contrast, this research would explore the unique phenomenon in Indonesia's commuter airlines industry that outsources marketing and sales function. - Marketing and sales are the airlines core process value chain. The outsourcer is general sales agent (GSA) who will conduct those activities as if airlines branch offices. This model also known as bulk business model.
The main challenge is how LYA Airlines, as one of the commuter player in Indonesia, must respond to government policies. Almost from the inception of commercial aviation industry, the governments regulate airlines. In recent year, substantial government policy was made to stimulate the business growth as well as to raise the competition. Problem associate with the environment changes due to government policy will threatening the Non Papua Business in the form of breaking forces to the business contract between LYA Airlines and GSA.
GSA could easily terminate the contract and shift to other airlines especially national network carrier who offers more benefit with their wider route network.
Another possibility is GSA backward integration facilitated by new government policy. The government had already opened the airlines license for those who will operate in the commuter services.
LYA Airlines should reassure the continuity of their Non Papua business which is well promising for future growth. Another reason is the Papua business could not absorb any incremental freighter capacity supplied that indicate as market saturation. If the contract termination from GSA occurs, core process value chain would not complete and LYA Airlines would loose the market to generate revenue. Therefore, LYA Airlines must ensure the whole value chains are functioning.
The present of asset specificity in the form of aircraft would impede LYA Airlines to exit from the business as well as to stay-in without operation. Aircraft would make a big exit barrier which is burdened LYA Airlines with fixed cost. Thus LYA Airlines need Non Papua business not only for future prospect but also the losses if quit from the business.
Lack of resources and commuter airlines industry characteristic turn out to be limitation of the action required to secure the value chain. LYA Airlines could not take over the downstream process while spokes city intermediary could react negatively by doing blockaded entry. In the mean while LYA Airlines internal resources has not ready yet and time for developing skill and knowledge emerge as an issue. Longer time needed would increase the cost required.
LYA Airlines should constitute joint venture with the current biggest GSA partner, LST Travel, as prevention action. In the short term, loosing the Non Papua business and additional investment to secure the business could be avoided. In the long term, joint venture also gives benefit as an opportunity to acquire the downstream process skill and knowledge. While continuing to acquire internal capability for future independency, LYA Airlines working to resolve issues with forming joint venture, so additional cost could be avoided.
Key success factor in forming joint venture is bargaining power between parties. LYA Airlines could offer more benefit by giving LST Travel selling right for the whole territory. In addition, more benefit could come from interline agreement with another carrier especially national network carrier. Hereby, treat from LST Travel could be neutralized.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
T18501
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widodo
"Dengan semakin banyaknya tempat perawatan dan perbaikan printer Hewlett Packard yang dibuka selama tiga tahun terakhir ini, menjadikan persaingan diantara pemain yang ada di pasar tersebut semakin ketat. Selain itu adanya kebijaksanaan dari produsen Hewlett Packard (HP) yang menutup akses sebagian spare part printer terutama jenis printer low-end dan memberlakukan program trade-in pada printer jenis tersebut, tentu sangat memberatkan bagi dunia bisnis jasa perawatan dan perbaikan printer ini. PT XYZ sebagai Authorized Service provider juga merasakan dampak negatif dari kondisi diatas. Dampak negatif ini terutama mempengaruhi kelangsungan bisnis divisi workshop. Kebimbangan pihak manajemen dalam mengambil kebijaksanaan yang tepat terhadap bisnis workshopnya memang bisa dipahami. Opsi untuk menutup divisi workshop atau malahan mengembangkan secara agresif dengan tujuan bisa memonopoli bisnis ini adalah merupakan pilihan yang tidak mudah. Berbagai pertimbangan hendaknya bisa lebih dicermati. Potensi pasar yang ada dan perkiraan pertumbuhannya merupakan hal yang sangat perlu dipertimbangkan. Sumber pendapatan workshop mana saja yang potensi juga perlu diketahui.
Untuk dapat mengambil kebijaksanaan terhadap divisi workshop PT XYZ tentunya bukan merupakan hal yang mudah. Untuk itu penulis berusaha mencoba mengevaluai dan menganalisa berbagai aspek, yang mana nantinya bisa dijadikan sebagai bahan pertimbangan pengambilan kebijaksanaan penanganan divisi workshop. Dalam meneliti dan menganalisa berbagai aspek yang ada, penulis membagi permasalahan ini menjadi tiga bagian. Pertama, menganalisa apakah pasar jasa service printer HP yang ada dan prediksi pertumbuhannya masih potensi. Kedua, meneliti adakah segmen pelanggan workshop yang lebih perlu dikembangkan. Dan yang ketiga, jika ternyata pasar jasa service masih potensi maka penulis mencoba memberi berbagai masukan sebagai bahan pertimbangan dalam meningkatkan proses service delivery workshop guna mendukung upaya pengembangan pelanggan. Adapun tujuan dari penelitian ini ialah untuk memberi masukan berbagai temuan dan beberapa opsi yang bisa diambil untuk menangani divisi workshop kepada pihak manajemen PT XYZ.
Dari penelitian dan analisis yang penulis lakukan terhadap potensi pasar jasa perawatan dan perbaikan printer HP pada tahun 2006 dan perkiraan pertumbuhannya pada tahun 2007, temyata menunjukan adanya potensi pasar yang berkembang cukup bagus. Walaupun pasar jasa perawatan dan perbaikan ini memiliki perkiraan pertumbuhan yang cukup bagus, namum jika dilihat dari besarnya nilai rupiah pasar tersebut temyata tidak cukup besar sehingga kurang menarik.
Di sisi lain penelitian terhadap PT XYZ menunjukan bahwa selama perjalan bisnisnya tidak pemah mengalami gejolak yang berarti walaupun terkena dampak resesi ekonomi yang berkepanjangan. Pendapatan PT XYZ diperoleh dari keempat divisi, yaitu maintenance contract (MC), spare part, project dan workshop. Divisi maintenance contract memberi kontribusi pendapatan yang paling besar terhadap keseiuruhan pendapatan PT XYZ dan kontribusi terkecil berasal dari divisi project dan workshop. Walaupun kontribusi divisi workshop terhadap pendapatan keseluruhan PT XYZ relatif kecil dibanding divisi lainya, namun divisi ini tidak pernah merugi sepanjang perjalananya.
Penelitian juga dilakukan terhadap pelanggan workshop PT XYZ yang dikelompokkan menjadi pelanggan bisnis dan pelanggan perorangan. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa pelanggan bisnis memiliki proporsi lebih besar dari pada pelanggan perorangan terhadap jumlah barang yang diperbaiki di workshop. Selain itu pelanggan bisnis temyata juga memberi kontribusi pendapatan dan profit margin yang lebih besar dibanding pelanggan perorangan terhadap pendapatan workshop. Dari hasil survey kepuasan pelanggan workshop yang penulis lakukan, menunjukkan adanya gap yang paling besar terjadi pada dimensi tangibles dan dimensi reliability. Hal ini menunujukkan masih adanya perbedaan yang masih cukup besar antara proses service delivery yang diberikan workshop PT XYZ dengan harapan pelanggannya. Hasil survey juga menunjukkan bahwa tingkat prioritas dimensi reliability mendapat prioritas utama bagi pelanggan jika dibandingkan dengan dimensi lainnya (tangibles, responsiveness, assurance dan empathy). Hasil temuan ini sangat berguna bagi usaha peningkatan mutt service delivey workshop PT. XYZ. Dart basil analisa ini penulis akhirnya dapat memberikan beberapa opsi dalam menangani workshop PT XYZ.
Untuk menangani workshop PT XYZ ada beberapa opsi yang bisa dipilih yaitu workshop dikembangkan secara agresif atau di bubarkan saja. Sedangkan opsi yang ketiga ialah mengembangkan workshop secara moderat. Pengembangan secara agresif dan pembubaran divisi workshop temyata bisa menimbulkan banyak dampak negatif. Selain itu akan nampak lucu bila PT XYZ yang ditunjuk sebagai tempat perawatan dan perbaikan resmi HP tidak memiliki bagian (devisi) yang bisa menerima barang HP rusak untuk diperbaiki.
Selain pertimbangan dari sisi nilai rupiah, ternyata workshop juga mempunyai nilai strategis lainnya yang bisa dipertimbangkan, salah satunya ialah sebagai pintu masuknya pelanggan untuk menjalin kerjasama maintenance contract. Perin diingat kembali bahwa maintenance contract ini merupakan divisi dart PT YXZ yang memiliki kontribusi pendapatan dan profit margin paling tinggi terhadap keseluruhan pendapatan PT XYZ. Untuk itu penulis menyarakan kepada pihak manajemen PT XYZ agar memiiih-opsi ketiga yaitu menangani workshop secara moderat.
Agar bisa mengembangakan workshop secara moderat bisa dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya dengan meningkatkan mutu pelayanan jasa perawatan dan perbaikan yang diberikan workshop. Peningkatan mutu pelayanan jasa perawatan dan perbaikan ini hams membertimbangkan berbagai aspek, diantaranya ialah persepsi dan ekspektasi pelanggan workshop. Untuk mengetahui sejauh rnana persepsi dan ekspektasi pelanggan terhadap jasa perawatan dan perbaikan workshop yang telah mereka terima, penulis melakukan survey persepsi dan ekspektasi pelanggan workshop PT XYZ. Dari hasil survey ini akan diperoleh banyak masukan yang bisa dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam upaya peningkatan mute pelayanan jasa workshop.
Dari hasil penelitian ini, akhimya penulis dapat menyimpulkan bahwa potensi perturnbuhan pasar jasa perawatan dan perbaikan printer HP masih cukup baik, namun nilai rupiahnya kecil sehingga kurang menarik dalam pengembangan bisnis secara besar-besaran. Penanganan workshop sebaiknya dilakukan secara moderat, salah satunya dengan cara meningkatkan mutu pelayanan jasa perawatan dan perbaikannya. Untuk meningkatkan mutu pelayanan jasa perawatan dan perbaikan printer di workshop, perlu mempertimbangkan berbagai temuan dari hasil penelitian dan masukan dari pelanggan workshop serta lebih fokus pada segmen pelanggan bisnis.

The effect of some service center were opened in the last three years ago, makes market competition was harder than before. The Policy of Hewlett Packard (HP) did not support low-end printer's spare part any more is big problem for HP Authorized Service Provider (ASP). The effect of this policy, HP ASP does not have any spare part to repair low-end printer HP. Another Producer HP's policy is decision for running program trade-in for broken low-end printer HP with new one in similar level. These two HP's policies make bad condition for business service as HP authorized service provider.
PT XYZ's business as HP authorized service provider was influenced by this condition. PT XYZ's business was not as good as before, especially for workshop division. The growth of workshop's business always slows down smoothly. We can understand that decision making for handle workshop business is not easy. There are some options for handle workshop's business. Closing workshop division or focus in developing workshop business in order to be market leader is not easy decision. There are some factors have to be understood and analyzing. Market potential and its growth is importance to be known. Which one of customer workshop segment more potential to be improved is something shall be remembered.
In this condition to find a good decision to handle workshop's business is not simple. I try to observe and analyze some factors in order to more understand the all basic problems and tray find out something as basic decision maker for workshop's business. In order to make our analyzing is easier to be understood, I try to discuss this problem into three groups. First, to analyze HP printer service market and how it's market growth. Second, to analyze customer base workshop PT XYZ, are there any customers segment more importance to be developed?
Third, if the market is potential I will tray to give some option to support improving quality service delivery workshop. The goal of this observation is giving importance information fording from this observation and analysis to PT XYZ management and gives some options that can be used to handle workshop's business.
By observation and analyzing about HP printer service market in 2006 and market growth prediction in 2007, I found that there was good potential market growth. But if we see the value of the money from HP printer service market is not big enough for developing business service workshop. On the other hand, observation and analysis to PT XYZ service business shown that there was not big problem even though there is some economics recession for long time. PT XYZ revenue was derived from its four divisions (maintenance contract service division, spare part division, project division and workshop division). Maintenance contract service division (MC division) gives the best contribution for all PT XYZ revenue and workshop division gives little contribution for all PT XYZ revenue. Even though workshop division gives only a little contribution to all company revenue, but business workshop never get loss profit as long as its business running. On the other hand workshop division has another good strategies value for company service business. Another strategic value workshop division is as start point for customer excess in making business relation with maintenance contract service division. As we know that MC division has the best revenue and profit margin for all company revenue.
I also analysis and observe workshop's customer. I distinguish workshop's customers into two groups. The groups are business customer and individual customer. The result of observation and analysis workshop customers shown that business customer has bigger proportion than individual customer has. Business customer also gives bigger contribution revenue and profit margin for workshop revenue than individual customer. From the finding of this observation and analysis, I can give some options for handling workshop business PT XYZ. There are some options for handling workshop business. The options are closing workshop division or to develop workshop division aggressively. The other option is improving business workshop as moderate as possible. Option to close workshop division has many negative effects. It looks like funny if PT XYZ as HP Authorized Service Provider does not have division which able to receive service printer form customers. The other reason, there is obligation form producer HP that company as HP authorized service provider has service division in order to receive broken HP product to be repaired. The other aspect has to remember, even though workshop business has a little contribution for company revenue but workshop division has others good strategic business. The other strategic value workshop division is as starting point for excess customer in making business relation with maintenance contract service division. As we know that MC division has biggest contribution revenue and profit margin for Company. By this reasons, I suggest to PT XYZ management to choose option to develop workshop division as moderate as possible.
Option for developing workshop division as moderate possible can be held by improving quality of service delivery workshop. In the process improving quality of service delivery workshop has to remember everything that has been found in observation and analysis about customer base workshop and five dimensions was found from expectation and perception customer survey. The other case must be remembered is managing ratio proportion of each contribution division for all revenue PT XYZ.
At the end of observation and analysis of opportunity development business workshop, I can make decision that there is a good potential for HP printer service market growth, but the value of money is not big enough, so it is not interesting to develop service business aggressively in this market. It will be better if PT XYZ management choose option to develop workshop division by improving quality service delivery moderately. Improvement of quality service delivery workshop has to remember everything that has been found in observation and analysis, especially focus in business customer segment.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
T18259
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kitos Gemini Akbar
"Volume pasar kendaraan roda empat atau lebih di Indonesia masih sangat menjanjikan bagi industri otomotif di Indonesia. Ini tentunya mengundang para investor untuk turut meramaikan persaingan di industri otomotif Indonesia. Hal tersebut membuat ATPM sebagai pemegang hak distribusi kendaraan di Indonesia rnemiliki peran strategis dalam industri otomotif untuk menentukan keberhasilan dari produk yang dipasarkan.
Salah satu ATPM yang lahir bersamaan pada masa awal industri otomotif Indonesia adalah PT. Drama Yudha Tiga Berlian Motors (KTB) yang merupakan ATPM kendaraan Mitsubishi. Sejak awal berdirinya hingga saat ini, KTB telah memasarkan kendaraan Mitsubishi dari berbagai kategori, mulai dari kendaraan niaga, kendaraan penumpang sedan, serta kendaraan penggerak roda 4x4. Hingga tahun 2005 KTB memiliki 46 varian produk. Dalam memasarkan varian produk yang banyak tersebut dan juga segmen konsumen tersebar di berbagai wilayah Indonesia, maka KTB bekerja sama dengan beberapa perusahaan yang berperan sebagai dealer. Hingga tahun 2005 jaringan dealer Mitsubishi di Indonesia mencapai total 144 dealer.
Kondisi - kondisi seperti ini membentuk karakter KTB selaku distributor kendaraan Mitsubishi untuk menggunakan konsep produksi dalam melakukan pemasaran dan penjualan, sehingga memiki kecenderungan untuk fokus dalam upaya mencapai biaya produksi yang effisien dan mass-distribution. Ini di.sebabkan konsumen di Indonesia saat itu, bahkan hingga sekarang di beberapa wilayah, memiliki orientasi terhadap kemudahan mendapatkan produk maupun harga yang murah.
Namun terjadi perubahan status KTB dari PMDN menjadi PMA (Penanaman Modal Asing) pada tahun 2004. Dimana perubahan tersebut memungkinkan pihak prinsipal lebih leluasa menetapkan strategi hingga tingkat wilayah regional Asia Tenggara. Bahkan dalam upaya meningkatkan skala ekonomis dalam produksi dan suplai produk, KTB memutuskan untuk menutup pabrik perakilan kendaraan penumpang Mitsubishi di Indonesia yang telah beroperasi sejak tahun 1980. Kondisi ini membuat KTB yang sebelumnya memiliki peranan sebagai perusahaan distributor dan manufaktur, kini terhatas peranannya sebagai distributor kendaraan Mitsubishi, terutama pada jenis kendaraan penumpang.
Oleh sebab itu dengan menggunakan konsep pemasaran fully-distributor membuat tanggung jawab KTB semakin besar dalam penciptaan demand maupun mengembangkan kemampuan dealer dalam melakukan pemasaran yang berkualitas. Konsep ini dapat diimplementasikan KTB dengan melakukan peran aktif dalam pengelolaan jaringan dealer yang ada saat ini. Ini mendorong KTB selaku pihak ATPM memiliki kesempatan yang lebih besar dalam untuk lebih fokus dalam upayanya memasarkan dan mendistribusikan produk melalui jaringan dealer yang ada.
Perubahan peran ini tentunya memerlukan perubahan cara pandang KTB sendiri lerhadap pemasaran produknya. Ini disebabkan karena karakter KTB yang terbentuk selama ini membuat KTB cenderung fokus kepada upaya dalam memastikan kualitas dan kuantitas suplai produknya. Sedangkan upaya dalam menciptakan demand di konsumen maupun pengelolaan hubungan dengan konsumen lebih banyak mengandalkan kemarnpuan jaringan dealer yang ada. Perubahan konsep pemasaran tersebut membuat peran dealer tidak dibatasi hanya pada aspek penjualan saja peranan dealer juga dibutuhkan dalam aspekpemasaran.
Ini disebabkan adanya kebutuhan terhadap saluran pemasaran yang tidak hanya mampu menyalurkan produk ke konsumen di Indonesia yang tersebar secara geografis, namun juga mampu melakukan proses penjualan yang berkualitas. Proses penjualan yang berkualitas ini tentunya juga bagian dari upaya meningkatkan brand image Mitsubishi di mata konsumen, sehingga diharapkan dapat meningkatkan daya saing produk kendaraan Mitsubishi.
Pola hubungan bisnis yang ada serta tidak dimilikinya saluran pemasaran alternatif membuat jaringan dealer memiliki posisi tawar yang tinggi dalam upaya KTB melakukan pengelolaan terhadap jaringan dealernya. Oleh sebab itu KTB sebaiknya mencari strategi dalam upayanya memotivasi sekaligus memastikan bahwa jaringan dealernya menjalankan fungsi dan perannya.
Saat KTB menggunakan konsep pemasaran fully-distributor yang menimbulkan adanya perubahan peran dan fungsi KTB maupun jaringan dealer, maka KTB perlu menggunakan strategi yang dapat memberikan dorongan kepada dealer agar dapat tnelaksanakan peran dan fungsinya yang baru tersebut. Ada beragam pilihan strategi yang dapat ditempuh KTB dalam mendorong dealer, namun melihat pola hubungan hisni yang ada saat ini dan tidak adanya suatu dasar yang dapat digunakan bersama dealer dalam melakukan pengembangan kinerja secara bersama-sama, maka KTB dapat mengembangkan strategi motivasi berupa sistem reward dalam melakukan pengelolaan jaringan dealer."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
T18461
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naibaho, Jimmi
"Merek tidak lagi dianggap hanya sebagai nama, simbol, slogan, atau cap dagang saja. Di tengah persaingan pasar yang ketat, merek telah menampilkan peranannya yang jauh lebih besar. Kekuatan merek sebagai aset inilah yang kerap disebut sebagai Ekuitas Merek (brand equity). Merek yang kuat memberikan keuntungan tambahan bagi perusahaan seperti efektivitas dan efisiensi program pemasaran, penetapan harga premium, peluang yang lebih baik untuk perluasan merek, dan kemudahan dalam saluran distribusi. Perluasan merek adalah penggunaan suatu merek yang telah mapan di kategori produk tertentu untuk memasuki kategori produk lainnya. Merek yang kuat saat ini adalah hasil dari investasi besar perusahaan di masa lalu, dan tetap banyak resiko yang timbul ketika sebuah merek dieksplorasi. Oleh karena itu, keputusan untuk memperluas merek harus diambil secara hati-hati. Pemahaman yang mendalam mengenai persepsi konsumen atas kualitas merek dan asosiasi-asosiasi yang melekat pada merek perusahaan adalah suatu keharusan untuk menentukan arah perluasan merek.
Perluasan merek juga kerap dilakukan oleh perusahaan yang bergerak di pasar 132B seperti PT. Dwitama Prima Sakti, yang biasa dipanggil dengan DWITAMA, sebagai sebuah perusahaan penyedia jasa dan alat pendukung pekerjaan konstruksi. DWITAMA berencana akan memperluas lini produknya dengan tetap menggunakan merek yang sama untuk produk-produknya tersebut yaitu nama DWITAMA itu sendiri. Saat ini manajemen DWITAMA telah mempunyai beberapa alternatif produk barn yang akan dipasarkan dan masih terus mengkaji dan mengembangkan produk-produknya tersebut. Tujuan dari penelitian yang dilakukan penulis adalah:
1. Untuk rnengetahui persepsi pelanggan DWITAMA terhadap kualitas produk dan asosiasi-asosiasi mereknya.
2. Untuk memperoleh gambaran mengenai jenis produk baru untuk perluasan merek DWITAMA dengan mengacu pada hasil penelitian mengenai kesan kualitas produk dan asosiasi-asosiasi merek DWITAMA, potensi pasar, dan proses pembelian produk tersebut.
3. Untuk melihat seberapa jauh kesan kualitas produk dan asosiasi-asosiasi merek DWITAMA dapat mempengaruhi pembentukan respon pelanggan terhadap produk baru DWITAMA.
4. Untuk melihat seperti apa respons pelanggan yang terbentuk terhadap penawaran produk baru DWITAMA.
Penelitian ini dibagi menjadi tiga studi. Studi pertama adalah mengenai kesan kualitas terhadap produk-produk perusahaan yang sudah lebih dahulu ada dan asosiasi-asosiasi merek yang akan menjadi panduan dalam menentukan kategori produk seperti apa yang sesuai dengan merek tersebut.
Selanjutnya studi kedua adalah untuk mencari produk baru yang paling tepat untuk digunakan sebagai perluasan merek DWITAMA. Selain menggunakan persepsi kualitas dan asosiasi-asosiasi merek, penulis juga akan memperhatikan karakteristik, sifat dari pembelian konsumen, potensi atau daya tarik pasar untuk setiap alternatif produk baru. Tahap selanjutnya, yaitu studi ketiga, adalah untuk menganalisa bentuk hubungan yang ada antara persepsi kualitas dan asosiasi merek DWITAMA dengan respon konsumen terhadap produk baru dengan menggunakan metode regresi linier berganda. Kemudian respons perluasan merek dianalisa dengan pendekatan statistik deskriptif untuk memperoleh gambaran elemen per elemen dari pembentuk respons konsumen tersebut.
Dari hasil pengolahan kuesioner yang disebarkan ke 45 responder terlihat bahwa keseluruhan persepsi konsumen terhadap kualitas produk DWITAMA masih kurang meyakinkan. Nilai rata-rata yang diperoleh mencapai 5.11. Jika merujuk kembali kepada definisi nilai dari skala jawaban mulai dari 1 sampai 7 posisi nilai 5.11 masuk ke dalam nilai yang masih meragukan. Sedangkan dari asosiasi merek yang diukur terlihat bahwa DWITAMA terasosiasi dengan kuat kepada kategori produk scaffolding yang selama ini memang menjadi core product-nya.
Untuk penentuan produk baru, penulis mengawali dengan mensejajarkan hasil pengukuran persepsi kualitas dan asosiasi merek DWITAMA. Hasil dari perbandingan ini menghasilkan empat produk yang juga akan disaring dengan menggunakan varibel moderat berupa proses pembelian, orientasi pembelian, dan market attractiveness. Di sini akhirnya ditentukan bahwa mobile site office adalah produk terbaik karena memiliki resiko terkecil akibat perubahan trend jenis pekerjaan konstruksi ke bidang infrastruktur akibat kondisi over supply properti.
Hasil penghubungan antara respons konsumen terhadap produk baru DWITAMA dengan persepsi atas kualitas dan asosiasi merek DWITAMA menerima hipothesis penelitian ini yang mengatakan bahwa persepsi atas kualitas dan asosiasi merek DWITAMA mempengaruhi pembentukan respon konsumen terhadap produk baru DWITAMA. Naunun pengaruh itu hanya sebesar sebesar 33.9% dengan nilai koefisien determinasi, R2, yang hanya mencapai 0.339. Sedangkan dari analisa respons itu sendiri terlihat bahwa konsumen cukup tertarik dengan mobile site office tetapi untuk elemen respons yang lain seperti harga, kualitas, efektifitas, dan kompetensi konsumen masih menunjukkan keragu-raguan.
Kesimpulan penelitian ini adalah bahwa persepsi kualitas merek DWITAMA masih meragukan walaupun penyebab keragu-raguan tersebut karena masalah konsistensi. Hal ini ditunjukkan dengan nilai rata-rata 5.11 (skala 1-7). Sedangkan di asosiasi merek, DWITAMA identik dengan scaffolding, sedangkan asosiasi lainnya masih sulit untuk digunakan. Proses pemilihan produk baru menghasilkan mobile site office sebagai produk terbaik berdasarkan kesesuaian dengan persepsi atas kualitas dan asosiasi merek DWITAMA, proses pembelian, orientasi pembelian, dan daya tarik pasar. Respon konsumen terhadap perluasan merek DWITAMA dengan mobile site office itu sendiri mendapat pengaruh dan persepsi atas kualitas dan asosiasi merek DWITAMA sebesar 33.9%. Sedangkan berdasarkan respons konsumen, disimpulkan bahwa konsumen masih tetap ragu-ragu terhadap DWITAMA, dan di sini terlihat jelas karakteristik pasar B2B yang tidak mengandalkan persepsi.
Pada penelitian ini juga penulis memberikan saran kepada pihak DWITAMA untuk melanjutkan rencana perluasan merek dengan meluncurkan mobile site officenya. Selain itu DWITAMA juga disarankan untuk tetap membangun ekuitas mereknya, dan meningkatkan keahlian SDM-nya yang berada di lapangan. Saran lain untuk DWITAMA adalah untuk mencari peluang-peluang yang memungkinkan DWITAMA untuk menampilkan elemen-elemen mereknya di dalam dan sekitar proyek. Untuk penelitian selanjutnya, penulis menyarankan agar malakukan uji validitas ketika menentukan variabel penelitian dan juga usulan topik untuk mengevaluasi keberhasilan perluasan merek dan efeknya bagi merek induk di indutri jasa peralatan konstruksi.

Brand is no longer used only as a name, symbol, slogan, or trademark. In the middle of the tight competition, brand has performed its much bigger role. The power of brand is often known as brand equity. Strong brand gives additional benefit for the owner such as affectivity and efficiency of marketing program, premium pricing, better opportunity for brand extension, and better chance for distribution channel.
Brand extension is the use of an established brand in a product category to enter new product category. Present strong brand is created by the past investment, and still there are a lot of risk can come up because an exploitation of a brand. Thus, the decision of brand extension should be taken carefully. A depth understanding of customer perceived quality and a set of company brand associations is necessary to determine the direction of brand extension.
Companies in B2B market also take brand extension strategy, like PT. Dwitama Prima Sakti, which used to call DWITAMA, as a construction equipment provider company. DWITAMA plans to extent its brand by using its existing brand for the new product, which is its name DWITAMA it self. Recently, the DWITAMA management had several new product alternatives to be launched and still under research and development.
The objectives of this research are:
1. To know about the DWITAMA customer perceived quality and its set of associations.
2. To figure out the new product type for DWITAMA brand extension according to the research result of DWITAMA perceived quality and associations, market attractiveness, and the product buying process
3. To get a vision of how far DWITAMA brand and its set of associations are influencing the creation of customer response on DWITAMA new product.
4. To see the customer response created on the DWITAMA offering of its new product.
This research is divided into three studies. First study is about the company's existing products perceived quality and its associations, which are used as guidance for determining the product categories those, fit the brand.
Next is second study to evaluate the best product, which is going to used as the DWITAMA brand extension product. Besides using perceived quality and brand association, researcher also considers the customer buying characteristic and behavior, and market attractiveness for each alternative. The next phase, third study, is to analyze the relationship between DWITAMA perceived quality and brand associations and with the customer response to the new product by the application of multiple linier regressions. Then, the customer response is analyzed using descriptive statistic method to figure out how its elements work.
From the questionnaire processing which involving 45 respondents, the value of customer perceives quality generally is not good, it just get 5.11. According to the answer scaling method, which is scaled between 1 and 7, the average mean, 5.11 is located on the uncertain area. Meanwhile, from the DWITAMA brand association measurement showing a strong link to scaffolding product class, which is, in fact, the core product of the company.
For the new product decision, the research starting up by aligning new product alternatives with DWITAMA perceived quality and association, which is measured before. The result is the four products, those are going to be sorted and tested by moderate variables those are mentioned before. The second study finally find out that mobile site office is the best new product alternative because it has the smallest risk caused by the change of construction industry composition map, where the growth direction is moving forward to infrastructure construction because the over supplied of property market.
Using the statistical method, the paired data set of DWITAMA perceived quality an association to customer response on new product, the research accepts the hypothesis that says DWITAMA perceive quality and association are influencing the customer response created on the new DWITAMA product. The degree of influence just 33.9% which is showed up by the determination coefficient, R. number as 0.339.
Conclusions of this research are, firstly, DWITAMA perceived quality is still vague, and this vagueness is one of the quality inconsistency effects. This conclusion base on the average mean of the questionnaire data shows 5.11 (1-7 scale). Meanwhile from the association side, DWITAMA is strongly linked to scaffolding product category, and the other associations tested still unusefull. Secondly, according to DWITAMA perceive quality, brand associations, buying process, buying behavior, and market attractiveness, mobile, site office is the most fitted product. The customer response on this brand new product is 33.9% driven by the DWITAMA perceived quality and association it self. That is the third conclusion, and the fourth is customer response on DWITAMA new product still showing uncertainty between customer, and this as the B2B customer characteristic, which is not depending on perception.
As the end of this research, researcher gives some advice for DWITAMA management. First, DWITAMA is recommended to continue the plan of using mobile site office as the new product_ Second, DWITAMA is advised to keep improving its brand, and its personnel skill development. Especially they who placed as front liners. Another advice for DWITAMA is to keep looking for a new opportunity to place its brand elements in and around projects. For further research, researcher advises to perform test of variables validity when variables still in determining process. In addition, for the next research topic, researcher advises to evaluate the accomplishment of brand extension and its effects to the parent brands.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
T18559
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Koko Ratna Komara
"Memasuki awal tahun 2000 terjadi pertumbuhan penjualan yang pesat pada produk kredit pemilikan rumah (KPR) yang dipicu oleh pertumbuhan industri properti. Bank X merupakan salah satu pelaku dalam indutri perbankan yang berusaha menangkap peluang tersebut. Dalam industri perbankan, untuk memasarkan produk KPR setiap bank banyak bekerjasama dengan para pengembang karena produk ini spesifik ditujukan untuk konsumen yang hendak melakukan pembelian rumah atau properti lainnya. Pada penelitian ini Bank X melakukan kerjasama dengan para perusahaan pengembang tcrardiasi maupun non terafiliasi.
Pasca dikeluarkan produk KPR yang pertama pada tahun 1996, Bank X mampu mencetak penjualan produk KPR yang cukup tinggi yang dipicu dari pertumbuhan properti yang dimiliki perusahaan pengembang terafiliasi. Namun demikian, seiring dengan menurunnya penjualan properti perusahaan pengembang terafiliasi, maka penjualan KPR mengalami penurunan juga. Kondisi ini diperburuk dengan adanya tekanan dari pesaing yang mulai mengambil pangsa pasar Bank X.
Penelitian ini ditujukan kepada konsumen akhir dan marketing developer dimana masingmasing menggunakan 100 responden. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif, dimana pada penelitian ini akan digambarkan pendapat konsumen akhir Iewat grafik dan tabei frekuensi. Pada penelitian marketing developer, dievaluasi kinerja Bank X dengan menggunakan analisis kesenjangan.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat peranan marketing developer terhadap proses pengambilan keputusan pemilihan KPR yang dilakukan oleh konsumen akhir. Tujuan kedua adalah untuk melakukan evaluasi performa Bank X terhadap ekspektasi para marketing developer.
Seperti telah dikemukakan sebelumnya, bahwa pihak Bank X memasarkan produk KPR melalui kerjasama dengan perusahaan pengembang. Observasi dilapangan menunjukkan, konsumen memiliki interaksi yang kuat dengan para marketing developer dari perusahaan pengembang pada saat proses pengambilan keputusan pembelian rumah. Interaksi inilah yang selanjutnya akan diberdayakan oleh Bank X untuk memaksimalkan penjualan produk KPR. Lewat interaksi ini maka Bank X akan menggunakan marketing developer sebagai influencer pada keputusan pembelian pemilihan bank KPR yang akan dilakukan oleh konsumen.
Di sisi lain, terkait dengan keinginan untuk memberdayakan marketing developer maka Bank X berusaha untuk menjaga hubungan sebaik mungkin. Hubungan baik ini akan tercipta jika performa perusahaan sesuai dengan ekspektasi marketing developer. Jika terjadi kepuasan pada marketing developer terhadap performa Bank X maka akan memotivasi mereka untuk melakukan rekomendasi kepada konsumen akhir. Pada konsumen akhir, hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas konsumen mencari KPR pada saat bersamaan dengan mencari rumah maupun setelahnya. Hasil penelitian juga menunjukkan 85% responden mengatakan bahwa marketing developer terbukti berperan dalam setiap aktifitas keputusan pemilihan KPR.
Pada marketing developer, hasiI penelitian menunjukkan bahwa relationship antara account officer dengan marketing developer berlangsurig dengan baik. Kesenjangan terbesar terjadi adalah pada aspek insentif diikuti pada aspek proses. Namun demikian secara keseluruhan kesenjangan pada semua aspek yang diteliti berada pada tingkat yang rendah.
Rekomendasi yang dibangun berdasarkan penelitian meliputi beberapa hal. Pada konsumen akhir, perusahaan disarankan untuk memberdayakan marketing developer untuk menjadi influencer pada tahap proses pencarian informasi rumah, evaluasi rumah serta pada saat pembayaran uang muka. Pada marketing developer, perusahaan perlu mempercepat proses persetujuan kredit, serta meninjau kembali besaran insentif serta kecepatan proses pencairannya. Rekomendasi untuk penelitian lebih lanjut adalah dengan melakukan analisis kesenjangan pada konsumen akhir serta melakukan penelitian pada beberapa bank yang menyediakan KPR secara bersamaan.

Entering the year of 2000, there has been a rapid sale growth for the product of housing ownership credit (KPR) which is triggered by the property industry growth. Bank X is one of stakeholders in the banking industry which endeavor to catch this opportunity. In the banking industry, in order to market the KPR product, many banks established cooperation with some developers, because this product is specifically intended for the consumers wishing to purchase a house or other properties. In this research, the Bank X has established cooperation with the affiliated developers and non- affiliated ones.
After the first launch of KPR product in the year of 1996, Bank X has been able to obtain a high sale for the KPR product which is triggered by the growth of properties owned by the affiliated developers. However, in line with the decreasing sale of properties produced by the affiliated developers, then the sale of KPR has also decreased. This condition has been deteriorated by the existence of pressure from the competitors which take over the market share of Bank X.
This research is directed to the end consumer and marketing developer, which use 100 respondents. The type of research applied is descriptive research, in which the opinions of the end consumers will be described through the graph and frequency table. In the marketing developer research, the performance of the Bank X is evaluated by using the imbalance analysis.
This research is aimed at identifying the role of marketing developer in the process of decision making on the KPR selection by the end consumers. The second aim of this research is to perform an evaluation on the performance of Bank X relating to the expectation of the marketing developer.
As suggested previously, that Bank X has marketed the KPR product through the cooperation with the developer company. The field observation reveals that the consumers have a substantial interaction with the marketing developer from the developer company at the time of making decision on purchasing a house.
It is this interaction that will subsequently be empowered by the Bank X to maximize the sale of KPR product. It is through this interaction that the Bank X will employ the marketing developer as the influencer in making decision on selecting the KPR bank by the consumers.
On the other side, in its relation to the eagerness of empowering the marketing developer, then Bank X has endeavored to maintain a good relationship as much as possible. This good relationship can only be maintained if the performance of the company is appropriate to the expectation of the marketing developer. If there is a satisfaction on the marketing developer regarding the performance of Bank X, then it will motivate them to provide a recommendation to the end consumers.
For the end consumers, the results of research reveal that majority of consumers find the KPR simultaneously with finding the house or after that. The results of research also reveal that 85% of respondents said that marketing developed proved to have a role in every decision making activity relating to the KPR.
At the marketing developer, the results of research reveal that the relationship between the account officers with the marketing developer can be well maintained. The largest discrepancy is on the incentive aspect followed by the process aspect. Nevertheless, as a whole, the discrepancy on all aspects being research is placed on the low level.
Recommendation built on this research involves some matters. At the end consumer, the company is recommended to empower the marketing developer to become the influencer in the process of finding information on the house, evaluation on the house and at the time of paying the down payment. At the marketing developer, the company should accelerate the credit approval process. The recommendation for further research is by performing a discrepancy analysis at the end consumer as well as performing the research on several banks which provide the KPR simultaneously.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
T18565
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6   >>