Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 42 dokumen yang sesuai dengan query
cover
J. Handoko Koesnadi
"Penelitian ini menggunakan desain eksperimental dengan membandingkan kelompok siswa penyelam (Selamal) sebanyak 43 laki-laki sehat sebagai kelompok perlakuan, dan kelompok siswa perawat (Sekesal) sebanyak 39 laki-laki sehat sebagai kelompok kontrol dan berumur antara 21-33 tahun; terhadap perubahan Volume Ekspirasi Paksa 1 detik (VEPI) per Kapasitas Vital Paksa (KVP) dan denyut nadi di Iingkungan normobarik (darat) dan submersi (air) path pralatihan dan pascalatihan. Intervensi hanya dikerjakan pada kelompok perlakuan berupa latihan fisik dasar dan latihan menyelam selama 12 minggu.
Pengukuran dilaksanakan saat pralatihan dan pascalatihan pada kondisi submersi dan normobarik dengan menggunakan Spirometer, Palpasi dan Sphygmomanometer. Hasil dari peneitian ini, setelah intervensi dilakukan tidak ada perbedaan yang bermakna pada nilai VEP1/KVP pada kedua kelompok di kondisi normobaiik, tetapi pada kondisi submersi ada perbedaan bermakna. Perbedaan bermakna juga ditunjukkan pada nilai nadi kelompok perlakuan dan kelompok kontrol baik pada kondisi normobarik maupun submersi.
Kenyataan ini menunjukkan ada pengaruh lingkungan hiperbarik terhadap fisiologi paru-paru dan kardiovaskuler, juga fenomena bradikardi yang telah dìbuktikan peneliti terdahulu. Kondisi hiperbaiik dapat menyebabkan menurunnya VEP1/KVP dan denyut nadi karena beberapa faktor dan sebagai akibat dari tekanan negatif dan kondisi pernafasan tanpa gravitasi.

This research used experimental design to compare military diver group student as a treated group, the samples are 43 healthy male and group of nurse student as a control group, to the samples are 39 healthy male, age between 21 ?33 years old to the change of FEV1/EVC and the pulse in the normobaric environment and submersion during preexercise and post-exercise. Intervension was done only by treated group in basic physical exercise and diving exercise for 2 hours/ day for 12 weeks.
Measurement was done during pre-exercise and post-exercise in the submersion and normobaric odition by using Sirometer, Palpation and Sphygtnotnanometer. The result of this research showed that after intervenSiofl was done there is no significant differences of the value FEV1/FVC on both group in normobaiic condition, but in submersion condition there is significant differences. Significant differences of the pulse value also showed among on the treated group and control group either normobaric condition or sUbmerSion condition.
This fact showed that there is an influence of hyperbaric environment to the physiology of lung and cardiovascular also the bradicairdy phenomene as its proved by the former researchers. Hyperbaric condition can cause decrease of FEV1/FVC and pulse because of some factors and the consequences are negative pressure and breathing condition without gravitation.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2000
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Indah Lestari
"

Latar BelakangCarpal Tunnel Syndrome (CTS) merupakan kelainan neuropati perifer terbanyak pada ekstremitas atas akibat terjebaknya atau terjepitnya saraf medianus pada terowongan karpal. Pada pekerja seringkali diakibatkan oleh gerakan repetitif dengan fleksi dan ekstensi pada daerah pergelangan tangan, gerakan menggenggam erat, getaran. Kasus CTS merupakan gangguan muskuloskeletal pada ekstremitas atas yang mengakibatkan pembiayaan kesehatan yang besar, kurangnya produktivitas, hilangnya hari kerja hingga terjadinya disabilitas.

Tujuan : menilai efektivitas terapi nonoperatif bila dibandingkan dengan terapi operatif pada pasien dengan CTS.

Metode : Penelusuran artikel dengan menggunakan Pubmed dan Google Scholar dan menggunakan kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditentukan sebelumnya. Hasil pencarian artikel tersebut kemudian dilakukan telaah dengan menggunakan kriteria penilaian validitas, tingkat pentingnya hasil yang didapat pada penelitian tersebut, dan kemamputerapan.

Hasil : Studi dalam systematic review ini masih mencakup studi yang sedikit dan sangat heterogen dengan outcomes yang bervariasi sehingga secara clinical efficacy belum dapat diyakini bahwa salah satu intervensi lebih baik yang lainnya pada tatalaksana CTS. Hasil gabungan dari analisis subgrup berupa peningkatan fungsi, peningkatan gejala, peningkatan parameter neurofisiologis, dan biaya perawatan pada waktu tindak lanjut yang berbeda menunjukkan bahwa perbedaan tidak signifikan secara statistik antara kedua intervensi. Perbedaan komplikasi dan efek samping secara statistik signifikan dan pengobatan non operatif mencapai hasil yang lebih baik daripada operatif (OR= 2,03, 95% CI= 1,28-3,22, p= 0,003).

Kesimpulan : Tatalaksana pada pasien Carpal Tunnel Syndrome baik dengan intervensi operatif maupun non operatif memiliki keuntungan masing- masing. Hasil intervensi dari segi peningkatan fungsi, perbaikan gejala dan parameter neurofisiologi serta pembiayaan tidak ada ada perbedaan yang signifikan antara keduanya. Intervensi operatif dapat dilakukan apabila perawatan non operatif gagal.


Background : Carpal Tunnel Syndrome (CTS) is the most common peripheral neuropathy in the upper extremities due to trapping or pinching of the median nerve in the carpal tunnel. In workers it is often caused by repetitive movements with flexion and extension on the wrist area, tight grasping movements, vibration. CTS cases are musculoskeletal disorders of the upper extremities with the most expensive health financing in the United States. In addition, it also causes loss of work days that exceed other occupational diseases other than fractures. CTS also results in large compensation expenditures, lack of productivity to disability.

Objective: to assess the effectiveness of nonoperative therapy when compared with operative therapy in patients with CTS.

Methods: Searching the articles by using Pubmed and Google Scholar as well as inclution and exclution criteria predetermined, articles were than performed using the assesment criteria of validity, importance, and ability applied

Results: The studies in this systematic review still include few and very heterogeneous studies with varying outcomes so that clinical efficacy cannot yet be believed that one of the other interventions is better in the management of CTS. The combined results from the subgroup analysis of improved function, improved symptoms, increased neurophysiological parameters, and treatment costs at different follow up times showed that the difference was not statistically significant between the 2 interventions. The difference in complications and side effects was statistically significant and nonoperative treatment achieved better results than operative (OR= 2.03, 95% CI= 1.28-3.22, p= 0.003).

Conclusion: The management of Carpal Tunnel Syndrome patients with both operative and non-operative interventions has their respective advantages. The results of the intervention in terms of improved function, improvement of symptoms and neurophysiological parameters and financing there is no significant difference between the two. Operative intervention can be done if non-operative care fails.

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Utu Sili
"Ruang Lingkup dan Cara penelitian : Dalam melaksanakan pekerjaan fisik yang baik diperlukan fungsi paru yang baik. Pengetahuan tentang faktor - faktor yang mempengaruhi fungsi paru dapat dimanfaatkan untuk perencanaan langkah-langkah upaya pencegahan. Telah dilakukan suatu studi Kros - Seksional di tambang emas Pongkor untuk mengetahui prevalensi gangguan fungsi paru dan diketahui ada tidaknya hubungan fungsi paru dengan faktor umur, lama kerja, tempat kerja, kebiasaan merokok dan pemakaian alat pelindung diri, masker. Sampel penelitian adalah seluruh pekerja yang memenuhi kriteria persyaratan sampel penelitian, dan berjumlah 132 orang.
Hasil dan kesimpulan : Fungsi paru pekerja tambang emas di Pongkor adalah sebagai berikut : Penurunan KVP ( kasus reetriktif ) 16 orang (12,1 %), penurunan VEP1/KVP ( kasus obstruktif ) 2 orang ( 1,5 % ), keluhan saluran pernafasan 28 orang ( 21,2 % ), kelainan pemeriksaan fisik 36 orang ( 27,3 % ) dan kelainan pemeriksaan radiologik 7 orang {14%). Faktor yang mempengaruhi penurunan KVP secara bermakna adalah pemakaian alat pelindung diri masker ( p < 0,05 ), sedangkan faktor umur, lama kerja, tempat kerja dan kebiasaan merokok tidak berpengaruh secara bermakna.

SCOPE AND METHOD OF STUDY : A Cross - Sectional study was conducted on gold mining workers at Pongkor. The aim of the study was to assess lung functions and the influencing factors : age, duration of work, place of work, smoking habits and using protective masks. One hundred and thirty two respondents from a total of 300 workers met the criteria for the study.
RESULTS AND CONCLUSION : The results showed that the prevalence of decrease in FVC was 12,1 %, decrease of FEV1/FVC was 1,5 %, respiratory symptoms was 21,2 %, abnormal finding of pulmonary examinations was 27,3 % and radiological abnormality was found in 7 out of 50 respondents. The use of protective masks had significant influence on the prevention of the decrease in lung function ( p < 0,05 ).
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rafael Nanda Raudranisala
"Latar Belakang: Tingginya pajanan tekanan dan beratnya aktivitas fisik saat bekerja menyebabkan nelayan berisiko kehilangan cairan dan elektrolit tubuh. Kehilangan elektrolit ini dapat menyebabkan berbagai gangguan kesehatan dan mempengaruhi produktivitas. Salah satu cara mencegahnya adalah dengan mengkonsumsi cairan isotonik. Air kelapa merupakan cairan isotonik alami yang mudah didapat dan banyak beredar dalam bentuk kemasan dipasaran. Disisi lain mengkonsumsi air kelapa berisiko meningkatkan tekanan darah akibat peningkatan asupan harian natrium. Sehingga diperlukan adanya studi untuk mengungkap pengaruh suplementasi air kelapa kemasan terhadap kadar elektrolit darah dan tekanan darah pada nelayan
Metode: Penelitian true experimental pada populasi nelayan penangkap ikan dan pencari kerang dengan total subjek sebesar 37 yang dibagi secara random dan blinding menjadi 18 subjek untuk kelompok intervensi dan 19 subjek untuk kelompok kontrol. Subjek secara single blind diberikan cairan intervensi berupa air kelapa kemasan yang diberikan bersama dengan air mineral sebagai cairan kebutuhan dasar. Pengambilan data kadar elektrolit darah dan tekanan darah dilakukan sebelum dan sesudah bekerja.
Hasil: Dari hasil analisa statistik sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok suplementasi air kelapa terdapat penurunan bermakna kadar natrium darah (p 0.012) dan klorida darah (p 0.011), sedangkan kadar kalium dan tekanan darah tidak mengalami perubahan bermakna. Perbandingan kadar elektrolit darah dan tekanan darah setelah intervensi antara dua kelompok tidak menunjukan adanya perbedaan bermakna.
Kesimpulan. Secara statistik konsumsi air kelapa kemasan sebagai cairan suplementasi menyebabkan penurunan kadar natrium dan klorida darah mesikipun tidak bermakna secara klinis. Disisi lain jika dibandingkan dengan kelompok kontrol, air kelapa tidak berbeda dalam mempengaruhi kadar elektrolit darah dan tekanan darah.

Background: Being expose to heat stress and heavy physical work make fishermen at risk of losing body fluid and electrolyte. This condition can cause serious health problem and affect productivity. Consuming isotonic water will prevent those risk. Coconut water is a natural isotonic solution that widely available on commercial packaged. In other hand, consuming coconut water can increase daily sodium intake and increase blood pressure. Further study is needed to reveal the effect of packaged coconut water on blood electrolyte level and blood pressure among fisherman.
Method: True experimental study was conducted among fisherman and clam seeker. A total of 37 subjects was divided randomly into interventional group (18 subjects) and control group (19 subjects). Subject was single blindedly given packaged coconut water as interventional solution accompenied by mineral water as basic fluid needs. Blood electrolyte and blood pressure was obtained before and after work.
Result:Statistically analysed on pre and post intervention of packaged coconut water supplementation group, showed a significant decrease of blood sodium level (p 0.012) and blood chloride level (p 0.011). While post interventional comparison between two groups show no difference neither blood electrolyte level nor blood pressure.
Conclusion: Statistically consuming packed coconut water as supplementation resulting on a decrease of blood sodium and chloride level, eventhough the decrease is not clinically significant. In other hand comparing to control group, packed coconut water has no difference on affecting blood electrolyte level and blood pressure.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59129
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Lidwina Margaretha Laka Bansena
"Pendahuluan: Debu tepung adalah pajanan alergen terhadap pembuat roti yang telah diidentifikasi sebagai faktor determinan sensitisasi alergi dan dapat dilihat dari tingginya prevalensi kejadian atopik alergen gandum. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi faktor individu dan faktor pekerjaan yang berperan terhadap kejadian atopik alergen gandum pada pembuat roti tradisional di Jakarta.
Metode: Penelitian potong lintang komparatif ini dilakukan pada pembuat roti tradisional di 10 pabrik roti di Jakarta dengan membandingkan antara 26 pekerja yang atopik terhadap alergen gandum dengan 79 pekerja yang tidak atopik. Data faktor individu dan faktor pekerjaan diperoleh dengan menggunakan kuesioner, data atopik alergen gandum diperoleh dengan melakukan tes tusuk kulit, dan data higiene lingkungan kerja diperoleh dengan menggunakan nilai tilik mold & dampness assessment sheet NIOSH.
Hasil: Berdasarkan hasil analisis regresi logistik, ditemukan bahwa faktor determinan kejadian atopik alergen gandum pada pembuat roti tradisional di Jakarta adalah kebiasaan merokok (p = 0,047; OR 0,14; 95% CI 0,02-0,97), atopik terhadap tungau debu rumah (p = 0,022; OR 12,20; 95% CI 1,45-119,49), dan masa kerja (p = 0,044; OR 3,52; 95% CI 1,03-11,98).
Kesimpulan: Atopik terhadap tungau debu rumah dan masa kerja meningkatkan risiko untuk mengalami kejadian atopik alergen gandum, sedangkan kebiasaan merokok sedang-berat mengurangi kejadian atopik alergen gandum.

Background: Wheat flour is an occupational exposure to the bakers that has been identified as a determinant allergen among the bakers that can be seen from the high prevalence of atopic events. This study aimed at exploring factors that contribute to the event atopic wheat allergens in traditional bakers in Jakarta.
Methods: This cross sectional comparative study was conducted in 10 traditional bakeries in Jakarta by comparing 26 atopic workers to wheat allergens with 79 non-atopic workers. Data about individual and occupational factors were obtained using a questionnaire, atopic to wheat allergens obtained by conducting skin prick tests, and work environment hygiene data obtained by using NIOSH mold & dampness assessment sheet.
Results: Based on the results of logistic regression analysis, it was found that the determinant factor for developing atopic wheat allergens among traditional bakers in Jakarta was smoking habits (p = 0.047; OR 0.14; 95% CI 0.02-0.97), atopic to house dust mites (p = 0.022; OR 12,20; 95% CI 1.45-119.49), and work period (p = 0.044; OR 3.52; 95% CI 1.03-11.98).
Conclusion: Atopic to house dust mites and work period increases the risk factors to the occurrence of atopic to wheat allergen, while moderate-heavy smoking habits reduced the risk of the occurrence of atopic to wheat allergen.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manurung, Elfrida Rinawaty Br.
"Bahaya potensial di Rumah Sakit mengakibatkan penyakit dan kecelakaan kerja bagi pekerjanya, risiko potensial bagi pengunjung, pasien dan lingkungan. Kejadian terpajan bahan pathogen pada pekerja di suatu Rumah Sakit Jakarta masih terjadi meskipun sudah pelatihan pencegahan infeksi. Akibat lain, tingginya biaya serta adanya kehilangan jam kerja akibat kecelakaan tersebut. Kecelakaan dan penyakit kerja tersebut seharusnya dapat dicegah.Tujuan penelitian untuk mengetahui hubungan jenis pelatihan dengan kejadian terpajan bahan pathogen dan faktor yang berhubungan, mengetahui insidensi kejadian terpajan bahan pathogen di suatu Rumah Sakit Jakarta pada 2008-2012. Penelitian menggunakan disain potong lintang. Populasi sebanyak 212 orang terdiri dari dokter, perawat, bidan dan analis laboratorium.
Diperoleh 110 responden. Data didapatkan melalui kuesioner, pengamatan perilaku dan lingkungan kerja. Didapatkan insidensi kejadian terpajan bahan pathogen sebesar 15,5%. Terdapat hubungan bermakna antara perilaku kurang dan pekerjaan perawat dengan kejadian terpajan bahan pathogen. Perilaku kurang meningkatkan risiko 3,5 kali lebih besar serta merupakan faktor dominan terhadap kejadian terpajan bahan pathogen. Tidak didapatkan hubungan bermakna antara faktor demografi, pekerjaan, jenis pelatihan, pengetahuan dan sikap dengan kejadian terpajan bahan pathogen. Dilakukan pengawasan praktek Kewaspadaan Standar dan pengadaan pelatihan pencegahan infeksi standar untuk mencegah kejadian terpajan bahan pathogen.

Potential hazards in hospitals lead to occupational illness and accidents for workers and potential risk for visitors, patients and the environment. Incidence of pathogenic material exposed healthcare workers at hospital Jakarta occur despite being given trainings. Another effects are the high costs and the loss of working hours due to the accident. Occupational illness and accidents caused by that incident could have been prevented. The objective is to asses the correlation between the incidence and other related factors, and to know the incidence of pathogen incidence of exposed materials in hospital Jakarta in 2008-2012. This study used cross sectional design.
Found 110 subjects out of 212 (doctors, nurses, midwives, laboratory analysts). The data collected from questionnaires, workers practices and working environment observation. The incidence is 15,5%. Low practices factor and occupation (nurse) have meaningful relation. Low practices increases the risk 3,5 times greater, and is the dominant factor. There were no relation between factors of demographic, workings, types of infection prevention trainings, knowledge and attitude with the incidence. Conducted supervision of practices Standard Precaution and infection prevention trainings standard to prevent the incidence of pathogenic material exposed.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tiana Sari Santoso
"Pekerja bagian produksi merupakan aset utama bagi suatu perusahaan di bidang media elektronik sehingga kesehatan pekerja baik secaara fisik dan mental harus diutamakan. Untuk dapat mengetahui kesebatan mental pekerja dapat menggunakan Self Reporting Questionnaire 20 (SRQ-20) dati WHO yang dapat mendeteksi adanya gejala gangguan kesehatan mental.
Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan validitas SRQ-20 versi Bahasa Indonesia dalam penapisan gangguan kesehatan mental pekerja di Indonesia.
Penelidan ini dilakukan di perusahaan media elektronik yaitu di daerah Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Desain penelitian menggunakan metode teknik korelasi. Populasi adalah pekerja di bagian produksi yang berjumlah 157 orang. Besar sampel adalah 30 orang. Prosedur Translate-Back translate dilakukan sebanyak 4 kali untuk mendapatkan kuesioner SRQ-20 versi terjemahan Bahasa Indonesia yang identik dengan SRQ-20 asli. Pengumpulan data diambil dengan cara wawaneara, pengisian data umum, pengisian SRQ-20 sebanyak dua kali dengan jarak 15 hari.
Pada hasil pemeriksaan pertama SRQ-20 dari 30 responden terdapat 26,6% mengalami gejala gangguan kesehatan mental dan hasil pemeriksaan kedua dengan responden yang sama sebesar 3,3%. Hasil perhitungan dengan tehnik korelasi prOdUct moment terhadap setiap butir pertanyaan SRQ-20 hasil pengisian didapatkan 3 butir pertanyaan yang harus direvisi kalimat yaitu pertanyaan nomor 2, 10 dan 17; 5 bultir pertanyaan yang harus direvisi kata yaitu pertanyaan nomor 4, 13, 15, 16 dan 19; serta 12 pertanyaan sudah reliabel bisa langsung dipergunakan dalam kuesioner. Perbedaan hasil penelitian ini dengan penelitian yang sudah ada sebelumnya adalah karena kondisi demografi dan keadaan sosial penduduk yang berbeda di setiap negara Dengan metode transkultural diperoleh SRQ-20 versi awal dalam Bahasa Indonesia. Uji validitas menghasiikan 12 pertanyaan dari SRQ-20 yang siap dipergunakan, sementara itu terdapat 5 pertanyaan yang direvisi kata dan 3 pertanyaan yang akan direvisi kalimat. Modifikasi dan revisi untuk butir pertanyaan yang tidak valid, dilakukan dengan konsultasi ahli sebagai bagian dari upaya meningkatkan validitas konstruksi dan diperolehnya SRQ-20 versi Indonesia yang diusulkan.

Workers' share of production is a major asset for a company in the field of electronic media so that the health of workers both physically and mentally should take precedence. To be able to find mental bealth, workers can use the Self Reporting Questionnaire 20 (SRQ-20) from the WHO that can detect the symptoms of mental health disorders.
The purpose of this study is to obtain the validity of SRQ-20 version of the Indonesian Language in mental health disorders screning workers in Indonesia.
This research was conducted in an electronic media company that is in Keban Sirih, Central Jakarta. Research design using correlation techniques. The population is workers in the production of which amounts to 157 people. The sample size is 30 people. Translate-Back Translate procedure done as much as four times for SRQ-20 questionnaire Indonesian subtitles version of SRQ-20 is identical to the original. The collection of data was collected with interview, filling in general, the SRQ-20 charging twice the distance of 15 days. At the first examination SRQ-20 from the 30 respondents 26.6% have experienced symptoms of mental health disorders and the results of the second examination with the same respondents at 3.3%.
The results computed by the product moment correlation techniques against every number of questions SRQ-20 results of number filling was found three questions that must be revised sentence is que~..t ion number ~ 10 and 17; five numbers of questions that must be revised to say that is question number 4, 13, 15, 16 and 19, and 12 number of questions are reliable can be directly used in the questionnaire. Difference in the results of this study with pre-existing research is that the demographic conditions and social circumstances of different population in each state where the research was held. With transkultural method obtained an early version of SRQ-20 in the Indonesian language. Validity test produced 12 questions of the SRQ-20 is ready for use, while there are five questions that need to revised words and three questions that will be revised sentence. Modifications and revisions to the questions that are not valid, performed by an expert consultation as part of efforts to improve the validity of the construction and obtaining the Indonesian version of SRQ-20 are proposed."
Depok: Universitas Indonesia, 2010
T21178
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Anton Ojong
"Latar belakang: Influenza-like illness merupakan penyakit yang terbanyak dijumpai di PT. X, yang dikhawatirkan akan menurunkan produktivitas kerja. Program imunisasi influenza baru diikuti oleh 30% pekexja Belum diketahui efektivitas imunisasi tersebut terhadap kejadian influenza-like illness. Penelitian ini dilakukan untuk melihat efektivitas imunisasi influenza di PT. X
Metode penelitian: Penelitian ini menggunakan disain kasus-kontrol dengan perbandingan l:l. Jumlah sampel perkelompok 88 orang. Sampel dipilih dengan random. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuisioner, wawancara, pemeriksaan fisik dan rekam medik serta dari dokumen sumber daya manusia.
Hasil penelitian: lnfluenza~Iike illness dipengaruh oleh imunisasi (OR=4.83), lokasi kerja (0R=3.94), kebiasaan olahraga (OR=3.86), kebiasaan merokok (OR=2.86), dan Indeks Massa Tubuh (0R=0.44). Subyek yang mendapat imunisasi median lama sakit 3 (3-5) sedangkan pada yang tidak diimmmisasi median larna sakit 4 (2-7) hari. Dua nilai tersebut berbeda bermakna (p 0.008). Efektivitas imunisasi influenza terhadap kejadian influenza-like illness sebesar 69.4%.
Kesimpulan Imunisasi influenza merupakan falctor determinan utama influenza illness dengan efektivitas 69.4%.

Background : Influenza-like illness is an illness found mostly among staff members in PT X. It?s great concem due to the fact of lowering workers? productivity. Influenza immunization program in PT X has just covered 30% of the whole number of workers. So far, the effectiveness regarding the immunization on the Influenza-like illness symptoms is not known yet. This research is carried out to observe, etfectiveness of influenza immunization in PT X.
Methods: This research used the design of Case-control of l:l. The number of random samples per group was 88 persons. Data was collected through carrying out questionainnaires, interview, physical observation; medical record and human resources document observation.
Result: Influenza-like illness was influenced by immunization (OR=4.83), workers location (OR=3.94), sport activities (OR=3.86), smoking (OR=2.86) and Body Mass Index (0R=0.44). Workers who got imunization, their length of illness was 3 (3-5) days, while those who did not get immunization, their length of illness was 4 (2-7) days. The difference was significant with p value of 0.008. The effectiveness of influenza immunization on Influenza-like illness symptoms is 69.4%.
Conclusion: The influenza immunization was main determinant factor of the influenza-like illness, the effectiveness was 69.4%.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
T32308
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sugih Firman
"Ruang Lingkup dan metodologi: Alat bantu kerja yang bergetar untuk mempencepat proscs produksi di industri sangat banyak digunakan dan rutin digunakan setiap harinya. Oleh karena itu, perlu diketahui prevalensi hand-arm vibration syndrome (HAVS) pada pekerja ini serta melihat pula faktor-faktor yang berhubungan. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang. Dengan teknik total sampling didapatkan 105 responden.Setiap responden dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pengukuran tingkat akselerasi alat yang digunakannya dengan vibration meter. Diagnosis HAVS dinilai pada dua tangan berdasarkan klasifikasi Stockholm. Penelitian dilakukan di bagian assembling PT X, Jawa Barat.
Hasil dan kesimpulan: Dari hasil 105 responden bagian assembling PT X, Jawa Barat didapatkan 28(27,l8%) orang mengalami HAVS dalam berbagai stadium menuzut klasiiikasi Stockholm. Jenis alat yang digunakan responden terdiri dari berbagai jenis di setiap bagiannya. Bagian dengan alat yang paling besar dan berat terdapat di bagian chassis dengan rata-rata scberat 2,19 kg dengan SD 0,79 kg. Demikian juga dengan tingkat akselerasi alat yang bervariasi di tiap bagiannya dan bagian chassis pulg yang berakselerasi paling besar yaim sebesar 31,68 m/sz dcngan so 15,91 rn/s. Pekerja yang tidak mendapatkan pelatihan akan memiliki risiko sebesar hampir 7 kali untuk menderita HAVS (95% CI 2,18 - 2l,68, OR=7,44 dan p=0,00I). Penggunaan alat berakselerasi 12 m/sz atau lebih tinggi memiliki risiko HAVS sebesar hampir 6 kali lebih besar dibandingkan dengan yang berakselerasi kurang dari 12 m/s (95% Cl 0,68 - 48,26, OR= 5,74 dan p=0,l08). Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tidak adanya pelatihan tentang cara penggunaan alat bergetar merupakan risiko HAVS yang terkuat.

Vibrating tools are commonly instruments used in the industrial sector because of their effectiveness in shortened the time needed in the industrial process. Therefore, it is necessary to know the prevalence of Hand-Arm Vibration Syndrome as well as its association factors. This study used cross sectional design. Sample selection used total population technique. Interview, physical examination and tool acceleration measurement with vibration meter, were administered in every respondent. HAVS was diagnosed for each hand according to Stockholm classification. The study was conducted in assembling department of car factory *X* in West Java near the workers workplace.
Results, conclusion and suggestion: Out of 105 respondents, 28 (27.l8%) suffered from HAVS according to Stockholm classification. The respondents use many types of tools in each sub department. Chassis sub department showed the heaviest vibrating tools (mean 2.19 kg, SD 0.79 kg) as well as the highest acceleration (31.68 m/sz, SD 15.91 m/sz). Statistically, there were not any significant association between tools weight and the occurrence of HAVS. However, training program showed significant association with HAVS (OR=7.44 95% Cl 2.41 - 22.98, p<0.00l). The absence of training increased the risk of HAVS almost 7 times than those who joined the training (95% CI 2.18 - 21.68, 0R=7.44 and p=0.001). The usage of tools with acceleration 12 rn/sz or higher increased the risk of HAVS almost 6 times than those below 12 m/sz (95% CI 0.68 _ 48.26, oR= 5.14 and p=o.1os). n is concluded that the absence of training program was the strongest risk factor of HAVS.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
T32341
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>