Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 40 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ba'in
"Tidak lama setelah Sukarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia, meletuslah konfrontasi RI - Belanda yang dipicu oleh keinginan Belanda untuk kembali berkuasa di Indonesia. Dalam konfrontasi ini Belanda berusaha melemahkan RI dengan cara menduduki daerah¬daerah kekuasaan RI dan kemudian memprakarsai pendirian negara-negara dan daerah-daerah istimewa di daerah-daerah yang berhasil dikuasainya tersebut. Dari 15 negara dan daerah istimewa yang didirikan atas prakarsa Belanda, hanya ada tiga negara yang relatif kuat dilihat dari sumber daya alam dan sumber daya manusia yang dimilikinya, yaitu NIT, NST dan Pasundan.Tujuan Belanda yang sebenarnya mendirikan negara-negara dan daerah-daerah istimewa itu adalah untuk mengembalikan lagi kekuasaanya di Indonesia, dengan cara memfungsikan kembali alat kekuasaannya di Indonesia, yaitu Binnelands Bestuur dan KNIL di negara-negara dan daerah-daerah yang dibentuknya itu. Adanya kenyataan bahwa di Indonesia telah berdiri suatu negara yang merdeka, yakni RI mendorong pihak Belanda untuk menjalankan siasat federalistic, yaitu berusaha agar di Indonesia didirikan sebuah negara federal yang beranggotakan RI bersama-sama dengan negara-negara dan daerah-daerah istimewa yang dikendalikannya. Hal ini tampak dari persetujuan-persetujuan yang dilakukan antara RI dan Belanda, seperti persetujuan Linggajati dan Renville, di mana Belanda selalu menekankan pembentukan negara federal di Indonesia bilamana Indonesia telah menerima kemerdekaan dari Belanda. Kesanggupan RI untuk mendirikan negara federal seperti tampak dalam Persetujuan Linggajati, pada gilirannya mem¬bangkitkan semangat perjuangan kemerdekaan pemimpin-pemimpin federalis yang kemudian bergabung di dalam PMF. Sejak akhir Desember 1948, ketika RI dalam keadaan lema.h setelah agresi Belanda II, PMF banyak mengambil prakarsa-prakarsa politik untuk mencari jalan yang terbaik bagi RI, PMF dan Belanda dalam mengusahakan kemerdekaan Indonesia yang diakui oleh Belanda. PMF antara lain mengambil inisiatif untuk mengada¬kan pertemuan RI-PMF guna menentukan langkah-langkah bersama untuk menghadapi Belanda dalam KMB. Langkah politik PMF ini tidak sia-sia karena KMB akhirnya dapat berjalan dengan balk yang kemudian disusul dengan pendirian Negara Republik Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949.Akan tetapi RIS ternyata tidak dapat bertahan lama, kurang lebih delapan bulan setelah pendiriannya RIS bubar. Banyak faktor yang menyebabkan singkatnya masa hidup RIS. Pertama, tidak satu pun tokoh politik utama di Indonesia pada waktu itu yang bersedia mendukung keberadaan RIS. Kedua, hampir semua partai politik juga tidak menghendaki..."
Jakarta: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1996
T38827
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hayari
"Studi ini bertujuan untuk mengetahui latar belakang pembentukan Barisan 20 sebagai badan perjuangan rakyat Muna pada masa revolusi kemerdekaan, peranan para pemuda dan bangsawan Muna dalam proses pembentukan Barisan 20, taktik dan strategi perjuangan Barisan 20 dalam mempertahankan kemerdekaan RI di daerah Muna, proses dan akhir perjuangan Barisan 20, dukungan masyarakat Muna terhadap perjuangan Barisan 20, serta dampak perjuangan Barisan 20 terhadap kehidupan masyarakat Muna.
Perjuangan Barisan 20 dalam mempertahankan kemerdekaan RI di daerah Muna pada tahun 1945-1949 dapat dikategorikan sebagai aksi kolektif. Jadi kerangka teori yang digunakan dalam studi ini adalah teori aksi kolektif dari Charles Tilly. Aksi kolektif adalah orang-orang yang bertindak bersama-sama melalui suatu organisasi dengan cara mobilisasi untuk memperjuangkan kepentingan bersama. Dalam kaitan ini, para pejuang Barisan 20 bertindak bersama-sama dalam menentang tentara NICA (Belanda) yang dilakukan melalui organisasi Barisan 20 dengan cara mobilisasi massa untuk memperjuangkan kepentingan bersama, yakni mempertahankan kemerdekaan RI di daerah Muna.
Penelitian ini dilaksanakan di daerah Muna Sulawesi Tenggara. Kegiatan penelitian mengikuti prosedur dan langkah-langkah yang terdapat dalam metode penelitian sejarah, yakni heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan, dokumentasi, dan wawancara. Data yang terkumpul berupa data deskriptif. Analisis data dilakukan secara kualitatif dengan menggunakan teknik analisis kritik historis, yakni kritik ekstern dan kritik intern. Sedangkan penyajiannya disusun secara kronologis, sistematis, dan ilmiah.
Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini diperoleh dari sumber tertulis dan sumber lisan. Sumber tertulis diperoleh dalam bentuk dokumen (arsip), buku (literatur), dan artikel. Sedangkan sumber lisan diperoleh dari hasil wawancara dengan para pelaku sejarah yang masih hidup sebagai informan kunci. Sumber lisan juga diperoleh dari hasil wawancara dengan orang yang bukan pelaku sejarah tetapi banyak memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang masalah yang diteliti.
Temuan hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan Barisan 20 dilatarbelakangi oleh adanya kekhawatiran para pemuda Muna akan kembalinya kaum kolonial Belanda untuk menguasai daerah Muna pada khususnya dan Indonesia pada umumnya. Selain itu juga dilatarbelakangi oleh adanya kesadaran akan pentingnya upaya untuk mempertahankan kemerdekaan RI di daerah Muna melalui organisasi perjuangan.
Peranan para pemuda dan bangsawan Muna dalam proses pembentukan Barisan 20 di daerah Muna ternyata cukup besar. Para pemuda Muna berperan sebagai pelopor dan pemrakarsa pembentukan Barisan 20. Disebut Barisan 20 karena pada awal pembentukannya organisasi perjuangan ini dipelopori dan diprakarsai oleh dua puluh orang pemuda Muna. Sementara para bangsawan Muna berperan sebagai mobilisator, terutama dalam mengerahkan massa untuk melibatkan diri dalam organisasi Barisan 20. Berkat peranan para bangsawan Muna sehingga dalam waktu yang relatif singkat jumlah keanggotaan Barisan 20 semakin bertambah banyak. Dalam perkembangannya Barisan 20 dilengkapi dengan kesatuan kelasykaran yang disebut Batalyon Sadar.
Pada awalnya para pejuang Barisan 20 berusaha memberikan pengertian dan pedahaman kepada masyarakat luas tentang pentingnya perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI. Setelah itu mereka berusaha menjalin hubungan kerjasama dengan organisasi perjuangan yang ada di daerah lain. Para pejuang Barisan 20 menerapkan taktik dan strategi perjuangan secara gerilya. Selain kondisi wilayah daerah Muna yang sangat cocok untuk perang gerilya, juga karena dihadapkan pada kenyataan bahwa tentara NICA (Belanda) sebagai musuh jauh lebih kuat dibandingkan dengan pasukan Barisan 20. Taktik dan strategi perjuangan yang diterapkan oleh para pejuang Barisan 20 tersebut ternyata cukup efektif dalam meredam gerak ofensif tentara NICA di daerah-daerah pedalaman Muna.
Kenyataan menunjukkan bahwa masyarakat Muna juga memberikan dukungan sepenuhnya terhadap perjuangan Barisan 20. Mereka ada yang ikut melibatkan diri secara langsung dalam pertempuran melawan tentara NICA. Bagi masyarakat yang tidak melibatkan diri secara langsung dalam pertempuran, mereka secara sukarela menyediakan berbagai bahan kebutuhan bagi para pejuang Barisan 20 seperti makanan, senjata, dan uang. Bahkan ada juga masyarakat yang menjadi kurir dengan tugas menyampaikan pesan dan informasi tentang keberadaan musuh di daerah Muna kepada para pejuang Barisan 20. Berkat adanya partisipasi dan dukungan yang diberikan oleh masyarakat, para pejuang Barisan 20 mampu memaksa tentara NICA untuk melakukan perang berlarut-larut. Ketidakmampuan Belanda untuk mengalahkan para pejuang Republik pada umumnya telah membuka jalan ke arah perundingan yang pada akhirnya memaksa Belanda harus angkat kaki dari bumi Indonesia setelah pengakuan kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949.

Front 20 and Its Struggle to Defend the Independence of the Republic Of Indonesia in Muna South East Sulawesi 1945-1949
This study has the purpose to know the background of the establishment of Front 20 as a struggle organization of the people of Muna during the independence revolution period, the role of the youngsters and the nobility of Muna in the process of establishment of Front 20, the tactics and strategies of struggle of Front 20 in the defense of the independence of the Republic Indonesia in the Muna area; the process and the end of the struggle of Front 20, the support of the Muna community to the struggle of Front 20, and the impact of the struggle of Front 20 on the community life of Muna.
The struggle of Front 20 in the defense of the independence of the Republic of Indonesia of in the Muna area. in the years 1945-1949 can be categorized as a collective action. Thus the theoretical framework used in this study is the collective action theory of Charles Tilly. Collective action is people acting together through an organization by way of mobilization for the purpose of defending collective interest. In this connection, the strugglers of Front 20 acted collectively in confronting the NICA (Dutch) army performed through the organization of front 20 by way of mass mobilization to fight for collective interest, i.e. defending the independence of the Republic Indonesia in the Muna area.
This study was performed in the Muna area South East Sulawesi. The activities of the research followed the procedures and steps found in the method of history research, i.e., heuristic, critic, interpretation, and historiography. Data collection was performed through library research, documentation and interview. The collected data formed descriptive data. Data analysis was performed qualitatively by used of historical critic analytical technique, i.e. external critic and internal critic. While its presentation was compiled chronologically, systematically and scientifically.
The data required in this research were obtained from written and unwritten resources. Written-resources were obtained in the form of document (files) books (literature, and articles while unwritten resources were obtained .from the result of interview with participant of history still living as informants. Unwritten sources were also obtained from result _of interviews of those who were not participant in history but having knowledge and understanding about the question being studied.
Findings of research result indicated that- the establishment of Front 20 was back grounded by the existence of concern among the youngsters of Muna that the Dutch colonial people would return and would take power of the Muna area especially and Indonesia in general. Further it was also back grounded by the existence of consciousness of the importance of attempt to defense the independence of the Republic Indonesia in the Muna area through struggle organization.
The rule of the youngster and the nobility of Muna in the process of establishment of the Front 20 in the Muna area turn out to be rather large. The young people of Muna plaid the role of frontiers and initiative takers in the establishment of Front 20. Called Front 20 since at the beginning of its establishment this struggle organization was frontier and taken initiative takers by twenty youngman of Muna. While the nobility of Muna plaid the role of mobilization, especially in the mobilization of the mass to involve themselves in the organization Front 20. Thanks to the role of the nobility of Muna so that within a comparatively short time the number-of membership of Front 20 continued to increase. In his development Front 20 was provided with a semi military unit called Batalyon Sadar.
In the beginning the struggles of Front 20 strited to provide knowledge and understanding to the general community about the importance of the struggle to defend the independence of the Republic Indonesia. Thereafter they attended to establish cooperation with struggle organizations present in other areas. The strugglers of Front 20 applied gerilya tactic and struggle strategy. Aside from the conditions of the Muna area which is very fit for gerilya war fare, also since they were confronted with the reality that the NICA army as enemy was far stronger compared with the army of Front 20. The struggle tactic and strategy applied by the Front 20 strugglers appeared to be effective enough in stopping the offensive movement of the NICA army in the lands of Muna.
Facts indicated that the Muna community also provided full support to the struggle of Front 20. Some of them participated by involving themselves directly in the warfare against the NICA army. For the part of the community which did not directly involve themselves in the warfare, they took the initiative on own will to provide various materials required by the strugglers of Front 20 as food, weapon, and money. There were even members of the community who became courier with the task to bring massages and information on the presence of the enemy in the Muna area to the strugglers of Front 20. Thanks to the existence of participations and support provided by the community, the struggle of Front 20 appeared to be able to force the MICA army to perform long term war. The inability of the Dutch to defeat the strugglers of the republic have in general opened the way towards negotiation which at the end forced the Dutch to leave the Indonesian ground after the acknowledgement of sovereignty on December 27,1949."
Depok: Universitas Indonesia, 2000
T2969
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Mulyana
"ABSTRAK
Menak merupakan satu kelompok elite dalam masyarakat di Jawa Barat sebagaimana halnya priyayi di Jawa pada umumnya. Sistem budaya menak berbeda dengan priyayi Jawa Sebagai mana katagori dari teori Clifford Geertz. Da1am sistem budaya menak terdapat unsure pola prilaku santri. Seperti halnya Wiranatakoesomah menunaikan ibadah haji. Achmad Djajadiningrat, semasa kecilnya mengikuti pendidikan pesantren.
Runtuhnya kerajaan sunda kuno (pajajaran), sulit untuk menelusuri mana yang menjadi pusat budaya menak sunda. Kerajaan (keraton) dapat berfungsi sebagai intitusi yang menjadi pusat budaya, bahkan dapat pula menjadi "kiblat" politik dari menak itu sendiri, seperti halnya kerajaan mataram di jawan. pusat kekuasaan meak di jawa barat. terpecah-pecah dalam bentuk kabupaten-kabupaten, yang biasanyan tiap kabupaten dikuasi oleh satu keluarga bupati tertentu.
pada awal abad ke-20terjadi transfomasi sosial yang dilakukan oelh pemerintah kolonial belanda terhadap kelompok menak melalui institusi pendidikan. transformasi ini melahirkan differensiasi pada kelompok menak, yang melahirkan dua kelompok menak yaitu menak pangreh dan menak nasionalis. Menak pangreh praja adalah mereka yang dididik oleh pemerintah kolonial belanja, yang kemudian ditarik menjadi pegawai birokrasi pemerintah, sedangkan menak nasionalis. menah pangreh praja adalah mereka yang dididik oleh penerintah kolonial belanda, yang kemudian ditarik menjadi pegawai birokrasi pemerintah. sedangkan menak nasionalis, setelah mengikuti pendidikan mereka tidak menjadi pegawai birokrasi pemerintah. manak nasionalis lebih banyak terlibat pada organisasi pergerakan nasional.
Transformasi terjadi pula dalam struktur pemerintah kaum pribumi, yaitu dari model pemerintah yang tradisional menjadi moderen. Pada mulanya bupati merupakan penguasa tunggal. kemudian pemerintah kolonial belanda menerapkan undang-undang desentralisasi. undang-undang ini melahirkan dewan-dewan lokal. menak nasional banyak yangmasuk menjadi anggota dewan lokal. Dengan demikian bupati tidak lagi menjadi penguasa tunggal sebagaimana lazimnya pemerintah tradisional. Keterlibatan dewan lokal dalam merumuskan kebijakan pemerintah mencerminkan adanya keterlibatan rakyat dalam pemerintah, yang merupakan ciri dari suatu pemerintah modern.
Pada awal kemerdekaan, pemimpin nasionalis tampil menjadi pemimpin negera republik indonesia yaitu dengan terpilihnya soekarno dan hatta sebagai presiden dan wakil presiden republik indonesia. sementara itu di awal kemerdekaan ini timbul gejolak-gejolak sosial yang menghendaki tumbangnya kekuasaan lama yang dinilai sebagai representasi kekuatan kolinial. Di jawa barat timbul gejolak yang melawan arus utama revolusi sosial seperti di kerawang, tangerang, banten dan cirebon. Dalam revolusi sosial ini yang menjadi sasaran kemarahan rakyat adalah para pangreh oraja yang masih berkuasa dan dinilai sebagai sisa-sisa kekuasaan kolonial. kondisi seperti ini merupakan arus utama revolusi indonesia.
Di jawa barat timbul gejolak yang malawan arus utama revolusi atau timbul gerakan kontra-revolusi. Gerakan ini dapat dijelaskan dengan teori dari charles tilly yang mengatakan bahwa gejolak akan timbul apabila "hal-hal tradisonil" yang mapan tergusur. Gerakan kontra-revolusi ini dipimpin oleh seorang menak pangreh praja, mantan bupati garut yaitu soeria kartalegawa dengan memproklamirkan berdirinya negera pasundan pada tanggal 4 mei 1947. Soeris kartalegawa sebagai orang sunda dan pengreh praja. "hak tradisonalnya" tergusur dengan pengakatan gubernur jawa barat yang bukan sunda yaitu soetardjo dan datuk jamin. Proklamasi negara pasundan merupakan reaksi atas pengangkatan kedua gubernur tersebut yang bukan orang sunda.
Gagalnya gerakan kertalegawa ini menyadarkan belanda bahwa kartalegwa bukanlah figur yang berpengaruh. Untuk melaksanakan politik federalnya, belanda memotori diadakannya konferensi Jawa Barat yang bertujuan ingin mendirikan satu negara bagian dijawa barat. Dalam konferensi ini melibatkan berbagai lapisan masyarakat konfernsi ini melibatkan berbagai lapisan masyarakat jawa barat, menak-menak nasionalis ikut terlibat pula dalam konferensi jawa barat. pada tanggal 26 febuari 1948 berdirilah negara pasundan, yang merupakan hasil konferensi jawa barat.
Didalam negera pasunda hasil konferensi hawa barat, baik kelompok menak pangreh praja maupun menak nasional ikut terlibat. bahkan menak nasionalis yang sikap politiknya repuliken banyak menendalian roda pemerintahan negara pasunda.
Jalannya roda pemerintahan negera pesunda yang kedua ini, banyak mendapat tekanan-tekanan dari belanda. agresi militer II dinilai oleh para menak sebagai pelanggaran terhadap konsepsi dari negara federal yang menghendaki kebebasan. Adil Purediredja mengundurkan diri sebafai oerdana menteri negara pasundan,s ebagai sikap protes atas agresi militer belanda tersebut. nahkan belanda mengancam akan melakukan penangkapan terhadap menak-menak di negara pasundan yang garis politiknya bertentangan dengan belanda. sikap belanda ini semakin memperkuat menak-menak untuk emlakukan integrasi dengan republik indonesia. pada tanggal 30 januari 1950, wiranatakoesoemah dihadapan sidang parlemen negara pasundan menytakan niatnya untuk menyerahkan mandatnya kepada parlemen pasundan. pada tanggal 8 maret 1950 secara resmi negera pasundan dibubarkan dan berintegrasi dengan RI. Dengan demikian negara pasundan kedua ini merupakan instrumen bagi menak untuk melakukan integrasi nasional."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Darmiasti
"Permasalahan penelitian ini adalah, pertama bagaimana perkembangan penulisan buku pelajaran sejarah dari tahun 1964-1984 dalam kaitannya dengan kurikulum ?, kedua bagaimana pendekatan yang digunakan dalam penulisan buku-buku teks pelajaran sejarah dari tahun 1964 sampai dengan tahun 1984 dilihat dari aspek pendekatan historiografi '? ketiga bagaimana historiografi dalam mata pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB)?. Untuk menjawab permasalahan tersebut, secara metodologis penulis menempatkan perkembangan penulisan buku teks pelajaran sejarah di SMA serbagai bagian dari perkembangan penulisan sejarah di Indonesia dan perkembangan kebijakan pemerintah mengenai kurikulum pendidikan nasional khususnya mata pelajaran sejarah. Buku teks pelajaran sejarah di SMU selain harus memenuhi kriteria penulisan sejarah yang bersifat ilmu, harus pula mengikuti kriteria yang bersifat politik, ditetapkan oleh pemerintah dalam bentuk kebijakan kurikulum, karena buku teks merupakan alat pendidikan. Dalam penelitian ini, penulis menganalisis secara historiografis terhadap isi buku pelajaran sejarah SMU yang dipakai pada Kurikulum Tahun 1964, 1968, 1975, 1984 dan APB. Kerangka analisis yang digunakan dengan menempatkan isi buku-buku tersebut pada historiografi Indonesia yang Neerlandosentris, Indonesiasentris, Ideologis. Buku-buku pelajaran sejarah pada dasarnya merupakan buku sumber yang digunakan di sekolah untuk kepentingan pendidikan. Secara teoretis buku teks pelajaran merupakan pelaksanaan dari kurikulum yang berlaku. Kurikulum ditetapkan oleh pemerintah. Tujuan kurikulum biasanva merupakan tujuan pendidikan yang diinginkan oleh pemerintah. Dalam konteks historiografi tujuan kurikulum dapat merupakan jiwa zaman yang mewarnai penulisan sejarah.
Berdasarkan hasil analisis tersebut penulis temukan yaitu buku-buku yang terbit tahun 1950-an dan dipakai dalam Kurikulum 1964. unsur Neerlandosentris-nya masih nampak, walaupun menggunakan judul ""Sejarah Indonesia"". Hal ini disebabkan oleh buku-buku tersebut masih menggunakan rujukan terhadap buku sejarah yang ditulis oleh orang-orang Belanda. Buku yang terbit tahun 1960-an yang digunakan dalam pelaksanaan Kurikulum Tahun 1968, penulisan yang Indonesiasentris sudah mulai ada. Menempatkan bangsa Indonesia sebagai aktor utama sejarah, bangsa Indonesia sudah ada sejak zaman Hindu-Budha. Konsepsi Indonesia secara geopolitik sudah ada pada zaman Sriwijaya dan Majapahit. ideologis sudah nampak dalam buku yang diterbitkan oleh Pemerintah, atau dikenal dalam buku paket. Buku ini dipakai dalam pelaksanaan Kurikulum Tahun 1975, 1984 dan PSPB. penulisan yang bersifat ideologis, sangat dominan dalam buku PSPB. Pendekatan ini melihat sejarah sehagai suatu lambang untuk masa kini. Ada standarisasi nilai atau kebenaran yang bersifat subjektif dalam menilai peristiwa sejarah, seperti penggunaan standar ""Nilai-Nilai 45"". Contoh pada zaman Demokrasi Liberal dianggap sehagai pelanggaran terhadap nilai-nilai 45."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2002
T38822
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bosawer, Yosias
"Konflik Indonesia Belanda mengenai status Irian Barat, telah membawah akibat yang relatif besar terhadap proses integrasi politik Irian Barat kewilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Konflik yang berkepanjangan berawal dari kebijakan Belanda yang mempersoalkan Irian Barat sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Dan pada puncaknya pada Konperensi Meja Bundar tahun 1949 di Den Haag Belanda.
Kebijakan Belanda mengenai dekolonisasi dan Hak menentukan nasib sendiri menimbulkan konflik antara pemerintah Belanda dan pemerintah Indonesia namun juga menimbulkan reaksi baik dari orang Belanda, kelompok terpelajar Irian Barat sendiri, dan situasi internasional khususnya Amerika Serikat dan Australia menentang kebijakan Belanda mengenai dekolonisasi Irian Barat.
Akhirnya Pemerintah Belanda berubah merencanakan pembentukan "negara" Irian Barat dan menyerahkan wilayah itu kepada Indonesia melalui persetujuan New York pada tanggal 15 Agustus 1962 dibawah tekanan Amerika, Perserikatan Bangsa Bangsa.
Penelitian ini bertujuan untuk merekontruksi sebab-sebab kegagalan dekolonisasi dan hak menentukan nasib yang ditawarkan sendiri oleh Pemerintah Belanda kepada penduduk Irian Barat yang didasarkan pada pendekatan Strukturis dari Christopher Liyod 1993 dan teori Collective Action dari Charles Tilly 1978. Manfaat penelitian ini untuk menambah khasanah Sejarah Nasional Indonesia khususnya sejarah Irian Barat."
Depok: Universitas Indonesia, 2000
T910
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irhash A. Shamad
"Gejolak tuntutan otonomi daerah yang muncul di era Reformasi, mengindikasikan mandegnya pembangunan politik dan proses demokratisasi di Indonesia selama ini. Sejak lebih kurang empat dasawarsa yang lalu, rezim Orde Baru dalam menjalankan pemerintahannya, telah memperlihatkan hegemoni yang berlebihan bahkan cendrung mendominasi terhadap kehidupan berbangsa. Pluralisme kultural dalam negara bangsa semakin tidak dihargai, ketika sistem politik itu memaksakan homogenitas struktural dan kultural melalui jalur birokrasi yang sentralistis. Pembangunan ekonomi yang diwarnai intervensi politik dan eksploitasi sumber daya alam yang semakin menusuk ke unit sosial terbawah, telah menggerogoti kemandirian etnik di banyak daerah.
Pemberlakuan UUPD tahun 1979 sebagai upaya penyeragaman sistem pemerintahan, ditujukan untuk mengefektifkan pelaksanaan pembangunan di tingkat pedesaan. Pemberlakuan UU ini di Sumatera Barat telah mengakibatkan perubahan-perubahan struktural secara mendasar pada sistem sosial yang sudah mapan dan nyaris tidak pernah terusik semenjak masa kolonial. Pemecahan Nagari menjadi Desa telah menimbulkan berbagai akses negatif tidak hanya terhadap struktur kepemimpinan tradisional, juga berimplikasi pada perubahan-perubahan kultural dalam masyarakat Sumatera Barat. Berbagai anomi dan anomali dalam kehidupan masyarakat pedesaan terjadi akibat perubahan ini, pola kultur tradisional komunitas yang demokratik dan egaliter semakin terserabut di akarnya Namun demikian, ketika struktur baru "dipaksakan", ternyata tidak menimbulkan konflik eksternal yang berarti pada komunitas yang dulunya punya elit kritis terhadap kebijakan-kebijakan Pusat ini. Signifkansi penulisan ini justru ditempatkan pada persoalan bagaimana komunitas Minangkabau beserta elitnya -pada waktu ini- menanggapi sebuah perubahan.
Bila ditelusuri secara teoritis, terdapat dua kelompok kepentingan, yaitu : di tingkat subordinasi adalah komunitas Minangkabau dan di tingkat superordinasi (kelompok dominan) adalah Pemerintah Pusat. Sementara Pemerintah Daerah sebagai kelompok menengah berada di antara keduanya, setidaknya begitu menurut konsepsi formalnya. Benturan kepentingan antara kelompok dominan dan kelompok subordinasi telah menempatkan kelompok menengah pada posisi "ketegangan". Dari sisi inilah peran elit kepemimpinan daerah telusuri. Metodologi strukturisme sejarah digunakan dalam melihat faktor-faktor penyebab (causal factors) dari perubahan struktural yang terjadi di daerah ini.
Tiga priode pemerintahan di Sumatera Barat selama Orde Baru yang dijadikan subyek penelitian untuk pembahasan ini adalah : Priode Kepemimpinan Harlin Zain (1966-1977), Anwar Anas (1977-1987), dan Hasan Basri Darin (1987-1997). Ketiga priode ini masing-masing memiliki karakteristik yang tidak lama dan dalam kondisi politik yang berbeda pula Harlin Zain yang tampil di awal pemerintahan Orde Baru adalah seorang ekonom sipil yang tidak memiliki basis sosial di daerah ini. Sementara kondisi daerah yang "terpuruk" akibat PRRI, sangat memerlukan penanganan yang tepat. Program-program yang dijalankan dalam rangka pemulihan kondisi sosial dan politik masyarakat di daerah ini, ternyata berhasil meletakkan fondasi-fondasi sebagai landasan yang diperlukan dalam pembangunan ekonomi selanjutnya. Faktor keberhasilan ini, selain ditentukan oleh strategi dan pendekatan yang baik terhadap masyarakat, juga sangat diuntungkan oleh adanya hubungun simbiosis antara daerah dan pemerintah pusat di awal pemerintahan rezim ini. Namun demikian prioritas yang diberikan terhadap aspek ekonomi telah gagal dalam mengembangkan kesadaran subyektif kelompok semu (elit tradisional) kepada kesadaran komunitas mereka, sehingga resistensi kultural komunitas ini tidak makin menguat dalam progam pemulihan yang dijalankannya.
Azwar Anas yang teknokrat dan militer kemudian melanjutkan kepemimpinan Harun Zain. Program pembangunan ekonomi yang dirintis sejak masa Harun Zain telah memapankan struktur perekonomian masyarakat. Akan tetapi ketergantungan pada pemerintahan pusat tidak makin menurun. Otoritas kekuasaan pusat mulai menggerogoti hak-hak sosial komunitas di daerah dengan diberlakukannya UU No.5 Tahun 1979. Pemerintahan Nagari yang telah dikukuhkan kembali di masa Harun Zain, dimentahkan lagi justru juga oleh pemerintah Daerah sendiri, yaitu dengan menetapkan Jorang -yang dulu merupakan bagian dari Nagari- menjadi Desa sebagai unit pemerintahan terbawah. Pertimbangan ekonomi serta peluang mobilitas lebih mempengaruhi elit daerah dalam mengambil keputusan ini. Di sini, terlihat kecenderungan kelompok menengah terseret ke kepentingan kelompok dominan. Kondisi teknis seperti ini tidak cukup untuk memunculkan pemimpin yang berorientasi pada pembentukan kesadaran ideologi kelompok subordinasi, apalagi sentralisme birokrasi pemerintah pusat makin mewarnai perkembangan politik saat itu, sehingga tidak terpenuhi prasyarat pembentukan kelompok kepentingan yang bersifat konflik.
Dalam priode kepemimpinan Hasan Basri Durin muncul kesadaran akan kepentingan kelompok komunitas. Kesadaran ini kelihatannya lebih dipengaruhi oleh terkendalanya berbagai program pembangunan ketimbang berkurangnya otoritas pusat di daerah. Sikap apatis masyarakat terhadap pelaksanaan dan pemeliharaan hasil pembangunan itu sendiri serta munculnya berbagai konflik internal telah mendorong pemerintah daerah mencari solusi-solusi baru dalam format lama. Manunggal Sakato don Musyawarah Pembangunan Nagari sebagai aplikasi prinsip kegotong royongan dan musyawarah (dalam nilai tradisional) yang diupayakan untuk menggalang partisipasi rakyat dalam pembangunan, telah "menjawab" tuntutan masyarakat untuk kembali ke format pemerintahan nagari. Meskipun dalam prakteknya masih dibungkus dengan budaya formalisme Orde Baru, namun apa yang dilakukan oleh pemerintah daerah saat ini, setidaknya telah sedikit menggeser pola kebijakan pemerintah daerah dari kepentingan kelompok dominan ke kesadaran kepentingan kelompok semu (komunitas).

Hegemony of Central Politics and Local Ethnics Autonomy: Leadership of West Sumatera in New Order Indonesia The turbulence of regional autonomy demand that arise during Reformation era indicates slowing political and democratization development process in Indonesia so far. Since the past approximately four decades, the New Order regime in running its government has shown excessive hegemonic power - even trend to dominate-towards the nation life. Cultural pluralism in the nation state is no longer appreciated, when the political system forced structural and cultural homogeneity through centralized by political intervention and exploitation of natural resources that penetrated the lowest social unit, have undermined ethnic self-reliance in many region.
Enactment of WPD 1979 (Villages Government Laws 1979) as an act of homogenization of the government system, is intended to make more effective development implementation in village level. Enactment of this law in West Sumatera has caused fundamental structural changes in the established social system which is almost unchanged since the colonial period Splitting of Nagari into Desa have caused various negative excess, but also it has implication towards cultural changes in the people of West Sumatera . Various anomie(discrepancies) and anomalies in the life of village community occurred due to this changes, democratic and egalitarian as traditional cultural pattern of this community has become more uproot. However, when the new structure is "forced", it turned that it not caused significantly external conflict in this community which previously has aitical elites towards the policies of the central government one. The significance of this writing is the problem how the Minangkabau community and its elites -presently- respond a change.
If we trace it theoretically, there are two interest groups, namely: in subordination level is the Minangkabau community and in super ordination level (dominant group) is the central government. While the regional government as medium group that exists between them, at least according its formal conception. Clash of interest between the dominant group and subordinate group has placed the medium group in "strain" position. From there, the role of regional elite leadership will trace. The historical structures methodology is used in considering the causal factors of structural change in the established social system in this region.
The three government periods in the West Sumatera during the New Order that become the subject of this research to be discussed is : Harlan Zain leadership period (1966-1977), Azwar Anas (1977-19871 and Hasan Basri Durin (1987-1997). The three periods have dissimilar characteristics and it was also exist within different political condition. Harun Zain that emerged dining the beginning of New Order government is a civil economist that do not have social basis in this region. While the condition of the region that was in crisis due to PRRI badly, needed a proper handling. It turned out the programs that he made in order to recover the social and political of the community in this region have become foundation needed in the next economic development. This successful factor, only determined by proper strategy and approach towards the people, but also favored by existence of mutual Symbiosis relationship between the region and the central government at the beginning of this regime. However, the priority given to economic aspect has failed in developing subjective quasi group awareness (traditional elite) to their community awareness that this community cultural resistant was not growing within the recovery program that he performed.
Azwar Anas who was a technocrat and military then continued the leadership of Harlin Zain. The economic development that has been initiated since the period of Harlin Zain has made economic structure of this community established. However, the dependency on the central government was not decreased. The authority of the central government started to undermine the social rights of the community in the region with the enactment of UUPD 1979. The Nagari government that has been reestablished during Harun Zain period, failed even in the hands of the regional government itself, namely by deciding that Jorang -which was formerly part of the Nagari-become Desa as the lowest government unit. Economic consideration and opportunity for mobility affects the regional elite in making this decision. At this point, there is tendency that the medium group to be drifted to the interest of the dominant group.Such technical condition is not sufficed to bringing up a leader that oriented to formation of ideological awareness of the subordinate group, even more with centralism of central government bureaucracy that characterized the political development at that time, not sufficed the pre conditions for formation of conflict interest group
During the leadership of Hasan Basri Durin give a rise to awareness towards the community group interest It seems that this awareness is more affected by various imperfect development programs rather than the decreasing central government authority in this region. The apathy attitude of the people towards implementation and maintenance of the development result itself and the growing internal conflicts have encouraged the regional government to find out new solution in old format. Manunggal Sakato and Musyawarah Pembangunan Nagari as application of cooperation and consensus (in the traditional values) to mobilize people participation in the development, have "responded" the people demand to return to Nagari government format. Even though in its implementation it is still framed with formalism of New Order, however, the efforts done by the regional government at this time, at least have shifted the policy of the regional government from dominant group interest to quasi group interest (community).
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2001
T7594
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Linda Sunarti
"Tesis ini membahas Proses pembangunan dan perkembangan sebuah pelabuhan di Semenanjung Malaysia dari tahun 1900 sejak proses pembangunan sampai dengan tahun 1963 tahun dimana berakhirnya pengendalian pihak kereta api terhadap pelabuhan tersebut. Pelabuhan Swettenham dibangun atas inisiatif pihak kereta api Negara-negara Melayu Bersekutu (Federated Malay States Railways).
Perkembangan pesat ekonomi di Semenanjung Tanah Melayu menjelang awal abad ke-20, menyebabkan pihak kereta api Negara-negara Melayu membutuhkan sebuah Pelabuhan yang memiliki fasilitas lengkap untuk menunjang kegiatan ekspor-impor yang semakin meningkat. Pelabuhan yang telah ada seperpti pelabuhan Kiang, Teluk Anson, dan pelabuhan Weld dianggap sudah tidak memadai lagi.
Hal yang menarik dalam proses perkembangan Pelabuhan Swettenham ini adalah walaupun pada mulanya pihak pemerintah kolonial Inggris tidak berminat untuk mengembangkan Pelabuhan Swettenham ini menjadi pelabuhan besar seperti pelabuhan Singapura dan Pulau Penang , namun perkembangan ekonomi Tanah Melayu yang begitu pesat di tahun 1920-an sampai dengan tahun 1950-an, membuat pihak-pihak pemerintah kolonial Inggris meninjau kembali kebijakannya.
Sebagai pelabuhan milik kereta api Negeri-negeri Melayu Bersekutu, pengelolaan pelabuhan sejak awal pembukaannya hingga tahun 1963 berada di bawah kendali pihak kereta api. Berbeda dengan Pelabuhan Singapura dan Pelabuhan Pulau Penang yang memiliki Harbors Board sendiri. Hal inilah yang membuat perkembangan Pelabuhan /Port Swettenham selain memiliki kekhasan sendiri juga menyebabkan tersendatnya perkembangan pelabuhan, karena pihak kereta api tidak bisa memfokuskan perhatiannya terhadap masalah-masalah pelabuhan, sebab selain mengendalikan pelabuhan Swettenham pihak kereta api juga mengendalikan pelabuhan-pelabuhan lain miliknya di Semenanjung Tanah Melayu seperti Teluk Anson, Port Weld. Selain itu fokus utama perhatian pihak kereta api adalah mengurusi masalah-masalah kereta api. Masalah manajemen pelabuhan merupakan salah satu kelemahan yang paling banyak dikritik oleh pengguna pelabuhan."
2001
T10900
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Sjamsiar Issom
"Tesis ini mengkaji tentang Sukaptinah Sunaryo Mangunpuspito sebagai sosok wanita pergerakan Indonesia, sejak Kongres Perempuan Indonesia tahun 1928 hingga terpilihnya menjadi anggota DPR dan Konstituante berdasarkan hasil Pemilihan Umum yang pertama tahun 1955. Dalam mengkaji sosok Sukaptinah sebagai wanita pergerakan, terungkap bagaimana lingkungan sosialnya mendukung pembentukan kepribadiannya sebagai sosok wanita yang berpikiran maju, peduli terhadap penderitaan kaumnya dan bangsanya, konsisten serta memiliki jiwa kemandirian yang kuat.
Berbagai fakta yang diperoleh dalam penelitian ini, yang diperoleh baik dari sumber tertulis maupun lisan mengungkapkan bahwa berbagai kemajemukan variabel yang mempengaruhi pertumbuhan sosok Sukaptinah sebagai wanita pergerakan. Latar belakang kehidupan keluarga aktivis Muhamadiyah dalam lingkungan tradisional abdi dalem kraton Yogyakarta, dimana wanita lebih banyak berperan dalam wilayah domestik mengurus rumah tangga, berinteraksi dengan pendidikan Barat sekuler yang kontras dengan pendidikan kebangsaan Taman Siswa. Ia mempunyai kedekatan emosional dan kultural yang unik dengan tokoh pembaharu pendidikan, baik pasangan Kyai dan Nyai Dahlan maupun Ki Hajar dan Nyi Hajar Dewantara.
Pada tahun, 1928 sebagai aktivis Jong lslamieien Bond Dames Afdeeling, pemudi Sukaptinah berpartisipasi aktif dalam Kongres Perempuan Indonesia ke-1 tanggal 22 Desember yang kemudian diperingati sebagai Hari Ibu. Sebagai ketua organisasi Istri Indonesia yang independen selama 3 periode pada dekade 1930-an Sukaptinah -yang selanjutnya dikenal sebagai Ny. Sunaryo Mangunpuspito - mempunyai audit yang tidak sedikit dalam meningkatkan kesadaran wanita Indonesia ke arah kehidupan bemasyarakat dan berbangsa menuju Indonesia Raya.
Pada tahun 1938, perjuangan isteri Indonesia agar wanita Indonesia duduk dalam Gemeenteraad (dewan kota) berhasil di Semarang, Surabaya, Cirebon dan Bandung. Salah seorang diantaranya adalah Ny.Sunaryo Mangupuspito di Semarang. Menjelang pecahnya Perang Pasifik, organisasi lsteri Indonesia yang dipimpinnya memprakarsai Rapat Umum bersama beberapa organisasi wanita lainnya di Jakarta dan Semarang melakukan protes terhadap Volksraad karena tidak ada anggota wanita dalam lembaga tersebut. Ia juga mengorganisir organisasi-organisasi wanita untuk mendukung aksi Gabungan Politik Indonesia (GAPI) yang menuntut Indonesia mempunyai parlemen sendiri.
Kongres Perempuan Indonesia ke-4 di Semarang (1941) yang dipimpinnya menghasilkan keputusan yang progresif, seperti mengusulkan kepada Volksraad agar memasukkan Bahasa Indonesia dalam rencana pelajaran sekolah HMS dan AMS, memberi dukungan kepada GAPI atas penolakannya terhadap ordonansi wajib militer (militiedienstplicht) buat bangsa Indonesia, serta mengirim mosi kepada pemerintah kolonial agar hak memilih (actief kiesrecht) anggota dewan haminte juga diberikan kepada wanita Indonesia.
Pada masa pendudukan Jepang, Ny. Sunarjo Mangunpuspito mendampingi Empat Serangkai memimpin kantor bagian Wanita Putera dan menjadi ketua Hujinkai pusat. Dilibatkannya istri pamongpraja dalam aktivita Hujingkai, mengakibatkan para istri pamongpraja tersebut tidak mungkin lagi mengisolir diri di menara gading dan menjaga jarak dengan rakyat kebanyakan seperti pada masa Hindia Belanda. Mereka dituntut harus menyatu dengan masyarakat untuk mengadakan dapur umum, mengorganisir rapat-rapat yang bersifat politis untuk memobilisasi kaum wanita membantu Jepang. Di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Ny, Sunaryo Mangunpuspito bersama dengan Ny. Maria Ulfah Santoso SH., berhasil memperjuangkan terjaminnya kesamaan hak wanita dan pria dalam konstitusi UUD-RI 1945 (pasal 27).
Bagi Ny.Sunaryo Mangunpuspito, perjuangannya membela tanah air untuk lepas dari penjajahan merupakan perwujudan dari ajaran agama Islam dan ia tetap konsisten memperjuangkan perbaikan dan kemajuan kedudukan wanita. Ia tetap aktif dalam Kongres Wanita Indonesia (KOWANI) disamping menjadi Ketua Umum Muslimat Masyumi.
Karir legislatif Sukaptinah Sunup Mangunpuspito, yang dimulainya sejak menjadi anggota Gemeenteraad Semarang, BPUPKI pada akhir masa pendudukan Jepang, setanjutnya setelah Indonesia merdeka sebagai anggota KNIP dan Badan Pekerja KNIP, anggota DPRS (1950-1955), mencapai puncak dengan terpilihnya sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan merangkap sebagai anggota Kontituante hasil Pemilu 1955. Meskipun demikian aktivitasnya dalam organisasi wanita tetap ditekuni hingga usia senja dalam memperjuangkan kemajuan wanita dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara, yang dijamin dalam konstitusi."
2000
T11814
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ari Sapto
"Berbagai daerah di Indonesia dalam periode 1947-1949 terlibat dalam perlawanan bersenjata. Gerilya kola di Probolinggo tidak terpisahkan dari aksi militer Belanda tahun 1947. Arti penting jenis perlawanan gerilya kota tidaklah karena dampaknya di bidang politik, melainkan sebagai gejala yang khas dalam perang kemerdekaan. Gerilyawan mengadakan perlawanan di dalam kota yang justru menjadi konsentrasi kekuatan tentara musuh. Fenomena demikian belum banyak dikaji, apalagi terekam dalam sejarah yang bersifat nasional. Studi ini berusaha mencari jawab atas masalah, mengapa pihak tentara memilih kota sebagai ajang perlawanan, bagaimana pihak tentara dapat bertahan di dalam kota yang diduduki musuh, bagaimana upaya pihak tentara untuk merealisasikan tujuan-tujuannya?
Gerilya kota dapat dikatagorikan sebagai aksi Kolektif. Aksi kolektif ialah orang-orang yang bertindak secara bersama untuk mencapai kepentingan bersama. Komponen-komponen yang terdapat dalam aksi kolektif, yaitu kepentingan bersama, organisasi, sumber daya, dan kesempatan.
Aktivitas penelitian disesuaikan dengan langkah-langkah yang terdapat dalam metode sejarah. Meliputi heuristik, kritik, interpretasi dan penyajian. Data yang terkumpul berupa data deskriptif. Sumber data berupa arsip, arsip yang diterbitkan, catatan kenangan yang tidak diterbitkan, hasil wawancara, surat kabar, majalah, artikel dan buku.
Aksi militer tanggal 21 Juli 1947 rnembawa perubahan tatanan politik. Kota Probolinggo tidak dapat dipertahankan dan diduduki Belanda. Gerilya kota di Probolinggo lahir sebeium munculnya strategi penjemuan atau perorongan (atrition trateg y). Sistem pertahanan linier TNI tidak berhasil menahan serbuan Brigade Marinir pada 21 Juli 1947, bergerak ke samping dan membentuk keiompok.-kelornpok perlawanan yang beroperasi dengan taktik gerilya, Operasi gerilya di dalam kota disebabkan dua faktor. Pertama, batalyon Abdoes Sjarif kewalahan dan tidak mampu menghadapi operasi militer Belanda. (1) Posisi Belanda di kota Probolinggo sangat kuat. Kota diduduki pasukan infanteri marinir yang terkenal berpengalaman dalam PD 11, ditambah pasukan KNIL, pasukan Tjakra, dan polisi. Kapal-kapal perang Belanda yang berada di pelabuhan senantiasa memberikan bantuan tembakan meriam ke darat, ke daerah-daerah yang dipandang kantong tentara Republik. Operasi gerilya di dalam kota untuk memecah konsentrasi dan kekuatan musuh, (2) Lemahnya jaringan intelejen.
Operasi intelejen yang cenderung pasif; hanya sebagai pengumpul informasi, terbukti tidak banyak membantu dalam aksi militer Belanda. Gerilya kota diharapkan dapat memberikan informal yang eepat dan lengkap untuk kepentingan gerakan gerilya lainnya,(3) Moral anggota tentara merosot (kalap kaku). Serbuan Belanda yang cepat disertai perang urat syaraf, kekejaman yang disertai dengan mempertontonkan korban, serta gempuran yang terus menerus melemahkan moril pejuang TNI. (4) Pasukan Tjakra sebagai pembantu tentara Belanda ikut menghancurkan reputasi tentara Republik di mata rakyat. Jawaban gerilyawan terhadap berbagai upaya menjauhkan dukungan rakyat adalah dengan kontra teror, intimidasi, perusakan, dan lain-lain. Kedua, upaya menghancurkan organisasi orang-orang Cina, Pao An Tui (PAT), karena banyak anggota PAT bertindak sebagai mata-mata Belanda.
Gerilyawan dapat bertahan dan melakukan operasi di dalam kota hingga perang usai dilatarbelakangi beberapa faktor. (1) Di kota kebencian terhadap penguasa asing secara historis jelas. Fenomena demikian memudahkan untuk melakukan mobolisasi selama perang gerilya. (2) Basis sosial gerilya terutama berasal dari priyayi, petani, dan pedagang. Priyayi mampu menempatkan diri dalam situasi yang berubah. Priyayi berusaha mengangkat kembali perannya yang pada masa akhir pemerintahan Hindia Belanda mengalami kemerosotan. Keterlibatan petani dan pedagang merupakan reaksi spontan terhadap perubahan sosial yang cepat. (3) Adanya pemimpin yang memiliki kemampuan mengatur siasat dan dapat diterima di kalangan pendukung gerakan.
Sistem wehrkreise hakekatnya adalah memobilisasi rakyat demi kepentingan perjuangan. Mobilisasi dana dan tenaga dilakukan dalam bentuk dukungan yang bentuknya bervariasi. Kebutuhan logistik anggota diperoleh berkat partisipasi rakyat, berdagang, dan menggarap dengan sistem maro tanah negara yang terlantar. KTD berperan menggalang dukungan tenaga, simpatisan diorganisir dalam bentuk Pasukan Cadangan. Kebutuhan senjata dan amunisi diperoleh dengan merampas dan musuh dan rnempekerjakan petani di tangsi-tangsi militer.
Sasaran yang berupa orang taktik operasi dinamakan tikam hilang dan perunduk. untuk menggalang dukungan selain dipergunakan cara propaganda, juga dengan kampanye bisik-bisik. Kerusuhan yang terjadi tanggal 31 Januari 1948 merupakan bukti kemampuan gerilyawan melakukan mobilisasi dan memprovokasi rakyat. Organisasi mencerminkan kelompok yang tertutup. Untuk mengetahui dunia luar banyak mempergunakan mata-mata, bantuan rakyat, dan penyamaran. Komunikasi penting menggunakan Sandi atau kode. Sistem perlindungan dapat dibedakan: perlindungan di dalam dan di luar rumah. Perlindungan di dalam rumah terdiri dari dari perlindungan di atap rumah dan perlindungan ruang bawah tanah (tuba-tabs). Perlindungan di luar rumah terdiri dari tiga model: rubah-rubah di sekitar halaman rumah, rubah-rubah di tebing sungai, dan rubah-rubah di sekitar kuburan."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
La Malihu
"ABSTRAK
Informasi mengenai pelayaran tradisional di Buton telah disinggung dalam Ligtvoet (1878), Dick (1975a, 1975b, 1985, 1987), Horridge (1979a, 1981), Hughes (1984), Evers (1985), Schoorl (1985), Liebner (1990), dan Southon (1995). Bagian terbesar dari kajian mereka, kecuali Southon, masih menempatkan pelayaran tradisional Buton dalam kerangka kajaian umum, balk secara spasial maupun tematis. Secara spasial perhatian mereka terutama diarahkan pada kegiatan pelayaran di Kepulauan Tukang Besi, terutama Wanci dan Kaledupa, kecuali Southon yang memusatkan perhatian pada Desa Gerak Makmur di Kecamatan Sampolawa, Secara tematis mereka melihat pelayaran terutama dari aspek kegiatan ekonominya, sementara aspek perkembangan dan kemundurannya masih luput dari perhatian.
Studi ini mencoba mengisi "celah" tersebut dengan mencoba menganalisis tradisi maritim serta perkembangan dan kemunduran pelayaran tradisional di Buton Timur, dengan fokus perhatian pada Kecamatan Pasarwajo. Untuk keperluan ini beberapa pendekatan teori, seperti pendekatan Mentaliteit (Ladurie 1986), pendekatan ekologi (Steward 1955, Binford 1967, dan Geertz 1993), pendekatan Sea System (Braude! 1971, Chauduri 1985, Lapian 1987, Leirissa 1996), serta teori pemilihan kerja (Hommans 1961), teori modernisasi (Tipps 1973) dan teori invohrsi (Geertz 1993), digunakan untuk menganalisis masalah-masalah yang relevan.
Dari hasil analisis disimpulkan bahwa orang Buton sesungguhnya berakar dari suatu masyarakat dengan tradisi maritim yang sangat kuat. Hal ini diindikasikan oleh, antara lain: (1) pola pemukirnan penduduk yang terkonsentrasi di pinggiran pantai, (2) pandangan ideologis yang menempatkan "laut" pada tataran yang seimbang dengan "darat", (3) ideologi barala yang diilhami oleh keseimbangan pada perahu bercadik ganda, (4) konsep pertahanan kerajaan yang ditekankan pada matra laut, dan (5) berkembangnya pelayaran yag secara konkrit dapat diidentifikasi sejak abad ke-17.
Wilayah Buton Timur tumbuh menjadi pusat pelayaran tradisional terkait dengan (1) kondisi lingkungan geografisnya yang terdiri dari ratusan pulau, (2) keadaan alamnya yang kering dan tandus, dan (3) letak geografisnya di tengah jalur pelayaran yang menghubungkankawasan barat dan timur Indonesia.
Perahu lambo -- perahu yang digunakan dalam pelayaran -- dilihat sebagai sesuatu yang bermakna simbolik. Lamho dipersepsikan seperti manusia, sehingga dalam kesetaraannya dengan rumah, dipersepsiskan sebagai "suami". Desain dan konstruksinya merupakan paduan antara desain barat dengan metode konstruksi tradisional.
Pelayaran tradisional di Pasarwajo berkembang seiring dengan dinamika perkembangan sosial, ekonomi, politik, dan keamanan; baik dalam skala lokal, nasional, maupun internasional. Pembatasan-pembatasan yang didterapkan oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk menjamin monopoli KPM, misalnya, telah membuat pelayaran tradisional makin tersisih dalam perebutan pangsa angkutan barang (dan penumpang); bahkan mengalami stagnasi sema sekali setelah masuknya Jepang pada Maret 1942 hingga Agustus 1945.
Demikian pula gejolak politik selama beroperasinya DIITII di Sulawei Tenggara sepanjang tahun 1950-an dan awal 1960-an, yang terus berlanjut hingga pecahnya G.30S serta proses penumpasan dan pembersihannya sejak akhir 1965 hingga 1967.
Kemajuan berarti baru dapat dicapai setelah memasuki Repelita I, ketika keadaan ekonomi, sosial, dan politik mulai membaik; dan mencapai puncaknya pada akhir dekade 1970-an hingga awal 1980-an. Namun memasuki paruh kedua dasawarsa 1980-an terjadi apa yang oleh Geertz disebut involusi, yang disebabkan terutama oleh merosotnya harga dua komoditas unggulannya, yaitu kopra dan cengkeh; adanya saingan perahu layar motor; kelangkaan kayu; terjadinya alih profesi menjadi nelayan penangkap ikan; dan kurang positifnya pandangan generasi muda terhadap pelayaran tradisional. "
1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>