Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Abdul Syukur
"Disertasi ini membahas penyusunan ruang lingkup, materi dan narasi pengajaran sejarah Indonesia dalam kurikulum 1964-2004. Penelitian menyimpulkan bahwa penyusunannya sangat dipengaruhi konsep stabilitas yang dinamis sehingga perbaikan kurikulum sejarah tidak mengubah formulasi yang menekankan pemberian legitimasi kekuasaan dan pengulangan materi pengajaran sejarah Indonesia. Penelitian ini mengusulkan tiga perubahan formulasi. Pertama, perubahan dari pemberian legitimasi kekuasaan ke penguatan jati diri dan integrasi bangsa. Kedua, perubahan cara pandang yang menempatkan sejarah lokal dari peretak ke perekat bangsa. Ketiga, perubahan ruang linngkup dan materi pengajaran sejarah di SD, SMP dan SMA dari pengulangan ke berkelanjutan.

This dissertation examines the construction of scope, content, and narration in teaching of Indonesian history in Curriculum 1964-2004. The result of this research shows that the construction has been very influenced by the dynamic stability concept so that the revision of teaching of Indonesian history has not changed the formulation that emphasize to give legitimization of power, and to repeat the content of teaching. This research proposes three changing. The first is giving of legitimization of power to national identity and integrity. The second is world view to local history from disintegration to integration factor. The third is scope and content of teaching of Indonesian history at SD, SMP, and SMA from repetition to continuity."
2013
D1452
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rifai Nur
"ABSTRAK
Pasca Perang Kemerdekaan Indonesia terjadi suatu perubahan pemerintahan
daerah yang diberi hak otonom. Pada masa Perang Kemerdekaan dengan pemerintahan
NIT otonomi daerah di Sulawesi Selatan dilaksanakan dalam konteks negara federasi,
sedangkan pasca revolusi otonomi daerah dilaksanakan dalam konteks negara kesatuan.
Studi otonomi daerah difokuskan pada hambatan-hambatan yang menyebabkan
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang otonom terkendala. Suasana kebebasan
daerah disatu sisi dan kontrol serta pengendalian pusat di sisi lain, begitupula dengan
struktur sosial berhadapan dengan struktur pemerintah. Kemudian, kelompok unitaris
pada satu sisi dan di sisi lain kelompok federalis, saling berinterasi bekerjasama dan
terkadang pula bersaing dengan wadah kepentingan, etnik dan idiologi.
Metodologi penelitian yang digunakan adalah kualitatif, dengan pendekatan
strukturis. Tipe eksplanatif dengan konteks penelitian transisi. Pengumpulan data
menggunakan dokumen arsip, dokumen media cetak dan wawancara.
Temuan-temuan yang diperoleh dari studi ini diuraikan berikut. Pertama, pemerintah Sulawesi Selaian dan daerah-daerah di Sulawesi Selatan memiliki
kebebasan yang terbalas dalam berkreasi, merencanakan, mengambil keputusan,
melaksanakan keputusan itu. Kebebasan yang terbatas itu dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan.
Kedua, pemerintah Sulawesi Selatan memperoleh 7 urusan sebagai hak
otonominya disamping hak dasar yang telah dimiliki. Otonomi diletakkan pada 3 level,
yaitu Sulawesi Selatan, Swatantra/Swapraja dan desa. Pada level ketiga hanya bersifat
uji coba, kemudian setelah berlangsung beberapa tahun lalu dicabut dan dihentikan.
Ketiga, Pemerintahan daerah pada level swapraja dijalankan berdasarkan tradisi
yang mengandung azas demokrasi. Swapraja mewarisi tradisi pemerintahan dalam
konteks federasi faliti dan monarki kostitusi. Undang-Undang sebagai dasar
penyelenggaraan negara disusun berdasarkan perjanjian antara raja dan wakil-wakil dari paliti (negara bagian). Di dalamnya diatur masalah hak-kewajiban yang didasarkan
pada perpaduan antara konsep to manurung dan ajaran Islam.
Keempat, kendala-kendala yang menghambat penyelenggaraan administrasi
pemerintahan dan pembangunan saling berkait satu sama lain. Kendala-kendala itu
adalah belum adanya persepsi yang sama diantara penyelenggara negara, swapraja dan
ajjoareng sebagai pusat kekuasaan dan panutan pengaruhnya tak tergantikan, dominasi
pemerintahan militer atas sipil, sentralisasi pengelolaan perdagangan kopra, sentralisasi
pengelolaan pajak, dan eskalasi politik yang tinggi.
Seeara teoritis, Studi ini menunjukkan relevansi terhadap beberapa
teori yang digunakan dan mengkonstruksi teori baru tentang demokrasi di daerah
masyarakat Sulawesi Selatan. Hak, kewajiban dan kebebasan individu, kelompok,
swasta dan pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri, mempunyai relevansi dengan teori yang dikemukakan oleh Arthur Mass,
Sarundajang dan Ndraha. Teori yang dikemukakan oleh Huntington, Mohtar Mas?oed
dan Maswadi Rauf tentang keampuhan gagasan tentang kemajuan (the idea of
progress). Kemajuan yang diyakini akan mendorong munculnya demokrasi.
Syaratnya adalah pengembangan kekuatan masyarakat, terutama melalui
pembentukan sistem kepartaian yang bertanggung jawab kepada rakyat. Kemudian
kebebasan individu dan kelompok serta daerah untuk mengembangkan kemajuan
dalam rangka kemandirian rnenunjukkan relevansinya. Parsons dan Geertz
kebudayaan sebagai sistem simbol-simbol. Dengan sistem itu, manusia memberi
makna pada pengalamannya sendiri. Pada taraf tertentu, hal ini sesungguhnya
menyangkut semua negara baru, yang ccnderung menjadi tumpukau tradisi-tradisi
yang bersaing yang kebetulan terkumpul menjadi kerangka-kerangka kerja politis
yang lebih direka daripada secara organis memeperkembangkan peradaban-
peradaban, teori nilai budaya ini relevan dengan nilai budaya darah putih dan
darah merah masyarakat Sulawesi Selatan. Kemudian hubungan patronase masyarakat
Bugis Makassar dalam ajjoareng-joa sangat relevan untuk memahami pola hubungan
masyarakat Bugis-Makassar. Keempat, Teori hubungan patronase .T.C. Scott.
Suntherland dan Darmawan Rahman Mas?0d dalam pendekatan sejarah conflict and
accomodation dalam memahami konflik dan integrasi kelompok-kelompok kepentingan, budaya, sosial dan politik yang saling berhadapan tetapi juga saling
bersama-sama relevan. Juga konstruksi teori demokrasi melihat bagaiman tradisi-
tradisi berisi azas demokrasi. Orang-orang Bugis Makassar menjalankan demokrasi
sebagai tradisi di dalam pemerintahan dan sosial dapat dilihat dalam: (1) sistem
perwakilan dan pemuusyawaratan dalam pengambilan keputusan (2) keputusan yang
tertinggal berada di tangan rakyat. Keputusan Raja dapat dibatalkan oleh
dewan adat, keputusan dewan adat dapat dibatalkan oleh lembaga yang lebih rendah
yakni anang/tokoh-tokoh masyarakat, dan keputusan tokoh-tokoh masyarakat dapat
dibatalkan oleh rakyat. Kedua, Di dalam tradisi pemerintahan dan sosial orang Bugis-
Makassar kelompok lemah selalu diberi perlindungan bahkan di Luwu diberi kursi di
dalam parlemen. Ketiga, orang-orang Bugis-makassar harus bersifat jujur, benar, adil
dan berani di dalam memimpin dan kehidupan keseharian. Keempat, orang-orang
Bugis-Makassar harus saling siporanmu, merasa saling membutuhkan dan saling
memberi manfaat meskipun yang bersangkutan memiliki sejumlah keterbatasan. Jadi
orang Bugis-makassar selalu menghargai orang lain."
2007
D1657
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdurakhman
"Disertasi ini membahas tentang dinamika Gerakan Tarbiyah pada era 1980 hingga 2010: Respon Ormas Islam terhadap Gerakan Islam Transnasional. Penelitian ini menggunakan metode sejarah. Penelitian ini merupakan hasil penelitian kualitatif dengan membahas pengaruh pemikiran Ikhwanul Muslimin terhadap Gerakan Tarbiyah. Gerakan Tarbiyah tumbuh dan berkembang dari gerakan dakwah kampus yang awalnya digagas oleh DDII melalui Bina Masjid Kampus yang kemudian dikembangkan oleh Imaduddin melalui program LMD. Masuknya pemikiran tarbiyah yang dibawa oleh Hilmi Aminuddin membuat GDK bertransformasi menjadi Gerakan Tarbiyah. Keberhasilan Gerakan Tarbiyah mengembangkan pengaruhnya memunculkan respon dari Ormas Islam, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Kekhawatiran ini semakin memuncak ketika Gerakan Tarbiyah beraktivitas melalui sayap politiknya. Aktivitas dakwah dan politik yang dilakukan sayap politik Gerakan Tarbiyah dan Sayap Dakwah Partai Keadilan Sejahtera membuat Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama merasa tergerus otoritasnya. Kekhawatiran yang dimunculkan oleh Muhammadiyah dan NU direspon Gerakan Tarbiyah dengan melakukan proses penyesuaian atau proses internalisasi organisasi dengan realita sosial yang terjadi di Indonesia. Dampaknya pemikiran IM yang diadopsi oleh Gerakan Tarbiyah tidak sepenuhnya mempengaruhi gerak langkah Gerakan Tarbiyah karena Gerakan Tarbiyah mampu melakukan proses internalisasi dengan baik, hal ini terlihat dari respon kalangan intelektual Gerakan Tarbiyah terhadap realita sosial yang berkembang di Masyarakat, perubahan-perubahan yang mereka lakukan pada manhaj mereka yang terimplementasi dalam aktivitas sayap politiknya, PKS.

The focus of this paper is discusses the dynamics of Tarbiyah Movement in the 1980s to 2010: Responses Islamic organizations against Transnational Islamic Movement. This study uses historical method. This study is a qualitative research by discussing the influence of the Muslim Brotherhood Movement thoughts Tarbiyah. Tarbiyah movement grows and develops from campus missionary movement that was initially in the idea by DDII via Bina Mosque Campus which was later developed by Imadudin through LMD program. The entry of tarbiyah thought brought by Hilmi Aminuddin make GDK transformed into Tarbiyah Movement. Influence the success of developing Tarbiyah Movement elicits a response from Islamic organizations, Muhammadiyah and Nahdlatul Ulama. This concern is further culminated when the Tarbiyah Movement activity through its political wing. Da'wah and political activity conducted political wing of Da'wah Movement Tarbiyah and the Prosperous Justice Party wing makes Muhammadiyah and Nahdlatul Ulama felt undermined his authority. Concern were raised by Muhammadiyah and NU Tarbiyah Movement responded by making adjustments to the process or the process of internalizing the reality of social organization in Indonesia. The impact of thought adopted by IM Tarbiyah movement is not entirely affect the actions taken Tarbiyah Movement because Tarbiyah Movement capable of performing well internalization process, it is seen from the response of the Tarbiyah Movement intellectuals evolving social realities in society, the changes they did on the manhaj they are implemented in the activity of its political wing, the Prosperous Justice Party (PKS)."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2013
D2112
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rifai Nur
"ABSTRAK
Pasca Perang Kemerdekaan Indonesia terjadi suatu perubahan pemerintahan
daerah yang diberi hak otonom. Pada masa Perang Kemerdekaan dengan pemerintahan
NIT otonomi daerah di Sulawesi Selatan dilaksanakan dalam konteks negara federasi,
sedangkan pasca revolusi otonomi daerah dilaksanakan dalam konteks negara kesatuan.
Studi otonomi daerah difokuskan pada hambatan-hambatan yang menyebabkan
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang otonom terkendala. Suasana kebebasan
daerah disatu sisi dan kontrol serta pengendalian pusat di sisi lain, begitupula dengan
struktur sosial berhadapan dengan struktur pemerintah. Kemudian, kelompok unitaris
pada satu sisi dan di sisi lain kelompok federalis, saling berinterasi bekerjasama dan
terkadang pula bersaing dengan wadah kepentingan, etnik dan idiologi.
Metodologi penelitian yang digunakan adalah kualitatif, dengan pendekatan
strukturis. Tipe eksplanatif dengan konteks penelitian transisi. Pengumpulan data
menggunakan dokumen arsip, dokumen media cetak dan wawancara.
Temuan-temuan yang diperoleh dari studi ini diuraikan berikut. Pertama, pemerintah Sulawesi Selaian dan daerah-daerah di Sulawesi Selatan memiliki
kebebasan yang terbalas dalam berkreasi, merencanakan, mengambil keputusan,
melaksanakan keputusan itu. Kebebasan yang terbatas itu dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan.
Kedua, pemerintah Sulawesi Selatan memperoleh 7 urusan sebagai hak
otonominya disamping hak dasar yang telah dimiliki. Otonomi diletakkan pada 3 level,
yaitu Sulawesi Selatan, Swatantra/Swapraja dan desa. Pada level ketiga hanya bersifat
uji coba, kemudian setelah berlangsung beberapa tahun lalu dicabut dan dihentikan.
Ketiga, Pemerintahan daerah pada level swapraja dijalankan berdasarkan tradisi
yang mengandung azas demokrasi. Swapraja mewarisi tradisi pemerintahan dalam
konteks federasi faliti dan monarki kostitusi. Undang-Undang sebagai dasar
penyelenggaraan negara disusun berdasarkan perjanjian antara raja dan wakil-wakil dari paliti (negara bagian). Di dalamnya diatur masalah hak-kewajiban yang didasarkan
pada perpaduan antara konsep to manurung dan ajaran Islam.
Keempat, kendala-kendala yang menghambat penyelenggaraan administrasi
pemerintahan dan pembangunan saling berkait satu sama lain. Kendala-kendala itu
adalah belum adanya persepsi yang sama diantara penyelenggara negara, swapraja dan
ajjoareng sebagai pusat kekuasaan dan panutan pengaruhnya tak tergantikan, dominasi
pemerintahan militer atas sipil, sentralisasi pengelolaan perdagangan kopra, sentralisasi
pengelolaan pajak, dan eskalasi politik yang tinggi.
Seeara teoritis, Studi ini menunjukkan relevansi terhadap beberapa
teori yang digunakan dan mengkonstruksi teori baru tentang demokrasi di daerah
masyarakat Sulawesi Selatan. Hak, kewajiban dan kebebasan individu, kelompok,
swasta dan pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri, mempunyai relevansi dengan teori yang dikemukakan oleh Arthur Mass,
Sarundajang dan Ndraha. Teori yang dikemukakan oleh Huntington, Mohtar Mas?oed
dan Maswadi Rauf tentang keampuhan gagasan tentang kemajuan (the idea of
progress). Kemajuan yang diyakini akan mendorong munculnya demokrasi.
Syaratnya adalah pengembangan kekuatan masyarakat, terutama melalui
pembentukan sistem kepartaian yang bertanggung jawab kepada rakyat. Kemudian
kebebasan individu dan kelompok serta daerah untuk mengembangkan kemajuan
dalam rangka kemandirian rnenunjukkan relevansinya. Parsons dan Geertz
kebudayaan sebagai sistem simbol-simbol. Dengan sistem itu, manusia memberi
makna pada pengalamannya sendiri. Pada taraf tertentu, hal ini sesungguhnya
menyangkut semua negara baru, yang ccnderung menjadi tumpukau tradisi-tradisi
yang bersaing yang kebetulan terkumpul menjadi kerangka-kerangka kerja politis
yang lebih direka daripada secara organis memeperkembangkan peradaban-
peradaban, teori nilai budaya ini relevan dengan nilai budaya darah putih dan
darah merah masyarakat Sulawesi Selatan. Kemudian hubungan patronase masyarakat
Bugis Makassar dalam ajjoareng-joa sangat relevan untuk memahami pola hubungan
masyarakat Bugis-Makassar. Keempat, Teori hubungan patronase .T.C. Scott.
Suntherland dan Darmawan Rahman Mas?0d dalam pendekatan sejarah conflict and
accomodation dalam memahami konflik dan integrasi kelompok-kelompok kepentingan, budaya, sosial dan politik yang saling berhadapan tetapi juga saling
bersama-sama relevan. Juga konstruksi teori demokrasi melihat bagaiman tradisi-
tradisi berisi azas demokrasi. Orang-orang Bugis Makassar menjalankan demokrasi
sebagai tradisi di dalam pemerintahan dan sosial dapat dilihat dalam: (1) sistem
perwakilan dan pemuusyawaratan dalam pengambilan keputusan (2) keputusan yang
tertinggal berada di tangan rakyat. Keputusan Raja dapat dibatalkan oleh
dewan adat, keputusan dewan adat dapat dibatalkan oleh lembaga yang lebih rendah
yakni anang/tokoh-tokoh masyarakat, dan keputusan tokoh-tokoh masyarakat dapat
dibatalkan oleh rakyat. Kedua, Di dalam tradisi pemerintahan dan sosial orang Bugis-
Makassar kelompok lemah selalu diberi perlindungan bahkan di Luwu diberi kursi di
dalam parlemen. Ketiga, orang-orang Bugis-makassar harus bersifat jujur, benar, adil
dan berani di dalam memimpin dan kehidupan keseharian. Keempat, orang-orang
Bugis-Makassar harus saling siporanmu, merasa saling membutuhkan dan saling
memberi manfaat meskipun yang bersangkutan memiliki sejumlah keterbatasan. Jadi
orang Bugis-makassar selalu menghargai orang lain."
2007
D839
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Herniwati
"ABSTRAK
Disertasi ini menguraikan tentang perubahan identitas Cina Padang dari Revolusi sampai Reformasi. Pendekatan etnisitas Barth dan identitas Wang Gungwu digunakan untuk melihat perubahan identitas etnis Cina Padang dari rezim yang berkuasa. Kajian ini menemukan bahwa etnis Cina ikut berperan ketika Indonesia menjadi negara yang baru, meskipun dalam waktu yang bersamaan etnis Cina juga menjadi bagian dari orang Minangkabau saat terjadi pergolakan PRRI. Pada saat ini identitas ke-Minangan dan ke-Cinaan terlihat kuat di dalam diri Cina Padang. Ketika terjadi perubahan rezim dengan kontrol negara yang kuat pada masa pemerintahan Orde Baru, Cina Padang tetap aktif merepresentasikan diri mereka melalui aktivitas sosial dan budaya, meskipun hanya untuk kalangan sendiri. Kesempatan untuk tetap bisa beraktivitas tidak terlepas dari keberadaan perkumpulan sosial, budaya, dan kematian Himpunan Tjinta Teman dan Himpunan Bersatu Teguh serta politik lokal Padang dan karakteristis masyarakat Minangkabau yang terbuka sehingga memberikan ruang kepada etnis Cina untuk mengembangkan diri mereka sendiri. Tekanan dan kontrol negara berdampak terhadap tingginya loyalitas dan solidaritas sesama kelompok etnis Cina. Fenomena lain ditemukan setelah Reformasi bergulir, di mana saat politik lokal dan politik negara memberikan kesempatan besar bagi etnis Cina untuk merepresentasikan budaya dan adat istiadat mereka, malah sebaliknya terjadi perubahan struktur dan tatanan sosial

ABSTRACT
This dissertation analyses the changes in Padang Chinese identity from revolution to reformasi. Using Barth?s approach to ethnicity and Wang Gungwu?s approach to identity, it looks at changes in Padang Chinese ethnic identity through the governing regimes. The study finds that ethnic Chinese played a role in Indonesia becoming a new country, despite simultaneously being part of Minangkabau society at the time of the PRRI separatist movement. Nowadays, Minang and Chinese identities are clearly strong in the Padang Chinese. With the regime change and strong state control under the New Order government, the Padang Chinese remained active in representing themselves through social and cultural activities, if only within their own circles. The Himpunan Tjinta Teman and Himpunan Bersatu Teguh organisations were integral in providing opportunities to remain active through social and cultural gatherings, and funerals, as were local politics in Padang and the open characteristics of Minangkabau society, all of which allowed room for the ethnic Chinese to develop. State pressure and control resulted in high levels of loyalty and solidarity among ethnic Chinese. Another phenomenon became apparent after Reformasi; when local and state politics provided enormous opportunities for ethnic Chinese to represent their culture and traditions, what actually transpired were structural changes in their social order as a result of competition and internal conflicts between commercial associations (kongsi)."
Depok: 2011
D1316
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library