Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 17204 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Widodo Suryandono
"Penulisan tesis ini merupakan upaya untuk menggambarkan bahwa dalam era globaiisasi para pelaku ekonomi harus meningkatkan daya saing dan berdikari. Masalah-masalah yang ingin dibahas dalam tesis ini berkaitan dengan motivasi penggabungan perusahaan, akibat-akibat hukumnya, dampaknya terhadap hubungan kerja karyawan dan upaya-upaya perlindungannya. Dengan demikian tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui motivasi dan akibat hukum terjadinya penggabungan perusahaan, dampak yang ditimbulkan terhadap hubungan kerja karyawan, serta upaya-upaya perlindungan terhadap kepentingan karyawan yang menggabungkan diri. Banyak cara yang banyak ditempuh pelaku ekonomi untuk menjadi kuat dan mandiri. Salah satunya dengan cara menggabungkan diri sebagaimana tersebut di atas sehingga terbentuk sinergi baru yang mempunyai daya saing tinggi. Kegiatan penggabungan perusahaan ini mempunyai bentuk, motivasi, dan metode bermacam-macam sehingga akibat yang ditimbulkannya juga beranekaragam. Akibat terhadap hubungan kerja karyawan yang digabungkan bisa baik yaitu karyawan tetap bekerja dengan syarat kerja lama dan mendapatkan kesejahteraan yang meningkat, bisa kurang baik karena karyawan tetap bekerja dengan masa kerja dan syarat-syarat kerja yang baru, dan bisa juga tidak baik karena karyawan dikenakan pemutusan hubungan kerja."
Depok: Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andari Yurikosari
"Deregulasi ekonomi timbul pada saat kegiatan ekonomi membutuhkan perangkat pengaturan persaingan usaha yang cepat dapat mengatasi permasalahan, sementara di lain pihak proses penyusunan rancangan undang-undang banyak menemui kendala dan sulit untuk segera diproses menjadi undang-undang.
Di dalam kerangka hirarki atau tata unit peraturan perundang-undangan berdasarkan TAP MPRS No. XX/MPRS/1966, yang termasuk deregulasi adalah peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, yaitu Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden.
Iklim penanaman modal, khususnya penanaman modal asing secara langsung (direct investment) di Indonesia, juga membutuhkan perangkat deregulasi untuk pengaturan persaingan usaha. Hal ini antara lain telah ditempuh dengan dikeluarkannya PP No. 20/1994.
Di samping itu, dalam periode tertentu telah dikeluarkan Keppres yang mengatur mengenai Daftar Negatif Investasi (DNI) sehingga bidang-bidang usaha tertentu yang masih menguasai hajat hidup orang banyak sesuai ketentuan Pasal 33 UUD 1945 tidak menjadi dikuasai oleh pihak asing.
Pada kenyataannya deregulasi PP No. 2011994 bertentangan dengan undang-undang yang berlaku di atasnya termasuk UU No. 1/1967 Tentang Penanaman Modal Asing. Berlangsungnya deregulasi di bidang hukum investasi, seperti DNI, terkadang tidak konsisten. Selain itu deregulasi yang diharapkan membuka persaingan di kalangan swasta, hanya menguntungkan beberapa kelompok usaha atau bahkan hanya pihak asing dan merugikan industri dalam negeri seperti Keppres No. 96/1995 yang menghambat pedagang eceran dalam negeri. Dengan demikian, dengan deregulasi saja tidak cukup untuk menyelesaikan masalah. Dikeluarkannya UU No. 5/1999 pada masakabinet reformasi pembangunan diharapkan dapat menjadi salah satu acuan dalam menerbitkan deregulasi ekonomi yang akan datang."
Depok: Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hotmauli
"Persoalan pengenaan pajak oleh pemerintah menjadi perbincangan yang menarik untuk dicermati, disebabkan dalam pengenaan pajak, pengaturan mengenai hak dan kewajiban wajib pajak maupun fiskus menjadi hal yang wajib ada dalam dasar hukum pengenaannya. Untuk rnenyeimbangkan hak dan kewajiban ini dalam peraturan perpajakan dibutuhkan politik hukum pemerintah yang mampu mengakomodasi kedua hal ini.
Tesis ini menuangkan bagaimana "Politik Hukum Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan di Indonesia". Ada tiga masalah penting yang diamati dalam tesis ini, yaitu; politik pembentukan hukum, politik penegakan hukum pajak bumi dan bangunan, serta faktor-faktor yang mempengaruhi politik hukum pajak bumi dan bangunan di Indonesia.
Perbedaan-perbedaan politik pembentukan hukum pengenaan pajak bumi dan bangunan ditentukan oleh tiga faktor pengaruh yaitu, konsep penguasaan dan pemilikan hak atas tanah, perkembangan singkat keadaan negara, khususnya yang berkaitan dengan kebijaksanaan fiskal dalam penerimaan negara dan politik pemerintahan secara umum pada masa pemberlakuan peraturan perundangan-undangan pajak bumi dan bangunan.
Dalam hal politik penerapan dan penegakan hukum ada perbedaan yang muncul dalam hal pelaksanaan kewajiban perpajakan. Berdasarkan Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan sejak tahun 1985, tanggung jawab pelaksanaan pajak bumi dan bangunan tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab wajib pajak. Wajib pajak hanya berkewajiban untuk membayar pajak bumi dan bangunannya, sedangkan proses penetapan dan penghitungan pajak bumi dan bangunan dilakukan oleh aparat perpajakan dengan menggunakan sistem official assessment.
Politik hukum pelayanan pajak bumi dan bangunan dilaksanakan untuk mencapai dua tujuan yaitu; pertama, kebijaksanaan pelayanan hukum pajak bumi dan bangunan ditujukan untuk membantu pemerintah dan masyarakat merealisasikan kaidah-kaidah hukum yang ada dalam peraturan perundang-undangan pajak bumi dan bangunan; kedua, kebijaksanaan pelayanan hukum pajak bumi dan bangunan ditujukan sebagai sarana untuk mewadahi pelayanan hukum pemerintah sebagai kontraprestasi akibat adanya pembebanan pembayaran pajak yang dikenakan pada masyarakat.
Realisasi kebijaksanaan hukum yang pertama ditunjukkan dengan adanya sistem pelayanan pajak bumi dan bangunan berdasarkan fungsinya. Berbeda dengan yang pertama, realisasi kebijaksanaan hukum yang kedua sampai saat ini belum ada pengaturan yang tegas."
Depok: Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Taufiq
"Masyarakat Islam di Indonesia mula-mula terbentuk di Aceh, pada sekitar abad ke-12 Masehi, kemudian ke seluruh pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Maluku, Sulawesi, dan terakhir di Nusa Tenggara serta Irian Jaya. Pada abad ke-17, hampir seluruh penduduk Indonesia telah memeluk agama Islam. Kehadiran penjajah Belanda dan usaha kristenisasi, bahkan mempercepat proses Islamisasi di Indonesia. Setelah masyarakat Islam meluas dan menguat maka mulai tumbuh kerajaan atau kesultanan Islam. Hukum Islam yang berasal dan ajaran madzhab Syafi`i, mulai masuk dan berkembang seirama dengan berkembangnya masyarakat Islam.
Para ulama melakukan Islamisasi hukum yang berlaku sebelum masuknya Islam, dengan cara menyaring hukum adat atau kebiasaan yang berlaku, dengan hukum Islam serta mengganti simbol-simbolnya dengan simbol-simbol hukum Islam, dan membentuk satu sistem hukum yang disebut hukum Islam Indonesia. Setelah terbentuknya kerajaan-kerajaan Islam secara yuridis, hukum Islam berlaku di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini diperkuat oleh teori Receptie in complexu Van Den Berg. Efektivitas hukum keluarga Islam sangat kuat karena terkait erat dengan Islam dan sebagian bersifat statis.
Pemerintah Hindia Belanda dengan politik Islamnya serta politik hukumnya berusaha untuk menghapus Islam dan hukum Islam dari bumi Indonesia, dengan cara mengadu domba antara ulama dengan para elite penguasa pribumi serta kepala-kepala adat, antara hukum adat yang telah mengalami proses Islamisasi dengan hukum Islam yang berasal dan madzhab Syafi`i, berdasakan teori receptie VanVollenhoven serta muridnya,Ter Haar, dan melakukan asosiasi di bidang sosial hukum, dan pendidikan.
Pemerintah Hindia Belanda secara bertahap dan sistematis menghapus keberlakuan hukum Islam yang tersisa yaitu hukum keluarga Islam, dengan cara makin mempersempit ruang gerak Pengadilan Agama yang telah berkembang seirama dengan perkembangan hukum Islam, Politik Islam Belanda telah melahirkan tiga aliran: aliran Islam tradisional yang mengganggap fikih sama dengan Islam, aliran pembaharu Islam yang ingin memurnikan dan memberdayakan kembali Islam serta hukum Islam, dalam era modern, dan aliran Islam netral agama yang berpaham sekuler serta berusaha memisahkan negara dari agama.
Pada masa penjajahan, ketiga aliran tersebut bersatu untuk menghadapi penjajahan Belanda dan Jepang. Tetapi menjelang Indonesia merdeka, mulai terjadi perbenturan antara Islam Tradisional dan Pembaharu (golongan Islam), dengan aliran sekuler, mengenai dasar negara. Perbenturan tersebut menghasilkan Piagam Jakarta, dan akhirnya golongan Islam mengalah, maka lahirlah Pancasila. Perbenturan kedua terjadi ketika sidang konstituante mengenai dasar negara. Kemudian diikuti perbenturan-perbenturan berturut-turut di DPR dan MPR, dan terakhir perbenturan yang terjadi pada tahun 1973 mengenai pembaharuan hukum Perkawinan Islam, karena adanya perubahan sosial.
Kaum sekuler menghendaki pembaharuan hukum perkawinan dengan mengenyampingkan hukum Islam, golongan Islam menghendaki sebaliknya. Tetapi akhirnya karena desakan golongan Islam (aliran tradisional dan pembaharu), pembaharuan tersebut dilakukan dengan cara tetap memberlakukan hukum Perkawinan Islam dari ajaran madzhab Syafi`i, bagi orang Islam berdasarkan pemikiran filsafati bahwa di negara RI tidak boleh berlaku hukum yang bertentangan dengan hukum Agama, dengan mempertahankan bagian hukum Islam yang bersifat statis, dan memperbaharui yang bersifat dinamis dengan metoda takhayyur/talfiq, reinterpretasi atau ijtihad, siyasah syar`iyah, dan melalui keputusan Pengadilan Agama atau yurisprudensi."
Depok: Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Wulandari
"Kegiatan pokok perdagangan eceran melakukan penjualan barang secara langsung kepada konsumen akhir dalam partai kecil. Bentuk usaha eceran terdiri dari usaha eceran tradisional dan modern. Bentuk usaha eceran secara tradisional umumnya masih menggunakan sarana toko atau pasar dan merupakan usaha perorangan dengan jumlah barang yang dijual terbatas macam dan jumlahnya. Bentuk usaha eceran lain adalah usaha eceran modern dengan modal besar yang menjual beragam barang (lengkap) dan memiliki tempat-tempat usaha yang strategis dengan berbagai sarana dan prasarana (one-stop shopping).
Ekspansi usaha pedagang eceran besar dan juga dengan terbukanva perdagangan eceran bagi penanam modal asing menimbulkan kekhawatiran usaha pedagang eceran kecil akan hancur. Selain itu, usaha perdagangan eceran dengan storeiless store seperti multilevel marketing, TV Shopping, dan lain-lain juga menambah persaingan dalam usaha eceran. Berdasarkan pengertian ini, persaingan yang terjadi dalam perdagangan eceran adalah antara sesama pedagang eceran besar baik lokal maupun asing. Meskipun demikian usaha untuk melindungi kepentingan pedagang eceran kecil sekaligus meningkatkan kualitas usahanya perlu dilakukan baik dari pihak pemerintah, khususnya Departemen Perindustrian dan Perdagangan, organisasi pedagang eceran, maupun akademisi. Usaha-usaha pokok dimaksud meliputi lokasi usaha, program kemitraan, dan perlindungan hukum.
Aspek perlindungan hukum yang masih perlu diperbaiki mencakup perizinan usaha, permodalan, kemitraan, distribusi barang dan persaingan usaha. Pengertian persaingan usaha yang sehat tidak hanya mencakup ketentuan hukum tertulis, namun mencakup pula pengertian hukum tidak tertulis seperti etika bisnis. Untuk mencegah persaingan usaha yang tidak sehat dalam usaha eceran terdapat dua Cara pokok, yaitu perbaikan peraturan perundang-undangan di bidang usaha eceran serta penegakannya dan peningkatan kualitas usaha pedagang eceran kecil.

The main activity of retailing business is to sell goods in small quantities to the end user. There are traditional and modern retailing businesses. The traditional retailing business usually uses shop or market in selling its limited quantity and variety of goods. The modern retailing business that owns big capital sells various goods. Its store locates in strategic business area and has modern facilities (one-stop shopping). This retailer is called big retailer.
The concern of the destruction of small retailers comes up since the expansion of the local big retailers as well as the disclosure of retailing business for foreign investment. The store less store such as multi-level marketing, TV Shopping, etc increases the competition on retailing business. Based on this research, the competition of retailing business occurs among local and foreign big retailers. The small retailers needs the government, particularly the Department of Industry and Commerce, retailers' organization, and academic institution assistance to protect the interest of small retailers as well as to enhance the quality of their businesses. Such assistances include the business location, partnership program and legal protection.
The aspects of legal protection that needs to be improved are business permit, capitalization, partnership, distribution of goods and business competition. The meaning of fair business competition covers the written law and unwritten law such as business ethics. There are two main methods in protecting the unfair competition on retailing businesses, i.e. the improvement of regulations on retailing business and its enforcement, as well as the enhancement of business quality of small retailers."
Depok: Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Latumeten, Pieter A.
"ABSTRAK
Perseroan terbatas sebagai wadah organisasi usaha umumnya dipergunakan sebagai wahana bagi setiap pelaku ekonomi dalam melakukan kegiatan usahanya baik dalam lingkup nasional ataupun internasional, karena itu perseroan terbatas menjadi pranata hukum yang akan melandasi kegiatan ekonomi di era global. Indonesia melalui UU Nomor 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (PT), telah menciptakan produk hukum nasional yang kompatibel dengan perkembangan dunia, yang ditandai dengan adanya pengaturan dalam UUPT tersebut mengenai perlindungan kepada pemegang saham minoritas, pihak ketiga (kreditur dan penjamin) dan terhadap PT itu sendiri. Bahkan adanya ketentuan bahwa pendirian dan perubahan anggaran dasar PT harus dibuat dengan akta notaris. Ratio keharusan pendirian dan perubahan anggaran dasar PT dengan akta notaris, sejalan dengan titel pembuktian yang sempurna atau mengikat yang diberikan UU kepada akta notaris yaitu adanya kepastian atas hak dan kewajiban yang dituangkan dalam anggaran dasar, yang tidak dapat dimungkiri oleh pihak-pihak yang terikat dalam anggaran dasar itu seperti direksi, komisaris dan Pemegang saham_ Keharusan adanya akta notaris juga seiring dengan status PT.
Sebagai badan hukum dan sebagai upaya perlindungan terhadap kepentingan umum (kreditur dan penjamin). Akta notaris selain mempunyai titel pembuktian mengikat atau sempurna, juga memiliki nilai objektifitas yang ditunjukkan dengan adanya ketentuan yang melarang notaris yang membuat akta dan keluarganya sendiri dalam batas tertentu menjadi pihak dalam akta. Ironisnya walaupun UU telah memberikan titel pembuktian yang mengikat dan nilai objektifitas terhadap akta notaris, namun dalam praktik peradilan dijumpai adanya pembatalan akta notaris. Terhadap pembatalan akta notaris oleh Pengadilan baik batal demi hukum (van rechtswege nietig) ataupun dapat dibatalan (vernietigbaar), dapat disebabkan karena kesalahan notaris dan dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Dalam kaitan dengan pendirian dan perubahan anggaran dasar PT, timbul adanya perbedaan persepsi antara SK Menteri Kehakiman dengan Peraturan Jabatan Notaris Jo Pasal 1868 KUH.Perdata dalam menafsirkan akta notaris, karena UUPT tidak merumuskan apa yang dimaksud dengan akta notaris, sehingga dalam hal ini notaris tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap cacat atau pembatalan akta-aktanya dalam hubungan fungsional dengan pendirian dan perubahan anggaran dasar PT sepanjang aktanya tidak termasuk dalam pengertian akta notaris menurut Peraturan Jabatan Notaris jo Pasal 1868 KUH.Perdata."
Depok: Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dara Wardhani
"Akuisisi atau pengambilalihan sebagian besar atau seluruh saham suatu perusahaan target merupakan salah satu alternatif kegiatan perusahaan yang akan mengambil alih dalam rangka memperluas atau meningkatkan usahanya. Alternatif itu dipilih karena lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan penggabungan usaha (merger). Namun, tidak jarang akuisisi dilakukan dengan penggabungan perusahaan target ke dalam perusahaan yang mengambil alih. Masalahnya adalah apabila akuisisi dilakukan dengan cara mengkompensasi utang perusahaan target, hal tersebut perlu diperjanjikan terlebih dahulu dan memperhatikan prosedur dan tata cara akuisisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di pihak lain pelaksanaan akuisisi perlu dibatasi dengan terjadinya monopoli usaha. Sepanjang pranata hukum mengenai monopoli belum ada, sangat sulit mengartikan monopoli usaha yang dapat membatasi akuisisi. Pembentukan suatu badan atau lembaga yang berfungsi mengawasi dan merekomendasi akuisisi merupakan salah satu alternatif untuk mencegah monopoli. Hal itu dimaksudkan agar tidak merugikan pihak-pihak yang berkaitan terutama, antara lain, para karyawan perusahaan target, para kreditur, dan para pemegang saham minoritas."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1999
T9855
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sudirman
"Dalam rangka merealisasikan putusan hakim yang mencerminkan proses hukum yang adil, ada tiga komponen penting yang harus dipenuhi yaitu penerapan hukum atau peraturan perundang-undangan secara formal, penghormatan terhadap hak-hak yang dipunyai tersangka/terdakwa/terpidana, dan sidang pengadilan yang bebas dan hakim yang tidak memihak. Ketiga komponen di atas pada hakikatnya telah mampu mengakomodasikan tiga asas penting mengenai peradilan yang baik, yaitu asas kepastian hukum, asas persamaan hukum, dan asas keadilan. Prasyarat demikian dapat menjadi barometer bagi wujud penegakan hukum yang benar, sekaligus sebagai antisipasi dari arbitrary process (proses yang sewenang-wenang atau semata-mata berdasarkan kuasa penegak hukum).
Dalam konteks yang demikian relevan kiranya komponen-komponen proses hukum yang adil diujikan pada putusan MA No. 55 PK/Pid/1996. Hasil penelitian menunjukkan, ada dua persoalan mendasar yang dapat diamati dari putusan PK MA tersebut. Pertama, diterimanya permohonan PK jaksa oleh Majelis PK MA, dan Kedua yaitu penjatuhan hukuman terhadap terdakwa yang telah diputus bebas. Dari perspektif yuridis putusan MA model demikian tidak dapat dibenarkan dan termasuk keliru. Namun, dalam perspektif sosiologis keadaan yang demikian tidak dapat dihindari karena banyak persoalan lain yang ikut berperan. Persoalan manusia yang menjalankan penegakan hukum, teramat khusus hakim sebagai faktor penentu dan intervensi pihak kekuasaan pemerintahan terhadap pelaksanaan kekuasaan kehakiman dalam menjalankan fungsi judisial, ternyata ikut berandil besar bagi wujud suatu putusan.
Dalam kondisi sistem peradilan yang sudah tertata sedemikian, amatlah sulit kiranya menjadikan pengadilan sebagai lembaga yang benar-benar diharapkan mampu mewujudkan tegaknya hukum secara wibawa atas dasar keadilan. Oleh karena itu, amatlah penting kiranya ditunjukkan perilaku patuh dan taat hukum terutama dari pihak pelaksana penegakan hukum yang dibarengi dengan political will pihak kekuasaan pemerintahan negara untuk secara sungguh-sungguh mewujudkan peradilan yang baik. Adalah naif lembaga pengadilan tertinggi sebagai bentengnya keadilan justru memunculkan ketidakadilan. Persoalan demikian amatlah buruk bagi citra lembaga peradilan, sekaligus amat berpengaruh bagi masa depan peradilan pidana yang pada gilirannya akan semakin sulit mewujudkan proses hukum yang adil dan wibawa penegakan hukum di Republik tercinta Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1999
T7632
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
A. Kahar Maranjaya
"Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik. Sebagai negara kesatuan, Indonesia menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk meyelenggarakan otonomi daerah seluas-luasnya. Kewenangan otonomi luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yanag mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan. Terlebih dalam negara modern, terutama apabila dikaitkan dengan paham negara kesejahteraan urusan pemerintahan tidak dapat dikenali jumlahnya, karena kewenangan otonomi mencakup segala aspek kehidupan masyarakat, terutama yang berkaitan dengan pelayanan urusan dan kepentingan umum. Selain sangat luas urusan pemerintahan dapat senantiasa meluas sejalan dengan meluasnya tugas negara dan/atau pemerintah.
Namun keleluasaan itu bukan tampa batas , karena bagaimanapun daerah, dalam negara kesatuan Republik Indonesia bukan daearah yang berbentuk atau memiliki atribut negara. Seperti dijelasakan dalam penjelasan Pasal 18 UUD 1945, ?oleh karena negara Indonesia itu suatu eenheidstaat maka Indonesia lidak akan mempunyai daerah dalam lingkungannya yang bersifat staatjuga". Dengan demikian penyelenggaraan otonomi daerah dalam negara kesatuan RI ada batasnya yaitu ketentuan-ketentuan yang tidak boleh dilampaui atau diselenggarakan oleh daerah seperti urusan bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain meliputi kebijakan tentang perencanaan nasionaldan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dan perimbangan keuangan, sistem adminstrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi dan standardisasi nasional.
Batas kewenangan otonomi daerah itu dapat berwujud berbagai bentuk peraturan perundang-undangan dan/ atau hukum, misalnya; Pancasila, Unadang-Undang Dasar 1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Undang-Undang, dan Peraturan Pemerintah. Ketentuan-ketentuan yang menjadi batas atau rambu-rambu otonomi daerah itu ditentukan oleh badan pembentuk peraturan perundang-undangan seperti MPR,DPR dan Presiden. Sehingga pemberian otonomi kepada daerah secara luas, nyata, dan bertanggungjawab dapat menjadi formula yang tepat bagi pemeliharaan abadi ?bhinneka tunggal ika?sebagai simbol abadi negara kesatuan RI dan yanag secara cepat pula mengantarkan rakyat Indonesia menjadi suatu masyarakat yang sejahtera dan berkeadilan sosial dalam suatu susunan masyarakat demokratis dan berdasarkan atas hukum. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Jaka Susanta
"Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak dasar manusia, sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, bersifat kodrati, universal dan abadi yang harus dihormati dan dilindungi tanpa membedakan jenis kelamin, ras, agama, Bahasa serta status sosial lainnya. Bangsa Indonesia menyadari bahwa HAM bersifat historis dan dinamis yang pelaksanannya berkembang dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Di Indonesia, perlindungan HAM telah dijwnin perlindungannya dalam berbagai ketentuan hukum misalnya Pancasila, UUD 1945, Ketetapan MPR, Undang-Undang maupun peraturan perundangan lainnya. Jaminan perlindungan di lingkungan ABRI, di samping jaminan perlindungan yang bersifat umum seperti diatas, juga terdapat Etika Prajurit yang terumus dalam Sumpah Prajurit, Sapta Marga, Delapan Wajib ABRI, Tujuh Asas Kepemimpinan dan Komunikasi Sosial ABRI dan Sumpah Perwira. Selain itu juga Doktrin ABRI yang memuat Taktik dan Strategi serta Teknis pelaksanaan pencapaian tugas pokok dalam bentuk Buku Petunjuk Lapangan, Buku Petunjuk Teknis yang dikeluarkan Pejabat yang berwenang yaitu Pangab dan Kepala Staf Angkatan dan Polri berdasar delegasi dari Presiden.
HAM belumlah cukup dengan jaminan perlindungan dalam ketentuan-ketentuan hukum saja, tetapi yang lebih panting adalah penyelenggaraan dan penegakan HAM jika terjadi pelanggaran. Dalam Piagam HAM Indonesia dinyatakan bahwa perlindungan, pemajuan, pemenuhan, dan penegakan HAM terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah.
ABRI sebagai alat negara membantu tugas Pemerintah, dan dalam pelaksanaan tugasnya, ABRI juga ada kemungkinannya melakukan tindakan yang bersifat pelanggaran HAM terhadap rakyat sipil. Oleh karena itu di lingkungan ABRI senantiasa berupaya melakukan penegakan HAM terhadap anggota ABRI yang melakukan pelanggaran HAM.
Penegakan HAM di lingkungan ABRI diselenggarakan melalui sarana penegakan hukum. Hukum yang berlaku bagi ABRI selain hukum yang berlaku untuk rakyat pada umumnya juga berlaku hukum minter, misalnya Hukum Disiplin Militer, Hukum Pidana Militer, Hukum Acara Pidana Militer, Peraturan Urusan Dinas Dalam, Peraturan Seragam ABRI, dan lain-lainnya.
Penegakan Hukum di lingkungan ABRI diselenggarakan di Peradilan Militer yaitu terhadap tindakan yang bersifat pidana dengan mendasarkan pada KUHP dan KUHPM. Sedangkan tindakan anggota yang bersifat indisipliner diselesaikan di luar peradilan yaitu diselesaikan melalui Atasan Yang Berhak Menghukum (Ankum).
Dalam proses penyelesaian perkara pidana melalui Peradilan Militer, Komandan mempunyai perana,n di dala.mnya yaitu selaku Perwira Penyerah Perkara (Papera) mempunyai kewenangan untuk menyerahkan perkara pidana untuk diselesaikan di Peradilan Militer. Kewenangan ini berkaitan dengan asas-asas yang berlaku khusus dalam tatanan kehidupan militer yaitu asas kesatuan komando, asas komandan bertanggung jawab terhadap anak buahnya dan asas kepentingan militer. Khusus dalam proses peradilan, kepentingan militer selalu diseimbangkan dengan kepentingan hukum."
Depok: Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>