Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 19026 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Eleonora Sofilda
"Tesis ini dibuat untuk mengetahui bagaimana kinerja ekspor manufaktur padat sumberdaya pertanian dengan tiga pendekatan, yaitu Constant Market Share, Revealed Comparative Advantage, dan Trade Specialization Ratio. Periode penelitian yang digunakan mulai dari tahun 1986 sampai dengan tahun 1998. Hasil perhitungan constant market share (CMS) menunjukkan bahwa pada tahun 1986 sannpai dengan tahun 1993 nilai ekspor Indonesia untuk komoditas manufaktur padat sumberdaya pertanian (SITC 611, 612, 613, 634, dan 635) masih mengalami peningkatan, walaupun peningkatan nilai ekspor ini mengalami penurunan yang berfluktuasi dari tahun ke tahun. Nilai ekspor yang bernilai positif ini lebih disebabkan karena positifnya efek pertumbuhan dunia dan efek Jaya saing. Pada saat negatifnya efek daya saing di pasar internasional, mulai tahun 1994 sampai dengan tahun 1998 terjadi penurunan yang sangat tajam untuk nilai ekspor-Indonesia untuk komoditas manufaktur padat sumber daya pertanian.
Krisis ekonomi yang dimulai pada awal 1997 yang disebabkan depresiasi rupiah ternyata membawa dampak yang besar terhadap perekonomian Indonesia. Depresisasi rupiah yang terjadi seharusnya mampu meningkatkan nilai ekspor ternyata tidak terjadi, hal ini menunjukkan bahwa daya saing Indonesia untuk komoditas ini sangat lemah di dunia Internasional. Oleh karena itu negara kita harus meningkatkan kualitas dari komoditas yang di ekspor dan memperhatikan aspek-aspek lainnya yang menjadi penyebab lemahnya daya saing Indonesia di pasar Internasional. Perlunya perhatian Pemerintah yang lebih dalam menjalankan roda perekonomian sehingga produksi menjadi lebih efisien dan perlu ditingkatkan peran ekspor komoditas yang padat sumberdaya pertanian karena basis Indonesia dalam produksi ada pada sumberdaya pertanian.

This thesis is made to know how export working heavy agriculture with three approaches, which is Constant Market Share, Revealed Comparative Advantage and Trade Specialization Ratio. Period of research which is in use start from 1986 until 1998. The result of constant market share (CMS) calculation shown that in the year of 1986 until 1993 Indonesian value of export for the commodity of heavy agriculture resources manufacture (SITC 611, 612, 613, 634 and 635) still continuing to improvement, although this value of improvement still decline to reduction from year to year. The value of export which has positive mark is causes more of the positive effect of the world growth and competitive effect. By the time that competitive effect at the International market which have negative, from 1994 until 1998 become decline that so hard of Indonesia export value for the commodity of heavy manufacture agriculture resources.
Economic crisis which is began at the earlier 1997 causes by rupiah depreciation bring the huge side effect of Indonesian economic. Rupiah depreciation should capable to improve export value in fact not happened. This is shown that Indonesian competitive for these commodity very weak at the International world. Because of that our country have to improvement the quality from commodity which is going to export and give full attention of another aspect which is causes weakness of lndonesian competitive at the International market. The government should to give lull attention to continuing economic cycling that production more efficient and to improve commodity of export which is have heavy agriculture because Indonesian base on production exist on agriculture resources."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2001
T 8030
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Baban Sobandi
"Penelitian ini mengkaji dimensi keadilan bagi hasil Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) dilihat dan aspek struktur penerimaan kabupaten/kota dan kaitannya dengan PBBKB sebagai kompensasi terhadap pajak dan retribusi daerah yang hilang akibat pemberlakukan UU Nomor 18 Tahun 1997; relevansi keseluruhan panjang jalan sebagai faktor penentu bagi hasil, tarif, proporsi bagi hasil, formulasi bagi hasil, periode penyampaian dan ketepatan waktu penyampaian, mekanisme bagi hasil, serta kemungkinan kabupaten/kota untuk mengelola sendiri pajak ini.
Dengan menggunakan metode evaluasi, fokus penelitian di Kabupaten Bogor, Kabupaten Lebak, Kabupaten Bandung, dan Kota Bandung, diperoleh temuan: Pertama, dampak pemberlakukan UU No.18/1997 dirasakan berbeda oleh daerah. Bagi Kabupaten Lebak, selain meningkatkan pendapatan, bagian PBBKB mampu mengkompensasi pajak dan retribusi daerah yang terpangkas. Bagi Kota Bandung dan Kabupaten Bogor, mampu meningkatkan penerimaan, tetapi bagian PBBKB tidak mampu menutup pajak dan retribusi yang hilang. Sedangkan bagi Kabupaten Bandung, justru menurunkan penerimaan daerah, dan bagian PBBKB tidak mampu mengkompensasi pajak dan retribusi yang hilang. Kedua, total panjang jalan sebagai faktor penentu bagi hasil dinilai tidak realistis, karena selain tanggung jawab kabupaten/kota dalam pemeliharaan hanya jalan kabupaten/kota, juga biaya pemeliharaan jalan tiap daerah tidak sama. Ketiga, ketidakjelasan dalam formulasi bagi hasil, mekanisme yang digunakan, dan total realisasi penerimaan setiap daerah, serta ketidaktentuan dalam periode penyampaian bagian daerah dan ketidaktepatan waktu penyampaiannya merupakan temuan lain dari penelitian ini.
Untuk menjamin keadilan antar daerah maka direkomendasikan tiga alternatif formulasi bagi hasil PBBKB: (1) berdasarkan pendekatan pemerataan dan kebutuhan khusus dengan total kebutuhan biaya pemeliharaan jalan kabupaten/kota sebagai faktor penentu; (2) berdasarkan pendekatan pemerataan dan kebutuhan pembangunan secara umum dengan jumlah penduduk dan luas wilayah sebagai faktor penentu; (3) berdasarkan pendekatan pemerataan dan penerimaan dengan volume konsumsi bahan bakar atau jumlah kendaraan sebagai faktor penentu. Alternatif lainnya, pemungutan dan pengelolaan PBBKB diserahkan kepada kabupaten/kota."
Depok: Universitas Indonesia, 2000
T7487
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sumiyarti
"Fenomena tentang pertumbuhan ekonomi telah lama menarik untuk diteliti. Beberapa teori pertumbuhan ekonomi muncul untuk mencoba menerangkan mengenai faktor penyebab terjadinya pertumbuhan ekonomi tersebut. Perkembangan terbaru dari teori pertumbuhan ekonomi adalah munculnya teori pertumbuhan baru atau teori pertumbuhan endogen. Salah satu hal yang menarik dari teori pertumbuhan endogen adalah adanya ekstemalitas dalam perekonomian. Ekstemalitas ini merupakan suatu sumber eksternal yaitu sumber lain di luar input yang digunakan, yang turut menjadi faktor panting penyebab terjadinya pertumbuhan ekonomi.
Dalam perekonomian terbuka dimana setiap negara selalu berhubungan dengan negara lain, ekstemalitas dapat muncul dari adanya hubungan perdagangan antar negara. Ketika dua negara mengadakan perdagangan dalam bentuk kegiatan impor dan ekspor barang akhir maupun barang antara, maka akan timbul adanya ekstemalitas yang berupa proses belajar. Proses belajar ini timbul dari pergerakan barang-barang yang secara tidak langsung membawa ide, stok pengetahuan dan teknologi yang terkandung pada barang-barang tersebut. Proses belajar (learning) yang berasal dari kegiatan perdagangan intemasional dikenal dengan istilah economy wide-trade induced learning by doing. Berhasilnya proses belajar tersebut pada sektor industri manufaktur akan menyebabkan meningkatnya tingkat pertumbuhan nilai tambah dan pada akhimya akan meningkatkan proporsi nilai barang yang dapat diekspor. Proses learning dalam hal ini lebih merupakan capital learning, yaitu learning yang terkait dengan penggunaan barang modal. Tesis ini secara khusus akan melihat tentang pengaruh dari sumber eksternal (ekstemalitas) dalam bentuk 'trade induced learning' terhadap pertumbuhan nilai tambah industri manufaktur Indonesia. Variabel trade induced learning (TL) dalam penelitian ini diwakili oleh rasio dari nilai impor dan ekspor mesin-mesin terhadap nilai tambah industri agregat.
Dengan menggunakan data industri agregat dan dua digit diperoleh beberapa kesimpulan. Pada tingkat industri dua digit diperoleh hasil bahwa baik sumber internal dari input yang digunakan maupun sumber eksternal berupa variabel trade induced learning berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap pertumbuhan nilai tambah industri. Kontribusi sumber ekstemal variabel trade induced learning jauh lebih kecil dibandingkan dengan kontribusi sumber internal. Sementara pada tingkat industri agregat variabel trade induced learning secara statistik tidak signifikan untuk menentukan pertumbuhan nilai tambah. Kesimpulan yang berbeda ini menunjukkan bahwa belum terjadi proses belajar pada industri manufaktur secara umum. Proses belajar mungkin hanya terjadi pada sebagian kecil dari sub sektor industri dua digit. Belum terjadinya proses belajar inilah yang menyebabkan industri manufaktur masih berada pada tingkat skala hasil yang konstan, baik pada tingkat industri agregat maupun pada tingkat industri dua digit. Ini berarti bahwa pertumbuhan industri manufaktur Indonesia masih bertumpu pada pertumbuhan input yang digunakan. Variabel trade induced learning belum dapat berperan dan menjadi sumber bagi pertumbuhan total factor productivity pada industri manufaktur Indonesia."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2000
T7493
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syafrizal
"Aktivitas pengembangan teknologi komputer personal telah berlangsung dengan pesat akhir-akhir ini. Dalam waktu yang tidak terlalu lama telah berhasil diluncurkan beberapa generasi komputer personal mulai dari non Pentium hingga Pentium I, II, III, IV. Seiring dengan kemajuan teknologi komputer personal, telah terjadi penambahan atribut-atribut baru atau pengembangan atribut yang sudah ada yang dapat meningkatkan kemampuan atau kegunaan komputer personal tersebut. Saat ini komputer personal tidak hanya dapat berfungsi sebagai alat pengolah dan penyimpan data tetapi juga dapat berfungsi sebagai pusat hiburan keluarga.
Perkembangan atribut atau manfaat komputer personal yang berlangsung begitu cepat telah mengundang minat penulis untuk mengetahui, sejauh mana relevansi dari penambahan atribut atau manfaat itu dengan keinginan dan kebutuhan konsumen yang ada di pasar. Sehubungan dengan hal itu penulis ingin mengetahui secara lebih jauh bagaimana preferensi konsumen terhadap atribut-atribut komputer personal yang ada saat ini. Untuk itu penulis mencoba mengajukan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut. Atribut manakah yang dianggap paling penting oleh konsumen dalam memilih komputer personal? Apakah ada perbedaan preferensi konsumen antara komputer personal merek luar negeri dengan komputer personal merek dalam negeri? Bagaimanakah tingkat kepentingan relatif atribut-atribut komputer personal bagi konsumen? Adakah kemungkinan untuk mengelompokkan konsumen berdasarkan kemiripan preferensi mereka?.
Untuk menjawab beberapa pertanyaan di atas penulis telah melakukan penelitian tentang preferensi mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Andalas (FE UA) terhadap komputer personal dengan menggunakan teknik analisis konjoin. Dalam penelitian ini penulis menggunakan beberapa atribut komputer personal seperti merek, harga, garansi, harddisk, memori dan multimedia yang masing-masingnya memiliki beberapa tingkatan tertentu. Dan hasil analisis konjoin ini diperoleh dua informasi penting yaitu: tingkat kepentingan relatif atribut dan nilai utilitas (part-worth) dari setiap tingkatan atribut.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa atribut merek, harga, garansi, memori, dan multimedia mempengaruhi preferensi mahasiswa terhadap komputer personal secara signifikan. Sementara itu harddisk tidak memiliki pengaruh yang signifikan dalam preferensi mahasiswa terhadap komputer personal. Mahasiswa lebih menyukai komputer personal merek luar negeri dibanding komputer personal merek lokal.
Tingkat kepentingan relatif atribut komputer personal relatif lama bagi mahasiswa baik berdasarkan jenis kelamin maupun berdasarkan lama waktu penggunaan komputer personal. Berdasarkan analisis kluster ditemui adanya empat kelompok mahasiswa dengan preferensi sebagai berikut: dua kelompok mementingkan multimedia, satu kelompok mementingkan harga, dan satu kelompok memiliki preferensi yang moderat terhadap harga dan multimedia."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2001
T7655
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prima Yusi Sari
"Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis pengaruh right issue terhadap return harga saham setelah cum date serta faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu bid-ask spread, rasio jumlah lembar saham baru terhadap saham lamanya, dan diskon hargga penawaran saham baru yang diberikan.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka dilakukan observasi terhadap 84 perusahaan yang menerbitkan right di BEJ dalam kurun waktu antara tahun 1994 hingga 1996. Selanjutnya, data yang diperoleh tersebut diolah dengan menggunakan event study methodology dengan menetapkan ex date sebagai t O.
Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan sign test dan multiple regression and correlation analysis. Regresi tersebut dilakukan pada periode t (+1, +5) dengan menetapkan eummulative abnormal return sebagai variabel terikatnya dan bid ask spread, rasio jumlah lembar saham baru terhadap saham lamanya, dan diskon harga penawaran saham baru sebagai variabel bebasnya. Abnormal return sebagai proxy dari harga saham diukur dengan menggunakan market model method yang telah mengalami penyesuaian dengan memasukkan unsur return dari nilai tukar rupiah terhadap US dollar.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh hasil bahwa adanya penawaran umum terbatas (right issue) cenderung menimbulkan reaksi pasar yang negatif pada short event window maupun pada long event window. Adanya bid ask spread dan rasio jumlah penawaran saham halal terhadap saham lamanya yang semakin besar ternyata dapat menimbulkan reaksi pasar yang positif terhadap harga saham setelah cum date, namun variabel terakhir kurang signif kan. Sedangkan diskon harga penawaran saham baru yang semakin besar akan memberikan reaksi pasar yang negatif terhadap harga saham setelah turn date."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2000
T8672
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rianti Setyawasih
"ABSTRAK
Perusahaan melakukan corporate action dalam rangka memaksimumkan nilai perusahaannya, Apabila dipandang dari sudut cash flow, tindakan korporat yang dilakukan perusahaan secara umum terdiri dari dua bagian yaitu yang melibatkan cash flow seperti menambah hutang, menambah modal atau membayar dividend dan tindakan korporat yang tidak melibatkan cash flow seperti stock splits, stock dividends dan saham bonus. Satu hal yang menjadi pertanyaan adalah apakah tindakan korporat yang tidak melibatkan cash flow bisa meningkatkan kemakmuran pemegang saham?, berdasarkan penelitian di bursa negara lain seperti NYSE, StSE membuktikan bahwa hal itu bisa terjadi.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah pengumuman pemecahan saham mengandung informasi yang mempengaruhi reaksi investor terhadap pengumuman stock splits di Bursa Efek Jakarta, kemudian dilanjutkan dengan melihat faktor-faktor apa yang mempengaruhi reaksi investor tersebut disamping informasi stock splits. Untuk tujuan tersebut digunakan metode event study seperti yang telah dilakukan oleh Grinblatt at al. (1994), Lakonishok & Lev (1987), Lamoureux & Poon (1987), Masse at al_ (1997), dan lain-lain.
Penelitian dilakukan terhadap stock splits yang dilakukan di BEJ periode 1995 ski Juni 1997. Dengan menggunakan market model untuk menghitung abnormal return, basil penelitian menunjukkan bahwa pengumuman stock splits di Bursa Efek Jakarta ternyata mengakibatkan reaksi harga yang positif dan signifikan pada satu hari dan dua hari setelah tanggal pengumuman (digambarkan dengan adanya abnormal return pada hari tersebut). Pengamatan yang dilakukan pada periode pengumuman (yaitu tiga hari sebelum dan sesudah pengumuman) menunjukkan adanya cummulative average abnormal return (CAAR) yang positif dan signifikan. Masih ditemukannya return abnormal di sekitar pengumuman dapat juga diartikan bahwa Bursa Efek Jakarta tidak efisien dalam bentuk setengah kuat (semi strong-form efficiency), karena apabila pasar efisien dalam bentuk ini tidak akan ada strategi apapun yang dapat dilakukan investor untuk menghasilkan abnormal return yang signifikan setelah informasi menjadi milik publik.
Hasil penelitian selanjutnya terhadap determinan abnormal return periode pengumuman (Cummulative Abnormal Return atau CAR pada 3 hari sebelum dan sesudah pengumuman), ditemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara variabel RUNUP (peningkatan harga sebelum pengumuman), LEAKR (proksi kebocoran informasi), BETA (risiko sistematis), DIVYLD (dividend yield) dan PDIV (perubahan cash dividend) sebelum pengumuman dengan dampak pengumuman stock splits terhadap harga saham (CAR periode pengumuman). Sedangkan variabel MARKET (pergerakan pasar periode pengumuman), RVAR (residual variance) dan log SIZE (ukuran perusahaan) sebelum pengumuman tidak berpengaruh signifikan terhadap CAR periode pengumuman. "
2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
G.M. Suwartono
"PDAM Kabupaten Sleman dibentuk dengan Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 5 Tahnn 1990 dan rnempunyai mandat peningkatan derajat kesejahteraan masyarakat disamping pula sebagai salah satu sumber PAD. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kinerja PDAM Kabupaten Sleman dengan membandingkan PDAM Kabupaten Bantul, Kulon Progo dan Gunungkidul dengan menggunakan data selama 4 tahun rnulai tahun 1997 - 2000, selanjutnya dianalisis rasio sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 47 Tahun 1999, serta analisis SWOT untuk pembuatan strategi pemberdayaan kinerja PDAM di masa depan.
Untuk mendekati permasalahan kinerja, digunakan pendekatan keuangan dan operasional selama 4 tahun terakhir. Hasil analisis menunjukkan bahwa kinerja PDAM Kabupaten Sleman berstatus variatitf dan tahun 2000 mempunyai status "kurang", lebih rendah dibandingkan dengan kinerja PDAM Kabupaten Bantul, Kulon Progo dan Gunungkidul yang berada dalam batas status " nilai cukup".
Permasalahan yang nampak dari kinerja tersebut meliputi. Dari aspek keuangan meliputi a) Penerimaan PDAM terlalu kecil dibandingkan dengan pengeluaran PDAM. Akibat hal ini nampak pada rasio laba terhadap aktiva produktif, rasio laba terhadap penjualan, rasio biaya operasi terhadap penjualan air, dengan nilai rendah; b) Adanya beban hutang jangka panjang kepada pemerintah pusat yang semakin memberatkan ekuitas PDAM Kabupaten Sleman. Dari aspek kinerja operasional;, meliputi a) Cakupan pelayanan;. Rendahnya pertumbuhan cakupan pelayanan ini dikarenakan kemampuan perusahaan untuk berinvestasi rendah serta turunnya animo masyarakat menjadi pelanggan PDAM; b) Kontinyunitas air; c) Peneraan meter air.
Langkah strategis pemberdayaan kinerja PDAM Kabupaten Sleman, meliputi antara lain : a) Perbaikan alat meter air yang rusak dan melakukan tera alat meter yang telah ada; b) Peningkatan cakupan pelayanan dengan mempertimbangkan kemampuan pasokan sumber air dan pendanaan; c) Perubahan pinjaman hutang dari pemerintah pusat menjadi hibah/penyertaan modal pemerintah; d) Pemberian subsidi oleh PEMDA untuk program pemerataan distribusi air bersih: e) Peningkatan tarip air secara hertahap dengan tetap memperhatikan keterjangkauan Jaya beli pelanggan; e) Optimalisasi sumber pasokan air, f) Peningkatan keunggulan pelayanan PDAM kepada masyarakat, g) Pemberian bimbingan kepada wilayah/desa yang telah mengelola penyediaan air bersih secara swadaya."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2002
T8714
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sutiman
"Dampak dari krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997 hingga saat ini masih membawa dampak bagi perekonomian Indonesia, terutama dibidang ekonorni yaitu melemahnya kinerja sektor keuangan domestik khususnya perbankan. Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap sector riil perekonomian sehingga menimbulkan permasalahan sosial seperti pengangguran dan kemiskinan yang meningkat tajam (Penduduk miskin pada ahun 1997 berjumlah 22,5 juta jiwa meningkat menjadi menjadi 98 juta atau naik sebesar 48% pada tahun 1998 dan sekitar 70%nya merupakan penduduk desa).
Dampak posistif dari krisis ekonomi tersebut, yaitu bangkitnya kegiatan usaha yang berbasis pada usaha kecil dan menengah khususnya yang berbasis pada sector produksi yang berpeluang strategis dapat memberikan nilai tambah cukup besar bail( nasional maupun daerah yaitu sektor perikanan dan kelautan.
DKI Jakarta sebagai salah satu daerah yang mempunyai sumber pendapatan dari sektor perikanan dan kelautan, terlihat kontribusinya yang cukup dominan dalam PDRB yaitu menyumbang sebesar 71% kepada sektor pertanian, walaupun sektor pertanian hanya menyumbang sebesar 0,28 bagi pembentukan PDRB DKI Jakarta.
Kotamadya Jakarta Utara dengan wilayah 97,8% merupakan wilayah lautan, sudah barang tentu sektor perikanan merupakan unggulan dari segi PAD. Dengan kapal motor sebanyak 3.299 buah dan 4 TPI (tempat pelelangan ikan) pada tahun 1999 telah menghasilkan produksi ikan sebanyak 70,119,5 ton dengan nilai sebesar Rp 120,1 milyar meskipun pada tahun 2000 menurun dengan nilai sebesar Rp 92,8 milyar.
Pendapatan regional perkapita merupakan, salah satu indikator kesejahteraan penduduk yang dilihat dari segi produk yang dihasilkan. Selama kurun waktu 1996-1999 pendapatan regional perkapita atas harga berlaku naik dari Rp12,9. juta menjadi Rp.22,5 juta. Namun pada tahun 1998 turun sebesar 19,08% dibanding tahun 1997.
Jumlah nelayan yang ada di Jakarta Utara sebanyak 21.012 orang atau 2,94% dari jumlah penduduk. Jumlah tersebut sebanyak 9.460 nelayan penduduk tetap selebihnya merupakan pendatang. Sedangkan jumlah nelayan di Kepulauan Seribu sebanyak 4.717 orang nelayan atau 56,5% dari jumlah penduduk di kepulauan Seribu. Persentase jumlah nelayan pekerja terhadap pemilik di Kepulauan Seribu mencapai 362, artinya sebagian besar nelayan (65%) yang ada di Kepulauan Seribu hanya sebagai pekerja.
Kabupaten Kepulauan Seribu dibentuk dengan PP nomor 55 tahun 2001 dan SK Gubernur DKI Jakarta Nomor 186 tahun 2000 tentang pembentukan Kelurahan di Kepulauan Seribu. Dengan pembentukan kecamatan menjadi kabupaten Kepulauan Seribu dapat diartikan bahwa Pemda Kepulauan Seribu harus dapat membiayai berbagai sarana dan prasarana maupun SDM untuk mendukung kegiatan pelayanan masyarakat maupun dalam membangun prasarana publik dan mencari sumber pembiyaannya.
Kondisi sumberdaya alam Kepulauan Seribu memberikan peluang bagi sektor pariwisata dan perikanan laut. Komoditas yang dikembangkan adalah budidaya rumput laut dan ikan kerapu dengan jumlah petani sebanyak 460 nrang. Produksi perikanan laut mencapai 57,2 juta kg dengan nilai Rp 97,26 milyar pada tahun 2000 menurun dibanding pada tahun 1999 yang mencapai 63 juta ton. Meskipun produksi sektor perikanan di Kepulauan Seribu cukup besar namun masyarakat nelayan belum dapat menikmati hasilnya atau dapat diartikan tidak merubah kesejahteraannya atau masih tetap miskin. Dalam hal ini tidak ada hubungan antara jumlah penduduk pada satu wilayah dengan tingkat kesejahteraan masyarakat.
Faktor-faktor yang dapat berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan para nelayan berdasarkan data yang tersedia adalah rendahnya kualitas sumberdaya manusia, alat tangkap yang masih tradisional, kurangnya sarana dan prasarana dasar (transportasi/Kapal/perahu motor, pendidikan, kesehatan), tempat pelelangan ikan (TPI), pencemaran laut, tingginya biaya hidup, namun masih perlu dibuktikan dengan suatu penelitian secara komprehensif.
Penanggulangan kemiskinan masyarakat nelayan di Kepulauan Seribu, baik Pemerintah pusat maupun daerah telah mengambil beberapa kebijakan. Penanggulangan masyarakat pesisir/nelayan oleh pemerintah pusat melalui pemerintah daerah adalah bantuan PDM-DKE selama 2 tahun (1998-1999), bantuan ingub sudah cukup lama dan sampai sekarang (2002) dan Program PEMP dimulai tahun 2001 sampai sekarang (2002). Masalahnya adalah hanya sebagian kecil yang menerima bantuan dengan kriteria-kriteria tertentu dibandingkan dengan jumlah masyarakat miskin yang ada kepulauan Seribu.
Program Penanggulangan Kemiskinan untuk pengelolaan wilayah pesisir dan pemberdayaan masyarakat nelayan, pada umumnya dengan menggunakan perencanaan strategis. Artinya penanganan suatu wilayah akan berbeda dengan wilayah lain karena harus didasarkan kepada permasalahannya. Perbedaan ini juga dapat dilihat dari Strength, Weakness, Opportunuity dan Threat. Namun perbedaan tersebut juga bisa dilihat dari segi nisi, misi, strategi dan sasaran yang hendak dicapai.
Kebijakan-kebijakan yang ada di Kepulauan Seribu, pada umumnya masih bersifat Top Down, yaitu kebijakan yang dilahirkan dari pendekatan manajemen strategis, sementara masyarakatnya masih bersifat pasif atau menerima apa adanya, apalagi kegiatannya adalah bersifat bantuan dana.
Pemilihan prioritas strategi kebijakan dalam tesis ini dilakukan dengan menggunakan metode TOWS dan metode Game Theory atau teori permainan. Kebijakan tersebut diharapkan dapat mengidentifikasi permasalahan dan prioritas strategi serta dapat memecahkan masalah konflik antar stakeholder dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pemberdayaan nelayan karena prioritas strateginya merupakan kombinasi dari para stakeholder yang ada. Prioritas strategi kebijakan yang diusulkan sebagai suatu kebijakan baru adalah peningkatan kematnpuan teknis keterampilan penangkapan dan budidaya ikan serta konservasi bagi para nelayan dan masyarakat pesisir pada umumnya."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2002
T8603
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yoharman Syamsu
"Dalam menyongsong era globalisasi yang semakin luas dan bertanggung jawab pada Pemerintah-pemerintah Daerah di Indonesia, tekad ini telah dipancangkan melalui Undang-undang Nomor 22 dan 25 tahun 1999. Artinya baik pada tahap perencanaan maupun pada tahap pelaksanaan, pemantauan, pengawasan, dan pertanggungjawaban keuangan mesti dinilai berdasarkan prinsip-prinsip efektivitas, akuntabilitas, dan objektivitas.
Pada sisi penerimaan, utamanya untuk Penerimaan Asli Daerah, ditahap perencanaan, "Target" setiap jenis penerimaan, baik berasal dari pungutan pajak ataupun retribusi lainnya harus ditentukan berdasarkan kapasitas untuk memungutnya. Kemudian pada tahap evaluasi dan pertanggungjawaban, besarnya tingkat upaya (effort) dalam mengumpulkan penerimaan tersebut mesti menjadi titik perhatian utama. Tingkat upaya pengumpulan yang tinggi ataupun rendah, selanjutnya dapat dijadikan titik tolak untuk merumuskan kebijakan-kebijakan yang ditujukan untuk: (i) Mempertahankan tingkat upaya yang relatif tinggi, jika ini telah dicapai; (ii) Meningkatkan tingkat upaya tersebut, jika ternyata masih rendah.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999, Daerah (Kabupaten/Kota) memiliki hak otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab. Dengan demikian Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota diharapkan dapat mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri sejalan dengan prefrensi masyarakat daerahnya. Oleh sebab itu maka Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota harts dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD)-nya, dengan cara menggali secara maksimal potensi sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang berada dalam kewenangannya.
Sesuai dengan UU Nomor 25 tahun 1999, tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, disebutkan bahwa Keuangan Pemerintah Daerah bersumber dari PAD, Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah, dan Lain-lain Pendapatan yang sah Sedangkan sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) terdiri dari: (i) Hasil Pajak Daerah; (ii) Hasil Retribusi Daerah; (iii) Hasil Laba Badan Usaha Milik Daerah; (iv) Lain-lain Pendapatan Daerah yang sah.
Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997, tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, khususnya pasal 2 ayat 2, disebutkan bahwa Pemerintah Daeah Kabupaten/Kota dapat memungut 6 jenis pajak, salah satunya adalah Pajak Reklame.
Melihat ke belakang, penerima dari Pajak Reklame ini, terutama untuk daerah-daerah perkotaan, cukup signifikan, namun di pihak lain penentuan besarnya target dari pajak ini sering kali belum realistik. Target Penerimaan yang semestinya ditetapkan berdasarkan potensi dan/atau kapasitas umumnya ditentukan agak arbitrer (tidak realistis), pada hal mestinya target penerimaan dari pajak tersebut adalah sama dengan kapasitas dari pajak itu sendiri.
Berangkat dan hal tersebut di atas, penelitian ini bermaksud membahas masalah penetapan target tersebut melalui pelacakan terhadap kapasitas pajak sehingga Pemerintah Daerah memiliki pedoman yang objektif dalam penentuan target, dan jika telah dilakukan demikian, setiap penyimpangan realiasai terhadap taget dapat dicarikan kebijakan untuk perbaikannya.
Daerah yang diplih menjadi daerah penelitian adalah Kota Semarang dan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Menghitung Potensi Penerimaan, Kapasistas Pengumpulan, dan Upaya Pengumpulan Penerimaan Pajak Reklame.
2. Memaparkan Sistem dan Prosedur Administrasi pemungutan Pajak Reklame di Daerah Kota Semarang, baik pada periode Pra maupun Pasca Peraturan Daerah Nomor 1/1998.
3. Menyajikan rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan upaya pengumpulan pajak Reklame di kota Semarang.
Ruang lingkup penelitian adalah selama tahun 1997/1998. Pungutan Pajak Reklame di Pemerintah Kota Semarang menjadi objek penelitian. Ini tidak lain karena dan pengamatan sementara yang dilakukan, Pemerintah Kota Semarang merupakan pionir yang menggunakan cara pengenaan pajak reklame dengan Ad-valoren Tax System. Cara mana selanjutnya oleh Pemerintah Indonesia dianggap sebagai suatu hal positif, dan oleh karenanya diinklusifkan dalam Undang-Undang Nomor 18/1998.
Dan penelitian ini didapatkan kesimpulan bahwa; Pajak Reklame merupakan salah satu sumber keuangan Pemerintah Daerah yang cukup besar peranannya bagi pelaksanaan administrasi pemerintahan dan administrasi pembangunan bagi Pemerintah Kota Semarang. Cukup besarnya penerimaan dari pajak ini salah satunya adalah ditentukan oleh sistem pengenaan pajak itu sendiri kepada wajib pajaknya. Tarif Pajak Reklame di Kota Semarang ditetapkan melalui Peraturan Daerah Nomor 1 tahun 1998, dengan menggunakan sistem pengenaan "Ad valaren Tax", yaitu pengenaan pajak berdasarkan persentase terhadap Nilai Sewa Reklame (NSR) sebesar 20%.
Nilai Sewa Reklame didapatkan dengan menjumlahkan Nilai Strategis Pemasangan Reklame (NSPR) dan Nilai Jual Objek Pajak Reklame (NJDPR). Penggunaan sistem seperti ini merupakan yang pertama pada Pemerintah-pemerintah Daerah di Indonesia. Karena secara prinsip sistem ini cukup baik, maka diharapkan digunakan pula oleh Pemerintah-pemerintah Daerah lain di kemudian hari. Oleh karena itulah Undang-Undang Nomor 18 tahun 1997 diinklusifkan di dalamnya.
NSPR ditentukan dengan mempertimbangkan beberapa aspek yaitu : (i) Lokasi atau Wilayah Strategis dan Kelas Jalan pemasangan Reklame; (ii) Jumlah Sudut Pandang untuk melihat Reklame; dan (iii) Luas Reklame itu sendiri.
Selanjutnya keseluruhan variabel tersebut diberi bobot dan nilai. Nilai total dari satu reklame dikalikan dengan Nilai Titik Simpul (NTS) yang merupakan patokan untuk penentuan harga NSPR. diformulasikan dalam model adalah sebagai berikut :
NTS = (wi.NL + w2.NK.T + w3.NSP + w4.NLR)
dimana : NTS = Nilai Titik Simpul
NL = Nilai Lokasi
NKJ = Nilai Kelas Jalan
NSP = Nilai Sudut Pandang
NLR = Mai Luas Reklame
wi = Bobot untuk Lokasi
w2 = Bobot untuk Kelas Jalan
w3 = Bobot untuk Sudut Pandang
w4 = Bobot untuk Luas Reklame
Harga Titik Simpul (HTS) ditentukan dengan dua cara. Pertama didasarkan kepada mekanisme pasar, yang dilaksanakan dengan cara lelang terbuka, dan kedua melalui pendekatan kepakaran, yang oleh Pemda Kota Semarang disebut Harga Jabatan.
Selanjutnya ditentukan Nilai Strategis Pemasangan Reklame (NSPR), yaitu dengan mengalikan Nilai Titik Simpul dengan Harga Titik Simpul, yang diformulasikan sebagai berikut :
NSPR = NTS x HTS
Dimana : NTS = Nilai Tittik Simpul dan
HTS = Harga Titik Simpul
NJOPR Ditentukan dengan mempertimbangkan beberapa hal yaitu : (i) Biaya Pembuatan Reklame; (ii) Biaya Pemasangan Reklame; (iii) Biaya Pemeliharaan dan Operasional Reklame selama terpasang, dan (iv) Biaya Pembongkaran Reklame. Secara sederhana dapat dirumuskan Sebagai berikut
NJOPR = eBB + eBP + eBM + eBR
Dimana: NJOPR = Nilai Jual Objek Pajak Reklame
eBB eBP eBM eBR
Estimasi Biaya Pembuatan
- Estimasi Biaya Pemasangan
- Estimasi Biaya Pemeliharaan
- Estimasi Biaya Pembongkaran
Untuk semua titik pemasangan reklame ditentukan oleh satu tim yang personalianya berasal dari dinas dan instansi terkait. Diantaranya yaitu: Dinas Pendapatan Daerah sendiri, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pertamanan, dan Satuan Polisi Pamong Praja. Tim menentukan semua kriteria untuk pemasangan reklame, misalnya luas, tinggi, jenis reklame dan lain-lain dari setiap titik yang sudah ditentukan, untuk kemudian disusun dalam satu tabel dan ditetapkan Melalui Surat Keputusan Walikota.
Dengan Mekanisme yang sudah dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kota Semarang ini Potensi Penerimaan Pajak Reklame tahun anggaran 1997/1998 mencapai Rp 245.964.107,53 dengan jumalah titik pemasangan yang terjual'sebanyak 317 buah. Lebih dari 750 titik pemasangan reklame belum dipasangi reklame atau kurang diminati oleh konsumen.
Kapasitas Pemungutan Pajak Reklame Pemerintah Daerah Kota Semarang pada tahun anggaran tersebut adalah sebesar Rp 900.132.560,- sementara pada tahun tersebut realisasi penerimaan Pajak reklame sudah mencapai Rp 1.746,386.000,- . Hal ini menunjukan bahwa tingkat Upaya Pemungutan Pajak Reklame Pemerintah Daerah Kota Semarang secara relatif sudah berada di atas 100 %, terbukti sudah mencapai 194,01%. Namun jika dibandingkan dengan besarnya potensi yang dimiliki Realisasi ini masih di bawah 10%.
Tarif efektif yang sudah diterapkan oleh Pemerintah Daerah Kota Semarang sudah di atas dan rata-rata daerah lainnya yaitu sebesar Rp 5.509.100,- untuk setiap reklame terpasang, sementar tarif efektif rata-rata 2 daerah Kota lainnya (Surakarta dan Tegal) di Propinsi rawa Tengah =sing-miming bare sebesar Rp 928.880,- dan Rp 351.680,- untuk setiap reklame terpasang di kota tersebut.
Rekomendasi yang dapat diberikan adalah; Berkaitan dengan prosedur dan sistem pengenaan Pajak Reklame di Kota Semarang dengan basis yang hampir sama dengan kota-kota lain di propinsi Jawa Tengah dan beberapa kota lain di luar jawa tangah, jika diperbandingkan memberikan hasil yang lebih tinggi, maka akan lebih baik jika sistem pengenaan "Ad-valoren Tax" ini disosialisasikan pada Pemerintah Daerah lain di Indonesia, terutama daera-daerah Kota.
Untuk Pemerintah Daerah Kota Semarang yang sudah menerapkan sistem "Advaloren Tax" ini rekomendasi adalah sebagai berikut:
1. Untuk sistem penetuan harga titik simpul yang selama ini dilakukan dengan mekanisme pasar (melalui pelaksanaan lelang terbuka) danlatau dengan pendekatan kepakaran (barga jabatan) akan lebih mudah jika harga titik simpul ini diambil dari harga jual tanah tertinggi pada kawasan/lokasi yang bersangkutan.
2. Untuk meningkatkan potensi penerimaan Pajak Reklame, Pemerintah Daerah Kota Semarang harus segera melakukan lelang terbuka terhadap titik-titik pemasangan reklame yang belum terjual dan atau titik pemasangan reklame yang sudah habis masa kontraknya.
3. Pelaksanaan lelang untuk titik-titik pemasangan reklame seperti yang penulis ungkapkan pada poin 2 dilaksanakan harus lebih dari 1 kali dalam setahun, umpamanya setiap semester atau setiap triwulan.
4. Untuk meningkatkan kapasitas penerimaan pajak reklame oleh Pemerintah Daerah Kota Semarang harus segera melengkapi sarana dan prasarana pemungutan pajak ini, terutama seperti kendaraan operasional roda 4 (empat) atau roda 2 (dua) serta perangkat keras dan lunak lainnya.
5. Walaupun secara relatif upaya pemungutan Pajak Reklame oleh Pemerintah Daerah Kota Semarang sudah lebih tinggi dari Pemerintah Daerah Kota lainnya di Propinsi Jawa Tengah dan beberapa kota lainnya yang dijadikan sebagai pembanding, namun harus tetap mensosialisasikan sistem pengenaan ini terutama kepada lingkungan internal Pemerintah Daerah dan kepada masyarakat umum khususnya yang menjadi objek dan/atau subjek pajak reklame ini.
6. Untuk lebih meningkatkan upaya pemungutan pajak Reklame di kota Semarang ini harus melakukan penelitian dan penelaahan lebih lanjut."
Depok: Universitas Indonesia, 2000
T7697
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Embang Supiati
"Intervensi pemerintah pada komoditas gula dimulai sejak diterbitkannya Inpres No. 9 Tahun 1975 yang meliputi tiga hal yaitu, pertama kebijakan produksi gula yang meliputi kebijakan Tebu Rakyat Intensifikasi, kebijakan mendorong perkembangan industri gula ke luar Jawa dan menetapkan harga provenue gula. Kedua, kebijakan pemasaran (tataniaga) gula pasir dan ketiga, kebijakan harga gula.
Tingginya intervensi pemerintah pada waktu itu telah menyebabkan berbagai masalah inefisiensi dalam struktur pasar gula Indonesia, yang pada akhirnya mendorong rendahnya poduktivitas dan tingginya harga gula di tingkat konsumen serta meningkatnya impor gula. Kemudian adanya kesepakatan Pemerintah RI-IMF, yang tidak lagi memperbolehkan adanya subsidi pada industri gula, dan tuntutan dari WTO sebagai perwujudan dari perjanjian pelaksanaan liberalisasi perdagangan dunia, intervensi pemerintah pada industri pergulaan dicabut dengan dikeluarkannya Inpres No. 19 Tahun 1998 tanggal 21 januari 1998. Sejak itu industri pergulaan Indonesia yang seharusnya berjalan sesuai dengan mekanisme pasar, namun karena tidak adanya persiapan bagi industri antuk menghadapi liberalisasi perdagangan dunia, menimbulkan berbagai masalah baru di dalam struktur pasar gula Indonesia. Tidak adanya hambatan tarif pada saat itu menimbulkan pro dan kontra dikalangan masyarakat.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh tarif bea masuk impor gula dan menganalisa faktor-faktor dominan yang mempengaruhi pasar gula Indonesia.Melalui model persamaan simultan, dibangun model dasar pasar gula Indonesia dengan menggunakan data sekunder rangkai masa tahunan dari tahun 1984-2000 yang dikumpulkan dari berbagai sumber. Model terdiri dari 9 persamaan yang terdiri dari 6 persamaan struktural/perilaku dan 3 persamaan identitas. Data diolah dengan menggunakan analisa regresi linear berganda dengan metode two steps least square (2 SLS) dan dengan bantuan program TSP versi 4.3A.
Hasil pendugaan model dengan tingkat signifikansi α = 5% , dimana nilai koefisien determinasi ( R2 ) masing-masing perilaku yang berkisar antara 0,6487 - 0,9970, menunjukkan bahwa secara umum variabel penentu yang dimasukkan dalam persamaan perilaku dalam penelitian ini menjelaskan dengan baik keragaman setiap variabel endogennya. Sementara itu nilai F yang berkisar antara 10,2347 - 998,23, dapat di interpretasikan bahwa secara bersama-sama variabel-variabel penentu berpengaruh nyata terhadap variabel endogen di setiap persamaan perilakunya.
Secara umum hasil penelitian menunjukkan bahwa dari beberapa variabel yang berkaitan baik langsung maupun tidak langsung dengan keragaan pasar gula Indonesia, hanya variabel impor dan harga eceran yang dipengaruhi oleh bea masuk. Rendahnya tarif bea masuk yang dikenakan terhadap impor gula menyebabkan gula impor masuk ke Indonesia secara tak terkendali hingga menyebabkan menumpuknya stok gula di pasar dalam negeri. Menumpuknya stok gula akan merusak pasar gula dalam negeri karena harga gula menjadi rendah dan gula produksi dalam negeri terdesak oleh gula impor yang harganya lebih murah. Kondisi industri pergulaan yang demikian jika tidak segera teratasi akan menurunkan produksi gula nasional dan pada akhirnya ketergantungan Indonesia terhadap produsen gula luar negeri semakin tinggi.
Dari hasil penelitian juga diketahui bahwa kenaikan harga provenue gula yang ditetapkan oleh pemerintah yang selama ini dimaksudkan untuk meningkatkan pendapatan petani tebu dan pabrik gula, ternyata telah meningkatkan marjin bagi pedagang perantara. Hal ini disebabkan kenaikan harga provenue lebih kecil dari kenaikan harga eceran akibatnya persentase harga provenue terhadap harga eceran juga semakin kecil, sedangkan selisih harga eceran terhadap harga provenue yang merupakan marjin pedagang semakin besar."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2002
T8057
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library