Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 19033 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Irvan Fachrizal
"Hampir sepanjang PJP I hingga saat ini tercatat peranan bantuan luar negeri cukup penting. Ketergantungan Indonesia pada bantuan luar negeri semakin meningkat semenjak terjadinya krisis ekonomi yang melanda Indonesia.
Sebagaimana diketahui bahwa krisis ekonomi yang dialami oleh Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah kembali menyebabkan kesulitan keuangan yang sangat berat bagi Indonesia sehingga, Pemerintah menjadi sangat bergantung pada bantuan luar negeri. Turunnya kemampuan sektor-sektor produksi sehingga roda perekonomian mengalami kemacetan, menyebabkan krisis yang terjadi semakin memposisikan Indonesia dalam berbagai masalah yang dilematis yang semula berawal dari krisis keuangan, kemudian berkembang semakin kompleks menjadi krisis multi dimensi.
Bergantinya rezim pemerintahan di Indonesia telah memuluskan pelaksanaan reformasi diberbagai bidang. Reformasi telah memberikan banyak perubahan dalam wacana kebijakan Pemerintahan Indonesia. Salah satu akibat langsung perubahan tersebut yang dirasakan seluruh Indonesia khususnya bagi daerah adalah dengan diberikannya otonomi penuh kepada daerah dengan meluncurnya UU NO. 22 tahun 1999 mengenai Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 mengenai Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Dengan ditetapkannya kedua undang-undang tersebut telah memberikan suasana baru yang mewarnai pola kebijakan dan peta penyelenggaraan pemerintahan baik pemerintahan pusat maupun pemerintahan daerah.
Sejalan dengan bergulimya otonomi daerah maka, Pemerintah Daerah mau tidak mau harus mulai membenahi sistem/ struktur pemerintahannya untuk menuju kemandirian, di samping itu juga berupaya memberdayakan SDA dan SDM yang ada. Namun perubahan ini tidak dengan mudah berjalan lancar, sedikit banyaknya akan menemui masalah. Salah satu contohnya adalah adanya pengalihan pegawai pusat ke daerah yang banyak memberikan dampak pada kebijakan pemerintah daerah khususnya dalam mata anggaran belanja daerah.
Berkaitan dengan pembangunan daerah pada masa otonomi berjalan, maka daerah dimungkinkan untuk mencari pinjaman baik, domestik maupun luar negri sebagaimana diatur dalam UU No. 25 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999.
Sehubungan dengan terbukannya peluang daerah tersebut untuk memperoleh pinjaman, maka pemerintah telah mengeluarkan satu peraturan yaitu Peraturan Pemerintah No. 107 tahun 2000 tentang Pinjaman Daerah yang mengatur mengenai mekanisme pinjaman, prosedur pinjaman, dan ketentuan lainnya bagi pemerintah daerah. Peraturan tersebut disusun dalam rangka pelaksanaan UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999 berfungsi sebagai petunjuk bagi daerah untuk memperoleh pinjaman.
Bila membaca isi dari Peraturan Pemerintah No. 107 tahun 2000 tersebut, ternyata, dapat menjadi suatu pembahasan yang menarik untuk diamati serta dikaji. Tesis ini mencoba untuk melihat sejauh mana PP No. 107 tahun 2000 yang disusun sedemikian rupa dapat menfasilitasi pemerintah daerah untuk memperoleh pinjaman luar negri.
Kebutuhan akan pinjaman oleh pemerintah daerah itu sendiri pada dasamya dimanfaatkan bagi pembangunan daerah untuk kepentingan masyarakat banyak. Dalam perkembangannya, sesuai dengan diberikannya otonomi kepada daerah maka, untuk melaksanakan pembangunan tampaknya daerah sudah harus mengupayakan sendiri pembangunannya begitu pula dengan anggarannya. Dengan berlakunya UU No. 25 tahun 1999 maka subsidi daerah otonom (SDO) dan instruksi presiden (INPRES) telah dihapus, dan sebagai penggantinya dialokasikannya dana alokasi umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (OAK).
Dengan adanya otonomi penuh maka, daerah harus berupaya untuk menggali potensi yang dimilikinya dan mengatur diri sendiri, namun, disadari bahwa kemampuan dan potensi daerah diIndonesia berbeda-beda.
Perbedaan inilah yang harus ditangani dengan bijaksana untuk menghindari kecemburuan antar daerah. Bagi daerah yang memiliki sumber daya alam yang besar maka sudah barang tentu dapat dipastikan daerah tersebut dapat lebih maju ketimbang daerah yang potensi alamnya kurang. Kemampuan penerimaan dan pemenuhan kebutuhan daerah juga menjadi tolok ukur suatu daerah untuk dapat memperoleh pinjaman. Di samping kemampuan dalam penerimaan dan pemenuhan kebutuhan daerah, pemerintah melalui PP 107 tahun 2000 juga telah menetapkan ketentuan bahwa daerah dapat melakukan pinjaman dengan prosedur persetujuan yang berjenjang yakni persetujuan dari DPRD untuk tingkat daerah dan kemudian persetujuan Menteri Keuangan untuk tingkat pusat, dan persetujuan itu pun dapat diberikan sepanjang memenuhi ketentuan .
Tesis ini sebenamya bertujuan untuk melihat sejauh mana kemungkinan daerah dapat memperoleh pinjaman baik domestik maupun luar negeri, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam PP 107 tahun 2000 tentang Pinjaman Daerah, UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 mengenai Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Secara prinsip, ketentuan yang ada dalam PP 107 tahun 2000 sebenamya cukup memadai dalam menata prosedur pemerintah daerah dalam melakukan pinjaman. Namun, saat ini beberapa faktor-faktor baik ekstemal maupun internal ternyata dapat menjadi penghambat bagi pemerintah daerah dalam memperoleh pinjaman luar negeri.
Tampaknya pemerintah daerah hingga saat ini dan untuk dua tahun kedepan atau lebih, tampaknya masih sulit untuk memperoleh pinjaman luar negeri. Lalu apakah ini berarti dimasa mendatang pinjaman luar negeri oleh pemerintah daerah tidak atau dapat dilakukan? Jawaban atas pertanyaan ini sedikit banyaknya dicoba dijelaskan dalam tesis ini."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2002
T1789
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Melia Fauziah
"Pendidikan di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari amanat Undang-Undang Dasar 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Pemerintah menyelenggarakan satu sistem pengajaran (pendidikan) nasional yang diatur dalam Undang-undang No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang dalam konsiderailnya menyebutkan: "bahwa pembangunan nasional di bidang pendidikan adalah upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia serta memungkinkan para warganya untuk mengembangkan diri."
Fokus pembahasan dalam tulisan ini dimaksudkan untuk mempeiajari, menganalisa, dan mengevaluasi aspek ekonomi terhadap tenaga kerja terampil dari sekolah menengah kejuruan, dimana sekarang ini memiliki jumlah yang semakin banyak seiring dengan tumbuhnya industri-industri di Indonesia. Kualitas sekolah kejuruan dapat diukur dari prestasi akademis, tetapi yang lebih penting harus dinilai dari segi ketrampilan kejuruan dan relevansinya dengan dunia usaha.
Penelitian dilakukan terhadap lulusan Sekolah Menengah Kejuruan bidang ekonomi yang langsung bekerja, dimana ketrampilan mereka paling banyak diperlukan dalam administrasi perkantoran. Sebagai pembandingnya kami juga meneliti lulusan Sekolah Menengah Umum yang juga langsung bekerja, apakah ada persamaan atau perbedaannya.
Aspek yang dibahas meliputi aspek lamanya waktu yang diperlukan dalam memperoleh pekerjaan pertamanya setelah Iulus dari sekolah menengah, berapa besar penghasilan pertamanya, berapa lama mereka bekerja di tempat yang sekarang ini, dan berapa besar penghasilannya sampai sekarang ini. Jadi upah yang diperoleh sekarang ini bagi para lulusan sekolah menengah tersebut menjadi dasar penelitian ini, untuk mengukur hasil yang dicapai oleh pendidikan menengah ini."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2002
T1818
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Amir Arham
"Pada tahun 1995 Pemerintah Pusat Mengakuisisi PT. Semen Tonasa ke PT. Semen Gresik Group. Akan tetapi akuisisi ini ditolak oleh Pemerintah Daerah Sulawesi Selatan, adanya penolakan tersebut, maka Pemerintah Pusat merubah akuisisi menjadi konsolidasi. Dengan demikian PT. Semen Tonasa menjadi bagian dari PT. Semen Gresik Group. Seiring terjadinya krisis ekonomi, BUMN merupakan aset bangsa yang potensial untuk dioptimalkan pemberdayaannya dalam rangka mendapatkan devisa untuk memberikan kontribusi terhadap perekonomian bangsa.
Pada tahun 1998 Pemerintah melakukan privatisasi PT. Semen Gresik dengan model kerjasama mitra strategis (Cemex) pabrik semen dari Mexico. Tujuan privatisasi disamping untuk melakukan penyebaran kepemilikan kepada pihak swasta dan publik. juga dalam rangka mendapatkan tambahan biaya untuk menutupi defisit APBN. Dalam perkembangannya kerjasama dengan pihak asing, Pemerintah Pusat membuat perjanjianparjanjian dengan mitra strategis tersebut, diantaranya adalah put option (menjual kembali sisa saham yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat) kepada pihak mitra strategis dengan tingkat harga yang telah ditentukan. Serta perjanjian lainnya seperti peningkatan volume penjualan ke pasar internasional, melakukan transfer teknologi, melindungi tenaga kerja lokal.
Put option yang dimiliki oleh Pemerinah Pusat ditolak oleh Pemerintah Daerah Sulawesi Selatan, karena dengan put option berarti kepemilikan PT. Semen Gresik yang didalamnya terdapat PT. Semen Tonasa akan dikuasai oleh pihak asing. Serta dan berbagai kajian yang dilakukan oleh pihak Pemerintah Daerah Sulawesi Selatan. kerjasama dengan pihak asing (Cemex) posisi PT. Semen Tonasa banyak dirugikan. Dengan demikian tujuan Pemerintah Daerah Sulawesi Selatan untuk menjaga aset negara yang berada di daerah sekaligus kebanggaan masyarakat tidak tercapai. Oleh karena itu, Pemerintah Daerah Sulawesi Selatan menginginkan spin off PT. Semen Tonasa dari PT. Semen Gresik. Dengan spin off berarti merupakan penghargaan terhadap landasan berdirinya PT. Semen Tonasa sendiri yang memiliki unsur historis dan politik.
Namun pada lain sisi Pemerintah Pusat melakukan privatisasi dalam rangka untuk memperbaiki kinerja perusahaan. Dengan adanya perbedaan kepentingan tersebut maka masing-masing pihak memiliki strategi untuk keberadaan dan pengelolaan PT. Semen Tonasa. Untuk melihat perbedaan itu, dianalisis dengan menggunakan AHP dan Game Theory, dalam analisis AHP Pemerintah Pusat memprioritaskan dalam mencapai tujuan adalah melakukan efesiensi perusahaan dengan nilai bobot sebesar (0,230). sedangkan pihak Pemerintah Daerah Sulawesi Selatan memprioritaskan PT. Semen Tonasa harus memberikan kontribusi yang proporsionai kepada daerah dengan bobot sebesar (0,313).
Untuk analisis dengan (Game Theory apabila Pemerintah Pusat terlebih dahulu mengambil langkah maka yang diprioritaskan adalah privatisasi dengan bobot (0,128) menjadi pilihan. Sedangkan apabila Pemerintah Daerah Sulawesi Selatan terlebih dahulu mengambil strategi maka pilihannya bekerjasama dengan pihak asing harus dibicarakan kembali dengan membentuk kesepakatan baru dengan nilai bobot prioritas sebesar (0,153). Dari pilihan masing-masing strategi tersebut tidak terjadi normal form dengan demikian keseimbanganpun tidak tercapai. Tidak tercapainya keseimbangan diakibatkan masing-masing pihak bertahan pada strateginya."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2002
T319
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasrizal
"Pertumbuhan ekonomi yang tinggi diperlukan untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat, oleh sebab itu berbagai kebijakan pembangunan suatu daerah baik langsung maupun tidak langsung difokuskan dan diarahkan kepada upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Dalam rangka mencapai pertumbuhan ekonomi yang optimal, diperlukan model pertumbuhan ekonomi yang dapat menangkap perbedaan kualitas hasil produksi (output) dan juga kualitas faktor-faktor produksi (input).
Fungsi produksi transcendental logarithmic (translog) dapat digunakan untuk mengestimasi model pertumbuhan ekonomi, dengan menggunakan faktor level augmentasi, baik pada output maupun input-nya. Variabel output yang digunakan adalah Produksi Domestik Regional Bruto (PDRB) sedangkan variabel input yang digunakan adalah input modal yaitu Pembentukan Modal Bruto (PMB) dan input tenaga kerja. Karena sifat parameter yang diestimasi adalah tetap (data populasi) dan berbeda menurut lapangan usaha, maka estimasi parameter dilakukan dengan model Seemingly Unrelated Regression (SUR).
Hasil analisa menunjukkan : Terjadi penurunan pada elastisitas output terhadap modal (EK) semua lapangan usaha, kecuali lapangan usaha pertanian dan lapangan usaha pertambangan dan penggalian. Begitu juga jika dilihat nilainya, semuanya bersifat inelastis negatif kecuali lapangan usaha pertanian dan lapangan usaha pertambangan dan penggalian, hal ini menunjukkan bahwa selain kedua lapangan usaha tersebut penambahan modal justru akan menurunkan output yang dihasilkan.
Sedangkan pada elastisitas output terhadap tenaga kerja (EL) semua lapangan usaha mengalami peningkatan, kecuali lapangan usaha pertanian ; lapangan usaha pertambangan dan penggalian ; dan lapangan usaha industri. Jika dilihat nilainya, semuanya bersifat inelastis positif kecuali lapangan usaha keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan. Hal ini menunjukkan bahwa selain lapangan usaha keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan tersebut, penambahan-tenaga kerja akan meningkatkan output yang dihasilkan.
Hasil analisa terhadap skala ekonomi menunjukkan bahwa terjadi penurunan skala ekonomi semua lapangan usaha, kecuali lapangan usaha pertanian; serta lapangan usaha pertambangan dan penggalian. Sedangkan menurut data laju kemajuan teknologi, semua lapangan usaha bersifat penghematan modal atau labor intensive, dan umumnya bernilai positif yang artinya kemajuan teknologi akan meningkatkan output, kecuali Iapangan usaha perdagangan, hotel dan restoran.
Dan uraian diatas, maka implikasi kebijakan dilihat dari sisi pemerataan distribusi pendapatan atau ketenagakerjaan adalah bagaimana upaya peningkatan kualitas tenaga kerja dalam hal ini kualitas sumber daya manusia, karena elastisitas output terhadap tenaga kerja umumnya bersifat inelastis negatif dan cenderung menurun. Kegiatan investasi pada sumber daya manusia itu sendiri pada akhimya akan meningkatkan produktifitas total faktor, melalui peningkatan kualitas tenaga kerja. Proses ini secara terus menerus akan menggeser lintasan pertumbuhan ekonomi ke lintasan yang baru yang lebih tinggi (lebih baik) tanpa harus menunggu lompatan. Hal ini berarti pula terjadi peningkatan kesejahteraan masyarakat akibat adanya peningkatan pendapatan. Dan yang terpenting adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat tersebut justru muncul dari dalam dirinya, yang akan menggambarkan sebagai sesuatu kekuatan tersendiri yang rnampu berdiri sendiri dan berkembang dengan sendirinya."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2002
T2341
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andrya Yunila Hastuti
"Urgensi pelibatan sejumlah stakeholder semakin penting dirasakan bila dikaitkan dengan terjadinya penurunan kinerja pembangunan Kota Bandar Lampung sebagai akibat krisis ekonomi yang diindikasikan dengan menurunnya tingkat pertumbuhan ekonomi sejak tahun 1997 dan semakin rneningkatnya jumlah KK miskin yang ada. Untuk itu Pemerintah Kota Bandar Lampung diharapkan tidak saja mampu untuk melaksanakan tugas dan kewenangannya, tetapi juga harus mampu mengakomodasikan seluruh potensi melalui pelibatan seluruh stakeholder baik pemerintah maupun swasta.
Untuk meningkatkan kinerja pembangunan Kota Bandar Lampung, ditinjau dari segi permodalan diperlukan investasi yang besar, sedangkan kemampuan investasi pemerintah masih sangat terbatas. Selain hal tersebut pembangunan Kota Bandar Lampung masih dihadapkan pada persoalan antara lain : peningkatan taraf hidup mnasyarakat, pemerataan lapangan kerja dan pendapatan, penyediaan sarana dan prasarana serta masalah sosial lainnya. Oleh karena itu untuk mempertahankan kelanjutan pembangunan daerah dimasa datang, maka tidak dapat dipungkiri bahwa berbagai persoalan tersebut hanya dapat diatasi dengan melakukan investasi pembangunan baik yang bersumber dari pemerintah dan swasta.
Perencanaan pembangunan baik secara makro, sektoral maupun regional pada dasarnya akan ditentukan oleh kemampuan penyediaan sumber pembiayaan atau dana untuk diinvestasikan guna mencapai laju pertumbuhan ekonomi sesuai dengan struktur perekonomian yang dikehendaki, yang pada situasi selanjutnya akan dapat mempercepat akselerasi pertumbuhan ekonomi serta kesempatan kerja baru yang semakin merata kepada masyarakat.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Penelitian ini mencoba menganalisis suatu perencanaan mengenai besarnya investasi yang dibutuhkan pada masa datang dalam rangka untuk mencapai sasaran kesejahteraan masyarakat dan laju pertumbuhan yang diinginkan. Ini berarti bahwa perkiraan jumlah investasi yang diperlukan akan ditentukan oleh laju pertumbuhan ekonomi/pembangunan yang hendak dicapai. Dalam hubungan ini disamping perhitungan perkiraan secara total, kebutuhan investasi itu perlu pula diperinci atau dialokasikan kepada masing-rnasing sektor ekonomi. Ditinjau dari sumbernya, rencana kebutuhan investasi harus pula memperhitungkan kemampuan sumber pembiayaan yang dapat disediakan baik dari pemerintah maupun swasta.
Penelitian ini mengguaakan pendekatan metode ICOR. Dalam mengestimasi perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung selama kurun waktu 2001-2006, digunakan pendekatan model ekonometrika (persamaan simultan). Setelah proyeksi kebutuhan investasi diperoleh, Penulis mencoba mengelompokkan besaran investasi tersebut (total maupun sektoral) yang diperlukan oleh perekonomian Kota Bandar Lampung berdasarkan sumber pembiayaan (pihak yang diharapkan bertanggung jawab menyediakan dana) yaitu pemerintah (Pusat, Provinsi Lampung dan Kota Bandar Lampung) serta swasta (dunia usaha dan masyarakat ), berdasarkan persepsi responden (kuesioner).
Berdasarkan analisis tersebut, perekonomian Kota Bandar Lampung secara umum dapat memberikan harapan berkembangnya daerah ini pada masa yang akan datang. Indikator ini terlihat dari adanya peningkatan pertumbuhan PDRB selama periode proyeksi. Total kebutuhan investasi periode 2002-2005 diproyeksikan sebesar Rp 1.840.291,46 juta, dengan kebutuhan investasi rata-rata per tahun sebesar Rp 460.072,87 juta. Sektor-sektor yang rnemberikan kontribusi besar (diatas rata-rata) terhadap total kebutuhan investasi adalah sektor industri pengolahan tanpa migas, sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor pengangkutan dan komunikasi serta sektor bangunan. Dalam perencanaan program pembangunan daerah Kota Bandar Lampung, diharapkan pembiayaan yang berasal dari anggaran pemerintah sebesar 30,50%, yang terdiri dari Pusat sebesar 8.48%, Provinsi Lampung sebesar 6.81% dau Kota Bandar Lampung sebesar 15.21%. Sedangkan dari swasta diharapkan sebesar 69.50% yang terdiri dari dunia usaha sebesar 46.82% dan masyarakat sebesar 22.68%.
Untuk itu sudah saatnya pemerintah Kota Bandar Lampung dalam memenuhi kebutuhan pendanaan/investasi peran pemerintah semakin dipersempit, sebaliknya swasta diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk turut berpartisipasi serta pemerintah harus bertindak progresif dan proaktif khususnya dalam usaha menarik investor agar peran yang diharapkan lebih besar bagi swasta dimasa mendatang dapat terwujud."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2002
T2389
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harries Hidayat
"Salah satu peran pasar modal adalah sebagai lembaga yang dapat melakukan pemupukan modal dan mobilisasi dana secara produktif. Menurut Fama (1970) dan Ferguson (1983), pasar modal akan mewujudkan hal tersebut dengan efektif apabila pasar modal itu efisien. Makna yang terkandung dalam pasar modal efisien adalah harga-harga sekuritas di pasar modal telah mencerminkan seluruh informasi yang tersebar luas. Dengan demikian dapat lebih mendukung perkembangan ekonomi karena adanya alokasi dana dari sektor yang kurang produktif ke sektor yang lebih produktif dan akan mempermudah para pelaku pasar modal dalam melakukan kebijakan dan pengambilan keputusan.
Tujuan pokok penelitian ini adalah menguji asosiasi laba tahunan dengan harga saham di BEJ. Penelitian ini didasarkan pada pendekatan bahwa pasar modal telah efisien dalam bentuk setengah kuat yang menyatakan dengan tersebarnya informasi baru (informasi earnings, dividend dan lain-lain) maka harga sekuritas seharusnya bereaksi dengan menyesuaikan ke tingkat harga yang baru.
Selain tujuan pokok tersebut, juga diamati asosiasi laba tahunan dengan harga saham berdasarkan ukuran perusahaan dan perubahan Debt Equity Ratio (DER). Ukuran perusahaan didasarkan pada nilai kapitalisasi setiap saham, sedangkan perubahan DER didasarkan pada perbandingan DER tahun ini dengan DER tahun sebelumnya.
Data yang digunakan untuk penelitian ini diperoleh dari BEJ. Data tersebut meliputi harga harian saham dan Index LQ-45 tanggal 9 sampai dengan 29 Desember 1997 untuk perhitungan expected return setiap saham (ERj), laporan keuangan perusahaan tahun 1996 dan 1997 yang telah diaudit untuk perhitungan tingkat perubahan laba (% earnings change) dan perubahan DER, nilai kapitalisasi saham untuk menentukan ukuran perusahaan, serta harga harian saham dan Index LQ-45 selama 15 hari setelah laporan keuangan tahun 1997 dipublikasikan untuk perhitungan cumulative abnormal return (CAR).
Berdasarkan hasil uji statistik, terdapat asosiasi yang signifikan antara laba dengan cumulative abnormal return (CAR). Selanjutnya dilihat seberapa besar variasi perubahan harga saham dipengaruhi oleh variasi perubahan laba, dengan melihat nilai R_ Square. Dan hasil uji statistik terlihat tingkat asosiasi laba dengan harga saham sebesar 18,62%. Koefisien slope (beta) sebesar +0,0041 menunjukkan bahwa setiap perubahan (kenaikanlpenurunan) laba I% maka investor memperoleh kenaikan/penurunan abnormal return sebesar 0,0041%.
Selanjutnya, sampel dibagi menjadi dua kelompok portofolio berdasarkan nilai kapitalisasi saham, yaitu kelompok perusahaan besar dan kelompok perusahan kecil, dengan batas pemisah nilai kapitalisasi saham Rp. 1 Trilyun. Berdasarkan hasil uji statistik, dapat disimpulkan bahwa asosiasi laba tahunan dengan harga saham tidak dipengaruhi secara nyata (signifikan) oleh ukuran perusahaan. Hubungan yang tidak signifikan ini terjadi kemungkinan karena investor BEJ memandang ukuran perusahaan bukanlah informasi lain (second inrformation) yang relevan dalam membaca informasi laba.
Berikutnya, sampel dibagi menjadi dua kelompok portofolio berdasarkan perubahan DER, yaitu kelompok perusahaan dengan DER yang meningkat dan kelompok dengan DER yang menurun. Hasil pengujian menunjukkan asosiasi laba tahunan dengan harga saham tidak dipengaruhi secara nyata (signifikan) oleh perubahan DER perusahaan emiten. Hubungan yang tidak signifikan ini terjadi kemungkinan karena investor BEJ tidak memandang perubahan proporsi hutang sebagai informasi lain (second information) yang relevan ketika mengamati informasi laba tahunan.
Hasil penelitian ini menunjukkan, terdapat asosiasi informasi keuangan dengan harga saham. Hal ini membuktikan bahwa investor pasar modal Indonesia telah memperhatikan faktor fundamental perusahaan emiten. Untuk itu diperlukan regulasi dari Bapepam dan pengelola PT. Bursa Efek Jakarta agar emiten lebih terbuka, murni dan jujur dalam penyampaian informasi keuangan yang merupakan indikator perkembangan perusahaannya. Dengan demikian pasar modal Indonesia dapat lebih sehat, dipercaya oleh investor dan menguntungkan semua pihak.
Untuk penelitian selanjutnya perhitungan expected return dapat dimodifikasi misalnya dengan CAPM. Selain itu dapat dikembangkan parameter yang lain seperti laba triwulanan, laba semesteran ataupun informasi lain misalnya stock dividend, stock split, cash dividend, penjualan saham borongan, dan right issue."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2000
T2368
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sutanto Hambali
"Otonomi daerah merupakan suatu thema yang sedang dan cukup popular oleh berbagai kalangan mulai dari tingkat pemerhati, pengambil kebijakan serta masyarakat umum pada akhir abad dan awal millenium kedua. Perhatian besar atas thema tersebut karena adanya tuntutan redefinisi perencanaan pembangunan yang telah dilaksanakan selama lebih kurang 32 tahun masa orde baru. Salah satu esensi otonomi daerah yang juga mendapat perhatian penting adalah peranan langsung pemerintah didalam upaya meningkatkan taraf hidup masyarakat di daerah (termasuk Daerah Kabupaten Banggai). Peranan langsung itu adalah memberikan pelayanan serta pemberian stimulus terhadap perekonomian yang dibutuhkan oleh masyarakat melalui dukungan dana pembangunan daerah. Dampak lain atas upaya pemerintah pusat meningkatkan pelayanan kepada masyarakat adalah adanya tuntutan masyarakat agar pusat-pusat pelayanan semakin dekat dengan masyarakat. Konsekuensi atas tuntutan itu bagi daerah-daerah yang memiliki wilayah yang luas diperlukan pemekaran sebagian wilayah, baik pada level pemerintahan tingkat desa, kecamatan, kabupaten, kota bahkan tingkat propinsi. Salah satu daerah yang dimekarkan di wilayah Propinsi Sulawesi Tengah adalah wilayah administrasi Kabupaten Banggai yang dibagi menjadi Kabupaten Banggai dan Kabupaten Banggai Kepulauan. Hal ini membawa perubahan orientasi perencanaan pembangunan bagi daerah yang dimekarkan baik induk maupun pecahannya.
Permasalahannya, pertama, apakah kebijakan perencanaan pengeluaran pembangunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Banggai dengan data terbatas di bidang perencanaan telah optimal dalam upaya mendukung peningkatan kinerja perencanaan pembangunan daerah, baik untuk kondisi sebelum dan sesudah wilayah dimekarkan dan kemungkinannya apabila otonomi diberlakukan. Kedua, apakah kebijakan perencanaan pengeluaran pembangunan tersebut diatas menjadi stimulus bagi peningkatan kinerja perekonomian daerah Kabupaten Banggai. Untuk melihat perkembangan perekonomian kedua Daerah Kabupaten Banggai dilakukan berbagai analisis, baik analisa struktur perekonomian daerah, laju pertumbuhan ekonomi daerah, pendapatan masyarakat, metode location untuk mencari sektor-sektor keunggulan daerah, analisa shift share untuk menghitung perubahan pertumbuhan regional, teori economic base digunakan mengkalkulasi multiplier daerah, ratio APBD terhadap PDRB guna melihat peranan pemerintah daerah dan metode program linear untuk menilai kinerja kebijakan perencanaan pengeluaran pembangunan daerah yang diterapkan dalam kurun waktu tahun 1993 sampai tahun 1997.
Berdasarkan ukuran-ukuran tersebut diatas, untuk wilayah Kabupaten Banggai sebelum dimekarkan kondisi perekonomiannya adalah ; perkembangan nilai tambah bruto berdasarkan harga konstan '93 untuk tahun 1993 sebesar Rp. 327.786 juta meningkat menjadi Rp. 431.741 juta pada tahun 1997, dengan rata-rata laju pertumbuhan ekonomi daerah sebesar 7,14 %. Kontribusi sektoral terbesar masih disumbangkan oleh sektor pertanian yang mencapai angka 47,53 % dan terus mengalami peningkatan hingga tahun 1997 menjadi 48,40 %. Dengan menggunakan harga konstan yang sama, nilai pendapatan per kapita masyarakat pada tahun 1993 sebesar Rp. 832.219 meningkat juga menjadi Rp. 1.002.619 di tahun 1997 dengan penduduk yang bekerja pada tahun 1993 sebanyak 184.272 orang, mengalami kenaikan menjadi 194.980 orang tahun 1997. Sektor-sektor unggulan dengan menggunakan data out put daerah pads tahun 1993 berada di sektor pertanian, sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel dan restoran, sampai tahun 1997 keunggulan daerah tinggal sektor pertanian dan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Sedang memakai data tenaga kerja, make keunggulan daerah tahun 1993 terletak pads sektor pertanian, sektor penggalian, sektor bangunan dan sektor perdagangan, hotel dan restoran, kemudian untuk tahun 1997 sisa unggul disektor pertanian dan sektor bangunan. Hal ini dicerminkan oleh multiplier daerah dari nilai 1,7145 kali tahun 1993 mengalami penurunan hingga menjadi 1,6425 kali tahun 1997. Kajian atas perubahan pertumbuhan daerah dari tahun 1993 sampai tahun 1997 digambarkan bahwa bacarnya total perubahan pertumbuhan daerah (G) sebesar Rp. 103.915 juta, share propinsi (R) senilai Rp. 131.549,5 juta dan nilai shift share (S) sebesar Rp. 27.634,5 jut& Hal ini berarti bahwa perekonomian daerah Kabupaten Banggai sebelum dimekarkan lebih banyak dipeng rubi oleh perekonomian propinsi atan daerah kabupaten lain di dalam propinsi Sulawesi Tengah, walaupun secara sektoral pertumbuhan den dalam daerah didapat dari sektor penggalian dan sektor bangunan. Kalau menggunakan data tenaga kerja maka perubahan pertumbuhan tenaga kerja dari tahun 1993 sampai tahun 1997 sebanyak 10.708 orang, share propinsi (R) sebanyak 48.404 orang dan shift share kabupaten sebanyak 37.696 orang, artinya tenaga kerja yang bekerja di daerah Kabupaten Banggai sebelum dimekarkan dalam jangka waktu tersebut lebih banyak diisi dari luar daerah. Parameter lain yang digunakaa untuk menilai kinerja pemerintah daerah dalam mendorong perekonomian daerah yang digambar oleh proporsi APED terhadap PDRB, dimana pads tahun 1993 hanya sebesar 4,57 % meningkat menjadi 8,76 % pada tahun 1997.
Dengan menggunakan parameter yang sama, untuk wilayah Kabupaten Banggai sesudah dimekarkan gambaran perekonomiannya adabah; perkembangan nilai tambah bruto berdasarkan harga konstan 93 untuk tahun 1993 sebesar Rp 236.781 juta meningkat menjadi Rp. 314.034 juta pada tahun 1997, dengan rata-rata laju pertumbuhan ekonomi daerah sebesar 7,32 %. Kontribusi sektoral terbesar masih disumbangkan oleh sektor pertanian yang mencapai angka 46,69 % dan terns mengalami peningkatan hingga tahun 1997 menjadi 48,09 %. Dengan menggunakan harga konstan yang sama, nilai pendapatan per kapita masyarakat pads tahun 1993 sebesar Rp. 923.899 meningkat juga menjadi Rp. 1.120.879 di tahun 1997 dengan penduduk yang bekerja pada tahun 1993 sebanyak 113.350 orang, mengalami kenaikan menjadi 133.940 orang tahun 1997. Sektor-sektor unggulan dengan menggunakan data out put daerah pads tahun 1993 berada di sektor pertanian dan sektor industri pengolahan, sedang pada tahun 1997 keunggulan daerah tinggal sektor pertanian dan sektor bangunan. Sedang memakai data tenaga kerja, maka keunggulan daerah tahun 1993 terletak pada sektor pertanian, sektor penggalian, sektor listrik dan air bersih, sektor bangunan dan sektor perdagangan, hotel dan restoran, kemudian untuk tahun 1997 sisa unggul disektor pertanian, sektor bangunan, sektor perdagangan, hotel dan restoran serta sektor angkutan dan komunikasi. Hal ini dicerminkan oleh multiplier daerah dari nilai 1,8333 kali tahun 1993 mengalami penurunan hingga menjadi 1,7314 kali tahun 1997. Kajian atas perubahan pertumbuhan daerah dari tahun 1993 sampai tahun 1997 digambarkan bahwa besarnya total perubahan pertumbuhan daerah (G) sebesar Rp. 77.235 jute, share propinsi (R) senilai Rp. 95.026,7 juta dan nilai shift share (S) sebesar Rp. 17.773,7 juta. Hal ini berarti bahwa perekonomian daerah Kabupaten Banggai sesudah dimekarkan lebih banyak dipengaruhi oleh perekonomian propinsi atau daerah kabupaten lain di dalam propinsi Sulawesi Tengah, walaupun secara sektoral pertumbuhan dari dalam daerah didapat dari sektor penggalian dan sektor bangunan. Kalau menggunakan data tenaga kerja maka perubaban pertumbuhan tenaga kerja dari tahun 1993 sampai tahun 1997 sebanyak 20.590 orang, share propinsi (R) sebanyak 29.775 orang dan shift share kabupaten sebanyak - 9.185 orang, artinya tenaga kerja yang bekerja di daerah Kabupaten Banggai sesudah dimekarkan dalam jangka waktu tersebut mengalami kekurangan tenaga kerja sebanyak 9.185 orang. Parameter lain yang digunakan untuk menilai kinerja pemerintah daerah dalam mendorong perekonomian daerah yang digambar oleh proporsi APBD terhadap PDRB, dimana pads tahun 1993 hanya sebesar 6,31 % meningkat menjadi 12,04 % pada tahun 1997.
Kebijakan perencanaan pembangunan daerah Kabupaten Banggai dalam Repelitada VI yang diterapkan adalah memprioritaskan percepatan pembangunan pedesaan, pembangunan transportasi khusunya prasarana jalan, pembangunan sektor pendidikan, pembangunan sektor kesehatan dan pembangunan aparatur pemerintah daerah. Sedang kebijakan pengeluaran pembangunan daerah pada tahun anggaran 1997 / 1998 adalah mengacu pada skala prioritas pembangunan daerah, pengentasan kemiskinan melalui peningkatan bantuan langsung, peningkatan penyuluhan dan pelatihan kepada masyarakat, dan peningkatan kualitas aparatur pemerintah daerah melalui pendidikan teknis maupun fungsional serta menambah kelengkapan saran dan prasarana aparatur pemerintah daerah.
Karena itu perhatian atas penelitian ini, selain kajian analisis kondisi perekonomian Daerah Kabupaten Banggai diatas, juga dilakukan analisis kebijakan perencanaan pengeluaran pembangunan daerah. Didalam analisis yang kedua ini dipergunakan metode program linear dengan penyelesaian berbagai bentuk problemnya memakai software komputer ABQM. Terkait dengan analisis kebijakan perencanaan pengeluaran pembangunan daerah adalah sistem dan mekanisme perencanaan pembangunan daerah yang diterapkan selama ini. Sistem dan mekanisme perencanaan pembangunan daerah sampai scat ini masih mengacu pada Pedoman Penyusunan Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan di Daerah (P5D) dengan pola bottom up dan top down planning. Dalam implementasinya poin ini secara ringkas menyerap berbagai usulan rencana kegiatan masyarakat dari level pemerintahan paling bawah (desa), kemudian diusulkan berdasarkan prioritas kepada tingkat pemerintahan diatasnya. Setelah semua proses dari bawah selesai, maka pemerintah pusat mengalokasikan dana atas berbagai kegiatan yang akan dilaksanakan secara proporsional kepada daerah-daerah (mekanisme lengkap lihat bagan 4.01).
Mekanisme perencanaan yang demikian memang telah cukup komprehensif mengakomodasikan berbagai kepentingan perencanaan dari masyarakat, dunia usaha dan pemerintah, tetapi masih terdapat berbagai hal yang menjadikan implementasinya kurang berjalan baik ; pertama, diperlukan kualitas tenaga-tenaga perencana yang memiliki kualifikasi tertentu, kedua, sistem dan mekanisme perencanaannya hanya dapat dimengerti secara komprehensif oleh birokrat sampai level pemerintahan kabupaten, ketiga, manajemen usulan rencana kegiatan dikelompokkan dalam program yang sauna untuk semua level pemerintahan, keempat, tidak adanya ruang publik (public hearing) yang jelas pada saat usulan rencana memasuki proses penganggaran, kelima, bagi daerah-daerah dengan Pendapatan Asli Daerah Sendiri (PADS) relatif kecil akan sangat tergantung kepada pemerintah pusat, keenam, diperlukan proses sosialisasi program yang kontinue sebelum implementasi kegiatan dilaksanakan.
Konsekuensi yang harus diterima atas implementasi proses perencanaan diatas adalah, pertama, kualitas usulan rencana kegiatan dari masyarakat tidak memenuhi standar perencanaan, kedua, usulan rencana dari masyarakat tidak mencerminkan kebutuhan tetapi hanya sebatas keinginan, ketiga, masing-masing level pemerintahan dimungkinkan terjadinya duplikasi kegiatan sehingga tidak menunjukkan level of authority (dekonsentrasi, decent l asi dan medebewind), keempat, masyarakat, pemerintah tingkat bawah (desa, kecamatan) kurang mengetahui jenis-jenis kegiatan apa raja dan lokasinya dimana terhadap implementasi kegiatan pembangunan pemerintah tingkat kabupaten, propinsi dan pusat, sehingga ada kecenderungan menimbulkan konflik atas penetapan lokasi pada saat kegiatan dilaksanakan? kelirna, khusus bagi Kabupaten Banggai dengan kontribusi PADS hanya berkisar 3 % - 5,5 % selang waktu TA. 1993/1994 -1997/1998 dari total penerimaan APBDnya, maka sifat ketergantungan kepada pemerintah pusat sangat besar sekali, keenain, proses sosialisasi yang tidak jelas alas semua kegiatan pembangunan yang dilaksanaknn oleh semua level pemerintahan (kabupaten, propinsi dan pusat).
Berdasarkan analisis kondisi perencanaan pengeluaran pembangunan daerah yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Banggai pada tahun anggaran 1997/1998, menunjukkan bahwa dana pengeluaran pembangunan sebesar Rp. 37.808.753.000 dialokasikan dengan prioritas sektor maupun program yang dibelanjai dengan besaran alokasi dana adalah, pertama sektor transportasi, meteorologi dan geofxsika (56,17 %) melalui program rehabilitasi pemeliharaan jalan dan jembatan, program peningkatan jalan dan jembatan serta program pembangunan jalan dan jembatan, kedua, sektor pendidikan, kebudayaan nasional, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Malta Esa, pemuda dan olah raga (10,74 %), lewat program pembinaan pendidikan dasar, program pembinaan pendidikan tinggi, program operasi dan perawatan fasilitas pendidikan dan kebudayaan, serta program pendidikan kedinasan, ketiga, sektor perumahan dan pemukiman (9,41 %) dengan program penyehatan lingkungan pemukiman, program penyediaan dan pengeloaaan air bersih, dan program penataan kota, keempat sektor pembangunan daerah dan transmigrasi (5,96 %) melalui program pembangunan desa, program pembangunan desa tertinggal, dan program pengembangan kawasan khusus, kelrma, sektor keselahteraan sosial, kesehatan, peranan wanita anak dan remaja (4,80 %), lewat program penyuluhan kesehatan, program pelayanan kesehatan dan rujukan rumah sakit, program pelayanan kesehatan masyarakat, program pencegahan dan pemberantasan penyakit menular, program perbaikan gizi dan program peranan wanita. Kemudian disusul oleh sektor aparatur negara, dan pengawasan (4,57 %), sektor pertanian dan kehutanan (3,40 %) serta tiga belas sektor lainnya (4,95 %). Dengan jumlah program yang terdanai sebanyak 59 buah dari total program sebanyak 146 buah.
Bila pola kebijakan perencanaan pengeluaran pembangunan daerah sebesar Rp. 37.808353.000 care mengalokasikannya menggunakan analisis program linear, maka out put opiimalnya menunjukkan bahwa prioritas sektor yang akan dikembangkan adalah sektor pendidikan, kebudayaan nasional, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, pemuda dan olah raga (68,405 %), dengan program-program seperti tersebut dalam alinea sebelum ini, sektor transportasi meteorologi dan geofisika (31,464 %), sektor tenaga kerja (0,057 %), sektor pertambangan dan energi (0,034 %), sektor industri (0,013 %), sektor sumber days air dan irigasi (0,013 %), sektor keamanan dan ketertiban (0,011 %), serta sektor kependudukan dan keluarga sejahtera (0,003 %). Hasil simulasi juga menunjukkan bahwa sumber dana yang langkah atau terbatas jumlahnya adalah alokasi dana bidang fisik dan prasarana bersumber clan bantuan Dati II komponen umum (block grant). Hal ini memberikan gambaran bahwa kebutuhan dana pengeluaran pembangunan yang bersumber dari sifat dana block grant cukup sensitif bagi pelaksanaan pembangunan daerah Kabupaten Banggai. Kondisi ini semakin memperjelas tingkat ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat semakin tinggi.
Menghadapi kondisi pemekaran wilayah dan pelaksanaan otonomi daerah, dimana secara signifikan berpengaruh langsung terhadap besarnya sumber penerimaan pendapatan daerah sehingga somber dana pembangunan alokasinya juga berkurang dan program yang dikelola bertambah karena beban kewenangan yang diserahkan semakin banyak. Hasil perhitungan menunjukkan, total sumber dana yang dapat dialokasikan untuk pengeluaran pembangunan daerah sebesar Rp. 31.029.738,000,-. Out put simulasi program linear menunjukkan bahwa sektor-sektor yang menyebabkan penyelesaian optimal adalah sektor politik, hubungan luar negeri, penerangan, komunikasi dan media massa (46,27 %), sektor perdagangan, pengembangan usaha daerah, keuangan dan koperasi (19,18 %), sektor pendidikan, kebudayaan nasional, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, pemuda dan olah raga (13,92 %), sektor transportasi, meteorologi dan geofisika (13,20 %) serta sektor aparatur negara dan pengawasan (7,43 %). Dengan demikian program-program seperti program penyelengaraan otonmi daerah, program pembinaan politik dalam negeri, program pengembangan perdagangan dan sistem distribusi, program pengembangan dan pembinaan usaha daerah, program penyehaaan modal pemerintah daerah, program penerimaan keuangan daerah, program pembinaan kekayaan daerah, program pembinaan usaha kecil, program peningkatan prasarana dan sarana aparatur negara, program peningkatan efisiensi aparatur negara, program pendidikan dan peiatihan aparatur negara serta program pendayagunaan sistem dan pelaksanaan pengawasan ditambah program-program dari sektor transportasi dan sektor pendidikan yang telah disebutkan terdahulu akan semaldn krusial untuk diperhatikan. Di samping itu hasil simulasi menunjukkan bahwa sumber dana pembangunan yang langkah lagi-lagi adalah alokasi dana bidang fisik dan prasarana serta bidang ekonomi yang berasal dari bantuan Dati II komponen umum (block grant).
Melihat semua kondisi diatas, dimana pemrograman pembangunan sama untuk semua level pemerintahan, beban urusan semakin meningkat, kebutuhan dana pembangunan semakin meningkat, sumber dana relatif terbatas, tingkat ketergantungan sangat besar, masyarakat tak memiliki ruang koreksi terhadap perencanaan pengeluaran pembangunan, perekonomian daerah hanya unggul disektor pertanian dan sektor bangunan Kalau ini terns berlanjut maka implikasi yang akan dihadapi pemerintah daerah, adalah kreativitas pemerintah daerah dalam menyusun program pembangunan berdasarkan kondisi daerah lemah, tuntutan masyarakat akan pelayanan dimungkin tidak terlayani dengan balk, kebutuhan dana pembangunan memnngkinan tidak tercukupi, masyarakat menjadi terbebani dalam pembiayaan pembangunan, konflik kepentingan didalam pengalokasian dana semaldn meningkat, pengembangan sektor basis kemungldnan terabaikan, dan secara keseluruhan didalam jangka panjang memungldnkan kredibilitas pemerintah daerah semakin menurun dimata masyarakat daerah.
Dengan demikian kondisi perekonomian dan kebijakan perencanaan pengeluaran pembangunan daerah Kabupaten Banggai dapat disimpulkan Panama, kondisi perekonomian wilayah Kabupaten Banggai sebelum dimekarkan kontribusi terbesar dikembangkan oleh bagian wilayah sesudah dimekarkan, basis perekonomian wilayah sebelum dan sesudah dimekarkan berada disektor pertanian, serta kondisi perekonomian wilayah sesudah dimekarkan lebih baik dibandingkan wilayah sebelum dimekarkan. Kedua, implementasi sistem perencanaan bottom up dan top down planning menyebabkan pemrograman pengeluaran pembangunan sama untuk semua level pemerintahan, pemerintah daerah kurang kreativ membuat program yang mencerminkan kondisi masyarakat daerah, kontrol publik yang kurang selama proses penganggaran berlangsung, dan diperlukan tenaga-tenaga perencana yang memiliki kualifikasi tertentu. Ketiga, seyogyanya selama ini pemerintah daerah memprioritaskan pengembangan program-program yang berada disektor pendidikan, kebudayaan nasional, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Matta Esa, pemuda dan olah raga, sektor tenaga kerja, sektor pertambangan dan energi, sektor industri, sector sumber daya air dari irigasi, sektor keamanan dan ketertiban serta sektor kependudukan dan keluarga berencana. Hal ini terlihat bahwa sektor yang dikembangkan secara relatif meningkatkan kapasitas sumber daya manusia daerah. Disamping itu, karena pemerintah daerah sumber dananya terbatas maka kebutuhan bantuan sumber dana dari pemerintah pusat cukup besar tetapi yang memiliki sifat bantuan umum moral (pemerintah pusat menyediakan dana sedang pemerintah daerah bebas mengalokasikan ke sektor mana saja). Keempat, menyikapi pemekaran wilayah dan pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah daerah selain mengembangkan program dikedua sektor diatas ditambah lagi dengan mengembangkan program-program pads sektor perdagangan, pengembangan dunia usaha, keuangan dan koperasi, sektor aparatur negara dan pengawasan dan sektor politik, hubungan luar negeri, penerangan, komunikasi dan media massa& Karma masih terlihat langkahnya sumber dana bantuan umum make bagi daerah Kabupaten Banggai untuk mengurangi tingkat ketergantungan pembiayaan ini sudah hams melakukan upaya yang lebih komprehensif dan terpadu didalam mencari sumber-sumber penerimaan baru serta mengefektifkan sumber penerimaan yang telah berjalan.
Untuk itu berbagai solusi alternatif yang dapat direkomendasikan adalah sebagai berikut ; pertama, dalam rangka pembangunan ekonomi daerah, make Pemerintah dan Masyarakat Daerah Kabupaten Banggai perlu memperhatikan indikator pembangunan ekonomi, baik bersifat umum dan khusus. Pemerintah Daerah memprakarsai tersedianya data indikator-indikator ekonomi yang dapat diakses masyarakat secara bebas dan terpadu. Selain itu pembangunan ekonomi diarahkan kepada pengembangan jenis usaha yang berbasis disektor pertanian sebagai keunggulan daerah. Kedua, untuk mewujudkan pola perencanaan pengeluaran pembangunan daerah, Pemerintah Pusat seyogyanya merubah pemrograman pengeluaran pembangunan yang mencerminkan tanggung jawab masing-masing level pemerintahan, memberikan peluang kepada daerah untuk mengembangkan program program yang mencerminkan kondisi daerah, bagi daerah mengkaji lebih lanjut jenis program yang menjadi tanggung jawab daerah dan memberikan ruang publik bagi masyarakat daerah didalam proses penganggaran pembangunan daerah (usulan penulis began 5.02). Ketiga, pada saat kondisi tingkat ketergantungan pemerintah daerah cukup tinggi kepada pemerintah pusat, maka pemerintah daerah seyogyanya memacu kegiatan pembanguan infrastruktur daerah dan pengembangan sumber daya manusia khususnya bidang pendidikan. Selain itu perlu juga memperhatikan pengembangan industri, peningkatan kualitas tenaga kerja, pengembangan pertambangang dan stabilitas daerah. Keempat, menyikapi kondisi wilayah yang dimekarkan dan mengantisipasi pelaksanaan otonomi daerah, maka pemerintah daerah perlu mengkaji lebih intensif berbagai jenis-jenis kegiatan yang sangat mendukung pengembangan program-program pada sektor perdagangan, pengembangan dunia usaha, keuangan daerah dan koperasi, sektor aparatur negara dan pengawasan serta sektor politik, hubungan luar negeri (antar daerah), komunikasi dan media massa. Disamping meningkatkan terns pengembangan kegiatan-kegiatan sektor pendidikan dan sektor transportasi. Kegiatan-kegiatan yang diprioritaskan lebih difokuskan pada upaya-upaya pengembangan industri dan dunia usaha daerah, peningkatan pendapatan daerah, peningkatan kualitas aparatur pemerintah dan penguatan institusi politik maupun budaya masyarakat lokal."
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T2336
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rachmat Hardijono
"Dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi terjadi proses akumulasi, alokasi, dan transformasi struktur produksi yang disebabkan antara lain oleh pergeseran pola konsumsi masyarakat dan perkembangan teknologi. Pada proses transformasi struktur produksi menunjukkan penurunan kontribusi sektor pertanian terhadap produk domestik bruto. Sedangkan sektor non-pertanian (industri dan jasa) cenderung meningkat. Terkait dengan transformasi struktur produksi juga terjadi transformasi dalam struktur ketenagakerjaan, yaitu penurunan distribusi tenaga kerja menurut lapangan pekerjaan pertanian terhadap total tenaga kerja. Transformasi ketenagakerjaan dari sektor pertanian ke non-pertanian tersebut disinyalir dipengaruhi oleh beberapa faktor. Oleh karena itu, maka tujuan utama dari penelitian ini adalah ingin mengidentifikasi faktor-faktor dimaksud.
Berkaitan dengan pencapaian tujuan tersebut, maka secara teoritis dan praktis menunjukkan bahwa terdapat 2 faktor utama yang mempengaruhi, yaitu faktor ekonomi dan non-ekonomi. Motif ekonomi merupakan faktor yang dominan seperti tingkat upah atau pendapatan yang lebih baik. Analisis lain untuk menjelaskan fenomena ini dengan pendekatan mobilitas secara geografis, yaitu antara daerah pedesaan yang mewakili sektor pertanian dengan daerah perkotaan yang didominasi kelompok sektor industri dan jasa. Selain itu alasan-alasan berikut yang dapat digunakan untuk menjelaskannya adalah adanya daya dorong sebagai faktor negatif dan daya tarik sebagai faktor positif.
Untuk mengupas transformasi ketenagakerjaan dalam kajian ini digunakan metode dengan membandingkan antara pekerja yang melakukan transformasi pekerjaan dari sektor pertanian ke sektor non-pertanian dengan pekerja yang tidak melakukannya. Lokasi penelitiannya di 2 wilayah perdesaan yaitu kel. / desa Pagentan kec. Singosari dan Kalirejo kec. Lawang Kabupaten Malang - Jawa Timur. Penentuan sampel sebagai responden menggunakan metode stratified random sampling berdasarkan lapangan pekerjaannya, kemudian dipilih secara simple random sampling dengan bantuan tabel angka random. Survai lapangan dilakukan untuk mendapatkan data baik sekunder maupun primer yang diupayakan dengan mewawancarainya secara langsung yang berpedoman pada kuesioner. Data I informasi yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara kuantitatif (statistika dan ekonometrika), serta secara kualitatif (deskriptif).
Berdasarkan data sekunder, karakteristik di lokasi penelitian yang dilihat secara geografi, demografi, dan ekonomi pada umumnya tergolong kondusif. Selanjutnya karakteristik sosial ekonomi pekerja yang dilihat dari usia, pendidikan dan pendapatannya secara statistik menunjukkan perbedaan antara pekerja yang melakukan transformasi dengan tidak. Sedangkan jumlah keluarga yang menjadi tanggungan pekerja antara dua kelompok tersebut tidak terbukti berbeda secara signifikan. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pekerja untuk melakukan transformasi sesuai hasil estimasi dengan model probabilitas liner, logit, dan probit, yaitu usia, pendapatan dan luas lahan yang dimiliki pekerja. Sedangkan tingkat pendidikan dan lingkungan tempat tinggal pekerja signifikan hanya pada model pertama, serta jumlah keluarga yang ditanggung pekerja tidak signifikan di semua model. Tetapi seluruh faktor-faktor tersebut secara serentak berpengaruh terhadap keputusan untuk melakukan transformasi pekerjaan. Penelitian ini juga mengidentifikasi bahwa pekerja yang melakukan transformasi pekerjaan mengalami hambatan dalam proses tersebut. Selain itu terdapat manfaat lain sebagai faktor non-ekonomi yang tidak / sulit diukur (intangible benefit)."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2002
T2340
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratna Haryanti
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efisiensi dan efektifitas kenaikan dan perluasan sumber-sumber retribusi, menghitung besar potensi retribusi terminal, mengidentifikasi faktor-faktor makro ekonomi yang mempengaruhi penerimaan retribusi terminal, memprediksi jumlah variabel-variabel yang mempengaruhi penerimaan retribusi dan akhirnya menentukan strategi yang tepat dalam rangka peningkatan penerimaan retribusi.
Pendekatan penelitian ini pada dasarnya adalah pendekatan kuantitatf dengan data-data sekunder sehingga dapat ditentukan model potensi pada masing-masing pos yang termasuk di dalam retribusi dan analisis kinerja. Dari analisis tersebut akhirnya dapat diketahui daya guna (efisiensi) dan hasil guna (efektifitas) retribusi terminal. Selanjutnya pendekatan ekonometrik ditujukan untuk mengidentifikasi varibel-variabel makro ekonomi yang mempengaruhi penerimaan retribusi terminal. Dengan menggunakan model tersebut akan dilakukan peramalan (forecast) terhadap penerimaan retribusi di tahun-tahun mendatang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama tahun penelitian (1995/1996-1999/2000) kontribusi retribusi daerah terhadap PAD rata-rata 28,40%. Angka ini hampir lama dengan kontribusi retribusi terminal terhadap retribusi daerah yaitu sebesar 28,12%. Sehubungan dengan target yang ditetapkan terhadap pungutan retribusi terminal selama tahun tersebut secara keseluruhan terealisasi.
Hasil guna (efektifitas) penerimaan retribusi terminal mencapai tingkat optimum pada tahun anggaran 1997/98 yakni sebesar 94,76% sedangkan daya guna (efisiensi) tercapai tingkat paling efisien pada tahun anggaran 1999/00 yakni sebesar 3,02%.
Dari penelitian ini ditemukan model bahwa penerimaan retribusi terminal dipengaruhi oleh variabel PDRB dan jumlah kendaraan yang beroperasi serta krisis ekonami sebagai variabel dummy. Setelah terlebih dahulu dilakukan tahapan-tahapan uji statistik dan ekonometrik, model tersebut memenuhi syarat sebagai model linier dan variabel di dalam model berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaan retribusi. Dengan model tersebut penelitian ini meramalkan bahwa penerimaan retribusi dan jumlah kendaraan berkecenderungan meningkat, sedangkan jumlah kendaraan diprediksi berkecenderungan menurun sampai tahun 2004."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2002
T2404
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tedjaningsih Hartono
"Krisis ekonomi di Indonesia yang dimuiai pada pertengahan tahun 1997, telah menjadi ancaman terhadap keadaan gizi masyarakat terutama anak yang berusia di bawah lima tahun (Bela). Di Kabupaten Garut berdasarkan hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) tahun 1998/1999 tercatat ada KEP (Kekurangan Energi Protein) total yang meliputi keadaan Gizi kurang dan gizi buruk; sebesar 27%. Keadaan ini meningkat dart tahun 1997 yang hanya 16,13 % dan tahun 1996 sebesar 5,2%. Semakin tingginya jumlah anak di bawah usia lima tahun (Balita) yang mengalami status gizi buruk telah mendorong pemerintah menetapkan berbagai kebijakan untuk menanggulangi hal tersebut. Guna mengetahui penyebab mengapa jumlah anak rawan gizi naik meskipun telah dlambil sejumlah kebijakan untuk mengatasi hal ini, maka diperlukan suatu penelitian.
Penelitian yang dilakukan membatasi permasalahan pada faktor-faktor yang berpengaruh pada status gizi anak; khususnya anak di bawah usia tiga tahun (Bate) sebagai fokus penelitian; yang selanjutnya dihubungkan dengan kebijakan yang telah dan akan diambil. Penelitian tentang faktor-faktor tersebut dilaksanakan di Desa Barusari dan Desa Sarimukti Kecamatan Semarang Kabupaten Garut Jawa Barat, pada bulan September s/d Nopember 1999 dengan responden sebanyak 184 orang anak yang berusia di bawah tiga tahun (batita), dan 184 prang ibu dari batita yang bersangkutan.
Dari hasil penelitian ditemukan bahwa tingginya angka kejadian anak dengan gizi kurang dan gizi buruk di Desa Barusari dan Sarimukti berhubungan signifikan dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu tentang kesehatan, status ekonomi keluarga, akses terhadap pelayanan kesehatan, dan sanitasi rumah serta lingkungannya. Sedangkan faktor lain yang mungkin berpengaruh dan memerlukan penelitian lebih lanjut adalah lebih tingginya angka kelompok usia Balita, rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat, dan kurangnya fasilitas dan tenaga kesehatan.
Kemudian, untuk mengetahui kebijakan-kebijakan yang perlu diambil dalam rangka meningkatkan status gizi anak yang sesuai dengan kondisi setempat, dilakukan penelaahan masalah melalui tiga pendekatan yaitu melalui kebijakan yang sudeh ditetapkan oleh pemerintah dan bersifat top down, kebijakan yang dikembangkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten melalui pendekatan manajemen strategik, serta pendekatan community development planning yang dikembangkan oleh penulis berdasarkan data primer. Hasil penelaahan ini melahirkan alternatif kebijakan baru yang kemudian diprioritaskan dengan metoda AHP.
Hasil pemilihan kebijakan dengan metoda AHP untuk jangka pendek adalah 'Pemberian bantuan pangan dan gizi', sedangkan untuk jangka panjang adalah 'Peningkatan taraf ekonomi'."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2000
T2824
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>