Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 565 dokumen yang sesuai dengan query
cover
R. Larisayuni Rahadiyanti
"Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menangani perlakuan terhadap monopoli Negara oleh hukum persaingan usaha. Monopoli Negara yang dilakukan pemerintah berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak. Seperti halnya monopoli Negara di bidang jasa kepelabuhanan berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran. Penyelenggaraan pelabuhan dilakukan oleh pemerintah melalui BUMN (PT Pelindo). Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran perlu dilakukan penyesuaian karena monopoli yang dilakukan pemerintah melalui BUMN (PT Pelindo) menghambat pengembangan pelabuhan dan membatasi persaingan karena kurangnya partisipasi pihak swasta dan pemerintah daerah. Undang- undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran terbentuk untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 memuat ketentuan mengenai penghapusan monopoli di bidang jasa kepelabuhanan. Membuka kesempatan pelaku usaha lainnya untuk dapat melakukan kegiatan pengusahaan di pelabuhan sebagai Badan Usaha Pelabuhan. Pemisahan fungsi regulator dan operator, fungsi regulator dilakukan oleh pemerintah melalui Kementerian Perhubungan yang kemudian dilakukan oleh Otoritas Pelabuhan dan Unit Penyelenggara Pelabuhan. Sedangkan fungsi operator dilakukan oleh Badan Usaha Pelabuhan yang telah mendapatkan izin untuk melakukan kegiatan pengusahaan di pelabuhan. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran juga memberikan peran serta pemerintah daerah dan swasta secara proporsional untuk melakukan kerjasama di bidang jasa kepelabuhanan. Metode penelitian yang digunakan pada tesis ini adalah metode penelitian normatif.

Article 51 Law No. 5/1999 on prohibition of monopolistic practices and unfair business competition of state monopolistic handled by competition law. State monopolistic by government associated with production and or marketing of goods and or services that dominate public needs. For example, state monopolistic in port services by Law No. 21/1992 on Shipping. Organizing port which done by the government through state enterprises (Indonesia Port Corporation). Enforcement of Law No. 21/1992 must to changes because monopoly by government through state enterprises (Indonesia Port Corporation) inhibit the development of ports and restrict competition because lack of the participation of the private sector and local government. Law No.17/2008 on Shipping is form for change Law No.21/1992 on Shipping. Law No.17/2008 on Shipping contains provisions about elimination of the monopoly of port services. It is open the opportunity other businesses to conduct exploitation activities in the harbor as a port entity. Separation of the regulator and the operator; promulgation through Ministry of Transportation performed by the port authority and port operator unit. While the operator by port entity that has obtained permission to conduct activities in the port consession. Law No. 17/2008 on Shipping also provide participation of local government and private sector proportionally to perform cooperation in port services. Research methods used in this thesis is a normative research methods."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T32649
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rika Sahara
"
Penawaran dan pemasaran produk asuransi jiwa melalui telemarketing merupakan salah satu saluran distribusi (distribution channel) yang digunakan perusahaan asuransi dan bank untuk memasarkan produk asuransi dalam kerjasama bancassurance. Selain potensi dan prospek yang timbul dari pemasaran produk asuransi melalui telemarketing, saluran distribusi ini juga menimbulkan beberapa permasalahan salah satunya adalah permasalahan rahasia bank. Dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 12/35/DPNP tanggal 23 Desember 2010 mengenai Penerapan Manajemen Resiko Pada Bank Yang Melakukan Aktivitas Kerjasama Pemasaran Dengan Perusahaan Asuransi (Bancasurance) terdapat 3 (tiga) model bisnis kerjasama bancassurance yaitu: (i) referensi; (ii) kerjasama distribusi; dan (iii) integrasi produk. Salah satu bentuk kerjasama bancassurance adalah telemarketing yang dalam pelaksanaannya wajib mematuhi ketentuan penggunaan data nasabah sebagaimana dinyatakan dalam Butir II.B.3 SEBI No. 12/35/DPNP yang mewajibkan bank untuk memperoleh persetujuan tertulis dari nasabah sebelum bank memberikan dan/atau menyediakan data nasabah kepada perusahaan asuransi mitra bank. Apabila bank dan perusahaan asuransi bekerjasama dalam bentuk referensi tidak dalam rangka produk bank dimana ada penyediaan data nasabah kepada perusahaan asuransi mitra bank, bank hanya dapat melakukan hal tersebut untuk data nasabah atas nasabah-nasabah yang telah memberikan persetujuan tertulis kepada bank bahwa datanya dapat diberikan kepada pihak lain diluar badan hukum bank untuk tujuan komersial. Model bisnis kerjasama distribusi lebih aman untuk dilakukan antara bank dan perusahaan asuransi karena tidak ada data nasabah yang disediakan atau diberikan kepada perusahaan asuransi. Mekanisme yang sama juga berlaku untuk kerjasama dengan model bisnis integrasi produk. Berdasarkan teori tawar menawar (bargaining theory), perjanjian asuransi antara penanggung dengan tertanggung terbentuk ketika penawaran produk asuransi (offering) yang dilakukan melalui telepon diterima oleh tertanggung (acceptance) yang ditandai dengan kata sepakat dari tertanggung. Adanya kesepakatan penanggung dengan tertanggung ini memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, asas konsensualisme serta Pasal 257 KUHD. Untuk memeriksa keabsahan perjanjian asuransi yang terbentuk dalam proses telemarketing dapat dipastikan dengan mengujikannya terhadap 4 (empat) syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Rekaman suara atau Voice Recording System (VRS) dan/atau hasil rekamannya merupakan alat bukti hukum yang sah berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan kekuatan pembuktian VRS atau rekaman suara juga diperkuat oleh ketentuan SEBI No. 12/35/DPNP dan Pasal 257 KUHD.

ABSTRACT
Offering and marketing of life insurance product through telemarketing is one of the distribution channels that can be used by insurance company and bank to market its insurance product in bancassurance cooperation. In addition to the potential and prospects arising from marketing insurance product through telemarketing, this distribution channel in its implementation also raises some issues, which among others, is bank secrecy. The Central Bank Circular Letter No. 12/35/DPNP dated 23 December 2010 regarding Risk Management Implementation To Bank Who Perform Marketing Activity With Insurance Company (Bancassurance) (“Central Bank Circular Letter No. 12/35/DPNP”) categorized 3 (three) bancassurance business model, as follows: (i) Referral Business Model (“Referral”); (ii) Distribution Business Model (“Distribution”); and (iii) Product Integration. One of bancassurance activity is telemarketing and its implementation shall comply with the provision regarding customer data as stipulated in Point II.B.3 Central Bank Circular Letter No. 12/35/DPNP which requires bank to obtain written consent from customer prior to deliver and/or provide their customer data to insurance company as bank partner. If bank and insurance company cooperate in the form of Referral for non bank product where there are deliveries and/or customer data given to insurance company, bank only legitimate for so doing limited to the data of customer who has given their written consent to bank for disclosing their data to the third party for commercial purposes. Distribution is less risky to be performed by bank and insurance company since there is no delivery of customer data to the insurance company. The same mechanism also applies for Product Integration i.e. no data delivery. Pursuant to the bargaining theory, the insurance contract between insurer and insured formed when the offer of insurance product (offering) is conducted over the phone and accepted by the insured (acceptance) which characterized by an agreement from the insured. The agreement between insurer and insured is in compliance with Article 1320 of the Indonesian Civil Code, consensual principle, and Article 257 of the Indonesian Commercial Code. Validity of the insurance contract formed in the telemarketing process can be tested toward the 4 (four) legal requirements as stipulated in Article 1320 of the Indonesian Civil Code. Voice recording or Voice Recording System (VRS) and/or the tape is a valid legal evidence pursuant to Article 5 paragraph (1) of Law No. 11 Year 2008 regarding Information and Electronic Transactions and evidence of the VRS or voice recording is also reinforced by the provisions of Central Bank Circular Letter No. 12/35/DPNP and Article 257 of the Indonesian Commercial Code."
2013
T32521
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Candra Karjasan
"ABSTRAK
Terkait dengan parate eksekusi didalam ketentuan eksekusi gadai saham, pelaksanaan gadai saham pada praktiknya menimbulkan permasalahan hukum, khususnya dalam pengeksekusiannya. Hal tersebut ditandai dengan adanya penafsiran yang berbeda mengenai eksekusi gadai saham oleh praktisi hukum maupun yang dihasilkan oleh pengadilan, khususnya Mahkamah Agung Republik Indonesia, terkait dengan pengaturan jangka waktu dalam perjanjian gadai itu sendiri. Hal ini menggambarkan belum ada kesamaan penafsiran terhadap eksekusi gadai saham di Indonesia. Tentunya, perbedaan-perbedaan penafsiran inilah yang nantinya dalam praktik menimbulkan ketidakpastian hukum, khususnya yang terjadi dalam sengketa perjanjian gadai saham antara PT. BFI Finance, Tbk (PT. BFI) selaku pemegang gadai dengan PT. Ongko Multicorpora (PT. OM) dan PT. Aryaputra Teguharta (PT. APT) selaku pemberi gadai. PT.APT dan PT. OM mendalilkan jangka waktu Perjanjian Gadai Saham adalah 12 (dua belas) bulan terhitung sejak tanggal perjanjian, karena itu tanggal jatuh tempo Akta Gadai Saham adalah 1 Juni 2000 dan akibat hukum berakhirnya jangka waktu gadai adalah objek gadai, yaitu saham-saham yang digadaikan Pemberi Gadai sudah tidak lagi terikat sebagai jaminan hutang kepada PT.BFI. oleh karena itu pelaksanaan eksekusi gadai saham oleh PT. BFI dengan menjual saham-saham milik Pemberi Gadai pada tanggal 9 Februari 2001 dianggap sebagai perbuatan melawan hukum. Berdasarkan dalil Pemberi Gadai tersebut, Majelis Hakim Agung dalam putusan Mahkamah Agung No. 240 PK/pdt/2006 mengabulkan gugatan Pemberi Gadai (PT. APT) dan menyatakan tidak sah pelaksanaan eksekusi atas gadai saham yang dilakukan PT. BFI. Namun terhadap Putusan Permohonan Peninjauan Kembali No. 240 PK/Pdt/2006 tanggal 20 Februari 2007 ternyata terdapat perbedaan baik didalam pertimbangan dan hasil putusan yang kemudian diajukan oleh PT. OM dalam Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung RI No. 115 PK/Pdt.2007 dimana pelaksanaan eksekusi gadai saham oleh PT.BFI adalah sah menurut hukum. Untuk menjawab permasalahan perbedaan penafsiran tersebut, dilakukan penelitian secara normative terhadap putusan Mahkamah Agung dan peraturan perundang-undangan yang mendasarinya. Pengolahan data secara kualitatif, sedangkan pengambilan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika deduktif. Dengan metode ini diharapkan kesimpulan yang disampaikan dalam tesis ini dapat menjawab permasalahan kepastian hukum mengenai pelaksanaan eksekusi atas gadai saham, dalam hal jangka waktu perjanjian gadai telah berakhir tetapi hutang debitor belum dilunasi seluruhnya.

ABSTRACT
The implementation of pledge on shares raises legal issues, particularly in the enforcement of the execution in the provision of pledge on shares. It is characterized by the existence of different interpretations regarding to legal opinion of the execution on pledge of shares, related to period time in pledge of shares agreement, by legal practitioners nor the Court, especially the Supreme Court of the Republic of Indonesia. This illustrates that the execution of pledge of shares in Indonesia has not yet had similar interpretation in legal framework of pledge. The differences of this interpretation is what will create legal uncertainty, especially those that occur in pledge of shares agreement disputes between PT. BFI Finance Tbk (PT BFI) as "pledgee" with PT. Ongko Multicorpora (PT OM) and PT. Aryaputra Teguharta (PT APT) as "pledgor". PT.APT and PT. OM postulated that Pledge of Shares Agreement term is during 12 (twelve) months from the date of the agreement, hence the agreement is ended in June 1, 2000. The expiry of period time in pledge of shares agreement is that pledge property, the shares which is guaranteed by pledgor is no longer bound as collateral to PT.BFI as pledgee. Therefore the execution of pledge of shares by PT. BFI which selling the pledgor shares on February 9, 2001 is considered as a tort. Based on the pledgor arguments, the Supreme Council of Judges in judicial review of the Supreme Court decision No. 240 PK/pdt/2006 fulfill pledgor (PT APT) petition and outlawed the execution of the pledged shares selling by PT. BFI. However, the Petition for Judicial Review Decision of supreme court No. 240 PK/Pdt/2006 dated February 20, 2007 turned out there is a controversial. It is because of difference both in judgment and the verdict which was then filed by PT. OM in judicial review of the Supreme Court decision No. 115 PK/Pdt.2007. Its judge that the enforcement of execution of pledged shares by PT. BFI was lawful. This Thesis is using a normative research towards the supreme court verdict and legislation underlying to answer the legal issues which has proposed above. In addition, it uses Qualitative data processing, while the conclusions made with deductive logic. With these method are expected conclusions presented in its can answer the problem of legal certainty regarding the execution of the pledge on shares, especially in which case the contract period has ended but debtor has not fulfill the debt."
2013
T33025
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Khusen Yusuf
"ABSTRAK
Korupsi menjadi permasalahan utama di Indonesia. Hampir setiap lini
kehidupan di negeri ini tidak terlepas dari praktik korupsi yang berkelindan
dengan perilaku kolusi dan nepotisme. Korupsi jelas memberi pengaruh negatif
terhadap kehidupan manusia karena mengakibatkan munculnya ketidakadilan
yang mempengaruhi individu-individu dalam masyarakat, terutama kelas
menengah ke bawah yang tidak memiliki akses terhadap kekuasan. Upaya
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sebenarnya telah dilakukan
sejak Orde Lama. Namun, usaha untuk menanggulangi korupsi belum juga
menuai hasil maksimal, bahkan pada masa Orde Reformasi yang diasosiasikan
sebagai Orde Perubahan dengan salah satu semangatnya adalah memberantas
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Pada sisi lain, sejak Reformasi bergulir,
Indonesia juga melakukan pembaharuan hukum dengan lahirnya Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang kemudian
diubah menjadi Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003. Keberadaan undangundang
tersebut sebagai penanda lahirnya rezim anti pencucian uang di mana
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menjadi institusi
utamanya (focal point). Undang-undang anti pencucian uang kemudian
mengalami sejumlah perubahan signifikan dengan disahkannya Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang. Undang-undang ini mengakomodir sejumlah terobosan hukum
penting dalam memerangi tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana asal
(predicate offence). Lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 memperkuat
rezim anti pencucian uang di Indonesia sehingga membuka peluang bagi
penegakan hukum, tidak hanya dalam memerangi kejahatan pencucian uang,
tetapi juga korupsi sebagai tindak pidana asal utama dari pencucian uang. Disadari
atau tidak, korupsi dan pencucian uang memiliki keterkaitan erat. Kedua tindak
pidana ini sama-sama dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary
crime) karena memberi dampak serius terhadap perekonomian sebuah negara.
Sebagai kejahatan yang memiliki keterkaitan erat, upaya memerangi korupsi bisa
memanfaatkan rezim anti pencucian uang dengan PPATK sebagai locus
utamanya. Dengan melibatkan PPATK, upaya pencegahan dan pemberantasan
korupsi bisa lebih optimal.

ABSTRACT
Corruption is a major problem in Indonesia. Almost every line of life in
this country can not be separated from the corrupt practices that intertwined with
collusion and nepotism behavior. Corruption is clearly has a negative influence on
human life since it brings an injustice impact that affects individuals in the
community, especially the lower middle class who do not have access to the
power level. Prevention and eradication of corruption has actually been done since
the Old Regime. However, the efforts to tackle corruption have not reached yet
the maximum results, even during the Reform Era which is associated with the
Change Era with has one passion is to eradicate corruption, collusion, and
nepotism. On the other hand, since the Reformation occur, Indonesia has also
done the law reform with the enactment of Law Number 15 Year 2002 concerning
the Criminal Act of Money Laundering is then amended by Law Number 25 Year
2003. The existence of the law assumed as a marker of the birth of the anti-money
laundering regime in which the Indonesia Financial Transaction Reports and
Analysis Center (INTRAC) became the main institution (the focal point). Antimoney
laundering Law then experienced numbers of significant changes with the
passage of Law Number 8 Year 2010 concerning the Prevention and Eradication
of the Criminal Act of Money Laundering. This law accommodates numbers of
important legal breakthrough in fighting against money laundering and predicate
offenses. The enactment of Law No. 8 Year 2010 is to strengthen the anti-money
laundering regime in Indonesia then opening up the possibility for law
enforcement, not only in fighting against money laundering, but also corruption as
the main predicate offenses of money laundering. Realizing or not, corruption and
money laundering has a close relationship. Both of these offenses are categorized
as an extraordinary crime, it cause a serious impact on the economy of a country.
As a crime which has close links, the efforts to fight against corruption is in line
with the passion of the anti-money laundering regime by INTRAC as the main
locus. Involving INTRAC in preventing and eradicating of corruption can be
optimized."
2013
T36145
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Fajar Herlani
"Tesis ini membahas mengenai perlindungan nasabah yang mengalami keterlambatan dan kesalahan dalam hal transfer dana elektronik yang disebabkan oleh kerusakan atau gangguan sistem software dan hardware computer. Dalam hal ini bank mengalami ketidakmampuan terhadap penyediaan akses data (availability data) yang seharusnya akses data tersebut dapat diakses oleh nasabah selama 24 jam. Hal tersebut merupakan risiko operasional bank yang dapat mengakibatkan efek domino bagi kegiatan bank, misalnya risiko operasional risiko hukum dan risiko reputasi. Dalam menjalankan produk internet banking, beberapa bank tersebut memakai pihak ketiga sebagai penyedia server yang notabene bank berskala kecil dan menengah, akan tetapi dengan memakai pihak ketiga sebagai penyedia server internet banking, hal ini tidak membebaskan bank tersebut dari peralihan pertanggung jawaban terhadap perlindungan nasabah. Alasan bank memakai pihak ketiga adalah keterbatasan dana untuk memperoleh hardware dan software serta staf teknis yang ahli dan berpengalaman serta menekan biaya investasi bidang teknologi yang sangat besar dalam pengadaan sistem internet banking. Penelitian ini penelitian yang mengacu kepada pendekatan yuridis normatif, data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder, kemudian sifat penelitian ini adalah dekriptif analisis, dengan menggunakan analisa kualitatif. Melihat risiko yang dialami bank tentu nasabah sangat dirugikan. Dalam penyediaan akses data internet banking perlindungan nasabah mencakup dua aspek yang harus diperhatikan yaitu jika kegagalan transfer terjadi pada saat nasabah belum melakukan pengaksepan transfer (mengalami non availability data), maka nasabah tersebut memiliki hak komplain kepada bank tersebut. Tetapi jika kegagalan transfer yang terjadi pada saat nasabah sudah melakukan pengaksepan yang disebabkan karena bencana alam, keadaan bahaya, huru-hara, konflik bersenjata, dan/atau keadaan darurat lain yang ditetapkan oleh pemerintah yang terjadi di daerah atau lokasi Penyelenggara Pengirim Asal yang sedang melaksanakan Perintah Transfer Dana, kerusakan pada sistem infrastruktur elektronik atau non elektronik yang berpengaruh langsung terhadap pelaksanaan Perintah Transfer Dana yang tidak dapat dikontrol oleh Penyelenggara Pengirim Asal, kegagalan sistem kliring atau Sistem Transfer Dana. Maka penyelenggara pengirim asal bertanggung jawab kepada pengirim asal.

The thesis discusses customer protection suffering from retardation and errors in the matter of electronic fund transfer caused by software system and computer hardware damage or malfunction. In this case, the bank suffers from incapability to data availability, where the customers should be able to access the data for 24 hours. This is a bank operational risk which can cause a domino effect for bank activities, such as operational risks, legal risks, and reputational risks. In carrying out an internet banking product, several banks hire the third party as a server provider which is a small and medium scaled bank; however, by hiring the third party as the server provider of internet banking, this does not free the bank from the responsibility towards customer protection. The reason the bank hires the third party is the fund limitation to obtain hardware and software, expert and experienced technical staff, and to reduce a very big technological investment cost in the procurement of internet banking system. This research refers to a normative judicial approach. The data used are primary and secondary data. The research is descriptive analysis by using qualitative analysis. By observing the risks suffered by a bank, it is of course very detrimental for customers. In the internet banking data availability, the customer protection covers two aspects which have to be noticed. First, if transfer failure occurs when a customer has not accessed transfer (suffers from non data availability), the customer has the right to complain to the bank. However, if the transfer failure occurs after the customer has accessed transfer due to natural disaster, harmful situations, riots, armed conflicts, and/or other emergency conditions determined by the government happening in a region or a location of the Original Sending Holder which is executing Fund Transfer Order, the damage in the electronic or non-electronic infrastructure system having direct influence to the execution of Fund Transfer Order which cannot be controlled by the Original Sending Holder, or clearing system of Fund Transfer System failure, then the original sending holder is responsible to the original sender."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35748
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadapdap, Cory Margaretha
"ABSTRAK
Bank adalah suatu institusi yang salah satu tugasnya adalah menghimpun dana dari
masyarakat. Dalam pelaksanaan tugasnya tersebut, Bank harus mematuhi peraturan
perundang-undang perbankan yang ada, serta menerapkan prinsip-prinsip serta asas-asas
perbankan. Dengan kondisi tidak diterapkannya peraturan perundangan, prinsip-prinsip dan
asas-asas perbankan pada suatu institusi bank, memberikan peluang timbulnya perbuatan
menyimpang dan/atau perbuatan melawan hukum dalam sistem bank tersebut. Dalam
praktiknya sering kali timbul maksud dan tujuan untuk melakukan perbuatan secara
melawan hukum oleh pegawai bank dalam jabatannya, maka bank seringkali gagal dalam
meminimalisir risiko kerugian yang akan ditanggung institusi dan nasabahnya. Kerugian ini
tidak hanya ditanggung baik oleh masyarakat perorangan, namun juga sering kali harus
ditanggung oleh suatu perusahaan, dan dalam perkembangannya dapat ditanggung pula oleh
badan usaha milik negara. Kerugian ini kemudian dianggap merugikan keuangan negara,
sehingga diperiksa baik melalui pengadilan negeri untuk memeriksa secara perdata dan
melalui pengadilan tindak pidana korupsi untuk memeriksa pelaku perorangannya. Putusan
pengadilan seringkali menimbulkan penggantian kerugian keuangan negara yang berganda,
sehingga dibutuhkan sistem ganti kerugian yang tepat untuk dapat menyelesaikan
permasalahan tersebut.
Penelitian ini bersifat yuridis normatif, dengan metode analisa deskriptif dari data sekunder
yang diperoleh.

ABSTRACT
Bank is an institution that one of its duties is to accomodate public funds. In the performance
of its duties, the Bank must comply with the banking rules also the principles and
fundamentals of banking. With conditions the principles and fundamentals of banking was
not complied in the banking institution, it will provide an incidence of aberrant behaviour
and/or an act against the law in the banking system. The existing legislation, together with
the fundamentals and principles of banking also the application of good corporate
governance and risk management at the bank are expected to help the bank reduce their risk
for the bank its self as well as to its customers in order to carry out its business activities. In
practice often arising the intents and objectives to do unlawful act by the banker on her/his
position, therefore bank often failed to minimize the risk of loss which will be borne by itself
and its customers. This loss is not only borne by the customer as personal, but also often to
be borne by the company, and more evolved may be borne by the state-owned company.
This loss was considered as a state financial losses therefore was examined either through
the district court under civil law and through the court of criminal acts of corruption to
examine their individual perpetrator. The court decision often causes a double indemnities of
state financial losses, therefore it needs a proper indemnity system to solve the problem."
Universitas Indonesia, 2013
T35527
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Windar Rakhman Akbar
"ABSTRAK
Bank tanpa infrastruktur teknologi informasi yang baik, cepat atau lambat akan segera tersingkir dari arena persaingan. Teknologi informasi menjadi senjata andalan bagi bank yang bersangkutan dalam persaingannya menghadapi bank kompetitor, terutama dalam memberikan produk layanan yang lebih murah, lebih baik, dan lebih cepat. Kemajuan teknologi informasi di bidang perbankan tersebut berbanding lurus dengan semakin canggihnya tingkat kejahatan, kejahatan yang dikenal dengan cybercrime. Cybercrime pada perbankan yang umum dan sering terjadi adalah hacking, carding, phising, cyberlaundering, dan sms penipuan. Kejahatan teknologi informasi tersebut menambah panjang resiko yang harus dihadapi perbankan. Resiko-resiko yang berkaitan langsung dengan pemanfaatan teknologi perbankan yakni: resiko operasional, resiko kepatuhan, resiko hukum, resiko reputasi, dan resiko strategis. Resiko tersebut juga mengancam keamanan dan kenyamanan nasabah selaku konsumen perbankan dalam menjalankan transaksinya sehari-hari, khususnya nasabah pengguna layanan perbankan elektronik. Kebutuhan akan perlindungan nasabah pun semakin tinggi, antara lain dengan cara pengawasan aktif dewan komisaris dan direksi; kecukupan kebijakan dan prosedur penggunaan teknologi informasi; kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko penggunaan teknologi informasi; dan sistem pengendalian intern atas penggunaan teknologi informasi. Menjadi tanggung jawab bank dalam memberikan perlindungan bagi nasabahnya, agar kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan tetap terjaga dan bermuara pada stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan yang sangat penting peranannya dalam perputaran roda perekonomian nasional.

ABSTRACT
Nowadays, information technology is important in banking industries. If a bank doesn’t have a good infrastructure of information technology, sooner or later, it will be eliminated from the competition arena. Information technology is going to be the main weapon for a bank against their competitor, especially in giving a cheaper, a better and a faster product. The progressing of information technology is equal with the increasing of cybercrime. The most common information technology crime in banking industries are hacking, carding, phising, cyberlaundring and text messages scams. This crime is increasing the length of risks that should be faced by banks. Risks that related directly to the use of banking technology are: operational risks, compliance risks, law risks, reputation risks, and strategic risks. That risks also threaten the safety and comfort of a customer as a banking consumer in doing their daily transactions, especially those who use electronic banking product. The needs of customer protection is also increased, among others, by means of active surveillance from commissioners and directors; adequacy of policies and procedures for the use of information technology; adequacy of risk identification, measurement, monitoring and control of the risks of using information technology, and systems of internal control over the use of information technology. It’s the responsibilities of a bank in giving protection to their customer, hence people keep trusting to the banking system and lead to the stability of entire finance system that has a very important role in the rotation of national economy."
2013
T39084
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Aman Astra
"ABSTRAK
Perjanjian Berlangganan Jasa Telepon Seluler Pasca Bayar merupakan
perjanjian yang lahir akibat asas kebebasan berkontrak, diatur dalam Pasal 1338
Jo Pasal 1320 KUHPerdata. Pasal 18 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen (UUPK) mengatur tentang berlakunya klausula baku yang
diperbolehkan bagi para pelaku usaha. Perjanjian yang dibuat antara konsumen
dan penyedia jasa telekomunikasi seluler terdapat klausula baku yang merupakan
pelanggaran dari ketentuan UUPK, dimanfaatkan oleh penyedia jasa untuk
mengalihkan tanggungjawab dalam perjanjian. Perlindungan hukum atas hak-hak
konsumen terhadap klausula baku dalam perjanjian berlangganan jasa telepon
seluler pada dasarnya telah diatur melalui UUPK yang memuat pengaturan
tentang kewajiban pelaku usaha, hak dan kewajiban pelanggan, perbuatan yang
dilarang bagi pelaku usaha, mekanisme dan cara penyelesaian sengketa, serta
pengawasan pemerintah terhadap pelaku usaha. Kenyataannya klausula baku yang
dianggap merugikan dan bertentangan dengan ketentuan UUPK, tetap saja
diberlakukan oleh pelaku usaha. Pertanggungjawaban pelaku usaha terhadap hakhak
konsumen seharusnya memberikan ganti kerugian atas kelalaian dan
kesalahannya yang menimbulkan kerugian bagi pelanggan kecuali dapat
membuktikan sebaliknya. Usaha yang ditempuh konsumen terhadap tindakan
sepihak pelaku usaha (Telkomsel dan Indosat) dengan adanya klausula baku
dalam perjanjian, baru sebatas mengajukan komplain saja, sedangkan
penyelesaian melalui lembaga pengadilan sampai saat ini belum pernah dilakukan
baik secara perorangan maupun berkelompok.

ABSTRACT
Subscription Agreement for Postpaid Cellular Phone Services is a treaty
that was born as a result of the principle of freedom of contract, as provided for in
Article 1338 Jo Article 1320 of the Civil Code. Article 18 of Law No. 8/1999 on
Consumer Protection (UUPK) regulates the entry into force of standard clauses
that allowed for business people. In agreement made between consumers and
providers of mobile telecommunications services there are standard clauses that
are in violation of the provisions of UUPK, used by service providers to shift
responsibility in the agreement. Legal protection of consumer rights against
standard clause in the subscription agreement has essentially governed by UUPK
that includes arrangements of entrepreneurs obligations, rights and obligations of
the customer, prohibited acts for businesses, and a means of dispute resolution
mechanisms, as well as government control of business actors. The reality of
standard clauses that are considered harmful and contrary to the provisions of
UUPK, still enforced by businesses. Accountability of business actors for the
rights of consumers should provide compensation for negligence and mistakes
that cause harm to the customer unless it can prove otherwise. Businesses that
unilateral actions taken by consumers against business operators (Telkomsel and
Indosat) with the standard clause in the agreement merely filing a complaint alone,
while the settlement through the courts until now have never done either
individually or in groups."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T38992
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rini Utami
"ABSTRAK
Kawasan hutan merupakan sumber daya alam yang terbuka dan berfungsi sebagai
salah satu penentu sistem penyangga kehidupan, sehingga setiap orang
mempunyai kesempatan dan akses yang besar untuk memanfaatkannya. Kondisi
ini memicu permasalahan dalam pengelolaan hutan. Tindak pidana illegal logging
sangat marak di Indonesia dan melibatkan banyak pelaku dan merupakan tindak
pidana yang terorganisasi. Hal mendasar yang menyebabkan sulitnya
memberantas illegal logging, karena illegal logging termasuk dalam kategori
kejahatan terorganisasi.
Para pelaku tindak pidana illegal logging akan berupaya agar kejahatan yang
dilakukannya tidak terdeteksi oleh aparat penegak hukum untuk menyembunyikan
atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan yang diperoleh dari aktifitas illegal
logging atau tindak pidana di bidang kehutanan lainnya, sedemikian rupa sehingga
harta kekayaan tersebut seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah.
Mengingat dampak tindak pidana illegal logging yang luar biasa, sangat
dibutuhkan terobosan atau cara-cara yang bersifat luar biasa (extra-ordinary) pula
guna memastikan dihentikannya aktifitas illegal logging, dijeratnya para pelaku
terutama aktor intelektual termasuk kooporasi yang terlibat dalam aktifitas illegal
tersebut, dan segala hasil yang diperoleh dari aktifitas illegal tersebut dapat disita
dan dirampas (recovery) untuk Negara. Dengan demikian, diharapkan adanya efek
jera terhadap pelaku aktifitas illegal logging atau tindak pidana di bidang
kehutanan lainnya. Salah satu bentuk terobosan dimaksud adalah dengan
memanfaatkan regulasi anti-pencucian uang.
Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dan dengan metode
pengumpulan data studi kepustakaan.
Tesis ini akan menganalisis efektifitas dalam penerapan regulasi anti-pencucian
uang yang dimanfaatkan untuk menimbulkan efek jera pada setiap orang untuk
melakukan aktifitas illegal logging atau tindak pidana di bidang kehutanan
lainnya.
Tesis ini juga akan membahas permasalahan serta kendala-kendala yang dihadapi
serta upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam rangka memberantas illegal loging
dengan menggunakan pendekatan anti pencucian uang.

ABSTRACT
Forest area is a natural resources that is open and serves as one of the
determinants life support systems, so that everyone has the opportunity and great
access to use it. These conditions could cause many problems in the forest
management. The criminal act of illegal logging is very rampant in Indonesia,
involves many actors and is an organized criminal act. The basic point that is
difficult to combat illegal logging is because it is included in the category of
organized criminal act.
The perpetrators of illegal logging crime would be kept at a crime undetected by
law enforcement officials to conceal or disguise the origin of the wealth obtained
from illegal logging activity or criminal acts in the field of forestry, such that
these assets as if derived from legitimate activities.
Given the impact of illegal logging activities were outstanding, much-needed
breakthrough or ways that are extraordinary (extra-ordinary) also to ensure a halt
to illegal logging activities, especially dijeratnya actors including kooporasi
intellectual actors involved in the illegal activity , and all the results obtained from
the illegal activity can be seized and confiscated (recovery) for the State. Thus ,
the expected deterrent effect against perpetrators of illegal logging activity or
criminal acts in other forestry. One form is intended to exploit the breakthrough
anti - money laundering regulations .
This study used a normative method and the method of data collection library
research.
This thesis will analyze the effectiveness of the implementation of anti - money
laundering regulations are utilized to ensure a deterrent effect on any person to
conduct illegal logging activity or criminal acts in other forestry .
This thesis also looks at the problems and obstacles faced and the efforts to do in
order to combat illegal logging by using the anti-money laundering approach"
2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kevin Immanuel
"ABSTRAK
Tesis ini membahas mengenai perlindungan terhadap konsumen jasa penerbangan.
Perlindungan terhadap konsumen jasa penerbangan adalah penting mengingat
semakin meningkatnya kebutuhan dan permintaan masyarakat terhadap jasa
penerbangan. Hal tersebut terlihat juga dari semakin berkembangnya industri
penerbangan di Indonesia, sehingga memberikan suatu kesempatan, tantangan,
dan persaingan yang baru bagi setiap perusahaan penerbangan. Sejumlah
permasalahan terjadi dalam penyelenggaraan jasa penerbangan seperti kecelakaan,
keterlambatan dan pembatalan penerbangan, kehilangan bagasi, hingga pelayanan
yang kurang memuaskan yang tentunya sangat merugikan konsumen. Oleh karena
itu diperlukan perlindungan yang optimal terhadap konsumen jasa penerbangan.
Penelitian ini menggunakan tipe yuridis normatif dengan melakukan kajian
terhadap dokumen-dokumen hukum berupa peraturan perundang-undangan yang
terkait dengan perlindungan konsumen, baik yang terdapat dalam buku teks dan
jurnal ilmiah, maupun putusan pengadilan yang relevan dengan objek penelitian
ini. Penelitian ini secara khusus membahas mengenai pelaksanaan perlindungan
bagi konsumen sebagai pengguna jasa penerbangan. Tanggung jawab pelaku
usaha penyedia jasa penerbangan dalam terjadi kerugian. Selain itu, disajikan pula
analisis terhadap putusan Mahkamah Agung mengenai pembatalan penerbangan
dalam rangka penegakkan perlindungan bagi konsumen jasa penerbangan.

ABSTRACT
This thesis examines the protection of consumer aviation services. Aviation
services consumer protection is important to remember the increasing needs and
demands of society for aviation services . It is seen also from the increasing
development of the aviation industry in Indonesia , to provide an opportunity , a
challenge , and new competition for each airline . A number of problems occur in
aviation services such as accidents , delays and flight cancellations , lost luggage,
to the service of the poor are of course very detrimental to consumers . Thus it
needs optimal protection against aviation consumer services . This research used
normative juridical type by doing research on legal documents in the form of
legislation related to consumer protection , both of which are found in textbooks
and scientific journals , as well as an injunction that is relevant to the object of this
study . This study specifically addresses the implementation of consumer
protection as consumers of aviation . Actors responsibility aviation service
providers in case of loss. In addition, the analysis also served on the Supreme
Court Verdict on the cancellation of flights in the framework of the rule of
consumer protection for airline services ."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T38746
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   4 5 6 7 8 9 10 11 12 13   >>