Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 588 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Puti Karamina Adella
"Notaris dalam menjalankan jabatannya wajib bertindak amanah, jujur dan saksama. Dalam praktik pembuatan akta oleh Notaris, banyak ditemukan pelanggaran dimana Notaris tidak mengindahkan kewajibannya dalam Undang-Undang Jabatan Notaris. Seperti halnya akta Pengikatan Jual Beli yang dibuat oleh Notaris Euis Komala, S.H., dimana sebelum dibuatnya akta, Notaris tidak melakukan prosedur pengecekan sertipikat tanah yang ternyata berada dalam sengketa, akibatnya pembeli mengalami kerugian materiil. Permasalahan yang diangkat adalah akibat dari kelalaian Notaris yang tidak melakukan pengecekan sertipikat tanah yang ternyata sudah beralih kepada pihak laindan pertanggungjawaban Notaris atas kelalaianya yang mengakibatkan kerugian sehingga Perjanjian Pengikatan Jual Beli tidak dapat dilanjutkan menjadi Akta Jual Beli. Tipe penelitian yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitisdengan menggunakan data sekunder sebagai sumber data utama yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Akibat dari kelalaian Notaris yang tidak melakukan pengecekan sertipikat tanah yang ternyata sudah beralih kepada pihak lain membuat pengikatan jual beli tidak dapat dilanjutkan menjadi akta jual beli karena objek jual beli sudah bukan lagi milik penjual. Pertanggungjawaban Notaris atas kelalaianya tidak melakukan pengecekan sertipikat tanah yang mengakibatkan kerugian, dapat dimintai pertanggungjawaban secara administatif, kode etik, perdata maupun pidana. Notaris dalam menjalankan kewajibannya dituntut harus selalu teliti dalam memeriksa kebenaran data yang diberikan oleh penghadap dan berpegang teguh pada Pasal 16 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.

Notary in carrying out their positions must be carried out trustworthy, honest and thorough. In the practice of making a notarial deed, many are found to violate the Notary public not heeding their purchase in the Notary Position Act. Like inviting a Bind of Deed of Sale and Purchase made by Notary Euis Komala, S.H., before the deed was made, the Notary did not carry out the procedure of checking the land certificate which turned out to be in dispute, as a result the buyer suffered a material loss. The problem raised is the result of the negligence of the Notary who did not check the certificate of land which turned out to have been transferred to another party and the Notarys liability for negligence resulting in a loss so that the Agreement on Binding of the Sale and Purchase could not be continued to be a Deed of Sale. This study uses a normative juridical type of research that is analytical descriptive by using secondary data as the main source of data obtained through library research. As a result of the negligence of the Notary who does not check the land certificate which turns out to have been transferred to another party, the binding of the sale and purchase cannot proceed to the sale and purchase deed because the object of sale and purchase no longer belongs to the seller and the Notarys liability for negligence does not check the land certificate resulting in losses, can be held accountable administratively, code of ethics, civil or criminal. In carrying out its obligations, the notary must always be careful in verifying the truth of the data provided by the taper and holding fast to Article 16 of Law Number 2 of 2014 concerning Amendments to Law Number 30 of 2004 concerning Notary Position."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T54955
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Toto Hari Saputra
"Tesis 1ni , embahas mengenai dampak perlakukan perpajakan dan kepabeanan terhadap bida g usaha minyak an gas burnl, k:hususnya setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tali 2001 teatang Minyak dan Gas
Bumi. PeneHtian int adalah penel· tian dengan pendekatan kualitatif dengan desain
deskriptif. Hasil penelitian menyarankan Hahwa Badan Pelaksana Migas dan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, perlu terlebih dahulu memahami ketentuan-ketenhlan terkait antara ain ketentuan di bidang pe aja.k:an dan kepabean , kehutanan. lingkumm hidup dan lain set3agaimanya sehi gga penyusunan kontrak di bidang migas lebih se~aras dengan lJU Migas dan peraturan perundangan lain yang terka ~t. 1 enginfat kontrak di bidang migas terkandung unsur penguasaan hajat hidup orang banyak, berjangka waktu lama,
dan berpengaruh pad a keuangan negara dalam jangka pan· ang> Pemerintah perlu membentuk suatu tim yang soli (bersifat .ad hoc ataupun antar departemen) dengan melibatkan unit-unit terkait guna mengkaji secara komprehensif{baik dari aspek penerimaan mi as, pajak. kehutanan~ lingkungan hi
kepa.~tian hukum serta memberikan profit bagi negara dan menarik bagi investor.

The focus of this study is the impact of the taxation and custom regulation to the oil and gas industry in Indonesia, si ce effectiveness o the Undang-Undang tentang Minyak dan Gas Bumi (Law No. 22 of 2001) dated of November 23. 2001. This research is qualitative descriptive interpretive. he researcher suggest
that Bada.n Pelaksana Migas and tlie Ministry of Energy and Mineral Resources)
need to understand to the taxation and c stom egulation, fo restry regulation,
environment regulation, ami other relating regulation, · order to draft oil and gas
standard contract under the Undang-Undang tent g Minyak dan G Bumi {1 aw No. 22 of2001) and other relating regula ion. Further~ considering that ti>il and gas contract have a wide impact to the pub ic
priority and state's finance, Government require te build a team to resea.rcfi oil
and gas policy in order to drdft oil and gas standard contract that giv advant~ge to
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T25710
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Shinta Purwitasari
"Tesis ini membahas Pluralisme Kebijakan Pemerintah Dalam Penetapan Hak Guna Usaha Perkebunan di Indonesia Studi Kasus Tumpang Tindih Dengan Pertambangan, Kehutanan dan Tanah Ulayat. Penelitian ini bersifat yuridis normatif dan teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) dengan pendekatan peraturan perundang-undangan (statue approach). Kebijakan pengaturan sektor pertanahan khususnya dalam penetapan pemberian Hak Guna Usaha dalam implementasi banyak aturan yang mendasarinya.
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui pluralisme kebijakan pemerintah dalam penetapan Hak Guna Usaha perkebunan di Indonesia dan permasalahan yang diakibatkan pluralisme kebijakan pemerintah dalam penetapan Hak Guna Usaha dan untuk mengetahui sejauh mana pluralisme kebijakan pemerintah dalam penetapan pemberian Hak Guna Usaha di Indonesia mengakibatkan tumpang tindih Hak Guna Usaha perkebunan dengan sektor lain khususnya perizinan pertambangan, perizinan kehutanan dan tanah ulayat beserta dampaknya.
Hasil dari penelitian ini adalah pluralisme kebijakan pemerintah dalam penetapan Hak Guna Usaha tidak dapat terlepas dari kebijakan pemerintah dalam sektor lainnya yaitu sektor pertambangan dan kehutanan, serta tanah ulayat dan pluralisme kebijakan pemerintah dalam penetapan Hak Guna Usaha tersebut menyebabkan tumpang tindihnya Hak Guna Usaha perkebunan dengan sektor lainnya terutama dengan sektor pertambangan dan kehutanan, serta tumpang tindih dengan tanah ulayat penyelesaiannya tidak mudah karena masing-masing sektor berpegang kepada Undang-Undang sektoralnya dan Undang-Undang sektoral itu sama derajatnya.

This thesis focuses on the Pluralism of Government Policy in the Stipulation of Right of Cultivation (hak guna usaha) for Plantation in Indonesia (Study Case on Overlapping of Mining, Forestry and Communal Rights). The research is legal norm in nature and the data collection to be used shall be conducted through library research with a statue approach. Regulation policy in the land sector, in particular the stipulation of Right of Cultivation (hak guna usaha) in practice is based on many regulations.
The objective of this research is to reveal the pluralism of government policy in the stipulation of right of cultivation (hak guna usaha) for plantation in Indonesia and the problems attributable to pluralism of government policy in the stipulation of right of cultivation (hak guna usaha) and to reveal the extent of pluralism of government policy in the stipulation of right of cultivation (hak guna usaha) in Indonesia causing overlapping of right of cultivation (hak guna usaha) for plantation with other sectors, especially with the mining permit, forestry permit and communal rights along with its effects.
The result of this research reveals that the pluralism of government policy in the stipulation of right of cultivation (hak guna usaha) is closely related to the government’s policies in other sectors, namely the mining, forestry and communal rights sectors and therefore causing overlapping of right of cultivation (hak guna usaha) with other sectors, mainly with mining, forestry and communal rights sectors in which the settlement is not easy as each of those sectors has their own law having equal legal force.
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dannie Chrisanto
"ABSTRAK
Dalam rangka menunjang semangat otonomi daerah, UU No. 30 Tahun 2009
tentang Ketenagalistrikan mengatur secara rinci mengenai pembagian
kewenangan antara pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah
kabupaten/kota dalam penyelenggaraan ketenagalistrikan. Pemerintah juga telah
menerbitkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan peraturan
pelaksananya, PP No. 38 Tahun 2007 yang merinci urusan pemerintahan
(termasuk sektor ketenagalistrikan) kedalam urusan pemerintah, provinsi, dan
kabupaten/ kota. Namun, terkait kewenangan perizinan pada sektor tenaga listrik
ternyata masih juga menemui permasalahan. Ketentuan dalam perundangundangan
tidak mengatur secara jelas kewenangan penetapan sanksi bagi badan
usaha yang wilayah usahanya lintas kabupaten/kota, tetapi izin usahanya telah
diberikan oleh Pemerintah sebelum terbitnya UU No. 30 Tahun 2009.
Perkembangan dan perubahan pengusahaan ketenagalistrikan yang sangat
mendasar adalah diterbitkannya UU No. 15 Tahun 1985 tentang
Ketenagalistrikan. UU No. 15 Tahun 1985 maupun peraturan pelaksanaannya,
yaitu PP No. 10 Tahun 1989 dibentuk pada masa Orde Baru, sehingga masih
menerapkan sistem penyediaan tenaga listrik yang sentralistik dengan
menitikberatkan kewenangan dan tanggung jawab penyediaan tenaga listrik pada
Pemerintah Pusat. Dengan lahirnya UU No. 30 Tahun 2009 sebagai pengganti UU
No. 15 tahun 1985 yang dilandasi oleh semangat otonomi daerah dan menjadi titik
balik desentralisasi ketenagalistrikan, Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai
dengan kewenangannya menetapkan kebijakan, pengaturan, pengawasan, dan
melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik.

ABSTRACT
In order to support the spirit of regional autonomy, Law no. 30 of 2009 on
Electricity regulate in detail the allocation of responsibilities between government,
provincial governments , and district/city governments in the implementation of
electricity. The government has also issued Law no. 32 of 2004 on Regional
Government and its implementing regulations , Government Regulation no. 38 of
2007 which details the government affairs ( including the electricity sector ) into
the affairs of government , provincial , and district/city. However, the relevant
licensing authority in the power sector was still also encountered problems.
Provisions in the legislation does not set out clear powers of sanction for his
business enterprises across the region districts /cities , but its business license has
been granted by the Government prior to the issuance of Law no. 30 of 2009.
Developments and changes very basic electricity concession is the issuance of
Law no. 15 of 1985 on Electricity . Law no. 15 of 1985 and its implementing
regulations, ie , Government Regulation no. 10 of 1989 established the “Orde
Baru” era, so it is still applying power supply system with a centralized focus of
authority and responsibility for the provision of electric power in the central
government . With the enactment of Law no. 30 of 2009 in lieu of Law no. 15 of
1985, guided by the spirit of regional autonomy and decentralization of electricity
became the turning point, the Government and local authorities in accordance
with the authority sets policy, regulation, monitoring, and implementing the
electricity supply business."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39180
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salampessy, Muhammad Yahdi
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengelolaan sumber daya mineral
dan batu bara di Indonesia berdasarkan kedaulatan Negara dan Hak Menguasai
Negara Negara sebagaimana diamanatkan di dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD NRI
1945. Penulis mempergunakan metode penelitian yuridis normatif dengan studi
kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pasal 33 Ayat (3) UUD NRI
1945 memberikan landasan konstitutional terhadap Negara untuk menguasai
seluruh kekayaan alam yang ada di Indonesia, termasuk sumber daya mineral
dan batu bara. Hak Menguasai Negara memberikan kewenangan kepada Negara
untuk melakukan Pengelolaan secara langsung melalui mekanisme izin,
pengurusan, pengaturan, pengendalian melalui mekanisme izin, dan pengawasan
terhadap kegiatan pertambangan Minerba. Kewenangan tersebut merupakan
kewenangan konstitutional Pemerintah Pusat dan merupakan bagian dari
kedaulatan Negara atas sumber daya alam.

ABSTRACT
This research aims to evaluate the management of coal and mining sector in
Indonesia based on the theory of state sovereignty and the rights of state control
over natural resources as stated in Article 33 (3) of the 1945 Constitution of the
Republic of Indonesia. The author uses juridical-normative research method,
which is combined with literature studies. The research shows that Article 33 (3)
gives a constitutional basis for the State to control all natural resources in
Indonesia, including coal and mining. The rights of state control legitimates the
State authority to perform a direct control over natural resources by conducting
permits, management, legislation, control, and surveillance of mining activities.
The authority to control natural resources is a constitutional authority that is
given to the Indonesian central government as a manifestation of State
sovereignty over natural resources."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T38688
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Grace Nagatami Susilo
"Tujuan Negara yaitu untuk memajukan kesejahteraan umum dan memajukan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Saat ini mengenai pertambangan mineral dan batubara diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Dewasa ini hampir di semua negara khususnya negara berkembang membutuhkan modal asing.
Modal asing itu merupakan suatu hal yang semakin penting bagi pembangunan suatu negara. Sehingga kehadiran investor asing nampaknya tidak mungkin dihindari. Yang menjadi permasalahan bahwa kehadiran investor asing sangat dipengaruhi oleh kondisi internal suatu negara, seperti stabilitas ekonomi, politik negara, penegakkan hukum.
Penanaman modal asing memberikan keuntungan kepada semua pihak, tidak hanya bagi investor saja, tetapi juga bagi perekonomian negara tempat modal itu ditanamkan serta bagi negara asal para investor. Dalam UU Minerba salah satu ketentuan yang dianggap cukup penting adalah mengenai kewajiban divestasi, yang diatur dalam Pasal 112. Divestasi adalah jumlah saham asing yang harus ditawarkan untuk di jual kepada peserta Indonesia.

The Purpose of Indonesia as a state is to promote the general welfare and promote social welfare for all the people of Indonesia. Currently the mineral and coal mining regulated by Law Number 4 Year 2009 Concerning Mineral and Coal Mining. Lately in all countries, especially developing countries need foreign capital.
Foreign capital is something that is increasingly important for the development of a country. So the presence of foreign investors is can’t be avoided. The presence of foreign investors is strongly influenced by the internal conditions of a country, such as economic stability, political state, the rule of law.
Foreign investment to the benefit of all parties, not only for investors but also for the economy of the country where the capital invested as well as for the country of origin of the investor. In the Mining Law one of the important regulation is about divestment, which is provided in Article 112. Divestment is the number of foreign shares should be offered to be sold to Indonesian participants.
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T38995
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fransisca Regar
"Ketenagakerjaan hingga saat ini selain memberikan dampak positif juga memberikan dampak negatif, yaitu masalah pemutusan hubungan kerja, masalah hak pekerja, masalah kepentingan pekerja, dan masalah antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. Oleh sebab itu terjadilah sengketa hubungan kerja. Dalam setiap proses sengketa hubungan kerja selalu berlarut-larut dan hasilnya selalu merugikan para pekerja. Mengingat kelemahan sistem pengadilan maka lebih baik jika sengketa hubungan kerja diselesaikan dengan alternatif penyelesaian sengketa. Oleh karena itu dilakukan penelitian dengan metode juridis normatif sehingga didapat hasil bahwa alternatif penyelesaian sengketa berupa arbitrase hubungan industrial merupakan salah satu penyelesaian sengketa yang efektif dan efisien serta menguntungkan berbagai pihak di masa yang akan datang. Pelaksanaan arbitrase hubungan industrial nyatanya belum berjalan dengan efektif dalam menangani sengketa kepentingan dan sengketa antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. Dalam praktiknya, masih banyak pelaku hubungan industrial yang masih belum percaya dengan kehadiran arbitrase hubungan industrial dan belum paham tentang arbitrase hubungan industrial itu sendiri.

Employment to date in addition to providing a positive impact also had a negative impact, namely the issue of termination of employment, workers' rights issues, issues of workers interests, and problems among trade unions / labor unions in one company. Therefore there was a labor relations dispute. In any process of labor relations disputes always protracted and the outcome is always detrimental to the workers. Given the weakness of the court system better working relationship if the dispute resolved by alternative dispute resolution. Therefore, research with normative juridical methods in order to get results that alternative dispute resolution such as arbitration is one of the industrial relations dispute resolution effectively and efficiently and benefit all parties in the future. Implementation of industrial relations arbitration in fact not operating effectively in handling disputes and conflicts between the interests of trade unions / labor unions in one company. In practice, there are many industrial relations actors who still do not believe the presence of industrial relations arbitration and arbitration do not understand about industrial relations itself."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39157
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Imran Ahmad
"Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 mengenai Pengujian UU 22/2001 menyebabkan BP Migas dibubarkan. BP Migas dinyatakan bertentangan dengan konstitusi karena eksistensinya menyebabkan negara kehilangan hak menguasai sumber daya migas. Penguasaan negara yang paling utama, dapat diwujudkan melalui negara melakukan pengelolaan langsung dengan menunjuk atau memberikan konsesi kepada perusahaan negara untuk menyelenggarakan pengelolaaan usaha hulu migas. SKK Migas kemudian dibentuk untuk menggantikan BP Migas.
Dalam penulisan ini Penulis akan mengacu pada Teori Hak Menguasai Negara dan pemikiran Konstitusi Ekonomi, untuk menganalisis dua pokok permasalahan menyangkut peran dan fungsi SKK Migas yang menggantikan tugas dan fungsi BP Migas dan bagaimana seharusnya bentuk pengaturan pengelolaan usaha hulu migas yang memperhatikan peran perusahaan negara. Metode Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan studi kepustakaan dan penelusuran peraturan perundang-undangan serta putusan hakim, kemudian dianalisis secara deskriptif.
Hasil dari penelitian ini dapat disimpulan bahwa peran dan fungsi SKK Migas pada dasarnya adalah sama dengan BP Migas yang telah dibubarkan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/20012. Hal tersebut terjadi karena SKK Migas diberi fungsi yang sama dengan tugas yang dimiliki oleh BP Migas, tugas BP Migas terdapat dalam Pasal 44 UU 22/2001 telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Dibentuknya SKK Migas untuk mengambil alih pengelolaan usaha hulu migas mengindikasikan tidak ada perubahan yang mendasar yang berkaitan dengan penguasaan negara terhadap sumber daya alam migas.
Pengelolaan sumber daya migas yang mengedepankan kepentingan nasional dan sejalan dengan pemikiran konstitusi ekonomi (Pasal 33 UUD 1945) adalah harus ada keberpihakan pemerintah pada Perusahaan Negara (BUMN) dengan menugaskan Perusahaan Negara untuk mengelola sumber daya migas. Dengan diberikannya kuasa pertambangan kepada Perusahaan Negara untuk mengelola sumber daya migas, Perusahaan Negara dapat bekerja sama dengan pihak ketiga. "
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39207
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erlangga Matin Julianto Putra
"Dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU No. 4 Tahun 2009) maka Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dihapuskan dan perlu penyesuaian melalui renegosiasi kontrak. Renegosiasi kontrak tidak mudah dilaksanakan karena banyak perusahaan yang belum sepakat mengenai hal-hal yang harus disesuaikan dengan UU No. 4 Tahun 2009. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimanakah sebenarnya status hukum KK? Serta bagaimana upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Pemerintah apabila pemegang KK tidak melakukan renegosiasi kontrak? Bentuk penelitian ini adalah yuridis normatif, jenis Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder, dapat merupakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Kesimpulannya adalah bahwa status hukum KK merupakan suatu konsesi, dan bukan perjanjian perdata murni pada umumnya. Perjanjian yang ada pada KK merupakan pelaksanaan hak dan kewajiban. Karena status hukum KK merupakan konsesi, maka pemerintah dapat menempuh beberapa upaya dalam renegosiasi kontrak apabila kontraktor tidak mau melaksanakan renegosiasi. Pertama, dengan jalan melanjutkan renegosiasi kontrak karya. Kedua, penghentian sepihak kontrak yang sudah ada dan kemudian memberikan kompensasi. Ketiga, menasionalisasi secara langsung tanpa adanya renegosiasi kontrak ataupun kompensasi. Keempat, jika renegosiasi tidak dapat berjalan maka Pemerintah Indonesia dapat menggugat ke arbitrase.

Law No. 4 of 2009 concerning Mineral and Coal Mining removed Contract of Work and Work Agreement for Coal Mining Enterprises, but the conditions specified in the contract should be adapt to Law No. 4 of 2009. Adjustment provisions contained in article Contract of Work with the Law No. 4 of 2009 was conducted through contract renegotiation. Contract renegotiation is not easy to do because many contractors are not agree on provisions that should be adapted to Law No. 4 of 2009. The question is how exactly the legal status of Contract of Work? And how the action which can be done by the Government when the contractors will not perform contract renegotiations to adapt to Law No. 4 of 2009? Design of this study is a normative juridical. Data types used in this study is a secondary data, it can be a primary legal materials, secondary legal materials, and tertiary legal materials. The conclusion is that the status of the Contract of Work is a concession and not purely civil agreement in general. Agreement in contract work is the implementation of rights and obligations. Because the status of the Contract of Work is a concession, the government could lead some action in contract renegotiations when the contractor did not perform renegotiations in order to adapt Law No. 4 of 2009. First, by way of extending the work contract renegotiations. Second, the unilateral termination of the existing contract and then give compensation. Third, direct nationalize without compensation or contract renegotiations. Fourth, if renegotiation can not run the Government of Indonesia can sue contractor to arbitration."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39184
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>