Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 53 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Diyah Dewi
"Semua negara memerlukan dana dalam rangka melaksanakan pembangunan nasional untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang diharapkan. Salah satu alternatif dana disamping dana yang berasal dari dalam negeri sebagai pendukung pembiayaan pembangunan tersebut adalah hutang luar negeri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara hutang luar negeri, aliran modal masuk dan pertumbuhan ekonomi.
Berlandaskan pada pemikiran bahwa hubungan antara variable-variabel tersebut bukanlah hubungan yang searah, maka dalam penelitian ini digunakan metode analisis persamaan simultan. Data yang digunakan adalah data tahunan dari tahun 1980 s.d 2003. Variabel - varibel endogen yang digunakan adalah debt service ratio, hutang luar negeri, aliran modal masuk dan produk domestik bruto. Variabel-veriabel eksogen atau predetermined variabel-nya adalah suku bunga luar negeri, eksport dan impor barang dan jasa, nilai tukar Rupiah terhadap USD, tabungan domestik, perbedaan tingkat suku bunga ( antara tingkat suku bunga domestik dengan tingkat suku bunga internasional) dan penyerapan dalam negeri. Dengan menggunakan metode estimasi 2SLS, dari hasil pengolahan data diperoleh hash sebagai berikut :
Pada persamaan pertama, seluruh tanda parameter yang dihasilkan sesuai dengan tanda yang dihipotesiskan. Dengan DSR sebagai variabel endogen terlihat bahwa variabel HLN mempunyai tanda positif, sedangkan XGS mempunyai tanda negatif. Uji parsial (Uji-t) terhadap variabel independen yang digunakan dengan level of significant atau a= 5% terlihat bahwa seluruh variabel penjelas yang digunakan signifikan. Koefisien determinasi (adjusted-R2) sebesar 0.724179 artinya sekitar 72,41% variasi DSR dapat dijelaskan oleh variabel-variabel penjelas dalam model.
Pada persamaan kedua, tanda parameter untuk variabel NTK dan SAV sesuai dengan tanda yang dihipotesiskan yaitu bertanda negatif. Sedangkan tanda koefisien untuk variabel AMM adalah positif, berarti tidak sesuai dengan tanda yang dihipotesiskan. Hai ini dapat dijelaskan bahwa menurut hipotesis dengan semakin meningkatnya aliran modal masuk akan mengurangi kebutuhan hutang luar negeri. Namun untuk kasus di Indonesia hal ini tidak terjadi, karena pada kenyataannya hutang luar negeri justru sebagai salah satu faktor penarik investor untuk menanamkan modalnya ke dalam negeri. Hal ini sejalan dengan adanya persepsi yang berkembang bahwa besarnya hutang luar negeri yang dikucurkan oleh negara-negara kreditur maupun lembaga internasional lainnya justru akan menjadi salah satu faktor penarik bagi para investor karena dianggap mencerminkan masih adanya kepercayaan dunia luar terhadap kondisi dalam negeri. Uji parsial (Uji-t) terhadap variabel independen yang digunakan dengan level of significant atau a= 5% terlihat bahwa seluruh variabel penjelas yang digunakan signifikan. Koefisien determinasi (adjusted-R2) sebesar 0.93260 artinya sekitar 93,26% variasi HLN dapat dijelaskan oleh variabel-variabel penjelas yang digunakan dalam model.
Pada persamaan ketiga, seluruh tanda koefisien sesuai dengan yang diharapkan. Untuk variabel perubahan PDB mempunyai tanda sesuai dengan yang diharapkan yaitu bertanda positif. Hal ini mengindikasikan bahwa dengan perubahan kenaikan PDB yang merupakan cerminan meningkatnya pertumbuhan ekonomi dalam negeri akan dapat menarik investor untuk menanamkan modalnya ke dalam negeri. Uji parsial (Uji-t) terhadap predetermined variabel dengan level of significant atau a= 5% terlihat bahwa seluruh variabel penjelas yang digunakan signifikan. Untuk variabel AMM(-1) mempunyai tanda koefisien positif. Koefisien determinasi (adjusted-R2) sebesar 0,822845 artinya sekitar 82,28% variasi AMM dapat dijelaskan oleh variabel-variabel penjelas yang digunakan dalam model.
Pada persamaan keempat, seluruh tanda parameter yang dihasilkan sesuai dengan yang dihipotesiskan yaitu positif untuk variabel DA, D(PDB(-1)) dan D(XGS) dan negatif untuk DSR dan IMP. Uji parsial (Uji-t) terhadap predetermined variabel dengan level of significant atau a= 5% terlihat bahwa seluruh variabel penjelas yang digunakan signifikan. Koefisien deterrninasi (adjusted-R2) sebesar 0,679818, artinya sekitar 67,98% variasi perubahan PDB dapat dijelaskan oleh variabel-variabel penjelas yang digunakan dalam model.
Dari pengolahan data dan analisis, dapat disimpulkan bahwa model serta variabel-variabel yang digunakan dapat menjelaskan hubungan timbal batik antara hutang luar negeri, aliran modal masuk serta pertumbuhan ekonomi."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2004
T13204
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indra Wijaya
"Kepulauan Seribu sebagai satu-satunya wilayah kepulauan yang ada di Jakarta memiliki banyak keunggulan, diantaranya potensi di bidang pariwisata, khususnya wisata bahari. Sebagai daerah yang terdiri dari gugusan pulau-pulau, banyak potensi dan daya tarik yang dimiliki dan belum tergali selama ini mulai dari kekayaan laut, keindahan alam serta adat istiadat masyarakat Kepulauan Seribu. Berkaitan dengan potensi yang dimilikinya maka sangatlah penting bagi Kepulauan Seribu untuk membuat rumusan strategi bagi pengembangan pariwisata, terutama wisata bahari dengan melibatkan seluruh stakeholders yang ada dalam rangka mewujudkan masyarakat yang sejahtera.
Penelitian ini mencoba untuk menawarkan sebuah rumusan strategi yang didasarkan pada usaha untuk mensinergiskan beberapa pandangan dan preferensi para penilai yang diasumsikan sebagai "the experts" dalam bidang pengembangan pariwisata, terutama wisata bahari. Penelitian ini juga dilatarbelakangi oleh beberapa penemuan empiris sebelumnya tentang strategi yang cocok untuk mengembangkan potensi pariwisata di Kepulauan Seribu. Beragamnya masukan mulai dari konsep perencanaan sampai pada rencana tindak (action plans) pengembangan wisata bahari di Kepulauan Seribu menjadikan rumusan strategi ini tambah kompleks dan rumit. Hal ini disebabkan oleh banyaknya stakeholders yang memiliki kepentingan terhadap upaya pengembangan wisata bahari.
Dengan menggunakan pendekatan Analytical Hierarchy Process (ABP), rumusan strategi pengembangan wisata bahari yang selanjutnya dijabarkan dalam pelaksanaan program-program dengan memperhatikan kepentingan stakeholders dapat ditentukan berdasarkan skala prioritas. Hasil yang diperoleh dari pendekatan AHP berdasarkan interaksi 3 kelompok stakeholders antara lain: (1) Masyarakat lokal lebih memprioritaskan program pendidikan dan pelatihan bagi masyarakat dibandingkan 3 program lainnya dengan bobot prioritas 0.329. (2) Sementara PEMDA lebih menitikberatkan pada program pengadaan berbagai informasi dan promosi obyek wisata dengan bobot 0.379. (3)Pihak swasta/investor menginginkan program pengadaan sarana dan prasarana penunjang pariwisata yang memadai didahulukan dari program lainnya. Bobot prioritasnya sebesar 0.432.(4) Secara keseluruhan, jika ketiga kelompok dipertautkan berdasarkan kepentingan masingmasing dan kelompok pelaksana program maka diperoleh hasil sintesis bahwa program pengadaan informasi dan promosi obyek wisata harus menjadi prioritas utama dibandingkan program lainnya, dengan bobot prioritas 0.299 dan indeks inkonsistensi keseluruhan yang dapat diterima yakni sebesar 0.01.
Adapun saran atau rekomendasi untuk penelitian selanjutnya yakni berkaitan dengan keterbatasan tools ini, walaupun pendekatan berdasarkan penilaian (jugments) "the experts" ini penting, namun pendekatan ini raja tidak cukup. Dibutuhkan pendekatan kuantitatif sebagai pembanding dari hasil sintesis ARP. Kedua pendekatan tersebut harus berjalan sinergis, sehingga preferensi the experts tidak terkesan mengutamakan subjektivitasnya belaka namun didasarkan pada pengamatan empiris serta analisis yang mendalam terhadap sebuah fenomena, khususnya tentang pariwisata bahari di Kepulauan Seribu."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
T13603
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Sihsetyaningrum
"Penelitian ini bertujuan untuk memberikan masukan kepada kebijakan Pemerintah di bidang perumahan. Tujuan penelitian antara lain :
1. Mengetahui perkiraan kebutuhan rumah (permintaan potensial) di wilayah Jabodetabek.
2. Mencari hubungan antara pengeluaran (konsumsi) rumah dengan income, ukuran keluarga dan harga rumah.
3. Mencari hubungan antara harga rumah dengan income, jumlah penduduk, laju pengangguran, PDRB, luas kawasan yang sudah digunakan untuk permukiman serta luas kawasan yang tidak digunakan untuk permukiman.
Untuk menjawab tujuan pertama digunakan pendekatan dengan rumus yang diperkenalkan oleh L. Chatterjee, sedangkan untuk menjawab tujuan kedua dan ketiga digunakan pendekatan analisis regresi berganda.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan antara lain :
1. Kebutuhan rumah di wilayah DKI Jakarta dari tahun ke tahun menunjukkan kecenderungan yang meningkat, sedangkan di wilayah Bodetabek kebutuhan rumah cenderung meningkat stabil. Total kebutuhan rumah untuk DKI Jakarta secara kumulatif dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2010 adalah sebanyak 1.825.101 unit rumah. Sedangkan kebutuhan rumah untuk wilayah Bodetabek secara kumulatif dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2010 adalah sebanyak 2.643.601 unit rumah yang terbagi atas wilayah Bogor dan Depok 1.046.361 unit, wilayah Tangerang 936.043 unit dan wilayah Bekasi 661.197 unit. Kebutuhan rumah rata-rata per tahun untuk wilayah DKI Jakarta menunjukkan peningkatan yang sangat tinggi yaitu dari 106.898 unit rumah per tahun pada periode tahun 2000-2002 menjadi 188.051 unit rumah per tahun pada periode tahun 2003-2010. Kebutuhan rumah rata-rata per tahun untuk wilayah Bogor dan Tangerang menunjukkan peningkatan yang sangat kecil yaitu hanya sekitar 4 ribu unit rumah per tahun antara kedua periode waktu tersebut. Sedangkan untuk wilayah Bekasi justru terjadi penurunan kebutuhan rumah rata-rata per tahun pada kedua periode waktu tersebut.
2. Hasil perumusan model pengeluaran untuk rumah di wilayah Bodetabek tidak sepenuhnya sesuai dengan hipotesa awal karena pengeluaran (konsumsi) rumah hanya dipengaruhi oleh income dan harga rumah secara positif dan tidak dipengaruhi oleh ukuran rumah tangga. Perumusan model pengeluaran untuk rumah dengan pembagian wilayah atas Bogor, Tangerang dan Bekasi maupun Bodetabek secara keseluruhan, menghasilkan penaksiran model yang tidak banyak berbeda kecuali untuk wilayah Tangerang. Hal ini terlihat dari nilai elastisitas pendapatan dan elastisitas harga rumah dalam model. Berdasarkan nilai elastisitas pendapatan yang berkisar antara 0,1 sampai dengan 0,5 menunjukkan bahwa rumah masih merupakan barang kebutuhan pokok bagi masyarakat di Bodetabek.
3. Hasil penelitian model harga rumah tidak sepenuhnya sesuai dengan hipotesa awal karena harga rumah dari hasil penelitian hanya dipengaruhi oleh income, jumlah penduduk dan luas kawasan yang sudah digunakan untuk permukiman. Sedangkan variabel bebas PDRB, luas kawasan yang tidak digunakan untuk permukiman dan laju pengangguran tidak mempengaruhi harga rumah. Nilai koefisien regresi semua variabel bebas pada model harga rumah RS tipe 36/72 lebih besar daripada nilai koefisien regresi semua variabel bebas pada model harga rumah RSS tipe 21/60. Hal ini menyatakan bahwa semakin mahal harga sebuah rumah, pengaruh dari faktor pendapatan, jumlah penduduk dan luas kawasan yang sudah digunakan untuk permukiman semakin besar.
Rekomendasi kebijakan yang penting dari hasii penelitian antara lain :
1. Pembangunan rumah perlu terus dilakukan di sekitar wilayah DKI Jakarta untuk memenuhi kebutuhan rumah di DKI Jakarta yang terus meningkat. Oleh karena ketersediaan lahan di DKI Jakarta yang sangat terbatas, perlu dikembangkan pembangunan rumah vertikal (rumah susun).
2. Pembangunan rumah juga perlu ditingkatkan di wilayah Bodetabek untuk menampung limpahan penduduk dari DKI Jakarta. Di wilayah Bogor, karena stok rumah yang belum mencapai 100% jika dibandingkan jumlah rumah tangga, perlu lebih didorong untuk mengejar ketertinggalan dari wilayah Tangerang dan Bekasi dengan membangun lebih banyak rumah di wilayah Bogor. Konsentrasi pembangunan di Bogor juga direkomendasikan berdasarkan penelitian model pengeluaran untuk rumah di Bogor yang menghasilkan elatisitas pendapatan yang terkecil.
3. Dari hasil penelitian mengenai harga rumah di Bodetabek, disarankan supaya Pemerintah bersama swasta lebih banyak membangun rumah tipe yang lebih kecil (RS dan RSS) daripada tipe menengah ke atas. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa semakin mahal harga sebuah rumah, pengaruh dari income, jumlah penduduk dan luas kawasan yang sudah dibangun untuk permukiman semakin besar."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
T15286
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kholid Novianto
"Sejak diundangkannya UU otonomi daerah, terjadi ledakan pemekaran kabupaten. Pada tahun 1998 terdapat 292 kabupaten. Jumlah ini melonjak menjadi 734 kabupaten/kota pada tahun 2004. Sebagian besar pemekaran kabupaten terjadi di luar ]awa. Khusus untuk Provinsi Riau, terdapat empat kabupaten yang memekarkan diri pada tahun 1999.
Permasalahan utama studi ini adalah 1) apakah pemekaran mempengaruhi berubahnya sektor basis dan nilai pengganda pendapatan regional. Untuk menjawab permasalahan ini, studi ini mengambil hipotesis: Semakin kecil luas daerah maka sektor basis semakin beragam.
Untuk menjawab permasalahan dan menguji hipotesis tersebut, studi ini menggunakan pendekatan economic base model. Dalam pendekatan ini, perekonomian disederhanakan menjadi dua sektor: basis dan non-basis.
Hasil studi memperlihatkan bahwa
(1) Hipotesis studi ini tidak terbukti pada semua kabupaten. Hipotesis terbukti di Kabupaten Indragiri Hulu, Kampar dan Bengkalis. Indragiri Hulu dan Kampar sebelum pemekaran hanya mempunyai 2 sektor basis sedangkan Bengkalis mempunyai 3 sektor basis. Ketiga kabupaten ini mengalami penarnbahan sektor basis setelah pemekaran, menjadi 4 sektor. Kendati tidak bisa diukur dengan masa sebelumnya, kabupaten pemekaran Kuantan Sengingi, Rokan Hulu, Dumai dan Karimun mempunyai sektor basis sekurang-kurangnya empat sektor. Hal ini mendukung kebenaran hipotesis studi.
(2) Sedangkan Kepulauan Riau membantah hipotesis pertama. Setelah pemekaran, sektor basis Kepulauan Riau semakin menurun. Dari enam sektor pada masa sebelum pemekaran menjadi 2 sektor sesudah pemekaran. Kabupaten Pelalawan, Siak, Rokan Hilir, hanya mempunyai dua sektor basis. Sedangkan Natuna hanya mempunyai tiga sektor basis. Terhadap empat kabupaten ini, kendati tidak bisa diukur dengan masa sebelumnya, memperlihatkan rendahnya sektor basis.
(3) Penambahan sektor basis ternyata tidak diikuti peningkatan nilai pengganda. Kabupaten induk yang mengalami peningkatan nilai pengganda adalah Indragiri Hulu dan Kepulauan Riau. Sedangkan yang mengalami penurunan nilai pengganda adalah Kampar dan Bengkalis. Adapun kabupaten hasil pemekaran mempunyai nilai pengganda yang beragam. Paling besar adalah Pelalawan (240) dan paling kecil adalah Natuna (1,15)."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2006
T17138
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Evron Asrial
"ABSTRAKSI
Ptnglitlan ini berlangswg dl kawasan pertambakan udang Kecamatan Stippa Kabupattn Pinrang selama Mei - Juli 2001. Tujuannya adalah untuk mengetahuipermasalahan dan potensi produksi budidaya udang w/«efcj/Tiger Prawn (Penaeus monodon), serta untuk membantu pemerintah daerah setempat merencanakan pembangunan masyarakat desa melalui pengembangan pertambakan udang sebagai alternatif kegiatan perekonomian yang handal, stabil dan sinambimg bagi masyarakat desapantai.
Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder dalam bentuk kitantitatif dan kualitatif. Pengumpulan data primer menggunakan metoda simple random sampling melalui wawancara terhadap petani tambak udang selaku responden sebanyak 82 orang (n = 82). Analisis data primer mengunakan metoda SWOT, dan Multiple Regression and Correlation
Hasil analisis SWOT memtnjukkan bahwa stakeholder utama untuk meningkatkan PDRB tambak udang adalah Dinas Eksphrasi Laut dan Perikanan Kabupaten Pinrang, Rencana strategisnya berupa Peningkatan Nilai Produksi (total revenue) tambak udang rakyat melalui Pembentukan Sentra Perekonomian desa pantai. Untuk itu, perlu diupayakan peningkatan dan kesinambungan produksi maupnn hargajual udang tambak.
Analisis multiple regression menghasilkan model pendugaan kapasitas produksi tambak udang rakyat (dependent variable) yang dipengaruhi oleh 6 (enam) variabel bebas (explanatory variables) yang dapat dikendalikan. Variabel-variabel tersebut terdiri dari tinggi pematang, tinggi air tambak, jumlah tebar benur, pemakaian urea & TSP, konsumsi pakan, dan tinggi ganti air. Analisis multiple correlation memperlihatkan nilai R2 - 0,693 yang berarti 69,3% variasi Y dapat dijelaskan oleh model, sehingga model dianggap cukup untuk membuatpendugaan/peramalan (forecasting).
OS423
Gwa meningkatkan PDRB tambak udang, disarankan menjadikan kawasan pertambakan udang sebagai sentra perekonomian desa pantai dengan mengupayakan agar tambak udang rakyat menghasilkan output yang sinambimg dan menguntungkan. Program-program yang perlu dilakukan untuk itu adalah (I) penyusunan, uji coba, validasi dan sosialisasi model peningkatan nilai volume produksi tambak udang, (2) peningkatan kemampuan SDM (PPL dan petani tambak), (3) perencanaan dan pembangunan fasilitas produksi dan fasilitas ekonomi, (4) pembentukan perseroan terbatas usaha/bisnis milik bersama, dan (5) peningkatan modal kerj a petani tambak melalui fasilitas perbankan.
"
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2001
T228
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Dhanwantara
"Penulisan materi ini dilakukan dengan tujuan untuk menguji pengaruh nilai tukar rupiah, produk domestik bruto, pengeluaran pemerintah, investasi dan jumlah uang beredar baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang dan meramalkan pengaruh perubahan variabel makro terpilih terhadap transaksi berjalan.
Dalam penelitian ini akan diterapkan model regresi dinamik Error Correction Model (ECM). Model ECM dipandang sebagai salah satu model dinamik yang banyak diterapkan dalam studi empiris, terutama sejak kegagalan Partial Adjusment Model (PAM) dalam tahun 1970-an menjelaskan perilaku dinamik Money Demand berdasarkan pendekatan Buffer Stock (Insukindro,1999). Model ini memiliki beberapa kelebihan, antara lain: (1) mampu meliput lebih banyak variabel dalam menganalisis fenomena ekonomi jangka pendek dan jangka panjang; (2) mengkaji konsistensi model empirik dengan teori ekonomi; (3) PAM hanyalah bentuk khusus dari ECM; serta (4) dapat menjelaskan mengapa pelaku ekonomi menghadapi adanya disequilibrium, dan karenanya perlu melakukan adjustment (Thomas, 1997:377-378, Insukindro, 1999, Gujarati, 2003:824).
Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa: 1) Surplus transaksi berjalan yang terjadi di Indonesia setelah periode krisis tahun 1997 tidak mencemminkan kondisi perekonomian yang semakin membaik. Peningkatan transaksi berjalan yang cukup besar karena meningkatnya harga beberapa produk migas dan penjualan produk non migas yang berasal dari hasil sumber daya alam yang menjadi komoditi unggulan Indonesia di pasar intemasionai; dan 2) Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel yang bisa menerangkan pengaruhnya terhadap transaksi berjalan adalah variabel LPDB dan LI yaitu variabel yang menerangkan pengaruh jangka panjang terhadap transaksi, berjalan, sedangkan untuk jangka pendek tidak satupun variabel berpengaruh terhadap transaksi berjalan.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
T17146
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Ridwan
"Indonesia is the world 's largest archntelago with at population of roughly 224
million (Jubf 200 estimate), make it the world 's fourth most populous nation.
Indonesia people have diferent character and patient in communihi We as
developing country, and it grown in entirely area from province to region.
'lhe progressive growth in this decade which possibly have different perception
of occurrence and the developing as the real obligation involved if each region,
central government as decision maker of policy and planning
The diferent condition in each region, influences the pattern and the form of
development to appbi in each region. Ihe policy which succesgiillv applied in one
region is not necessary as successful region to others. U' we would develop one
region, therefore the police should suitable regard the region condition such as
problems, needs and potential.
A thorough research to know the potential and the prospect ofa certain district
should be undertaken. the final result of the research has to be provided to the
pertinent decision makers.
The district of Bekasi has to undertake similar research. As a strategic region
located in the border of Jakarta, Bekasi with its excellent iiyrastructure and
transportation could be _hirther developed as an advanced and integrated industrial
business district.
Recently, there are five industrial business district in the region and oj"course_
there wi ll be more in line with jiirther development. All of these potentials which must
be better studied and research. F nrther, the research also tries to answer .several
aspects of Belrasi region development, and views on which .sectors need to be better
developed and handle seriouslv. Evenlualbf, the results of the research would be put
as o henclnnark and tools of .strategic decision making process."
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2001
T6127
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Victor Winarto
"Penelitian dan penulisan tesis ini bertujuan untuk melihat perkembangan kesenjangan/ disparitas pendapatan dan mengetahui faktor-faktor yang menjadi penyebab kesenjangan yang terjadi di Kabupaten Klaten. Untuk mengkaji hal tersebut di atas, penelitian ini menggunakan metode anaiisis deskriptif berdasarkan data ekonomi dl Kabupaten Klaten dan analisis dengan indeks Williamson dan indeks Theils. Berdasarkan hasil perhitungan dengan indeks Williamson, selama kurun waktu tahun 1993-2002 terjadi disparitas pendapatan di Kabupaten Klaten. Kondisi ini diperkirakan karena adanya pemusatan kegiatan ekonomi khususnya industri dan perdagangan di beberapa wilayah kecamatan di Kabupaten Klaten, terutama yang berada di wilayah Tengah yang dilalui oleh jalur transportasi dan perdagangan Yogya-Solo. Sektor industri dan perdagangan di wilayah tersebut lebih berkembang apabila dibandingkan dengan wilayah kecamatan yang lain, sehingga menimbulkan kesenjangan pendapatan. Kesenjangan semakin meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan semakin ramainya lalu lintas perdagangan di jalur tersebut. Di samping itu faktor investasi juga mempengaruhi kesenjangan. Alokasi investasi yang berbedu-beda antar wilayah di Kabupaten Klaten semakin memperbesar kesenjangan pendapatan.
Sementara itu hasil perhitungan disparitas pendapatan menurut wilayah menunjukkan bahwa disparitas pendapatan di wilayah Utara setiap tahunnya selama kurun waktu tahun 1993-2002 selalu lebih rendah apabila dibandingkan dengan wilayah Tengah dan Selatan. Dengan kata lain tingkat pendapatan/kesejahteraan di wilayah Utara lebih merata. Kondisi ini diperkirakan karena hampir semua kecamatan di wilayah Utara bergantung pada sektor pertanian dan perdagangan hasil-hasil pertanian. Sehingga PDRB yang diperoleh kecamatan-kecamatan di wilayah Utara dari dua sektor tersebut relatif sama/merata dan tidak menimbulkan kesenjangan. Sedang di wilayah Tengah disparitas pendapatan terjadi sepanjang tahun dan cenderung semakin besar. Kondisi ini diperkirakan akibat tumbuhnya sektor industri, perdagangan dan jasa di sebagian kecamatan di wilayah Tengah. Pendapatan cenderung lebih tinggi pada kecamatan-kecamatan yang menjadi lokasi industri, perdagangan dan jasa. Sementara iW di wilayah Selatan kesenjangan pendapatan juga terjadi sepanjang tahun 1993-2002, namun trennya cenderung fluktuatif.
Hasil perhitungan disparitas pendapatan menurut sektor menunjukkan bahwa terjadi disparitas pendapatan di semua sektor di Kabupaten Klaten. Disparitas pendapatan paling besar terjadi tahun 1993 pada sektor listrik, gas dan air bersih, yaitu dengan nilai CVw sebesar 1,9634. Kondisi ini diperkirakan karena pada tahun tersebut sektor listrik, gas dan air bersih belum berkembang merata di semua wilayah kecamatan di Kabupaten Klaten. Bahkan hingga saat ini instalasi gas dan air bersih belum dapat menjangkau seluruh wilayah kecamatan. Sebaliknya disparitas pendapatan paling kecil terjadi tahun 1997 pada sektor penggalian dan sektor konstruksi. Kondisi ini diperkirakan karena pada saat krisis ekonomi, sektor konstruksi mengalami stegnasi akibat mahalnya harga bahan-bahan bangunan. Sehingga terhentinya pertumbuhan sektor konstruksi berimbas pada sektor penggalian. Kesenjangan rata-rata dari masing-masing sektor adalah sektor pertanian dengan nilai CVw sebesar 0,3469; sektor penggalian (CVw = 1,2561), sektor industri (CVw = 0,3975), sektor listrik, gas dan air bersih (CVw = 0,9896), sektor konstruksi (CVw = 0,6216), sektor perdagangan (CVw = 0,4011), sektor komunikasi (CVw = 0,9899), sektor keuangan (CVw = 1,4318) dan sektor jasa (CVw = 1,1203).
Hasil perhitungan disparitas dengan indeks Theils (Tw dan Tb) menunjukkan bahwa selama kurun waktu 1993-2002 terjadi disparitas pendapatan di Kabupaten Klaten. Disparitas pendapatan di Kabupaten Klaten mempunyai tren yang semakin besar dari tahun ke tahun. Selama tahun 1993-2001 faktor antar wilayah (inter region/ Tb)Iebih dominant sebagai penyebab terjadinya disparitas dibandingkan faktor di dalam wilayah(intra region/ Tw). Sedang pada tahun 2002 pengaruh faktor di dalam wilayah (infra region/ Tw) dan antar wilayah (inter region/ Tb) hampir sama besar sebagai penyebab terjadinya kesenjangan/disparitas pendapatan di Kabupaten Klaten."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
T17144
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
A. Faroby Falatehan
"Kota Bogor dikenal sebagai "Kota Sejuta Angkutan Kota", ini terjadi karena banyaknya angkutan kota yang memadati jalan-jalan di Kota Bogor dan selalu menimbulkan kemacetan. Kapasitas jalan yang ada di Kota Bogor telah mendekati batas ambang sehingga tidak memadai lagi. Seperti batas ambang pada ruas-ruas jalan (VCR) di daerah Jalan Raya Pajajaran dengan nilai VCR berkisar antara 0,40 hingga 0,74. Sedangkan batas ambang yang laik dibawah 0,5. Pada tahun anggaran 2004 penataan transportasi menyerap biaya sebesar Rp 19.294.947.000,00 yang bersumber dari APBD Kota Bogor sebesar Rp 10.166.947.000,00 yang terdiri dari belanja operasional Rp 4.916.335.000,00 dan belanja modal Rp 5.250.612.000,00 dan dari APBD provinsi sebesar Rp6.730.000.000,00 serta dari APBN sebesar Rp 2.398.000.000,00.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mencari penyebab kemacetan lalu lintas di Kota Bogor dan menemukan kebijakan untuk mengatasi kemacetan lalu lintas di Kota Bogor Pada penelitian ini, pengolahan data menggunakan AHP (Analitic Hierarchy Process), sehingga respondennya adalah mereka yang dikatakan ahli dalam mengkaji kebijakan mengatasi kemacetan lalu lintas di Kota Bogor. Narasumber berasal dari BAPEDA, Dinas Lalu Lintas dan ]alas Raya, DPRD, LSM, polisi, masyarakat, supir dan Ahli Pengembangan Wilayah dan Transportasi di Kota Bogor. Masing-masing satu orang.
Berdasarkan referensi dan hasil wawancara, maka struktur hirarki diawali dengan tujuan umum, kemudian sumber kemacetan, pelaku penyebab kemacetan, kendalanya dan alternatif kebijakan. Sumber kemacetan lalu lintas adalah keterbatasan prasarana lalu lintas, jumlah kendaraan yang melebihi kapasitas, tingginya perkembangan dan aktivitas penduduk. Para pelaku penyebab kemacetan di Kota Bogor adalah pemerintah Kota Bogor, pengusaha, pedagang kaki lima, supir angkutan kota, petugas lalu lintas dan pengguna jalan. Dengan kendala: koordinasi antara Pemerintah Kota Bogor dan Pemerintah Kabupaten Bogor, tataruang, keuangan dan penegakkan hukum. Sedangkan alternatif kebijakannya adalah kerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Bogor, penataan kawasan penting, meningkatkan prasarana lalu lintas, pengaturan trayek, penegakkan disiplin, dan mengurangi angkutan kota atau/dan penggantian moda.
Hasil penggalian opini ahli, kemudian diolah menggunakan Expert Choice 2000 menyimpulkan bahwa sumber utama dari kemacetan di Kota Bogor adalah jumlah kendaraan yang melebihi kapasitas. Hal ini dapat terjadi karena dari tahun ke tahun jumlah kendaraan di Kota Bogor selalu meningkat, baik itu kendaraan roda dua, kendaraan umum maupun kendaraan penumpang umum. Pelaku penyebab kemacetan di Kota Bogor, adalah pemerintah. Hal ini dikarenakan kurang ketatnya Pemerintah Kota Bogor dalam penegakkan aturan, seperti membatasi perizinan jumlah kendaraan yang ada di Kota Bogor, karena setiap tahun jumlah kendaraan meningkat. Hal lainnya adalah pemberian izin untuk kawasan perdagangan, yaitu terpusatnya fasilitas perdagangan di tengah kota.
Kendala utama kemacetan di Kota Bogor adalah penegakkan hukum. Hal ini dapat dilihat di jalanan, seperti pengemudi tidak disiplin menurunkan/menaikkan penumpang tidak pada tempatnya, berhenti di tempat terlarang, pengguna jalan tidak disiplin, naik/turun di tempat terlarang, pekerja informal/kaki lima yang tidak tertib, penyalahgunaan wewenang oleh petugas, konsistensi penegakkan hukum, tidak jelasnya sanksi bagi yang melanggar, kurangnya perangkat hukum, aturan yang ada tidak jelas mengatur sehingga perlu dipertegas dan petugas penegak hukum dilapangan kurang.
Prioritas utama untuk mengatasi kemacetan di Kota Bogor adalah pengurangan angkutan kota dan/atau penggantian moda. Hal ini karena jumlah kendaraan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan Kebijakan berikutnya dengan nilai yang relatif dekat yaitu kebijakan pengaturan trayek, artinya kebijakan utama tersebut dapat dilaksanakan dengan di-back up kebijakan pengaturan trayek, jika tidak maka kebijakan utama tidak akan optimal. Karena ada beberapa daerah yang dilewati oleh lebih dari satu trayek. Kebijakan berikutnya adalah memperbaiki prasarana lalu lintas, kerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Bogor, penegakkan disiplin dan penataan kawasan penting. Berdasarkan analisis sensitivitas dari jumlah kendaraan yang melebihi kapasitas, urutan prioritas kebijakan tidak berubah, yaitu prioritas utama adalah pengurangan angkutan kota dan/atau penggantian moda."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
T20310
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aziz Kharie
"Tujuan dibentuknya Propinsi Maluku Utara yang tercantum dalam UU No,46 tahun 1999 diantaranya adalah untuk pembangunan, pemerintahan dan kesejahteraan masyarakat masyarakat daerah. Demikian juga dengan amanat UU No 32 Tabun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sebagai propinsi hasil pemekaran dan propinsi Maluku, dimana pemerintah daerah dituntut harus membangun infrastruktur dan suprastruktur daerah, dalam menunjang aktivitas publik dan investasi daerah. Namun dalam kondisi baru mempersiapkan sarana penunjang pemerintahan, tiba-tiba daerah ini diperparah dengan adanya konflik sosial (kemanusiaan) yang melanda Kabupaten Kota di Wilayah tersebut. Kondisi Maluku Utara yang terpuruk, di tambah belum banyaknya penelitian tentang investasi daerah, maka mendorong penulis untuk melakukan penelitian dalam bentuk karya tulis (tesis), dengan tujuan untuk melakukan analisa terhadap beberapa variabel yang dipandang dapat mempengaruhi daya tarik investasi daerah Maluku Utara. Untuk mengkaji determinan daya tarik investasi, dan menentukan rangking daerah dipakai sarana pendekatan The Analytical Hierarchy Process (AHP).
Maksud dalam penelitian ini, adalah menentukan prioritas variabel yang mempengaruhi daya tarik investasi di Maluku Utara yang secara teoritis dapat mempengaruhi minat investasi. Kemudian membuat rangking atau urutan prioritas daya tarik investasi sesuai variabel-variabel tersebut dan rangking secara umum. Determinan Daya Tarik Investasi di Maluku Utara, diperoleh prioritas, kriteria Keamanan daerah menempati urutan pertama dengan nilai (0,213), kemudian kedua Kelembagaan Daerah sebesar (0,198), ketiga Tenaga Kerja dan Produktivitas sebesar (0,151), kemudian berturut-turut Perekonomian Daerah sebesar (0,140) dan Kepabeanan (0,116). kemudian Infrastruktur Daerah sebesar (0,107), dan yang terakhir Variabel Lain sebesar(0,076). Urutan Daya Tarik Investasi di Daerah secara umum untuk Kabupaten/Kota, maka Kota Ternate menempati urutan pertama dengan niiai tertinggi (0,192), urutan kedua Kabupaten Halut sebesar (0,143), urutan ketiga Kabupaten Halsel sebesar (0,141), urutan keempat Kota Tidore sebesar (0,123), urutan kelima Kabupaten Kep. Sula sebesar (0,122). Urutan keenam Kabupaten Halbar dengan nilai sebesar (0,093), urutan ketujuh Kabupaten Haiteng sebesar (0,092), urutan kedelapan Kabupaten Haltim sebesar (0,091)."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
T20314
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6   >>