Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 45 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rafi Naufal Ghiffari
"Perbuatan penggelapan premi oleh agen asuransi adalah suatu perbuatan melawan hukum yang melanggar kepentingan individu dan menimbulkan kerugian kepada tertanggung atau pemegang polis. Secara perdata, terhadap kerugian yang timbul dapat dimintai pertanggungjawaban baik secara langsung kepada agen asuransi maupun secara pengganti kepada prinsipal dari agen yaitu perusahaan asuransi. Skripsi ini kemudian membahas 2 (dua) pokok permasalahan yakni bagaimana konsep perbuatan penggelapan premi dalam perkara perdata dan bagaimana mekanisme dan bentuk pertanggungjawaban terhadap perbuatan penggelapan premi. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis-normatif, dengan menggunakan sumber-sumber hukum secara tertulis dan didukung dengan analisis putusan pengadilan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perbuatan penggelapan premi dalam perkara perdata dipandang sebagai suatu perbuatan yang melanggar kepentingan individu seseorang dan menimbulkan kerugian, dimana perbuatan tersebut memenuhi rumusan perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1365 KUHPerdata sehingga dapat dimintai pertanggungjawaban. Adapun mekanisme dan bentuk pertanggungjawabannya, perusahaan asuransi dapat dimintakan pertanggungjawaban atas penggelapan premi yang dilakukan oleh agen asuransi.

The act of embezzling premiums by insurance agents is an unlawful act that violates individual interests and causes losses to the insured or policy holder. From the perspective of civil law, the resulting losses can be held accountable either directly to the insurance agent or in lieu of the principal from the agent, namely the insurance company. This thesis then takes 2 (two) main issues, namely how is the concept of premium embezzlement in civil law cases and how is the mechanism and form of accountability for premium embezzlement. The research method used is normative juridical, by using written legal sources and supported by an analysis of a court judgment. The conclusions obtained are, the act of embezzling premiums in civil law cases is seen as an act that violates a person's individual interests and causes losses, where the act fulfills the formulation of an unlawful act in Article 1365 of the Indonesian Civil Code which means the perpetrators can be held accountable. As for the mechanism and form of accountability, insurance companies can be held liable for the act of premium embezzlement conducted by insurance agents."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mhd Fadil
"Perbuatan hukum penerima hibah setelah terlaksananya hibah sebaiknya tidak bertentangan dengan Pasal 1688 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata karena adanya hak bagi pemberi hibah untuk melakukan penarikan kembali dengan mengajukan permohonan pembatalan kepada pengadilan. Dengan adanya suatu putusan pengadilan yang menyatakan hibah batal maka objek hibah tersebut akan kembali menjadi milik pemberi hibah. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kewenangan notaris untuk membatalkan akta hibah yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah dan tanggung jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah penerima protokol terhadap pembatalan akta hibah. Dengan menggunakan metode penelitian doktrinal yang mengacu kepada peraturan perundang-undangan dan literatur-literatur yang ada serta tipologi penelitian yang preskriptif, penelitian menghasilkan bahwa notaris tidak memiliki kewenangan sedikitpun untuk membatalkan akta hibah yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah karena kedua pejabat tersebut memiliki payung hukum yang berbeda. Selain itu sebaiknya hakim mengubah redaksional putusannya. Di samping itu, Pejabat Pembuat Akta Tanah penerima protokol berkewajiban hanya menyimpan dan memelihara protokol sehingga apabila diperlukan oleh masyarakat dapat dengan mudah ditemukan. Disarankan bagi para hakim dan calon hakim agar lebih mendalami ilmu kenotariatan supaya dapat membedakan kewenangan masing-masing pejabat tersebut. Disarankan juga bagi Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional untuk mengatur mengenai jangka waktu penunjukan pejabat penerima protokol.

The legal actions taken by the grantee after the grant has been executed should not contradict Article 1688 of the Civil Code because the grantor has the right to revoke the grant by filing a cancellation request to the court. With a court decision that cancelled the grant, the granted object will revert to the ownership of grantor. This study aims to analyze the authority of notary to annul a grant act made by land deed official and the responsibilities of the Land Deed Official who received the protocol for a cancelled grant. Using a doctrinal research method based on legislation and existing literature as well as using prescriptive typology, the research concludes that a notary does not have the authority to cancel grant act made by the Land Deed Official because these two officials operate under different legal frameworks. Furthermore, it is suggested that the judges should amend the wording of their decision to state that grant act is null and void. Additionally, the Land Deed Official as the protocol recipient is only obliged to store and maintain the protocol that easily accessed when needed by the public. It is advised for judges and prospective judges to deepen their knowledge of notarial law to distinguish the authority of each official. The Ministry of Agrarian and Spatial Planning/National Land Agency is also advised to regulate the appointment period of the protocol recipient official."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andira Permata Sari
"Ketentuan dalam UU Pokok Agraria menyatakan bahwa tanah dengan status hak milik hanya dapat dimiliki oleh Warga Negara Indonesia. Namun sebagaimana yang terjadi dalam Putusan Mahkamah Agung No. 1208 PK/PDT/2022, Orang Asing ternyata menggunakan konsep pinjam nama (nominee arrangement) untuk dapat memiliki tanah hak milik di Gianyar, Bali. Konsep tersebut dituangkan ke dalam bentuk perjanjian yaitu Surat Pernyataan dan Perikatan yang dibuat di hadapan notaris. Penelitian ini dilakukan dengan mengangkat 2 (dua) rumusan masalah, yaitu kedudukan hukum penggunaan pinjam nama (nominee arrangement) yang dibuat dalam bentuk perjanjian di hadapan notaris dan kesesuaian pertimbangan majelis hakim dalam menggunakan Surat Edaran Mahkamah Agung sebagai dasar hukum penggunaan pinjam nama (nominee arrangement). Penelitian ini dilakukan berdasarkan metode doktrinal dengan
menggunakan data sekunder yang didukung oleh data primer. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsep pinjam nama (nominee arrangement) tidak diatur dalam perundang-undangan di Indonesia, sehingga untuk menentukan kedudukan hukumnya menggunakan aspek perikatan dan perjanjian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan aspek larangan pengasingan tanah dalam UU Pokok Agraria. Berdasarkan kedua peraturan tersebut konsep penggunaan pinjam nama (nominee arrangment) dianggap melanggar Pasal 1337 KUHPerdata dan Pasal 26 ayat (2) UU Pokok Agraria. Sedangkan terhadap notaris yang turut serta membuat akta autentik terkait pinjam nama telah tidak memenuhi kewajibannya dalam UU Jabatan Notaris dan Kode Etik Profesi untuk bersikap cermat dan menjaga kepentingan para pihak. Selain itu, penggunaan Surat Edaran Mahkamah Agung sebagai dasar hukum penggunaan pinjam nama (nominee arrangement) oleh majelis hakim sesuai dengan putusan-putusan pengadilan terdahulu yang memutuskan bahwa kepemilikan hak milik atas tanah tetap menjadi milik WNI sebagai pihak yang namanya tercantum dalam sertipikat. Namun ketentuan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut berbeda dengan akibat hukum yang diatur dalam Pasal 26 ayat (2) UU Pokok Agraria.

Agrarian Law (UU Pokok Agraria) stated that land with freehold status can only be owned by Indonesian citizens. However, as happened in Supreme Court Decision No. 1208 PK/PDT/2022, foreigners apparently use the concept of nominee arrangement to be able to own freehold land in Gianyar, Bali. This concept made in the form of a notarial agreement. This research was carried out by raising 2 (two) research questions, namely the legal position of nominee arrangements made in the form of a notarial agreement and the suitability of the panel of judges' considerations in using Supreme Court Circular (Surat Edaran Mahkamah Agung) compared to Agrarian Law (UU Pokok Agraria) as the legal basis for nominee arrangements. This research employs doctrinal legal methods using secondary data and alo supported by primary data. The results of the research shows that the concept of nominee arrangement is not regulated in Indonesian law, so to determine its legal position need to use the agreement aspect in the Civil Code (KUHPerdata) and the prohibition aspect of land alienation in the Agrarian Law (UU Pokok Agraria). Based on these two regulations, the concept of using nominee arrangements is considered to violate Article 1337 of the Civil Code (KUHPerdata) and Article 26 paragraph (2) of the Agrarian Law (UU Pokok Agraria). Meanwhile, notaries who participate in making authentic deeds related to nominee arrangements have not fulfilled their obligations in the Notary Law and the Professional Code of Ethics to be careful and safeguard the interests of the parties. Apart from that, the use of Surat Edaran Mahkamah Agung as a legal basis for determining the subject who has the right to own land in a nominee arrangement case by a panel of judges is correct. However, the provisions in the Supreme Court Circular (Surat Edaran Mahkamah Agung) are different from the legal consequences regulated in Article 26 paragraph (2) of the Agrarian Law (UU Pokok Agraria)."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deasy Susilawati
"Kelalaian pemberian sertipikat hasil pendaftaran tanah sistematis lengkap yang masih memiliki catatan pada risalah data yuridis merupakan kelalaian yang dapat menimbulkan masalah dikarenakan tidak sesuai dengan tujuan diadakannya pendaftaran tanah tersebut yaitu memberikan pelindungan hukum terhadap pemegang hak atas tanah dan calon kreditur dan menjadi tanggungjawab yang dipikul oleh BPN. Penelitian ini menganalisis bagaimana pelindungan hukum bagi pembeli tanah sertipikat hasil kegiatan PTSL  yang tanahnya tersebut juga dijaminkan berdasarkan girik di bank dan pertanggungjawaban  hukum BPN terhadap sertipikat hasil PTSL yang terbit tidak sesuai dengan prosedur yang diatur dalam peraturan pendaftaran tanah. Penelitian ini merupakan penelitian doktrinal yang menggunakan data sekunder yang didukung data primer. Dalam melakukan segala perbuatan hukum diperlukan asas iktikad baik baik saat membuat perjanjian maupun  pelaksanakan dari perjanjian  tersebut. Sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi pihak lain. Upaya Penyelesaian sebagai bentuk pertanggungjawaban BPN dapat dilakukan melalui cara non-litigasi yakni dilakukannya pengaduan kasus ke Kantor Pertanahan sampai mendapat keputusan penyelesaian dan cara litigasi dimana pembeli dapat mengajukan 2 gugatan berbeda terhadap BPN. Pertama mengajukan gugatan melalui PTUN untuk meminta pembatalan sertipikat dan mengajukan gugatan secara perdata ke PN dengan dasar Pasal 1365 KUHPerdata tentang perbuatan melawan hukum terhadap Penjual selaku pemegang hak atas tanah sebagai tergugat dan BPN sebagai turut tergugat

Failure to provide a certificate of the results of a complete systematic land registration which still has a record in the juridical data minutes is a negligence which can cause problems because it is not in accordance with the purpose of holding the land registration, namely providing legal protection for land rights holders and potential creditors and is a responsibility borne by the BPN . This research analyzes how legal protection is for buyers of land certificates resulting from PTSL activities whose land is also guaranteed based on girik at the bank and BPN's legal responsibility for PTSL certificates issued that do not comply with the procedures regulated in the land registration regulations. This research is doctrinal research that uses secondary data supported by primary data. In carrying out all legal acts, the principle of good faith is required both when making an agreement and implementing the agreement. So that it does not cause harm to other parties. Settlement efforts as a form of BPN accountability can be carried out through non-litigation methods, namely filing a case complaint to the Land Office until a settlement decision is obtained and through litigation methods where buyers can file 2 different lawsuits against BPN. First, file a lawsuit through the PTUN to request the cancellation of the certificate and file a civil lawsuit with the District Court based on Article 1365 of the Civil Code regarding unlawful acts against the seller as the holder of land rights as the defendant and the BPN as a co-defendant."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yorris Susanto Leander
"Lonjakan aktivitas investasi internasional yang dilakukan oleh Investor yang Dikendalikan Pemerintah Asing (FGCI) dalam dua decade terakhir telah mendapat perhatian dan menimbulkan kekhawatiran diantara negara tujuan investasi. Mengingat fakta bahwa FGCI sebagai organisasi sektor publik cenderung memiliki motivasi dan faktor kelembagaan yang berbeda dengan organisasi sektor privat, negara berkembang seperti Australia, Kanada, dan Amerika Serikat telah memberlakukan mekanisme tinjauan investasi khusus yang menargetkan FGCI. Hal ini sejalan dengan berbagai instrumen internasional yang telah disusun untuk menjawab perkembangan dominasi FGCI di kancah investasi internasional. Sebagai negara dengan kondisi ekonomi yang menarik, setiap tahunnya Indonesia menerima jumlah investasi asing yang cukup signifikan. Dengan semakin banyaknya negara yang memberikan perhatian khusus terhadap FGCI, Indonesia rupanya masih belum memiliki pengaturan khusus yang ditujukan untuk FGCI. Untuk menjaga ketahanan dan kepentingan nasional Indonesia, Pemerintah Indonesia perlu merumuskan peraturan investasi yang sejalan dengan perkembangan FGCI guna memitigasi risiko terkait dengan investasi yang dilaksanakan oleh FGCI."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohamad Hanif Pahlawan
"Dalam skripsi ini akan dibahas mengenai pengertian, penerbitan, dan penggunaan Medium Term Note sebagai salah satu alternatif pembiayaan perusahaan yang pada awalnya belum memiliki pengaturan secara khusus. Karena belum adanya pengaturan yang secara khusus mengenai penerbitan Medium Term Note, sehingga pelaksanaannya didasarkan pada ketentuan KUHD tentang surat sanggup dan ketentuan yang berasal dari inisiatif penerbit dan juga pemegangnya. Ketidakjelasan pengaturan mengenai penerbitan Medium Term Note sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 30/POJK.04/2019 tentang Penerbitan Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk yang dilakukan Tanpa Melalui Penawaran Umum menjadikan banyak permasalahan yang timbul berkaitan dengan meruginya investor pembeli Medium Term Note umumnya berupa gagal bayar dikarenakan minimnya pengawasan dari otoritas yang berwenang dan faktor-faktor lain yang terkait. Kemudian setelah berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 30/POJK.04/2019 tentang Penerbitan Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk yang dilakukan Tanpa Melalui Penawaran Umum terdapat ketentuan-ketentuan yang sebelumnya tidak diatur yang bertujuan mengatasi kekurangan terhadap penerbitan Medium Term Note sebelum berlakunya POJK tersebut. Sehingga, perlu dipastikan apakah ketentuan-ketentuan tersebut dapat sepenuhnya menanggulangi permasalahan-permasalahan yang dimungkinkan terjadi.

This thesis will elucidate the definition, issuance, and the use of Medium-Term Notes as an alternative option for company financing which initially did not have any specific regulations. Due to the absence of specific regulations regarding Medium-Term Notes, its implementation is solely based on the provisions of the Indonesian Commercial Code concerning promissory notes and provisions originated from the initiative of the issuer and the holder of the Medium-Term Notes. The absence of specific regulations regarding the issuance of the Medium Term Note prior to the enactment of the Financial Services Authority (OJK) Regulation No. 30/POJK.04/2019 concerning the Issuance of Debt Securities and/or Sukuk without Public Offering has resulted several issues in relates to the loss of investors who have bought the Medium Term Notes or the occurence of default due to lack of supervision from the authorities and other related factors. After the enactment of the Financial Services Authority (OJK) Regulation No. 30/POJK.04/2019 concerning Issuance of Debt Securities and/or Sukuk without Public Offering, there are several new provisions that were previously unregulated, aimed to overcome the issues that may arise prior to the enactment of the aforementioned OJK Regulation. It is necessary to ascertain whether these provisions can tackle the problems that may occur"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kabul Sedya Srianto
"Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian yuridis norrnatif dengan data skunder sebagai sumber datanya. Skripsi ini membahas bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen produk telematika khususnya iPad, apakah Randy dan Dian yang menjual delapan buah iPad tanpa manual bahasa Indonesia yang mereka lakukan melalui kaskus dapat digolongkan sebagai pelaku usaha sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, serta penerapan Pasa! 62 jo. Pasal 8 ayat (1) Humfj Undang-undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Pasal 52 jo. Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dalam kasus tersebut. Dalam kasus ini laksa menggunakan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 19/M-DAGIPERJ5/2009 sebagai dasar penuntutan. Akan tetapi dalam Peraturan Menteri tersebut iPad belum terrnasuk barang yang wajib disertakan manual bahasa Indonesia. Hal ini membuat laksa seakan-akan melupakan peraturan telmis dalam melakukan penuntutan, padahal maksud mereka adalah melindungi konsumen. Manual bahasa Indonesia sendiri dapat memudahkan konswnen dalam menggunakan iPad yang barn mereka beli.

This thesis discusses how the form of legal protection of the consumers of telematics products, especially iPad, whether Randy and Dian can be classified as 'pelaku usaha' in accordance with the 1999 Consumer Protection Law (UUPK). Randy and Dian had been charged with violating the 1999 Consumer Protection Law by selling Apple iPads without Indonesian manuals. This thesis also discusses the application of artice 62 jo. Article 8 paragraph (1) subparagraph j of the 1999 Consumer Protection Law and artcle 52 jo. article 32 paragraph (1) on the 1999 Telecomunication Law in this case. Prosecutors previously demanded a five-month jail tenn for both. They used the Ministry of Trade Republic . Indonesia .. Reguation No. 191MDAG/ PERJ512009 as the basis of the prosecution. However, in reference to a 1999 Trade Minister Decree, iPad is not classified as an electronic device that must come with an Indonesian language manual. This makes the prosecutor seemed to forget the tecnical regulation."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S70283
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rashieka Putri Amara
"Perkembangan perusahaan ekspedisi menawarkan berbagai pilihan jasa pengiriman kepada konsumen. Pelaku usaha ekspedisi berusaha mempromosikan produknya melalui berbagai strategi agar menarik minat konsumen. Strategi promosi tersebut dapat berupa positioning, iklan, maupun klausula baku sebagai bentuk pengaturan atas barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. Pada umumnya, pelaku usaha akan mengedepankan keunggulan dan mutu produk dengan tujuan mempengaruhi keputusan pembelian konsumen. Menurut fungsinya, promosi berkedudukan sebagai janji pelaku usaha yang harus diwujudkan kepada konsumen. Namun, beberapa keluhan konsumen di media sosial menunjukkan adanya ketidaksesuaian jasa dengan jaminan mutu pengiriman esok hari sampai yang dijanjikan pada promosi produk JNE YES dan SiCepat BEST. Skripsi ini membahas mengenai perlindungan hukum atas ketidaksesuaian jasa dengan jaminan mutu produk dengan meninjau alasan konsumen harus mendapatkan kualitas sesuai janji promosi, perbandingan promosi dan pengaturannya dari tiga pelaku usaha ekspedisi, dan pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan oleh pelaku usaha berdasarkan permasalahan hukum tersebut. Bentuk penelitian ini adalah yuridis-normatif dengan metode analisis data secara kualitatif berdasarkan data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Hasil dari penelitian adalah informasi-informasi pada positioning, iklan, dan klausula baku harus diwujudkan oleh pelaku usaha mengingat fungsi promosi sebagai janji kepada konsumen. Hal ini juga sebagai bentuk penghormatan dan perlindungan hak konsumen atas informasi yang benar, jelas, dan jujur.

The development of expedition companies offers a wide selection of delivery services to consumers. Expedition business actors try to promote their products through various strategies to attract consumer interest. The promotional strategy can be in the form of positioning, advertising, or standard clauses as a form of regulation of goods and/or services traded. In general, business actors will prioritize product excellence and quality with the aim of influencing consumer purchasing decisions. According to its function, promotion serves as a promise of business actors that must be realized to consumers. However, several consumer complaints on social media indicate that there is a mismatch between the service and the quality assurance of next-day delivery promised in the JNE YES and SiCepat BEST product promotions. This thesis discusses the legal protection of service discrepancies with product quality assurance by reviewing the reasons consumers must get quality according to promotional promises, comparison of promotions and their arrangements from three expedition business actors, and violations of statutory provisions by business actors based on these legal issues. The form of this research is juridical-normative with qualitative data analysis method based on secondary data obtained through literature study. The result of the research is that information on positioning, advertisements, and standard clauses must be realized by business actors considering the function of promotion as a promise to consumers. This is also a form of respect and protection of consumer rights to correct, clear, and honest information. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohamad Yuflih Huda Maheswara
"Tenaga listrik adalah sumber daya yang vital dimana pengadaanya memiliki tingkat kompleksitas dan keamanan yang tinggi. Amanat pendistribusian Arus Daya Listrik di Indonesia diberikan kepada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) secara tunggal sehingga di lapangan tidak terdapat kompetitor dengan klasifikasi usaha sejenis. Ketiadaan opsi memilih jasa layanan distribusi tenaga listrik menjadikan konsumen rentan untuk dirugikan kendati hak-haknya telah dijamin pada Surat Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik. Salah satu bentuk kerugian konsumen adalah ketidaksesuaian pemberian arus daya listrik dengan Tingkat Mutu Pelayanan serta pembangunan fasilitas ketenagalistrikan yang tidak sesuai dengan standar operasional. Belum adanya pedoman untuk memberikan mekanisme ganti kerugian pada arus daya listrik yang tidak sesuai dengan Tingkat Mutu Pelayanan membawa kerugian bagi konsumen. Dengan menggunakan metode penelitian deskriptif-normatif, skripsi ini menganalisis ketentuan hukum pelindungan konsumen ketenagalistrikan, pengawasannya, implementasi putusan pengadilan serta pertanggungjawaban PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Dari hasil analisis didapati bahwa Pemerintah Indonesia harus memberikan kompensasi yang layak dan mengoptimalkan upaya hukum bagi konsumen yang dirugikan dari jual beli tenaga listrik. 

Electric power is a vital resource where its procurement has a high level of complexity and security. The mandate for the distribution of electric current in Indonesia was given to PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) singly so that in the field there are no competitors with similar business classifications. The absence of an option to choose electricity distribution services makes consumers vulnerable to being harmed even though their rights have been guaranteed in the Power Purchase Agreement. One form of consumer loss is the incompatibility of providing electric power with the Service Quality Level and the construction of electricity facilities that are not in accordance with operational standards. The absence of guidelines to provide compensation mechanisms for electric current that is not in accordance with the Quality-of-Service level brings losses to consumers. Using a descriptive-normative research method, this thesis analyzes the legal provisions for the protection of electricity consumers, their supervision, the implementation of court decisions and the accountability of PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). From the results of the analysis, it was found that the Government of Indonesia must provide appropriate compensation and optimize legal remedies for consumers who are harmed by buying and selling electricity."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Luqyana Agny Anisataqiyya
"Transaksi tol nirsentuh merupakan sistem transaksi tol baru di Indonesia, tetapi berpotensi problematis bagi konsumen dalam pengimplementasiannya. Konsumen dibebani oleh kewajiban yang belum diimbangi dengan kepastian hukum terkait pemenuhan hak-hak konsumen dan pertanggungjawaban hukum pelaku usaha apabila hak konsumen terlanggar sehingga besar kemungkinan terjadi ketimpangan hierarkis antara konsumen dan pelaku usaha apabila transaksi tol nirsentuh diimplementasikan. Indonesia hingga saat ini belum memiliki peraturan perundang-undangan yang melindungi kepentingan konsumen selaku pengguna jalan tol. Begitu pula dengan Australia yang mengimplementasikan sistem transaksi tol serupa. Berbeda dengan Hungaria, peraturan perundang-undangan mengenai transaksi tol nirsentuh diatur secara khusus. Dengan menggunakan metode yuridis normatif, diteliti aspek hukum pelindungan konsumen dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terhadap transaksi tol nirsentuh dengan turut mengacu pada hukum pelindungan konsumen dalam implementasi transaksi tol nirsentuh di Hungaria dan Australia berdasarkan Act CLV of 1997 on Consumer Protection serta Australian Consumer Law. Adapun hasil penelitian ini menunjukan bahwasanya Indonesia tidak dapat berpedoman kepada Hungaria ataupun Australia dalam implementasi hukum pelindungan konsumen pada transaksi tol nirsentuh karena masih terdapat permasalahan pemenuhan hak-hak konsumen dan tidak jelasnya informasi-informasi yang akan diperoleh konsumen nantinya terkait pelaku usaha yang terlibat dalam penyelenggaraan sistem. Oleh karenanya, penyusunan peraturan perundang-undangan mengenai transaksi tol nirsentuh di Indonesia perlu berprespektif melindungi konsumen dan memberikan kepastian hukum kepadanya. Tanggung jawab para pelaku usaha terkait juga perlu dipertegas kembali agar nantinya konsumen memperoleh informasi yang tepat serta dapat mengetahui hal-hal yang menjadi haknya

Contactless toll transaction is a new toll transaction system in Indonesia, but potentially problematic for consumers in its implementation. Consumers are burdened by obligations that have not been balanced with legal certainty regarding the fulfillment of consumer rights and the legal liability of business actors if consumers’ rights are violated, so there is a high probability of hierarchical imbalance between consumers and business actors if contactless toll transactions are implemented. Indonesia does not yet have laws and regulations that protect the interests of consumers as toll road users. The same applies to Australia, which implements a similar toll transaction system. Unlike Hungary, legislation on contactless toll transactions is specifically regulated. By using the normative juridical method, the legal aspects of consumer protection in Law Number 8 Year 1999 concerning Consumer Protection, contactless toll transactions are examined by also referring to consumer protection law in the implementation of contactless toll transactions in Hungary and Australia based on Act CLV of 1997 on Consumer Protection and Australian Consumer Law. The results of this study show that Indonesia cannot be guided by Hungary or Australia in the implementation of consumer protection law on contactless toll transactions because there are still problems in fulfilling consumers’ rights and unclear information that will be obtained by consumers later related to business actors involved in the implementation of the system. Therefore, the preparation of laws and regulations regarding contactless toll transactions in Indonesia needs to have the perspective of protecting consumers and providing legal certainty to them. The liabilities of the relevant business actors also need to be reaffirmed so that later consumers can obtain the right information and be able to know their rights as consumers."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>