Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 41 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Roslina Verauli
"
Dilihat dari sejarah perkembangan definisi keterbelakangan mental, tampak bahwa tingkah laku adaptif semakin berperan (Vance, 1998). AAMD, yang kemudian pada tahun 1992 berubah menjadi AAMR, mulai memasukkan tingkah laku adaptif dalam definisi keterbelakangan mental pada tahun 1959. Pada tahun 1973, deinisi AAMD mengenai keterbelakangan mental adalah “fungsi inteligensi yang secara signiflkan tergolong di bawah rata-rata (subaverage) muncul bersamaan dengan defisit pada tingkah laku adaptif dan terjadi pada masa perkembangan. Perkembangan dalam definisi terus berlanjut hingga tahun 1992 dimana AAMR tetap memberi penekanan pada kemampuan adaptif. Dari perkembangan tersebut jelas bahwa seorang individu tidak dapat didiagnosa sebagai kerbelakang mental bila tidak mengalami defisit dalam kemampuan adaptinya. Sejumlah skala telah dikembangkan untuk mengukur tingkah laku adaptif Diantaranya yang paling umum digunakan dan telah distandardisasi adalah American Association on Mental Defliciency-Adaptive Behavior Scale tahun 1974 (AAMD-ABS tahun 1974). AAMD-ABS tahun 1974 terdiri dari dua bagian, yaitu bagian I yang mengukur IO domain tingkah laku adaptif dan bagian II yang mengukur 14 domain yang berhubungan dengan masalah kepribadian dan tingkah laku AAMD-ABS dapat diterapkan untuk individu berusia 3 tahun sampai dengan 69 tahun dimana informasi diperoleh dari informan yang dekat dan mengenal anak dengan baik. Skor yang diperoleh diubah ke dalam percentile ranks untuk memperoleh gambaran berupa profil. Profil dapat digunakan untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan tingkah laku adaptif individu keterbelakangan mental. Profil tersebut merupakan dasar yang obyektif untuk mengevaluasi keraquan atau hasil dari program intervensi. Atas dasar inilah peneliti tertarik mengetahui gambaran profil AAMD- ABS tahun 1974 anak keterbelakangan mental yang datang ke Klinik Anak. Data berupa data sekunder diperoleh dari 31 sampel periode 1998 - 2002. Adapun golongan keterbelakangan mental dan kelompok usia yang tercakup dalam penelitian adalah keterbelakangan mental sedang-ringan dan kelompok usia sekolah-remaja (golongan keterbelakangan mental dan kelompok usia yang tercakup pada norma AAMD-ABS tahun 1974). Deskripsi dan interpretasi profil dilakukan terhadap sejumlah skor subyek di setiap domain pada masing-masing kelompok anak keterbelakangan mental untuk menilai sejauh mana mereka mengalami deifsit dalam kemampuan adaptifnya. Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa pada kelompok keterbelakangan mental ringan usia sekolah, domain yang perlu menjadi fokus perhatian dalam program intcrvensi adalah domain VII. Pada kelompok keterbelakangan mental ringan usia remaja, domain yang perlu menjadi fokus utama dalam program intervensi adalah domain VIII. Pada kelompok keterbelakangan mental sedang usia sekolah, domain yang perlu menjadi fokus perhatian dalam program intervensi adalah domain VI dan VII. Pada kelompok keterbelakangan mental sedang usia remaja, domain yang perlu menjadi fokus perhatian dalam program intervensi adalah domain VII. Yang perlu diperhatikan dari hasil penelitian ini adalah peneliti tidak dapat mengetahui sejauh mana subyek dalam setiap kelompok penelitian mengaiami defisit pada kemampuan adaptifnya, dibandingkan dengan anak normal yang seusia. Disamping itu, peneliti tidak dapat melakukan generalisasi hasil penelitian pada kelompok keterbelakangan mental yang lebih luas karena jumlah subyek penelitian yang tergolong kecil Sehingga dikhawatirkan hasil penelitian lebih dipengaruhi oleh variasi individual."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
T38818
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Catharina W Moeljadi
"Sexual abuse merupakan suatu realita yang terjadi di sekitar kita. Data dari Pusat Krisis Terpadu RSCM menyatakan adanya 270 kasus sexual abuse sepanjang tahun 2002, yang terjadi pada anak usia 2 hingga 18 tahun. Sexual abuse ini merupakan kontak atau aktivitas seksual yang dilakukan pada anak oleh orang dewasa. Anak dipakai untuk mendapatkan stimulasi seksual bagi orang dewasa maupun orang lain. Peristiwa seksual abuse itu tentunya menimbulkan dampak bagi anak, termasuk juga berpengaruh pada perkembangan kepribadian anak. Untuk dapat menggali serta lebih memahami mengenai perasaan anak setelah peristiwa sexual abuse dapat digunakan tes diagnostik, yang Salah satunya adalah Tes Menggambar Orang. Melalui tes menggambar orang akan dapat diketahui gambaran kepribadian anak, bagaimana anak ineng gambarkan dirinya, hal apa yang penting baginya, serta konflik ataupun keinginannya saat itu.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan subjek sejumlah 4 anak perempuan berusia antara 5 dan 6 tahun yang pernah mengalami sexual abuse, diperoleh dari Pusat Krisis Terpadu RSCM. Data yang digunakan adalah laporan status serla hasil tes menggambar orang. Berdasarkan analisis, tampak bahwa anak yang pernah mengalami sexual abuse memiliki kepribadian dengan kecenderungan inferior, insecure, menarik diri, serta menampakkan kecemasan hal tersebut dapat jadi berkaitan dengan peristiwa sexual abuse yang mereka alami. Seperti dikemukakan oleh para ahli, anak korban sexual abuse menjadi cemas, cenderung menarik diri, menjadi lebih jarang bermain Serta menurunnya rasa percaya diri. Para subjek juga terlihat lebih berorientasi terhadap dirinya sendiri."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tia Rahmania
"Terdapat kebutuhan yang mendesak unluk mengerti proses perkembangan seperti apa yang memberikan kontribusi timbulnya conduct disorder pada anak-anak. Conduct disorder sendiri adalah suatu sindrom yang dikenal pada bidang psikiatri yang terjadi pada masa anak-anak dan remaja, serta memiliki karakteristik adanya suatu bentuk perilaku yang tidak mengikuti aturan-aturan dan perilaku antisosial dalam jangka waklu tertentu (Searight, Ronnek, & Abby, 2001).
Terdapat beberapa penjelasan leori mengenai agresifitas yang menjadi salah satu ciri dari anak conduct disorder. Menurut teori belajar, perilaku agresif yang tampil dipelajari anak melalui berbagai tindakan agresif yang mereka amati dari orang lain, misalnya dari orang tua, saudaranya dan teman-teman sepermainan. Selain itu, perilaku agresif ini juga dipelajari saat anak diberi perhatian dari orang dewasa. Keadaan sehari-hari yang tidak menguntungkan juga diyakini menimbulkan reaksi agzresif saat individu merasakan suatu kesulitan unluk rnendapatkan pemuasan kebutuhan atau mencapai tujuarmya (Schaefer & Millrnan, 1981). Baum (1989, dalam Wenar, 1994) melaporkan hahwa pada populasi yang mengalami conduct disorder sebanyak satu-perlima hingga satu-pertiganya mengalami masalah depresi.
Conduct disorder sendiri dapat dipengaruhi baik oleh faktor genetik maupun lingkungan. Resiko munculnya perilaku conduct disorder ini lebih besar terjadi pada anak yang orang tuanya atau saudara kandungnya mengalami antisocial personality disorder dan conduct disorder. Conduct disorder ini juga sering muncul pada anak dengan orang tua yang mengalami ketergantungan alkohol, gangguan mood, schizophrenia, ADHD dan conductdisorder (DSM-IV-TR, 2000).
Dari berbagai sumber, conduct disorder pada anak sering dikaitkan karena adanya masalah-masalah yang timbul dalam keluarga, psikoparologi pada orang tua, dan kondisi yang tidak menguntungkan dalam lingkungan (Schachar & Tannock, 1995, dalam Mash & Wolf, 1999). Hal ini menimbulkan ketertarikan untuk meneliti dinamika yang terjadi dalam keluarga dari anak yang didiagnosis memiliki masalah atau kecenderungan conduct disorder melalui gambaran pola asuh yang diterapkan orang tua.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan data yang bersumber dari 5 orang anak sesuai dengan data kasus yang ada pada Klinik Anak F. Psikologi UI dari tahun 2000 - 2003.
Beberapa kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah bahwa semua pasangan orangtua pada anak-anak dengan masalah atau memiliki kecenderungan conduct disorder yang menjadi subjek dalam penelitian ini menerapkan pengasuhan yang tidak sama (inkonsisten), dimana antar orangtua sendiri tidak didapatkan kesepakatan mengenai pola asuh yang diberikan kepada anak. Pola asuh yang diterapkan kepada anak pada umumnya adalah pola asuh otoriter,
permisif dan rejecting/neglecting, dan tidak ditemukan orangtua yang menggunakan pola asuh otoritatif. Pada dimensi kontrol, seluruh subjek mendapatkan hukuman sebagai bentuk usaha orangtua untuk mendapatkan perilaku yang diharapkan, berupa bentakan-bentakan dan kata-kata kasar sampai dengan hukuman fisik mulai dari mengisolasi anak di ruangan, tidak
memperbolehkan masuk rumah hingga pukulan di badan. Tuntutan-tuntutan yang diberikan pun tidak disertai dengan pengawasan yang terus-menerus (konsisten) oleh orangtua. Ditemukan bahwa anak-anak disorder yang menjadi subjek penelilian ini kurang mendapatkan pemenuhan afeksi dari orangtuanya. Kurangnya pemberian afeksi kepada anak-anak oleh orangtua dikarenakan kesibukan orangtua dengan pekerjaannya atau dikarenakan orangtua yang
cenderung menutupi perasaannya sehingga iidak lancarnya interaksi dengan
muatan emosi antara oraugtua dan anak.
Keterbatasan penelitian ini adalah penggunaan data sekunder, dimana wawancara klinis tidak dilakukan langsumg oleh peneliti sehingga terdapat kemungkinan adanya data-data yang belum tergali. Selain itu, sampel yang digunakan terbatas hanya 5 subjek sehingga tidak dapat di generalisasi pada semua anak dengan masalah conduct disorder. Sehingga, untuk lebih memperkaya pengetahuan masalah conduct disorder ini, penelitian selanjutnya disarankan
dilakukan secara kuantitatif sehingga dapat dilihat seperti apa kecenderungan
pada populasi."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T37870
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rismawati Syahnawi
1977
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agustine Sukarlan Basri
"Penelitian ini mernpakan pengkajian mengenai ciri-ciri/karakteristik dan faktor-faktor dari kearifan menurut pandangan tiga kelompok usia yaitu dewasa muda, dewasa madya dan lansia. Kemudian dilanjutkan dengan pengkajian mengenai manifestasi ciri dan faktor kearifan yang telah diperoleh kedalam kehidupan tokoh-tokoh lansia yang dipandang arif.
Minat untuk melakukan penelitian ini bermula dari kenyataan masih langkanya penelitian di Indonesia yang menyoroti kehidupan lansia yang berhasil menjalani proses menuanya secara sukses. Sementara itu, berdasarkan hasil Sensus Penduduk 1971 dan 1990,jumlah penduduk lansia meningkat dua kali lipat dan pada tahun 2025 nanti diproyeksikan akan mencapai 13.2% dari populasi penduduk.
Sampai sekarang di lingkungan masyarakat masih cukup banyak gambaran negatif yang dikaitkan dengan periode usia lanjut ini, karena asumsi yang muncul adalah bahwa perkembangan diarahkan pada tujuan mencapai kematangan, sedangkan proses menua diarahkan pada tujuan kematian.
Sementara dari penelitian gerontologi mutakhir, diperoleh keterangan bahwa proses menua yang sukses, bukanlah sesuatu yang berhubungan dengan penyesuaian terhadap kehilangan-kehilangan karena usia, tetapi lebih pada pengembangan kapasitas-kapasitas baru, tubuh kita mungkin menua, namun kapasitas mental spiritual akan meningkat. Di samping itu, terdapat pula pandangan yang menyatakan bahwa aspek kearifan diharapkan menjadi lebih kuat dengan bertambahnya umur dan karenanya paling mungkin ditemukan pada kelompok lansia.
Penelusuran telaah pustaka mengenai kearifan, dimulai dari perkembangan sejarahnya sejak masa tradisi sekuler dan mass tradisi filosofis, yang disebut-sebut sebagai masa kejayaan kearifan. Kemudian meliwati mass keruntuhan yang ditandai dengan terjadinya serentetan `bencana intelektual' karena munculnya paham kapitalis dan aliran positivisme, hingga sampai pada masa restorasi yang ditandai dengan perjuangan berat untuk memperbaiki konsep tentang pengetahuan serta meningkatkan pemahaman tentang proses mencapai kearifan. Kini, setelah cukup lama iimu psikologi terumuskan secara akademis, dirasakan perlunya menggali kembali serta mengembangkan penelitian tentang kearifan dari sudut pandang ilmu psikologi.
Secara garis besar teori tentang kearifan dibagi ke dalam (1) teori implisit, (2) teori kognitif den (3) teori integratif. Dari masing-masing pandangan ditemukan berbagai hasil dan kesimpulan, baik mengenai arti, proses, ciri dan faktor penentu, manifestasi perilaku, maupun produk kearifan.
Penelitian ini ingin menggali pandangan masyarakat awam mengenai berbagai ciri kearifan dan faktor-faktor yang mempengaru inya. Kemudian juga ingin melihat manifestasi ciri dan faktor tersebut dalam kehidupan para tokoh lansia yang dipandang arif oleh tiga kelompok usia di daerah Jakarta dan sekitannya.
Penelitian dilakukan secara bertahap, diawali dengan pendekatan kuantitatif, kemudian dilanjutkan dengan pendekatan kualitatif. Pads pendekatan pertama, mula-mula dilakukan elisitasi jawaban mengenai ciri-ciri kearifan, kemudian penyebaran kuesioner yang berisi ciri-ciri yang telah disepakati. Pada pendekatan kualitatif, dilakukan wawancara mendalana terhadap 3 tokoh lansia yang terpilih sebagai orang arif oleh tiga kelompok usia tadi.
Dengan menggunakan uji statistik Analisis Faktor dan Analisis Varian Sat' Arah dengan mencari nilai uji F, diperoleh hasil berikut ini. Dari 43 ciri kearifan yang diperoleh, ditemukan 5 faktor yang mempengaruhi kearifan, masing-masing bernama: (1) Kondisi Spiritual-Moral, (2) Kemampuan Hubungan Antar Manusia, (3) Kemampuan Menilai dan Mengambil Keputusan, (4) Kondisi Personal, (5) Kemampuan Khususflstimewa. Faktor Spiritual-Moral merupakan faktor yang diperoleh dari penelitian ini, yang belum ditemukan dalam studi-studi sebelumnya. Faktor ini juga disepakati oleh para responder sebagai faktor yang memberikan kontribusi terbesar untuk menggambarkan kearifan.
Selain itu ditemukan lebih banyak kesamaan pandangan antara tiga kelompok usia mengenai ciri-ciri kearifan. Faktor yang dipandang berbeda secara bermakna oleh tiga kelompok usia adalah Kemampuan Hubungan Antar Manusia, Kemampuan Menilai dan Mengambil Keputusan serta Kemampuan Khusus/lstimewa. Sedangkan Faktor Spiritual-Moral dan Faktor Personal dipandang sama dalam menggambarkan kearifan.
Data kualitatif dari 3 tokoh lansia yang dipandang arif, menunjukkan kesepakatan dalam mengartikan konsep kearifan. Kearifan adalah kemampuan menanggapi, memutuskan dan menyelesaikcan permasalahan dengan cara yang tidak menyinggung pihak-pihak yang terlibat dan dapat diterima oleh semua pihak, sehingga keputusan yang diambil adalah hasil dari penilaian yang adil dan seimbang. Persoalan yang dimaksud, bukan saja yang memerlukan penanganan secara rasional dan intelektual, tetapi yang lebih mengandung segi-segi yang bersifat afektif dan moral, dimana hati nurani ikut "berbicara".
Berbagai ciri dan faktor kearifan, termanifestasikan pada para tokoh lansia dari cara mereka menghadapi permasalahan-permasalahan serta cara mempertimbangkan dampak keputusan yang diambilnya terhadap orang-orang yang terlibat. Pada dasarnya dapat ditarik kesamaan manifestasi terhadap setiap faktor kearifan, namun isi pengalaman don persoalannya tampak unik dan bervariasi.
Pendalaman penelitian melalui 'case-history' atau studi longitudinal, tampaknya diperlukan untuk menjawab pertanyaan mengenai proses berlangsungnya kearifan itu. Selain itu, program pelatihan bagi anak (seperti Program Biaa Keluarga Balita) maupun bagi generasi muda dan madya yang dapat meningkatkan perolehan tantangan-tantangan di berbagai bidang, dapat dilakukan sebagai saran intervensi untuk memunculkan kearifan dalam kehidupan lebih lanjut. Tidak lupa, program pelatihan bagi pare lansia itu sendiri dengan tujuan dapat mengaktualisasikan kearifan yang dimiliki semaksimal mungkin, sehingga potensi-potensi dan gambaran positif tentang lansia makin tampil."
2001
T10877
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Charletty Choesyana Soffat
"Penelitian ini berangkat dari pertanyaan bagaimana pembentukan sistem motif agresi sebagai hasil praktik pengasuhan anak oleh orang tua pada remaja kriminal dan remaja non kriminal. Penelitian ini menelaah keterkaitan antara praktik pengasuhan anak (oleh ibu dan ayah) dengan perkembangan kedua komponen sistem motif agresi yaitu komponen pendekat agresi (motif agresi) dan komponen penghindar agresi (hambatan agresi) yang ada di dalam diri remaja.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah praktik pengasuhan anak yang berkaitan dengan perkembangan agresivitas yang diterapkan pada remaja kriminal, berbeda dengan yang diterapkan pada remaja non kriminal. Selain itu, juga untuk mengetahui apakah sistem motif agresi remaja kriminal tidak sama dengan sistem motif agresi remaja non kriminal.
Berdasarkan kajian teori diajukan empat belas hipotesis untuk diuji kebenarannya. Penelitian dilakukan pada remaja akhir dengan rentang usia antara 18 hingga 24 tahun, yaitu remaja non kriminal (Siswa kelas III SMU 71 & Mahasiswa Fakultas Agama Islam Univeritas Asy-Syafiyah semester II) dan remaja kriminal (narapidana kasus penganiayaan berat dan pembunuhan di RUTAN Salemba) di Jakarta.
Hasil temuan penelitian memperlihatkan bahwa:
1. Praktik pengasuhan anak (oleh ibu & ayah) yang diterapkan pada remaja kriminal adalah tidak sama dengan yang diterapkan pada remaja non kriminal.
2. Secara umum, motif agresi remaja kriminal lebih besar daripada motif agresi remaja non kriminal. Dan kekuatan motif agresi remaja kriminal lebih besar daripada kekuatan hambatan agresi yang ada di dalam dirinya.
3. Di antara kelima aspek praktik pengasuhan anak yang diteliti dalam penelitian ini (aspek kontrol, dukungan, penolakan, kasih sayang dan orientasi nilai), yang amat berperan bagi peningkatan motif agresi adalah aspek kontrol dan kasih sayang.
4. Agresivitas yang rendah pada remaja dikarenakan adanya motif agresi yang rendah, atau dikarenakan interaksi antara kekuatan motif agresi yang besar dan kekuatan hambatan agresi yang lebih besar. Hal ini menunjukkan bahwa remaja yang memiliki kekuatan motif agresi yang besar. Belum tentu mudah untuk memunculkan tingkah laku agresif dan atau kriminal.
Selanjutnya, berdasarkan hasil temuan penelitian penulis mengajukan beberapa saran sebagai berikut: Melakukan penelitian lanjutan dengan (1) memperluas jangkauan sampel yaitu dengan anak Indonesia sebagai populasi, (2) menggunakan alat ukur yang lebih standar, dan (3) metode pengumpulan data secara terpadu.
Selain itu, juga disarankan agar memanfaatkan hasil penelitian ini, sebagai salah satu bahan masukan dalam upaya pembinaan dan pengembangan kepribadian remaja lebih lanjut."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1998
T7036
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Dian Permasari
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1990
S2282
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Redatin Retno Pudjiati
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1987
S2279
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5   >>