Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 67 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Susilo
"ABSTRAK
Jawa Timur adalah merupakan salah satu Propinsi di Indonesia yang tergolong padat penduduknya, dimana sebagian besar dari penduduk tersebut adalah bekerja di sektor pertanian. Akhir-akhir ini menunjukkan gejala terjadi pergeseran ke sektor non pertanian. Berkaitan dengan keadaan tersebut kiranya cukup menarik untuk dikaji serta.dipelajari fenomena apa yang dapat dijelaskan berkaitan dengan adanya gejala mulai bergesernya tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor non pertanian tersebut.
Secara empiris menunjukkan bahwa penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian cenderung menurun. Keadaan ini menunjukkan bahwa kemampuan sektor pertanian di Jawa Timur untuk menampung tenaga kerja semakin menurun. Sedangkan pada sektor lain yaitu sektor non pertanian menunjukkan keadaan yang cukup baik peranannya dalam menyerap tenaga kerja.
Disamping itu di Jawa Timur dijumpai adanya suatu gejala lain yang timbul akibat adanya penurunan daya serap sektor pertanian yaitu meningkatnya tenaga kerja yang melakukan urbanisasi. Dengan meningkatnya angka urbanisasi ini sudah barang tentu akan menimbulkan persoalan yang kompleks di daerah tujuan, utamanya masalah kesempatan kerja yang harus disediakan dan masalah meningkatnya angka pengangguran di kota sebagai akibat adanya kesenjangan antara tingkat pendidikan, ketrampilan/skill tenaga kerja dari desa dan tenaga kerja di kota sehubungan dengan sifat lapangan pekerjaan yang tersedia di kota.
Kemudian hal-hal lain yang sangat menarik untuk diperhatikan yaitu adanya kecenderungan bahwa pekerja laki-laki cenderung untuk memilih bekerja di sektor pertanian di banding dengan pekerja perempuan.
Hubungan antara variabel umur dan lapangan pekerjaan di Jawa Timur dalam penelitian ini dapat diterangkan bahwa semakin tinggi usia responden, semakin besar kecenderungan responden tersebut untuk bekerja di sektor non pertanian.
Adapun hubungan antara variabel pendidikan dan lapangan pekerjaan dalam penelitian ini dapat- dijelaskan bahwa semakin tinggi pendidikan responden maka semakin rendah kecenderungan responden tersebut untuk memilih bekerja di sektor pertanian dan semakin besar kecenderungannya untuk memilih bekerja di sektor non pertanian.
Investasi daerah ternyata dapat mempengaruhi keputusan seseorang dalam menentukan pilihan terhadap salah satu lapangan pekerjaan tertentu. Hal ini terbukti bahwa penambahan investasi daerah di Jawa Timur yang prioritas utama masih dititikberatkan pada sektor pertanian, maka ternyata dapat mendorong seseorang atau individu untuk bekerja di sektor pertanian.
Variabel Mills Ratio dalam penelitian ini harus tetap dipertahankan untuk dimasukkan dalam model karena berdasarkan pengujian secara statistik menunjukkan nilai yang segnifikan. Hal ini berarti, seandainya tidak memasukkan variabel Mills Ratio dalam model, maka akan terjadi apa yang disebut dengan Bias Selectivity, yaitu bias karena kesalahan dalam pemilihan sampel.
Hasil temuan lain menunjukkan bahwa kendatipun upah yang diharapkan di sektor pertanian secara relatif lebih tinggi jika dibanding dengan upah rata-rata non pertanian maka pada mulanya kecenderungan seseorang untuk memilih bekerja di sektor tersebut adalah menurun, akan tetapi setelah upah meningkat mencapai tingkat tertentu kecenderungan seseorang untuk memilih bekerja di sektor pertanian akan meningkat.
Untuk lebih jelasnya, bagaimana keadaan serta fenomena-fenomena apa yang bisa dijelaskan dalam penelitian ini yaitu berkaitan dengan faktor penentu seseorang/individu untuk menentukan pilihan apakah individu tersebut cenderung untuk memilih bekerja di sektor pertanian atau cenderung untuk memilih bekerja di sektor non pertanian berdasarkan faktor sosial ekonomi dan demografi, maka silahkan untuk membaca hasil penelitian ini.

ABSTRACT
The East of Java is one of the most populated provinces in Indonesia. Most of the people work on agriculture sector. Lately, there is a tendency of movement from agriculture sector to non-agriculture sector. Consequently, this latest phenomena has become a very interesting one to be observed.
Empirically, the main indicator shows that the level of the absorption of labor on agriculture is decreasing. Meanwhile, the effort of non-agriculture sector to capture the employment is improving and playing a more significant role.
Besides of that, as a result of the decreasing level of agriculture labor force absorption, there is a high tendency of Urbanization. Eventually, this could affect the job placement in the city, which mainly resulted from the different level of educations among workers looking for jobs and the different characteristics of jobs.
In addition, another interesting phenomena are fact that male workers have a higher tendency to work in agriculture sector in comparison to female workers.
Based on studies, the correlation between the variable of age and employment opportunities in East Java have shown that the older the respondents, the higher chances of them to more to non-agriculture sector.
Furthermore, the studies have also shown that the more educated labors have a higher tendency to leave the agricultural sector.
Level of investment in each city or province has become another important/crucial reason for workers to decide to stay on that specific location. This phenomena has already been proven in the case of East Java, that has spent a major investment in agriculture sector and that has attracted individuals to work in agriculture sector.
Due to the significantly of the ratio of mills have shown in this study, it is a must for the ratio of mills to be used in the study. Otherwise, the existence of Bias Selectivity would jeopardize the final results of the study.
Based on my study, there is "a required wage level of agriculture sector" that has to be fulfilled, in order to keep the workers on that same sector. In fact my study has shown that the required level of wage in agriculture sector has to be at least twice as much as in the non-agriculture sector wage.
To know much more in details about the characteristics of the already mentioned phenomena?s and their impacts, I would really recommend anyone to read my thesis.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nasri Bachtiar
"Usaha meringkas pemikiran ekonomi mengenai aspek-aspek yang mempengaruhi migrasi merupakan suatu hal yang tidak mudah. Seringkali ditemui resiko dimana hal-hal yang relevan untuk dianalisa terabaikan. Hal ini memungkinkan karena aspek-aspek yang mempengaruhi kemungkinan orang untuk pindah tidak hanya ditentukan oleh faktor ekonomi saja, namun juga ditentukan oleh faktor-faktor non ekonomi. Demikian pula, migrasi tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh perbedaan potensi ekonomi daerah asal dan tujuan saja, tetapi terutama ditentukan oleh persepsi individu terhadap perbedaan tersebut dan kondisi lingkungan social ekonomi rumah tangga.
Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengkaji dan menganalisa faktor-faktor apa yang mempengaruhi kemungkinan orang untuk pindah dari Kabupaten ke Kotamadya di Propinsi Sumatera Banat. Dalam hal ini, faktor faktor yang mempengaruhi kemungkinan pindah akan dilihat dari karakteristik individu calon migran itu sendiri, lingkungan sosial ekonomi rumah tangga dan perbedaan potensi ekonomi daerah asal dan tujuan.
Secara teoritis dapat dikemukakan bahwa lingkungan daerah mempengaruhi kemungkinan seseorang untuk pindah melalui perbedaan potensi sosial ekonomi daerah asal dan tujuan. Perbedaan potensi sosial ekonomi daerah asal dan daerah tujuan mempengaruhi keinginan seseorang untuk pindah melalui persepsinya terhadap kondisi tersebut. Persepsi ini akan positif bila harapan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik tinggi di daerah tujuan. Seseorang akan memutuskan untuk pindah ke daerah atau lapangan kerja tertentu bila memberikan penghasilan yang lebih tinggi dari keadaan sebelumnya. Seandainya lapangan kerja yang akan dimasuki oleh calon migran tersebut adalah sektor industri di daerah perkotaan, maka calon migran akan pindah dari sektor pertanian di daerah pedesaan ke sektor industri di daerah perkotaan. Oleh karena itu, variabel-variabel seperti proporsi nilai tambah sektor pertanian dan sektor industri serta pendapatan regional per-kapita merupakan variabel-variabel daerah yang mempengaruhi kemungkinan seseorang untuk pindah.
Lingkungan sosial ekonomi rumah tangga mempengaruhi kemungkinan seseorang untuk pindah melalui rekasinya terhadap kondisi sosial ekonomi rumah tangga dimana individu itu berada. Kondisi sosial ekonomi rumah tangga ini di samping dapat dilihat dari status pemilikan tanah seperti yang telah dikemukakan oleh Suharso (1976) juga dapat dilihat dari jumlah anggota rumah tangga dan pendapatan rata rata. Semakin banyak jumlah anggota rumah tangga akan menyebabkan semakin berkurangnya keinginan untuk pindah. Hal ini memungkinkan karena individu (kepala rumah tangga) tidak berani mengambil resiko untuk pindah. Sedangkan makin tinggi pendapatan rata-rata di tempat tujuan akan mendorong keinginan individu untuk pindah. dalam rangka untuk meningkatkan kesejahteraannya. Oleh karena itu, variabel-variabel seperti jumlah anggota rumah tangga dan pendapatan rata rata merupakan variabel lingkungan sosial ekonomi rumah tangga yang mempengaruhi kemungkinan eseorang untuk pindah.
Meskipun lingkungan sosial ekonomi rumah tangga dan perbedaan potensi ekonomi daerah asal dan tujuan mempengaruhi kemungkinan orang pindah, namun semuanya itu tergantung kepada individu dari calon migran itu sendiri. Oleh karena itu, karakteristik umur dan pendidikan merupakan faktor-faktor utama yang mempengaruhi kemungkinan pindah, setelah itu baru ditentukan ke arah mana perpindahan tersebut dilakukan.
Hasil temuan emperis membuktikan bahwa migrasi dari Kabupaten ke Kotamadya di Sumatera Barat umumnya bersifat selektif, baik dilihat dari umur maupun pendidikan tertinggi yang ditamatkan. Kedua hal ini sangat mempengaruhi respon seseorang untuk pindah melalui reaksinya terhadap kondisi sosial ekonomi rumah tangga dan daerah dimana ia berada. Secara umum dapat dikemukakan bahwa perpindahan tersebut dilakukan oleh orang orang relatif muda dan mempunyai tingkat pendidikan relatif tinggi. Keadaan ini tidak jauh berbeda dengan pola migrasi yang terjadi pada beberapa Propinsi lainnya di Indonesia.
Indikasi tersebut memperlihatkan bahwa efek dari migrasi dari Kabupaten ke Kotamadya akan menurunkan mutu modal manusia di daerah Kabupaten. Sebaliknya, efek migrasi ini akan meningkatkan mutu modal manusia yang ada di Kotamadya. Kedua hal ini pada gilirannya akan menyebabkan makin tingginya jurang perbedaan antara kualitas manusia antar daerah di Propinsi Sumatera Barat.
Hubungan antara pendidikan dan migrasi memperlihatkan bahwa orang orang yang berpendidikan tinggi mempunyai kemungkinan untuk pindah yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan orang-orang yang tidak sekolah dan orang-orang yang tidak tamat sekolah dasar (SD). Hasil pengujian emperis memperlihatkan bahwa kemungkinan orang untuk pindah pada jenjang pendidikan SD, SMP dan SMA lebih tinggi bila dibandingkan dengan orang-orang yang tidak sekolah dan orang-orang yang tidak tamat SD. Seandainya tingkat pendidikan tersebut dilihat dari lamanya sekolah, maka (orang-orang yang sekolah selama lebih dari 6 tahun mempunyai kemungkinan untuk pindah yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan orang-orang yang sekolah kurang dari 6 tahun.
Hubungan yang negatif antara rasio pendapatan daerah Kabupaten relatif terhadap pendapatan di Kotamadya terhadap kemungkinan pindah memperlihatkan bahwa para migran sangat respon terhadap perbedaan pendapatan ini. Bagaimanapun juga, hubungan tersebut sangat tergantung kepada umur dan tingkat pendidikan yang ditamatkan. Seperti yang telah dikemukakan di atas bahwa tingkat pendidikan dan umur seseorang mempengaruhi evaluasinya terhadap perkembangan ekonomi baik di daerah asal maupun di daerah tujuan. Untuk para migran yang relatif muda dan mempunyai tingkat pendidikan yang relatif tinggi mempunyai respon yang relatif berbeda dengan orang orang yang ralatif tua dan mempunyai tingkat pendidikan yang rendah. Dengan kata lain, respon untuk pindah karena adanya perbedaan pendapatan ini mungkin berbeda antara umur dan pendidikan pada kelompok masyarakat tertentu.
Hubungan yang negatif antara jumlah anggota rumah tangga dan migrasi memperlihatkan bahwa para migran sangat respon terhadap keadaan jumlah anggota rumah tangga . Hasil pengujian emperis memperlihatkan bahwa jumlah anggota rumah tangga mampu menahan keinginan untuk pindah. Indikasi ini memperlihatkan bahwa bagi migran yang berstatus kepala keluarga mereka tidak berani mengambil resiko untuk pindah karena tanggung jawab terhadap anggota rumah tangga lainnya (istri dan anak anak).
Indikasi diatas memperlihatkan bahwa bagaimanapun juga keadaan jumlah anggota rumah tangga juga mempengaruhi evaluasi seseorang terhadap kemungkinan untuk pindah, disamping faktor-faktor lainnya. Hal ini ditunjang pula oleh kondisi social budaya mayarakat minang yang cendrung untuk berpindah dan perpindahan ini tidak hanya dilakukan untuk menghindari ketergantungan kepada anggota rumah tangga yang bekerja tapi juga untuk meningkatkan taraf hidup keluarga secara keseiuruhan. Hal ini diperlihatkan pula oleh hasil temuan dimana pendapatan rata-rata yang diproduksi dari pengeluaran di daerah tujuan mendorong orang untuk pindah. Dengan kata lain makin tinggi pendapatan di daerah tujuan Akan mendorong kemungkinan orang untuk pindah ke daerah tersebut. "
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Baharuddin Wahid
"Ringkasan
Jumlah penduduk yang besar, ketimpangan penduduk antar wilayah dan pertumbuhan penduduk yang masih tinggi adalah merupakan ciri-ciri kuantitatif penduduk Indonesia. Sedangkan rendahnya tingkat pendidikan penduduk, tingginya angka kematian bayi dan rendahnya angka harapan hidup waktu lahir adalah merupakan ciri-ciri kualitas penduduk. Dengan memperhatikan ciriciri penduduk tersebut, serta adanya variasi angka kematian bayi antar wilayah dan daerah tempat tinggal (pedesaan-perkotaan); maka dalam tesis ini akan dipelajari kematian bayi di Sulawesi.
Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mempelajari asosiasi atau pengaruh faktor sosial ekonomi terhadap kematian bayi di Sulawesi. Dalam hal ini, faktor-faktor yang mempengaruhi kematian bayi akan dilihat dari karakteristik individu dari responden itu sendiri seperti : pendidikan, pendidikan suami, status pekerjaan, pekerjaan suami dan tempat tinggal.
Secara teoritis dapat dikemukakan bahwa di antara sekian banyak faktor yang mempengaruhi kematian bayi, pendidikan ibu merupakan faktor yang sangat penting. Tingkat pendidikan ibu berpengaruh terhadap tingkat pengertiannya terhadap perawatan kesehatan, higiene, perlunya pemeriksaan kehamilan dan pasta persalinan serta kesadarannya terhadap kesehatan anak-anak dan keluarganya. Di samping itu pendidikan berkaitan erat dengan faktor sosial ekonomi lainnya seperti pekerjaan, penghasilan, perumahan dan tempat tinggal. Penduduk dengan pendidikan rendah biasanya berpenghasilan rendah, bertempat tinggal di lingkungan yang kurang sehat atau miskin, sehingga mempunyai resiko kesakitan dan kematian yang tinggi.
Sumber data dalam penelitian ini adalah Survey Prevalensi Indonesia (SPI) 1987, SPI merupakan proyek kerja sama antara Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), The Institute for Research Development (IRD), dan Biro Pusat Statistik (BPS). Survey ini dilaksanakan pada bulan September - Desember 1987 di 20 propinsi di Indonesia dengan maksud untuk mengumpulkan data mengenai fertilitas dan Keluaga Berencana. Kelompok sasaran dari SPI adalah wanita berumur 15-49 tahun yang pernah kawin. Sebanyak 11.844 responden di hampir 15.000 rumah tangga terpilih diwancarai secara mendalam oleh 90 orang pewawancara wanita yang telah dilatih secara intensif. Untuk empat propinsi di Sulawesi yang tergabung dalam 14 propinsi di luar Jawa - Bali I dan II, cakupan sampel meliputi 1.268 rumah tangga dengan jumlah responden sebanyak 1069 orang.
Untuk mempelajari asosiasi atau pengaruh variabel sosial ekonomi terhadap kematian bayi dalam penelitian ini, teknik analisis yang digunakan adalah 1). Statistik deskriptif yang bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik variabel sosial ekonomi dan antara yang diperhatikan dan 2). Statistik inferensial yang bertujuan untuk mempelajari besarnya hubungan serta kuatnya peran variabel bebas dalam mempengaruhi variabel tak bebas yaitu kematian bayi, di samping itu dipakai untuk mempelajari perbedaan proporsi dan perbedaan resiko kematian bayi menurut tempat tinggal.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa angka kematian bayi lebih tinggi di pedesaan dibanding di perkotaan. Namun dalam penelitian ini, berdasarkan hasil analisis statistik deskriptif diperoleh proporsi kematian bayi yang lebih tinggi di perkotaan dibanding di pedesaan. Sedang berdasarkan hasil uji statistik inferensial dengan menggunakan statistik Odd-Ratio bersyarat, menunjukkan adanya variasi angka kematian bayi yang lebih tinggi di daerah perkotaan atau di pedesaan, tergantung dari indikator variabel yang digunakan dalam model. Hal ini ditunjukkan oleh hasil analisis dari setiap model yang diperhatikan, dalam Model Pertama yang digunakan dalam penelitian ini.
Dari semua variabel antara yang diperhatikan dalam penelitian ini, menunjukkan bahwa variabel jarak kelahiran (VIC), sumber air minum (SAM), tempat buang air besar (TBA) dan tempat melahirkan (ITM) mempunyai pengaruh langsung yang berarti secara statistik terhadap kematian bayi di Sulawesi.
Demikian pula ditunjukkan bahwa berdasarkan hasil uji statistik inferensial, asosiasi atau pengaruh variabel sosial ekonomi dan antara secara bersama-sama terhadap proporsi kematian bayi, interaksi indikator variabel pendidikan tamat SLTP+ (IPI2) dan status pekerjaan (IKI) dengan tempat tinggal (ITT) mempunyai pengaruh yang berarti tehadap proporsi kematian bayi. Hal ini menunjukkan bahwa indikator variabel pendidikan tamat SLTP+ dan status pekerjaan mempunyai perbedaan pengaruh yang berarti terhadap proporsi kematian bayi menurut tempat tinggal. Sedang interaksi indikator variabel pendidikan suami (IPS1 dan IPS2) dan pekerjaan suami (IKS) dengan tempat tinggal (ITT) tidak mempunyai perbedaan pengaruh secara statistik dengan tempat tinggal. Demikian pula variabel utama yang diperhatikan indikator variabel pendidikan (IPI1 dan IPI2), status pekerjaan (IKI) yang signifikan pada a = 0,05; yang berarti bahwa variabel-variabel tersebut mempunyai pengaruh yang berarti terhadap kematian bayi.
Pengaruh tidak langsung faktor sosial ekonomi berdasarkan Model Kedua (berlakunya model Mosley dan Chen), ditunjukkan bahwa indikator variabel pendidikan suami (IPS1 dan IPS2) yang tidak mempunyai pengaruh yang berarti terhadap kematian bayi melalui variabel tempat buang air besar (TBA) dan variabel tempat melahirkan (ITM). Demikian pula variabel status pekerjaan responden (IKI) dan pekejaann suami (IKS) tidak mempunyai pengaruh yang berarti terhadap kematian bayi melalui Variabel sumber air minum (SAM). Sedang variabel tempat tinggal (ITT) tidak mempunyai pengaruh yang berarti terhadap kematian bayi melalui variabel jarak kelahiran (VIC) dan tempat melahirkan (ITM).
"
1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sarungu, Julianus J.
"ABSTRAK
Tesis ini bertujuan mengidentifikasi faktor-faktor sosial ekonomi dan demografi yang berpengaruh dominan terhadap proses urbanisasi, mempelajari hubungan faktor-faktor tersebut dengan urbanisasi, dan mengungkapkan jalur mekanisme pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap urbanisasi. Tujuan tersebut dicapai berdasarkan kasus Indonesia selama kurun waktu pembangunan 1971-1985.
Rerangka pikiran yang dikembangkan dalam hal ini bertumpu pada apa yang disebut "Hipotesa Karakteristik' (characteristic Hypothesis) yang menyatakan bahwa proses urbanisasi yang berbeda di berbagai wilayah/region merupakan manifestasi perbedaan perubahan komponen demografi (fertilitas, mortalitas dan migrasi neto baik antar maupun dalam wilayah). Namun, dibalik semua perbedaan itu adalah perbedaan perubahan faktor-faktor sosial ekonomi masing-masing wilayah serta kebijakan pembangunan masa yang lalu.
Secara empiris, kerangka pikiran/teoritis tersebut kemudian diperinci ke dalam hubungan antar peubah-peubah bebas dan peubah tak bebas. Peubah-peubah bebas yang ditentukan secara selektif berdasarkan teori-teori dan penelitian-penelitian terdahulu meliputi: (1) Peubah-peubah ekonomi: Pendapatan Regional Per Kapita ( PPK), Kesempatan Kerja Pertanian (KRP) dan Peranan Sektor Manufaktur Daerah Secara Nasional (PMDN); (2) Peubah-peubah Sosial: Angka Literasi (LIT), Rasio Wanita Usia Subur Tamat SLTA+ (WUSS) dan Angka Kematian Bayi (AKB); (3) Peubah-peubah Demografi: Angka Fertilitas Total (ART), Usia Harapan Hidup (UHH) sebagai peubah proksi terhadap mortalitas dan Angka Migrasi Antar Provinsi, baik migrasi masuk (MMAP) maupun migrasi keluar (MKAP);(4) Peubah-peubah Situasional:Wilayah Urbanisasi (WU), Wilayah Kebijakan Pembangunan (WP) dan Waktu/Tahun (T). Semua peubah tersebut merupakan peubah kategori (dummy variable). Sedang peubah tak bebas adalah tingkat atau derajat urbanisasi (DURB), yaitu proporsi penduduk yang tinggal menetap di daerah perkotaan.
Hubungan antar peubah tersebut dianalisis dengan menggunakan peralatan statistik regresi linear berganda (multiple linear regression model) berdasarkan data dari 24 propinsi yang dipublikasi oleh Biro Pusat Statistik (BPS) pada tiga titik waktu/tahun (1971, 1980 dan 1985). Dengan demikian, analisis data meliputi 72 observasi (cases). Dalam hal ini, masing-masing propinsi diperlakukan sebagai satuan analisis (unit of analysis). Data gabungan (the pooled data) ini diproses dengan menggunakan program komputer Statistical Analysis System (SAS Program) di Laboratorium Komputer Lembaga Demografi, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia.
Beberapa hasil temuan dari pengolahan data tersebut dapat di sebutkan sebagai berikut:
1. Pengaruh Peubah Demografi Dengan Urbanisasi.
Peubah demografi yang berpengaruh dominan terhadap urbanisasi adalah angka kelahiran total/fertilitas dan usia harapan hidup, sedang migrasi antar daerah/propinsi baik migrasi masuk maupun migrasi keluar tidak berpengaruh. Fertilitas menunjukkan pengaruh negatif terhadap urbanisasi. Rasionalisasi yang sering diajukan mengenai hal ini adalah fertilitas pada umumnya lebih tinggi di daerah pedesaan daripada di daerah perkotaan. Akibatnya, pertumbuhan penduduk pedesaan lebih pesat dibanding pertumbuhan penduduk perkotaan. Sedang usia harapan hidup sebagai proksi mortalitas menunjukkan pengaruh yang negatif pula terhadap urbanisasi. Meningkatnya usia harapan hidup dapat menggambarkan penurunan mortalitas. Oleh karena itu, hubungan tersebut di atas dapat menunjukkan terjadinya penurunan angka kematian di daerah pedesaan yang lebih drastis dibanding di daerah perkotaan dan mengakibatkan pertumbuhan penduduk pedesaan lebih tinggi dibanding dengan di daerah perkotaan. Berdasarkan arah perubahan fertilitas dan mortalitas tersebut, maka perubahan keduanya secara bersamaan akan cenderung meningkatkan pertumbuhan penduduk alami di pedesaan lebih pesat dibanding di daerah perkotaan. Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan peubah lainnya maka urbanisasi cenderung menurun.
Migrasi antar daerah/propinsi baik migrasi masuk maupun migrasi keluar ternyata tidak berpengaruh terhadap urbanisasi. Hal ini nampaknya tidak terlepas dari masih rendahnya mobilitas penduduk antar daerah/propinsi dan mobilitas yang rendah tersebut berlangsung menuju hanya ke daerah tertentu, yaitu DKI Jakarta dan Lampung. Hal ini memberikan kesan yang kuat bahwa migrasi dalam daerah (migrasi desa-kota) nampaknya lebih berperanan dalam proses urbanisasi.
2. Pengaruh Peubah Sosial Ekonomi Dengan Urbanisasi.
Peubah literasi, ratio wanita usia subur yang berpendidikan tinggi dan angka kematian bayi ternyata tidak berpengaruh terhadap urbanisasi meskipun literasi menunjukkan pengaruh terhadap kelahiran, kematian dan migrasi serta ratio wanita usia subur yang berpendidikan tinggi berpengaruh terhadap kelahiran. Sedang peubah-peubah ekonomi ternyata menunjukkan pengaruh terhadap urbanisasi. Dengan demikian, peubah-peubah ekonomi menunjukkan pengaruh yang lebih dominan terhadap urbanisasi dibandingkan dengan peubah-peubah sosial. Nampaknya, hal ini merupakan konsekuensi logis dari aplikasi strategi pembangunan yang lebih menekankan bidang ekonomi.
Pendapatan per kapita menunjukkan pengaruh positif terhadap urbanisasi. Pendapatan per kapita yang meningkat dapat merupakan refleksi meningkatnya produktifitas sebagai akibat kemajuan tekologi dan akumulasi modal baik modal fisik maupun modal manusia. Peningkatan tersebut pada gilirannya akan mendorong perubahan struktural perekonomian dan demografis antara lain komposisi penduduk dan alokasi kesempatan kerja baik antar sektor (pertanian dan bukan pertanian) maupun antar daerah (daerah perkotaan dan daerah pedesaan). Pada umumnya, akumulasi modal dan aplikasi teknologi lebih berorientasi ke daerah perkotaan karena luasnya pasar produk. Oleh karena itu, daerah perkotaan cenderung berfungsi sebagai pesat aktifitas sosial ekonomi yang akan menjadi daya tarik kuat bagi berbagai sumberdaya ekonomi termasuk sumber daya manusia. Sementara itu, aplikasi teknologi pertanian di pedesaan cenderung bersifat menghemat pekerja. Akibatnya, mobilitas penduduk ke daerah perkotaan semakin meningkat dan urbanisasi akan meningkat pula. Selain itu, meningkatnya pendapatan per kapita dapat pula merefleksikan meningkatnya kemampuan sosial ekonomi masyarakat. Hal ini berarti kemampuan masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidup secara fisik dan pengetahuan akan meningkat pula. Peningkatan tersebut cenderung mendorong kelahiran tetapi akan menekan kematian relatif drastis terutama di daerah pedesaan. Akibatnya, pertumbuhan penduduk daerah pedesaan akan lebih pesat dibanding dengan di daerah perkotaan dan karena itu urbanisasi akan cenderung menurun. Jadi, jika pendapatan per kapita berpengaruh positif terhadap urbanisas maka hal ini menunjukkan bahwa pengaruh peningkatan pendapatan per kapita tersebut lebih dominan melalui perubahan migrasi daripada melalui perubahan kelahiran dan kematian.
Kesempatan kerja pertanian berpengaruh negatif terhadap urbanisasi. Meningkatnya (menurunnya) kesempatan kerja pertanian di daerah pedesaan cenderung menghambat (mendorong) migrasi desa-kota. Hal ini berarti pula menghambat (mendorong) urbanisasi. Peningkatan atau penurunan kesempatan kerja pertanian di daerah pedesaan sangat ditentukan oleh penerapan teknologi pertanian/mekanisasi, usaha komersialisasi pertanian dan ketimpangan pemilikan tanah pertanian. Terdapat kecenderungan bahwa pembangunan pertanian yang lebih mengarah ke mekanisasi pertanian, kurang komersil dan lebih mendorong ketimpangan pemilikan tanah pertanian akan menyebabkan menurunnya kesempatan kerja pertanian. Keadaan ini akan mendorong migrasi baik secara sektoral maupun secara spasial (migrasi desa-kota) dan pada gilirannya akan mendorong urbanisasi lebih pesat. Demikian pula sebaliknya.
Peranan sektor manufaktur berpengaruh negatif terhadap urbanisasi. Hubungan tersebut dapat terjadi bilamana tingkat industrialisasi masih relatif rendah, industri manufaktur bersifat padat modal, berorientasi ekspor, dan umumnya berlokasi di daerah pedesaan sehingga industri manufaktur kurang (tidak) berkaitan dengan arus mobilitas penduduk dari daerah pedesaan ke daerah per kotaan.
3. Urbanisasi Dan Ketimpangan wilayah/daerah.
Berdasarkan pembagian wilayah Indonesia menjadi tiga wilayah kebijakan pembangunan yaitu Wilayah Indonesia bagian barat, Wilayah Indonesia bagian tengah dan Wilayah Indonesia bagian timur, maka hasil empirik menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat dan perubahan urbanisasi yang bermakna secara statistik di ketiga wilayah tersebut. Tingkat dan perubahan urbanisasi di wilayah Indonesia bagian timur lebih rendah dan lamban di banding dengan di wilayah Indonesia lainnya. Ada kecenderungan semakin kearah barat wilayah Indonesia, urbanisasi semakin pesat.
Perbedaan-perbedaan tersebut, sesungguhnya menunjukkan pula adanya perbedaan kreatifitas sosial ekonomi di wilayah tertentu dan prioritas kebijakan pembangunan yang lebih berorientasi ke wilayah Indonesia bagian barat. Dari segi ini, ternyata variasi urbanisasi di berbagai daerah atau wilayah menunjukkan pula ketimpangan sosial ekonomi dan demografis antar daerah atau wilayah (ketimpangan wilayah).
4. Implikasi kebijakan.
Setelah memperhatikan berbagai hubungan antar peubah-peubah sosial ekonomi dan demografi dengan urbanisasi serta gambarannya menurut wilayah kebijakan pembangunan maka perlu diupayakan suatu kebijakan perangsang urbanisasi, terutama di wilayah atau daerah di .mana tingkat dan tempo urbanisasi sarigat rendah dan lamban, seperti di Wilayah Indonesia bagian timur atau di daerah tertentu di wilayah Indonesia lainnya. Kebijakan tersebut merupakan kebijakan sosial ekonomi dan demografi yang pelaksanaannya hendak nya diintegrasikan diantara pengembangan daerah perkotaan dan daerah pedesaan dan diantara pengembangan wilayah pembangunan yang satu dengan lainnya. Hal ini dimaksudkan agar dapat mendorong realokasi berbagai sumberdaya pembangunan, termasuk sumberdaya manusia dan teknologi secara optimal ke wilayah pembangunan atau daerah yang derajat urbanisasinya masih relatif rendah.
Berbagai program pembangunan perlu dilaksanakan atau lebih diintensifkan untuk mendukung kebijakan tersebut diatas, antara lain: pengembangan kota sedang dan kecil baik fisik maupun sosial ekonomi di berbagai wilayah; pengembangan industri sedang dan kecil serta industri kerajinan di daerah pedesaan disamping peningkatan kegiatan bidang pertanian; peningkatan pengetahian masyarakat terutama di daerah pedesaan, terutama yang berkaitan dengan aspek demografi (fertilitas, mortalitas dan migrasi) dan kualitas sumberdaya manusia; peningkatan dan pemerataan informasi dan fasilitas pendidikan dan kesehatan di berbagai wilayah atau daerah yang semakin intensif.

ABSTRACT
The purpose of this study is to investigate social economic and demographic factors which have dominant influences on urbanization and to examine the mechanism by which those factors have influenced urbanization over the development period of 1971-1965.
The theoretical framework is based on The Characteristic Hypothesis, which states that the varied levels and tempos of urbanization among regions reflect differential changes in demographic components (fertility, mortality and net migration) aid government policies of settlement. Underlying these differentials are differences in socioeconomic conditions and development.
Selected independent variables are classified into: (i) economic variables, which include regional income per capita (PPK) agricultural employment (KKP) and the national share of local manufacture sector (PMDN); (ii) social variables, which consist of the literacy rate (LIT), the highest education attained by women aged 15 to 49 (reproductive ages/WUSS) and the infant mortality rate (AKB) as a proxy for social health conditions; (iii) demo - graphic variables, such as the total fertility rate (AKT), life, expectancy (UHH), the interprovince in - and out - migration rate (MMAP and MKAP); (iv) situational variables, e.g urbanization regions (WU), development policy of the region (WP) and time/years (T), all of which are used as dummy variables; and (v) the policy variable, which is presented by the percentage of urban-village (desa-perkotaan) as a proxy for reclassification. The dependent variable is the level or degree of urbanization (DURB), i.e. the proportion (percentage) of population living in urban areas.
The Multiple linear regression is used for studying and testing the relationships of these variables. The sample set is a set of secondary data of 24 provinces over three years 1971, 1988' and 1985. In short the sample consists of 72 observations. In this study, each province represents a unit of analysis. The data were collected and published by Biro Pusat Statistik (The Central Bureau of Statistics/BPS). The pooled data was processed by using the computer programmed "Statistical Analysis System" (SAS) at the Demographic Institute Laboratory, the Faculty of Economics, the University of Indonesia.
The empirical results may be summarized as follows :
1. The Relationship between demographic variables and Urbanization.
The demographic variables which have dominant influences on urbanization are the Total fertility rate and the Life expectancy rate, while the interprovince in- and out-migration rate has no influence on urbanization. The logical and common explanation for this matter which is often put forward is that fertility in the rural areas is generally higher than in the urban areas, and consequently, the growth of the rural population is more rapid than the growth of the urban population. At the same time, the life expectancy rate as a proxy for the mortality rate also indicates a negative influence on urbanization. The increasing of life expectancy points to the reducing of mortality. Therefore, the above relationship shows that the mortality rate in rural areas is decreasing more drastically than the mortality rate in urban areas, and as a result, the increase of the rural population is higher than the increase of the urban population. Based on this tendency of fertility and mortality, these two changes will equally tend to increase the natural of population growth in the rural areas more rapidly than in the urban areas. Therefore, considering the other variables, urbanization is tending to decrease.
Interprovince migration, both in- and out-migration, obviously has no influence on urbanization. This evidently can not be separated from the low mobility of people between regions/provinces and migration continues to go toward certain provinces, i.e., the Jakarta Metropolitan Area and Lampung. This gives the strong 'impression that intra-province migration (rural-urban migration) obviously plays a part in the urbanization's process.
2. The Relationship between Social-Economic Variables and Urbanization.
The Literacy rate, the educational attainment of women of reproductive ages, and the infant mortality rate obviously have no influence on urbanization although literacy indicates an influence on fertility, mortality and migration; and the educational attainment of women of reproductive ages only influences the fertility rate. At the same time, all economic variables show a significant influence on urbanization. Thus, economic variables have a more dominant influence than social variables on the urbanization process. This is a logical consequence of the application development strategy which has emphasized on the economic field.
Income per capita shows a positive influence on urbanization. The increasing of income per capita can be a reflection of the increasing of productivity as a result of technological progress and capital accumulation, both physical and human capital. In turn, this increase will influence the change of the economic and demographic structure, i.e., population composition and allocation of employment, both from inter sectors (agriculture and non agriculture) and inter-regions.
Generally, capital accumulation and technological application tend to be concentrated in urban areas because these areas have a wide product market. Therefore, urban areas tend to function as a center for social economic activities which will strongly attract economic resources, including human resources, while the application of agricultural technology in rural areas tends to save on labor. Consequently, the movement of people to urban areas is increasing and urbanization, of course, will also increase. The increasing of income per capita also reflects the increase in the social economic condition of people, which means that the ability of the people to increase their standard of living physically and in term of skills is improving. This increases tend to stimulate the fertility, but it will suppress the mortality rate somewhat drastically, especially in rural areas.
As a consequence, the population in the rural areas will increase more rapidly than in the urban areas, and therefore urbanization will tend to be reduced. Thus, if income per capita has a positive influence on urbanization, this indicates that the influence is more dominant through the change of migration (rural-urban migration).than the change of fertility and mortality.
Increased agricultural employment has a negative influence on urbanization and vice versa. The increasing of agricultural employment in rural areas tends to decrease the rural-urban migration, and this means decreased urbanization. The increasing of agricultural employment in rural areas is caused by the application of agricultural technology (mechanization), commercialized efforts in the agricultural sector, and the imbalance of farm ownership. Agricultural development means agricultural mechanization, fewer commercialized efforts and the-imbalance of the farm ownership which causes the reduction of agricultural employment. This condition will stimulate migration, both in inter-sectors and in spatial regions (rural-urban migration), and in turn it will stimulate more rapid urbanization.
The role of the manufacturing sectors has a negative influence on urbanization. This relationship can exist if the industrialization level is still relatively low, and the manufacturing industry is more capital intensive, more export oriented, and generally located in rural areas. Under such condition the manufacturing industry has little relationship to people's mobility from rural areas to urban areas.
3. Urbanization and The Imbalance of Regions.
Based on the division of Indonesian regions which is divided into three development policy regions (the Western Indonesia Region, the Central Indonesia Region and the Eastern Indonesia Region), empirical results show there are differences in the level and growth rate of urbanization in these three regions. The level and growth rate of urbanization in the Eastern region is lower than in the other regions. There is a tendency that the more westernly the region is, the higher and more rapid urbanization is.
This facts actually shows the differences between social economic activities in a certain region and the priority of development policy given to the Western region. From this aspect, the differences in urbanization in the various region shows an imbalance between social economic development and demographic changes among the regions.
4. The Policy Implications.
Having observed the various relationships between social economic and demographic variables and urbanization and the description of regional policy, it is necessary to try to make policies which stimulate the urbanization process, especially in the-se regions where the level and rate of growth of urbanization are low and slow, such as in the Eastern Indonesian region or certain areas of the other Indonesian regions. It is the social economic and demographic policies which must be carried out to find a balance between the development of the urban and rural areas, and between the development of one region and the others. The policies must be able to optimally stimulate reallocation of the various development resources, including human resources and technology, to develop areas which have a low level and rate of growth urbanization.
Various development programs which are necessary to intensify and to support the above mentioned policies, are as follows: the development of small and medium sized cities, both in physical and social economic aspects in the various regions; the development of small and medium sized industries, especially in rural areas, besides an increase of the agriculture sector; the in-crease of people's skill, especially those which have a relation with demographic aspects (fertility, mortality and migration), and the quality of human resources; a more intensive increase and equalization of information, educational and health facilities in the various regions.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Sutji Rochani D., author
"ABSTRAK
Tesis ini bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh beberapa variabel sosial ekonomi dan demografi terhadap jumlah anak yang dilahirkan hidup oleh wanita migran risen dan wanita non migran risen di DKI Jakarta. Data yang digunakan dalam menganalisis bersumber pada Survai Prevalensi Indonesia 1987 untuk daerah DKI Jakarta.
Dasar yang digunakan untuk menganalisis, adalah kerangka pemikiran Ronald Freedman (1975) yang mengembangkan suatu model yang disebut The sosiological analysis of fertility levels. Freedman menggunakan dasar pemikiran Davis and Blake dalam ruang lingkup sosiologis yang lebih luas. Variabel independen terdiri dari variabel sosial ekonomi, antara lain adalah pendidikan isteri/responden, pendidikan suami, pekerjaan suami, status bekerja isteri, tempat tinggal isteri waktu berumur kurang dari 12 tahun, status migrasi isteri/responden dan variabel demografi lainnya adalah umur isteri, umur kawin pertama, serta lama kawin. Sedangkan yang digunakan sebagai variabel dependen adalah jumlah anak yang dilahirkan hidup sampai saat survai.
Hasil analisis tesis ini adalah
1. Umur dan lama kawin mempunyai hubungan positif dengan paritas yang dipunyai baik wanita migran risen maupun wanita non migran risen.
2. Umur kawin pertama mempunyai hubungan negatif dengan paritas yang dipunyai baik wanita migran risen maupun wanita non migran risen.
3. Pendidikan isteri, wanita migran risen yang tamat SMA atau lebih mempunyai anak lebih sedikit dibandingkan dengan paritas wanita migran risen yang tamat SMP atau kurang. Sedangkan wanita non migran risen dengan pendidikan yang lebih rendah yaitu tamat SMP atau lebih cenderung mempunyai anak lebih sedikit dibandingkan dengan wanita non migran risen yang berpendidikan tamat SD atau kurang.
4. Pendidikan suami dari wanita migran tampaknya tidak mempunyai pengaruh yang berarti terhadap paritasnya, sedangkan pendidikan suami wanita non migran cenderung mempunyai hubungan negatif terhadap paritasnya.
5. Wanita migran yang tidak pernah bekerja cenderung mempunyai anak lebih banyak dibandingkan dengan paritas wanita migran status kerja lainnya. Dan wanita non migran yang bekerja terus (maksud bekerja terus adalah sebelum kawin sampai saat wawancara masih bekerja) mempunyai paritas lebih sedikit dibandingkan dengan paritas wanita non migran status kerja lainnya.
6. Pekerjaan suami terlihat tidak mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap paritas yang dimiliki wanita migran maupun wanita non migran.
7. Tempat tinggal waktu kecil dari wanita migran cenderung tidak mempunyai pengaruh yang berarti terhadap paritasnya, sedangkan wanita non migran yang waktu kecil tinggal di kota besar mempunyai paritas lebih banyak dibandingkan dengan paritas wanita non migran yang waktu kecil tidak tinggal di kota besar.
"
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurlina Tarmizi
"Tesis ini bertujuan untuk mempelajari dampak mutu modal manusia terhadap penghasilan khususnya dampak pendidikan terhadap penghasilan. Mengungkapkan manfaat yang diperoleh akibat dari migrasi yang dilakukan oleh tenaga kerja, serta mengidentifikasi beberapa faktor sosial ekonomi yang diperkirakan mempunyai dampak terhadap penghasilan. Telaah yang dilakukan terutama telaah pada pekerja migran. Pekerja non migran juga dianalisis dalam studi ini, sebagai pembanding.
Fokus pengamatan terhadap pekerja migran, tidak terlepas dari kerangka pemikiran yang dikembangkan oleh Sjaastad (dalam Husin, 1978) dan Davanso (1980), yang menyatakan bahwa problema migrasi sebagai alokasi sumber daya, di mana migrasi pekerja dianggap sebagai suatu investasi, yang akan memberikan keuntungan.
Investasi dalam modal manusia menurut Becker {1980) dan Ananta (1986), dilakukan melalui investasi dibidang pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Variabel kesehatan dan keamanan berkorelasi positif dengan pendidikan (Ananta, 1988). Oleh sebab itu pengaruh kesehatan dan keamanan pada penghasilan telah termasuk oleh koefisien pendidikan. Dan hendaknya koefisien variabel pendidikan di_lihat sebagai dampak pendidikan yang sudah dipengaruhi oleh variabel kesehatan dan keamanan, pada penghasilan. Namun, sangat lebih baik jika ketiga variabel tersebut dapat dimasukkan ke dalam analisa. Selain variabel pendidikan, variabel sosek dan demografi juga mempengaruhi penghasilan.
Secara empirik, kerangka pemikiran dan teoritik kemudian diperinci kedalam hubungan antar peubah, peubah bebas dan peubahpeubah tak bebas. Variabel yang diperhatikan sebagai peubah bebas adalah pendidikan, status migran, jenis kelamin, jam kerja, status perkawinan, sektor pekerjaan, tempat tinggal, dan usia. Sedangkan penghasilan sebagai peubah tak bebas.
Metode analisis yang digunakan adalah statistik deskriptif dan statistik inferensial. Analisa dengan statistik inferensial dengan menggunakan statistika Regresi Ganda. Hasil yang diperoleh dari analisis data adalah sebagai berikut: Tidak terdapat perbedaan penghasilan antara migran dan non migran. Perbedaan penghasilan antara migran dan non migran bukan bukan karena status migrannya, tetapi karena faktor pendidikan, jenis kelamin, tempat tinggal, usia, jam kerja dan status perkawinan.
Hasil temuan lain menampakkan ada kaitan erat antara pendidikan, penghasilan dan usia. Seseorang berpendidikan lebih tinggi ketika baru memasuki lapangan usaha mempunyai penghasilan yang lebih rendah daripada seseorang dengan tingkat pendidikan dibawahnya. Tampak sekali pada saat ini peran lama bekerja yang mencerminkan pengalaman kerja, lebih dominan menentukan penghasilan daripada peran pendidikan. Pendidikan baru menampakkan perannya setelah melewati titik (usia) keseimbangan tertentu.
Titik kessimbangan antara yang tidak tamat SD ke bawah dengan yang tamat SD dicapai pada usia 19,42 tahun dan antara yang tamat SD dengan-tamat SMTP pada usia 28,30 tahun. Sesudah melewati titik keseimbangan ini, baru mareka yang berpendidikan lebih tinggi mempunyai penghasilan yang lebih besar daripada mereka yang berpendidikan lebih rendah. Keadaan seperti ini hanya berlaku untuk jenjang pendidikan tidak tamat SD ke bawah dengan tamat SD, dan antara tamat SD dan tamat SMTP. Sedangkan antara yang tamat SMTP dan tamat SMTA ke atas tidak terdapat titik keseimbangan. Penghasilan yang tamat SMTA he atas selalu lebih besar daripada tamat SMTP. Beda penghasilan antara yang tamat SMTP dan yang tamat SMTA ke atas untuk setiap usia berapapun selalu menunjukkan jumlah yang sama.
Lebih lanjut, dengan hanya memperhatikan variabel usia, pendidikan dan penghasilan, dan setelah mengasumsikan variabel lainnya ceteris paribus, dapat diketahui hubungan antara usia dengan penghasilan berbentuk parabolis. Titik maksimum usia dengan penghasilan pada usia 59,43 tahun untuk pendidikan tidak tamat SD ke bawah, 71,41 tahun untuk tamat SD, dan usia 52,79 tahun untuk tamat SMTP dan tamat SMTA. Hasil temuan ini sejalan dengan hukum diminishing marginal returns. Bahwa tambahan usia pada mulanya menaikkan penghasilan, dan setelah melewati usia tertentu tambahan penghasilan secara absolut menurun dengan meningkatnya usia. Temuan ini juga sesuai dengan hasil analisa deskriptif yang menyatakan penghasilan mencapai maksimal ketika seseorang mencapai usia antara 50 sampai 59 tahun.
Hasil temuan juga memperlihatkan asosiasi jam kerja dan penghasilan berbentuk parabolis. Jam kerja maksimum 73,16 jam per bulan atau 13,28 jam per minggu. Artinya seseorang akan mencapai penghasilan Maksimal jika ia bekerja 18,28 jam per minggu.
Menarik sekali bahwa mereka yang bekerja kurang dari 35 jamn hanya sedikit sekali yang mengatakan bersedia menerima pekerjaan lagi. Bahkan mereka yang bekerja dengan jam ekrja panjang yang lebih banyak dari kelompok dari atas. Untuk kasus kedua ini, faktor penghasilan rendah diduga sebagai penyebabnya. Untuk kasus pertama mereka diduga bekerja dengan jam kerja pendek dan tidak bersedia menerima pekerjaan lagi karena mereka menganggap penghasilan yang diterima sudah cukup besar.
Seperti dapat diduga, pengahsilan laki-laki lebih besar daripada penghasilkan perempuan. Hasil teman ini sama dengan teuan pada analisa deskriptif. Penelusuran atas data yang ada, perbedaan penghasilan antara laki-laki dan perempuan seperti diatas adalah karena faktor pendidikan dan spesialisasi, pada akhirnya akan berpengaruh pada penghasilan pekerja perempuan. dapat di terima. Dalam amsyarakat kita, pendapat bahwa wanita merupakan sosok pribadi yang feminine, makhluk lemah, pengasuh anak masih di terima dalam banyak kalangan masyarakat kita. Faktor lain adanya diskriminasi seksual dalam pekerjaan. masih banyak terjadi. Untuk jabatan yang sama, perempuan dituntut ijazah yang lebih tinggi daripada seorang laki-laki. Faktor ini menyebabkan ketinggi daripada seorang laki-laki. Faktor ini menyebabkan kebanyakan pekerja perempuan kurang dapat bersaing di pasar kerja.
Dari Hasil temuan juga memperlihatkan bahwa penghasilan mereka yang bekerja di sektor formal lebih besar daripada yang bekerja di sektor informal. Hasil temuan memperlihatkan pula bahwa buakn hanya sektor pekerjaan yang menentukan besar kecilnya pengahasilan seseorang akan tetapi faktor-faktor pendidikan. Mereka yang bekerja di sektor informal tapi berpendidikan lebih tinggi mempunyai penghasilan yang lebih besar daripada mereka yang bekerja di sektor formal tapi berpendidikan lebih rendah."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1990
T9077
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rani Toersilaningsih
"Latar Belakang
Setiap perencanaan pembangunan baik fisik maupun non-fisik ditujukan untuk peningkatan kesejahteraan penduduk, oleh sebab itu kebutuhan informasi yang berkaitan dengan jumlah dan komposisi penduduk serta perubahan-perubahannya sangat penting artinya untuk perencanaan pembangunan. Semakin baik informasi tersebut, semakin baik pula perencanaan pembangunan yang dihasilkan. Informasi yang baik merupakan informasi yang tepat, relevan, akurat, tersedia secara cepat dan murah.
Selama ini di Indonesia, data kependudukan yang digunakan untuk dasar perencanaan pembangunan diperoleh dari data sensus maupun survei penduduk yang dilakukan oleh BPS. Walaupun cakupannya luas yaitu seluruh negara tetapi data tersebut hanya dapat disajikan paling rendah sampai pada tingkat propinsi saja. Selain itu data ini jugs hanya dapat disajikan untuk satu titik waktu tertentu saja yaitu pada tahun berakhiran 0 yaitu sensus penduduk atau berakhiran 5 yaitu survei antar sensus penduduk, dengan kata lain data penduduk tersedia setiap 5 tahun sekali. Dengan demikian untuk perencanaan pembangunan yang bersifat regionalllokal dan untuk jangka waktu yang lebih pendek, data hasil sensus maupun survei tidak dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Hal ini menyebabkan perlunya ada sumber data yang lain, yang dapat memenuhi kebutuhan di tingkat regional/lokal dan berjangka waktu pendek (tahunan misalnya).
"
1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
F.X. Soewarto Citro Taruno
"Tujuan penelitian ini adalah untuk: (1) mengadakan kajian terhadap faktor-faktor sosial ekonomi dan faktor-faktor latar belakang yang mempengaruhi fertilitas, dan (2) mengadakan kajian terhadap bentuk-bentuk hubungan fertilitas dengan faktor-faktor tersebut.
Studi tentang faktor-faktor penentu fertilitas di Irian Jaya ini menggunakan data sekunder hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) tahun 1985 yang telah dikumpulkan oleh Kantor Biro Pusat Statistik. Responden penelitian ini adalah wanita yang berstatus kawin (currently married women) berusia antara 15 - 49 tahun, yang berjumlah 1560 responden.
Metode analisis data menggunakan analisis deskriptif dan analisis inferensial. Teknik analisis yang dipergunakan untuk menduga pengaruh faktor-faktor penentu fertilitas di Irian Jaya adalah Teknik Analisis Regresi Linier Berganda yang Aditif.
Hasil temuan mengenai pola pengaruh atau pola hubungan masing-masing variabel bebas terhadap fertilitas (anak lahir hidup) setelah dikontrol terhadap variabel-variabel lainnya di dalam persamaan garis regresi, adalah sebagai berikut:
Pertama, umur perkawinan pertama dan tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan cenderung mempunyai hubungan atau pengaruh negatif dengan fertilitas.
Kedua, umur wanita, pengeluaran rumah tangga sebulan sebagai proksi penghasilan.. dan banyaknya mengalami kematian bays cenderung mempunyai hubungan atau pengaruh positif dengan fertilitas.
Ketiga, jenis pekerjaan, status pekerjaan, daerah tempat tinggal, agama, dan akseptor keluarga berencana mempunyai hubungan (asosiasi) dengan fertilitas, sebagai berikut:
(1) Wanita yang bekerja di bidang profesional dan tata usaha memiliki anak lahir hidup lebih rendah dibandingkan wanita yang bekerja di bidang penjualan-jasa-produksi, dan wanita yang bekerja di bidang pertanian, serta wanita yang tidak bekerja.
(2) Wanita yang status pekerjaan sebagai pegawai/karyawan dan status pekerjaan sebagai pekerja keluarga mempunyai jumlah anak lahir hidup lebih rendah dibandingkan dengan wanita yang status pekerjaan sendiri tanpa bantuan buruh dan yang bekerja dengan bantuan buruh, serta wanita yang statusnya tidak bekerja.
(3) Wanita yang bertempat-tinggal di daerah perkotaan memiliki anak lahir hidup lebih sedikit dibandingkan dengan wanita yang bertempat tinggal di daerah pedesaan.
(4) Wanita yang menganut agama Islam atau Katholik memiliki jumlah anak lahir hidup lebih sedikit dibandingkan dengan wanita yang beragama Protestan/Kristen lainnya.
(5) Wanita yang menggunakan alat kontrasepsi memiliki anak lahir hidup lebih banyak dibandingkan dengan wanita yang tidak menggunakan alat kontrasepsi.

The purpose of this study was to investigate social economic and background variables which influence fertility, and to examine pattern of relationships between those variables and fertility.
This study was about the province of Irian Jaya and utilized the 1985 Inter Cencal Population Survey (SUPAS 1985) data collected by The Central Bureau of Statistics (Biro Pusat Statistik).
The respondents is considered in this study were currently married women only aged 15 to 49, i.e women in the reproductive ages. The total member of respondents analyzed was 1560.
The data was analyzed using descriptive and inferential analysis methods. Multiple Linear Regression was used for estimating coeficients of the fertility determinants. The empirical result of this study after controlling for other variables in the model were as follows:
1. Age at first marriage and highest education attained affected fertility negatively.
2. Wive's age, income (proxied by household monthly expenditure) and frequency of infant mortality affected fertility positively or were positively associated with fertility.
3. Type of work, work status, recidence, religion and family planning acceptance affected or were associated with fertility:
(i) Children ever born alive was lowest for women who were profesionals or were in administrative jobs.
(ii) Female employees and unpaid family workers had less children ever born alive as compared to self employed women (with or without temporary help).
(iii) Women living in the city had less children ever born alive as compared to women living in the villages.
(iv) Islamic and Catholic women had less children ever born alive as compared to Protestant women.
(v) Current acceptors (of family planning) had more children ever born alive as compared to women who had never been acceptors.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sirilius Seran
"ABSTRAK
Dalam studi demografi dikenal dua macam pengukuran fertilitas: fertilitas kumulatif dan fertilitas current. Fertilitas kumulatif mempersoalkan tentang sejarah kelahiran yang dialami oleh seorang atau sekelompok perempuan yang berusia reproduksi hingga usia menopause (15-49 tahun). Children ever born (Ceb) merupakan sebuah indikator untuk mengetahui besaran daripada fertilitas kumulatif ini. Pengukuran ini baik karena dapat mengetahui tentang perbedaan fekunditas antara kelompok umur yang satu dengan yang lainnya sebagai akibat dari perbedaan keadaan sosial, budaya dan ekonomi yang dialami perempuan yang bersangkutan. Pengukuran fertilitas current mencerminkan tentang kejadian kelahiran yang dialami perempuan kawin berusia 15-49 tahun pada saat sekarang.
Fertilitas current yang dilihat dalam penelitian ini mengacu pada kejadian kelahiran dalam waktu sembilan bulan sebelum survei. Dua buah variabel yang mempengaruhi fertilitas current tersebut adalah variabel antara dan variabel sosial, budaya dan ekonomi. Varibel antara : menyusui, amenorrhea, kontrasepsi dan frekuensi kumpul dapat terjadi dalam dua Mali sembilan sebelum survei. Variabel sosial, budaya dan ekonomi diukur pada saat penelitian berlangsung.
Dengan menggunakan analisa regresi logistik dan regresi biasa diketahui bahwa variable sosial, budaya, ekonomi dan variabel antara tidak mempunyai hubungan dengan fertilitas current. Kondisi ini terjadi sebagai akibat dari hubungan yang tidak/kurang kuat antara masing-masing variabel sosial, budaya dan ekonomi terhadap masing-masing variabel antara sehingga pada akhirnya tidak membawa dampak pada fertilitas current.
"
1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hery Tri Sutanto
"Studi tentang kematian mempunyai peranan penting dalam bidang Demografi karena tinggi rendahnya angka kematian akan mempengaruhi jumlah, komposisi dan pertumbuhan penduduk secara alami. Untuk mengukur derajat kesehatan suatu masyarakat angka kematian bayi dan anak dapat dijadikan indikator kesejahteraan suatu masyarakat. Karena kelangsungan hidup bayi dan anak tergantung pada perawatan yang diberikan oleh penduduk dewasa. Dutta dan Kapur (1982: 215) menyatakan bahwa tinggi rendahnya angka kematian bayi dan anak suatu negara merupakan indikator sosial ekonomi dan kesehatan yang penting dari negara bersangkutan. Karena angka kematian bayi merupakan ukuran yang sangat sensitif terhadap kondisi lingkungan dan sosial ekonomi dari suatu negara."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7   >>