Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 89 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Isnadiati
"Tesis ini merupakan hasil penelitian mengenai Pemberdayaan masyarakat miskin perkotaan melalui Program Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (PPMK) di Kelurahan Grogol Utara Kecamatan Kebayoran Lama Jakarta Selatan.
Dalam rangka penanggulangan kemiskinan, pemerintah telah melaksanakan beberapa program. Salah satu program penanggulangan kemiskinan masyarakat miskin khususnya di perkotaan adalah Program Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (PPMK) yang dibiayai dari Anggaran Biaya Pendapatan Daerah (APBD) pemerintahan Daerah DKI Jakarta. PPMK. dilaksanakan dengan pendekatan tribina yaitu bina ekonomi, bina sosial dan bina fisik. Bina ekonomi dalam bentuk pinjaman dana bergulir dengan bunga 1% yang diperioritaskan untuk penambahan modal dalam Skala kecil. Bidang sosial dalam bentuk kegiatan dalam rangka peningkatan SDM misalnya pelatihan dan kursus. Sedangkan bidang fisik untuk pembangunan sarana dan prasarana lingkungan di tingkat kelurahan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi tentang program melalui informan. Pemilihan informan dilakukan dengan purposive sampling yang meliputi penanggung jawab program di tingkat kodya yaitu Badan Pemberdayaan Masyarakat (BPM), pelaksana program di tingkat kelurahan (Dewan Kelurahan), LSM Pendamping, Unit pengelola Keuangan Masyarakat Kelurahan (UPKMK) dan Unit Pelaksana Kegiatan Rukun Warga (TPKRW), tokoh masyarakat serta penerima pelayanan atau sasaran program. Untuk mendapatkan informasi dari informan tersebut, digunakan teknik indepth interview, observasi dan studi komunikasi. Ketiga Cara ini dilakukan sebagai mekanisme triaungulasi atas jawaban masing-masing informan.
Penelitian ini dilakukan diwilayah sasaran PPMK Kelurahan Grogol Utara dengan difokuskan di RW 04, 05, 13, dan RW 14. Adapun alasan pemilihan wilayah tersebut karena dari 16 RW wilayah sasaran program di Kelurahan Grogol Utara, wilayah 4 RW tersebut merupakan wilayah yang paling padat penduduknya serta paling kumuh.
Penelitian ini dilaksanakan selama bulan yaitu Februari - Maret, dan Desember 2004. Dari hasil penelitian terlihat bahwa proses pelaksanaan PPMK terdiri dari proses persiapan, pelaksanaan serta pengawasan dan pelaporan. Proses pelaksanaan PPMK sesuai dengan tahapan konsep pemberdayaan. Kendala yang dijumpai dalam kegiatan Pelaksanaan PPMK adalah masih tingginya tunggakan dana bergulir, rendahnya sanksi hukum kepada penunggak cicilan. Untuk kegiatan sosial dan fisik kendala yang dihadapi adalah masih berjalannya unsur KKN dalam menentukan lokasi kegiatan dan rekruitmen peserta kegiatan.
Selanjutnya peneltian ini menyimpulkan dan merekomendasikan mengenai program yang telah dijalankan. Rekomendasi didasarkan pada permasalahan yang ada kepada pihak terkait dengan pelaksanaan PPMK yaitu kepada Dewan Kelurahan (Dekel} untuk memberikan kepercayaan dan bimbingan kepada UPKMK sebagai pengelola keuangan PPMK dan TPK-RW serta kepada pemerintah (BPM) sebagai penanggung jawab program untuk mengkaji ulang SK Gub 1747/2003 terutama unruk memperjelas sanksi hokum dalam pelaksanaan PPMK serta alokasi dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) untuk UPKMK dan TPK RW sebagai lembaga pengelola dana PPMK."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13728
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Damin
"Tesis ini merupakan hasil penelitian tentang upaya pengentasan kemiskinan melalui pelaksanaan Program BRDP di desa Pagar Agung Kecamatan Seluma Kabupaten Seluma, Propinsi Bengkulu. Program ini muncul seiring dengan terjadinya krisis ekonomi tahun 1998 dan gempa bumi tektonik pada tahun 2000 yang berkekuatan 6,5 skala rikter yang berimplikasi meningkatnya jumlah penduduk miskin dari tahun ke tahun di Propinsi Bengkulu, dimana 23,37 % dari jumlah penduduk 1.592.926 jiwa tahun 2002, masih tergolong miskin.
Hal ini disebabkan karena posisi tawar yang dimiliki oleh masyarakat sangat lemah, karena dihadapkan pada kondisi berusaha yang tidak kondusif, akibatnya menimbulkan kerawanan-kerawanan sosial dan terjadinya eksploitasi penggundulan hutan secara besar-besaran terutama pada hutan lindung Taman Nasional. Kerinci Sebelat (TNKS) untuk membuka ladang atau kebun yang akhirnya mengancam kelestarian hutan lindung yang ada di perbatasan Propinsi .Jambi, Sumatera Selatan dan Bengkulu, kondisi ini terjadi karena mereka tidak mampu mengatasi masalah dan memanfaatkan potensi yang ada untuk mereka kembangkan di desa, disamping itu belum adanya lembaga yang dapat menyatukan pandangan, gerak langkah mereka secara bersama-sama untuk keluar dan kemelut kemiskinan yang ada.
Menyikapi hal tersebut di atas, maka pemerintah mengintervensi desa-desa yang rawan kemiskinan dengan menggulirkan salah satu program pengentasan kemiskinan yaitu melalui program BRDP (Bengkulu Regional Development Project). Sebenarnya telah ada program-program serupa dilaksanakan sebelumnya, namun belum mampu mengurangi jumlah penduduk miskin di Propinsi Bengkulu. Hal ini diduga masih kuatnya campur tangan pihak aparat pelaksana pada tingkat proses maupun tingkat pelaksanaannya, yang indikasinya belum memberdayakan dan memanfaatkan dana dimasyarakat, sehingga masyarakat cenderung terabaikan dan kurang diikutsertakan dalam pengambilan keputusan, untuk itu adanya kemungkinan segelintir masyarakat sebagai pengelola programlproyek yang menuai manfaatnya.
Program BRDP merupakan program pemberdayaan yang dimaksudkan untuk memperbaiki keadaan kesejahteraan masyarakat pedesaan melalui pengembangan usaha ekonomi produktif dengan bantuan dana bergulir. Namun dalam pelaksanaannya, apakah program ini mampu membawa perubahan dalam peningkatan pendapatan di masyarakat, untuk itu perlu dilakukan penelitian yang lebih, mendalam dalam rangka untuk mengetahui bagaimana proses pemberdayaan masyarakat melalui pelaksanaan program di lapangan, serta bagaimana hasil yang dicapai dalam pelaksanaan program tersebut dan kendala/hambatan apa saja yang terjadi dalam pelaksanaan di lapangan.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptip yang mendeskripsikan dan menganalisa data berdasarkan temuan di lapangan dari informasi-informasi yang didapat dan informan yang terpilih sebanyak 18 orang, dan mereka adaiah orang-orang yang terlibat Iangsung dalam kegiatan program BRDP baik di tingkat Propinsi, Kabupaten dan Desa.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pemberdayaan melalui pelaksanan program BRDP di masyarakat masih diwarnai dengan penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh pihak pengelola yang indikasinya belum sepenuhnya melibatkan peran aktif masyarakat. Penyimpangan banyak terjadi pada tahap persiapan dan tahap pelaksanaan. Setiap pengambilan keputusan didasarkan atas musyawarah desa, namun banyak hasil keputusan yang dilaksanakan bersifat semu karena dominasi kepentingan dari berbagai pihak masih terialu kuat. Untuk itu hasil yang dicapai dari proses pemberdayaan masyarakat melalui pelaksanaan program ini secara keseluruhan masih belum maksimal, karena terbukti banyaknya masyarakat yang masih menunjukkan sikap apatis terhadap pelaksanaan program yang cenderung hanya menginginkan untuk mendapatkan pinjaman uang. Sedangkan ditinjau dari peningkatan pendapatan masyarakat menunjukkan adanya indikasi perubahan, dimana tampak telah meningkatnya daya bell masyarakat dan telah adanya gairah untuk menyekolahkan anaknya pada jenjang yang lebih tinggi serta masyarakat telah mulai menerapkan informasi-informasi teknologi walaupun dalam prakteknya masih terdapat kendafalhambatan yang dihadapi baik ditingkat pelaksana maupun pada tingkat masyarakat itu sendiri.
Agar program ini benar-benar dapat memberikan manfaat kepada masyarakat diharapkan pihak pengelola proyek/program balk tingkat pusat, propinsi maupun kabupaten serta pihak LSM dalam pelaksanaannya lebih banyak memperioritaskan keberpihakan kepada masyarakat. Masyarakat perlu diberikan pengetahuan dan keterampilan yang memadai agar usaha yang dikelolanya tidak bersifat spekulatif. Untuk mencapai hasil yang maksimal perlu lebih menanamkan kesadaran dan motivasi yang kuat baik kepada aparat pelaksana maupun kepada masyarkat. Sedangkan untuk menghidari faktor-faktor hambatan dalam pelaksanaan program dilapangan dapat diadakan pendekatan secara individual dan pendekatan kelompok."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13842
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suharto, 1944-
"ABSTRAK
Memasuki masa orde baru yang juga merupakan awal pelaksanaan Pelita I, pemerintah Indonesia berada dalam kendali militer (ABRI) dengan menjalankan peranan dan fungsi sosial politiknya di samping melaksanakan fungsi pertahanan keamanan, dua fungsi yang dimiliki ABRI ini lazim disebut dengan Dwi Fungsi ABRI. Fungsi sosial politik ABRI dilaksanakan dengan cara menempatkan personilnya untuk menduduki jabatan di lembaga - lembaga non pertahanan keamanan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, tugas ini disebut dengan kekaryaan.

Sampai dengan Pelita V ini, ABRI masih tetap dominan dalam jabatan-jabatan strategi di pemerintahan. Demikian juga halnya dengan Pemerintah Daerah Kotamadya Tingkat II Semarang. Keberadaan ABRI sebagai pimpinan di Kotamadya Daerah Tingkat II Semarang pada Pelita V, mampu mewujudkan keberhasilan pembangunan yang cukup memuaskan. Keberhasilan pembangunan tersebut meliputi pembangunan bidang kesehatan, perumahan rakyat, pendidikan dan pembangunan gizi masyarakat.

Keberhasilan yang sudah dicapai ini, merupakan salah satu bukti bahwa kepemimpinan ABRI melalui pelaksanaan kekaryaan mampu memimpin organisasi, mampu memberikan motivasi kepada masyarakat, mampu mewujudkan aparat yang bersih dan bertanggung jawab, serta mampu melaksanakan komunikasi sosial yang pada akhirnya mampu mempengaruhi peningkatan kesejahteraan sosial di Kotamadya Daerah Tingkat II Semarang.

Dalam penelitian ini masalah kekaryaan ABRI menjadi sorotan umum. Dan yang dimaksud dengan pelaksanaan kekaryaan ABRI dalam penelitian ini dibatasi dengan kepemimpinan Walikotamadya Semarang Soetrisno Soeharto, sedangkan keberhasilan pembangunan yang dimaksud adalah pembangunan kesejahteraan sosial, meliputi pembangunan bidang kesehatan, pembangunan bidang perumahan rakyat, pembangunan bidang pendidikan dan pembangunan gizi masyarakat.

Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Pertama, dilakukan studi literatur terhadap teori-teori yang relevan dengan masalah penelitian ini, yang meliputi : teori pembangunan politik, teori pembangunan nasional, teori pembangunan kesejahteraan sosial, dan didukung oleh petunjuk pelaksanaan Dwi Fungsi ABRI. Kedua : melakukan analisis data dari hasil temuan di lapangan, baik data tertulis maupun data yang berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa informan yang telah ditentukan sebelumnya. Langkah ketiga : adalah merumuskan kesimpulan hasil penelitian.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan kekaryaan ABRI berpengaruh terhadap keberhasilan pembangunan di Kotamadya Daerah Tingkat II Semarang.

"
1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eko Puguh Santoso
"Pemberiakuan otonomi daerah sebagairnana ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 merupakan titik tolak perubahan paradigma pembangunan di daerah yakni dari sistem sentralisasi ke arah sistem desentratisasi. Secara substansial dan komprehensif masyarakatlah yang sebenarnya sebagai tujuan utama penerima otonomi daerah dan bukannya pada pemerintah daerahnya. Untuk mengetahui seberapa besar jangkauan dari sistem pelayanan kesejahteraan sosial akan mampu dirasakan masyarakat hingga pada tingkat yang paling bawah, kondisi ini dapat diamati dari seberapa besar pula Bargainning power masyarakat melalui wadah LPM (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat) berkemampuan (powerfull) mempengaruhi Pemerintah Kota Tarakan di dalam penetapan kebijakan kesejahteraan sosial.
Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana kecenderungan yang terjadi dalam pelaksanaan kebijakan kesejahteraan sosial Kota Tarakan periode Tahun 2001-2003, serta pengaruhnya terhadap jenjang partisipasi masyarakat dalam perencanaan pelayanan kesejahteraan sosial di Kecamatan Tarakan Barat Kerangka pikir utama dalam mekanisme perencanaan pembangunan daerah, diarahkan pada bagaimana hasil akhir (outputs) dari sistem perencanaan pembangunan daerah tersebut akan lebih mampu menyelesaikan dan mengentaskan permasalahan kesejahteraan sosial kemiskinan secara cepat, tepat dan mendasar. Perencanaan pembangunan semacam ini sudah barang tentu mensyaratkan adanya partisipasi aktif dari seluruh elemen masyarakatnya secara nyata dan berkelanjutan, dalam mewujudkan tegaknya keadilan dan kesejahteraan umum.
Penelitian deskriptif ini dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang didasarkan pada kerangka teori sistem melalui analisis sistem dinamik. Pendekatan ini dipandang sangat cocok untuk menganalisis dinamika kebijakan kesejahteraan sosial Kota Tarakan yang didirikan dengan adanya penuh kerumitan, selalu mengalami perubahan cepat yang mengandung ketidakpastian, adanya waktu jeda (delay) dan umpan balikan (feedback loop). Sumber data penelitian adalah para informan yang dipilih berdasarkan teknik purposive (non probability) sampling, dan proses pengumpulan datanya dilakukan dengan cara memadukan penggunaan teknik in-depth interview dan studi dokurnentasi. Cara ini dimaksudkan sebagai mekanisme untuk saling melengkapi, dan cara semacam ini dapat diyakini mampu menjelaskan secara obyektif dan komprehensif kondisi realitas sosiai yang ditemukan di lokasi penelitian.
Hasil penelitian lapangan menunjukkan begitu kuatnya dominasi kebijakan kesejahteraan sosial yang bersifat top down planning daripada bottom up planning, artinya keputusan untuk memenuhi kebutuhan dan penyelesaian masalah yang secara nyata dirasakan oleh masyarakat, masih dibuat dan didominasi oleh usulan-usulan kegiatan pembangunan strategis yang datangnya dari jajaran Dinas (Satuan Kerja) Pemerintah Kota Tarakan, yang di dalamnya masyarakat khususnya pada tingkat yang paling bawah (grassrtaat) kurang memiliki peranan yang dilakukan sebagai partisipasi aktif.
Kesulitan di dalam mencari titik temu antara kebijakan kesejahteraan sosial yang bersifat top down planning dengan bottom up planning di Kecamatan Tarakan Barat karena: pertama, strategi kebijakan pembangunan yang dilaksanakan dalam rangka terwujudnya percepatan pembangunan Kota Tarakan sebagai Little Singapore, di dalam prakteknya masih tidak jelas pengoperasionalisasianya hingga pada tingkat grassrt Kadua, berbagai usulan kegiatan pelayanan kesejahteraan sosial yang berasal dari LPM pada kenyataannya relatif kurang dilandaskan pada upaya-upaya ke arah pemenuhan kebutuhan riil (real need) masyarakat. Hal ini terlihat dari banyaknya usulan kegiatan pembangunan yang mereka ajukan, cenderung memiliki kesamaan dengan usulan kegiatan pembangunan pada tahun-tahun sebelumnya. Ketiga, masih kurang efektifnya bargaining power masyarakat (LPM), yang ditandai dengan masih relatif tingginya persentase angka fraksi kebijakan kesejahteraan sosial yang bersifat top down planing (22,62% per tahun).
Jenjang partisipasi masyarakat dalam perencanaan pelayanan kesejahteraan sosial di Kecamatan Tarakan Barat baru pada jenjang anak tangga ketiga yang merupakan kelompok Degree of Tokenism, sebagaimana kerangka teori dalam Delapan Tangga Partisipasi Masyarakat menurut Amsteln. Pada jenjang partisipasi ini, didirikan oleh adanya kemampuan masyarakat untuk berpendapat dan menyampaikan pandangan-pandangannya, akan tetapi mereka belum memiliki kemampuan untuk mempengaruhi pemerintah dalam menetapkan kebijakannya sehubungan penyampaian pandangan yang telah mereka sampaikan. Peranan serta masyarakat pada jenjang partisipasi ini, dimaknai hanya memiliki kemungkinan yang relatif kecil untuk mampu menghasilkan suatu perubahan-perubahan yang mendasar, ke arah terwujudnya kondisi kesejahteraan sosial.
Kenyataan tersebut di atas dilatarbelakangi oleh beberapa faktor penghambat untuk tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan, antara lain: pertama, hambatan struktural yang berupa sistem politik Pemerintah Kota Tarakan yang tampak begitu sentralistik di dalam menetapkan kebijakan pembangunannya, dengan kurang mau menerima kritik dan saran dari masyarakat (LPN), sekalipun itu juga saran yang datangnya dari pihak legislatif. Kedua, hambatan administratif yang berupa sistem administrasi perencanaan dan sinkronisasi kebijakan pembangunan daerah yang dilakukan secara terpusat, dengan kurang mengedepankan pentingnya pelibatan peran aktif masyarakat di dalamnya, sehingga kegiatan pembangunan yang direalisasikan akan lebih didominasi oleh usulan-usulan kegiatan strategis dari Dinas (Satuan Kerja) Pemerintah Kota Tarakan.
Upaya rekomendasi terhadap realitas sosial rendahnya jenjang partisipasi masyarakat dalam perencanaan pelayanan kesejahteraan sosial Kecamatan Tarakan Barat antara lain: pertama, dilaksanakannya Reposisi Fungsi LPM yang ada pada setiap Kelurahan, Kecamatan dan Kota, yang terdiri dari program restrukturisasl LPM dan program stabilisasi LPM. Kedua, meningkatkan upaya-upaya pembelajaran kepada masyarakat tentang perencanaan pembangunan daerah yang ideal. Ketiga, pengkajian kembali terhadap alur mekanisme perencanaan dan penganggaran pembangunan Kota Tarakan sebagaimana yang telah ada selama ini untuk lebih bersifat partisipatif dan accountable.
(Tesis: xii, 6 bab, 149 halaman, 16 tabel, 10 gambar, 4 lampiran, Bibliografi: 41 buku, 1 tesis, 2 jurnal, dan 4 makalah, (1980 s/d 2003)"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13793
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sulistyowati Irianto
"ABSTRAK
Masalah kesejahteraan sosial muncul dari kondisi-kondisi sosial tertentu yang berhubungan dengan masalah papan, pangan, penanggungan terhadap orang yang tidak bisa bekerja lagi karena sakit, usia lanjut dan kematian; pemeliharaan terhadap anak-anak dan orang lanjut usia; penanggungan terhadap anak-anak dan janda apabila suami mereka sakit, menganggur, meninggal, dan sebagainya. Pada umumnya kesejahteraan sosial dapat diartikan sebagai suatu perlindungan masyarakat terhadap ketidakpastian ekonomi yang disebabkan oleh berhentinya atau sangat berkurangnya penghasilan seseorang karena kondisi-kondisi tidak bisa bekerja itu.
Pada dasarnya konsepsi mengenai kesejahteraan sosial ada dalam setiap masyarakat, hanya saja perumusannya berbeda. Kemudian dalam perumusan itu bentuk dan luas aktivitas kesejahteraan sosialnya mungkin juga berbeda. Perumusan masalah kesejahteraan sosial datang pertama kali dari negara-negara Eropa; namun tidak berarti bahwa masyarakat di luar Eropa tidak memiliki konsep kesejahteraan sosial.
Dalam kaitannya dengan hukum, masalah kesejahteraan sosial mendapat tempat dalam perundang-undangan dan peraturan yang resmi dari pemerintah. Namun dalam kenyataannya konsepsi kesejahteraan sosial adalah lebih luas daripada itu. Konsepsi kesejahteraan sosial hidup dalam pergaulan masyarakat. la dilandasi oleh prinsip, adat, aturan dan norma-norma lain; yang diwujudkan dalam bentuk hak dan kewajiban sosial dalam interaksi antar orang.
Kajian ini, yang mendekati masalah kesejahteraan sosial dari sudut antropologi hukum, berupaya menganalisa bagaimanakah sistem norma berupa perundang-undangan dan peraturan resmi itu dalam praktek mengatur kenyataan kehidupan sosial, yang berdasarkan konsepsi yang lebih luas dan sering berbeda dari sistem norma tadi.
Masyarakat yang dipilih sebagai pokok kajian dalam kajian ini adalah masyarakat Batak Toba, yang berbeda dari masyarakat Eropa yang tentu juga memiliki konsepsi tentang kesejahteraan sosial yang berbeda dari masyarakat Eropa. Suatu hal yang perlu diperhatikan dalam kaitan ini adalah bahwa pada masyarakat itu, perlindungan masyarakat terhadap ketidakpastian sosial-ekonomi, tidak dapat dipelajari tanpa memperhatikan peranan wanita. Struktur kekerabatan pada masyarakat itu adalah patrilineal, tetapi unsur matrifokal juga terkandung dalam sistem kekerabatannya. Oleh karena itu tidaklah mengherankan bila posisi wanita Batak Toba dalam ekonomi terkenal kuat sejak dulu. Penghasilan keluarga, baik sebagian atau seluruhnya tergantung pada aktivitas wanita dalam bidang ekonomi. Dalam dekade terakhir ini, sejak lahan pertanian tidak lagi cukup memberikan hasil panen dan kesempatan kerja baik bagi laki-laki maupun wanita, wanita mencari alternatif lain di luar pertanian, untuk bisa memberi dukungan ekonomi bagi kelangsungan keluarganya."
1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heryanto
"Pembangunan merupakan suatu proses perubahan yang direncanakan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik dalam mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Pelaksanaan Pilot Proyek PPMS di Kota Bekasi merupakan upaya pemerintah yang diinisiatifi oleh Depkimpraswil dalam menangani permasalahan squatter di daerah, yang bertujuan untuk membantu pemerintah Kota Bekasi dalam merumuskan dan menyiapkan kebijakan penanganan squatter serta mengoptimalkan potensi masyarakat squatter melalui upaya pemberdayaan masyarakat yang merupakan konsep dasar dari kebijakan Pilot Proyek PPMS tersebut.
Tesis ini bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai proses pemberdayaan masyarakat squatter melalui pelaksanaan Pilot Proyek PPMS di Kawasan sekitar TPA Bantargebang Kelurahan Cikiwul Kecamatan Bantargebang Kota Bekasi, yang dilhat dari tahap persiapan dan pelaksanaan kegitan program, dan kebijakan yang telah dihasilkan oleh pemerintah Kota Bekasi dalam rangka penanganan squatter sebagai strategi penanganan squatter. Serta untuk memperoleh gambaran mengenai hambatan atau kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan Pilot proyek PPMS tersebut.
Metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Lokasi penelitian mengambil sampel pelaksanaan Pilot Proyek PPMS pada kawasan sekitar TPA Bantargebang Keturahan Cikiwul Kecamatan Bantargebang Kota Bekasi. Dalam menentukan informan penulis menggunakan teknik Purposive sampling yaitu Sekretaris TKPP PPMS Kota Bekasi, P30K, KMK dan Fasiliotator, Aparat Kelurahan, tokoh masyarakat dan masyarakat squatter.
Temuan penelitian menunjukan bahwa dalam pelaksanaan Pilot Proyek PPMS di kawasan sekitar TPA Bantargebang Kelurahan Cikiwul telah mencerminkan adanya proses pemberdayaan masyarakat. Hal ini terlihat setelah dilakukannya kegiatan sosialisasi lanjutan pada masyarakat squatter melalui rembug warga tingkat kelurahan. Mulai tumbuh inisiatif dan prakarsa serta keikutsertaan dan partisipasi yang ditunjukkannya dalam tahapan penyusunan Rencana Tindak Masyarakat Squatter (RIMS) dengan menentukan sendiri kegiatan yang akan dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan mereka (felt needs) yang meliputi perbaikan legalitas sosial, penguatan ekonomi dan perbaikan hunian dan lingkungan. Keadaan ini ditunjang oleh peran community worker yang ditunjukkan oleh Fasilitator dan KMK yang senantiasa mendampingi masyarakat dan pemerintah Kota Bekasi dengan memberikan bantuan pendampingan dan bimbingan teknis sesuai dengan tahapan kegiatan program.
Untuk memudahkan proses pemberdayaan masyarakat selanjutnya dilakukan pembentukan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) yang didasarkan atas anggota dalam "lapak" dan dilatarbelakangi oleh kesamaan mata pencaharian masyarakat squatter sebagai "pemulung". Kemudian sebagai lembaga representasif yang mewadahi seluruh kepentingan dan aspirasi KSM tersebut dibentuk Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM). Dengan terbentuknya KSM dan BKM ini maka kegiatan penggalian gagasan (assessment) akan lebih mudah dilakukan. Begitu pula dalam pelaksanaan tahapan-tahapan kegiatan selanjutnya terlihat adanya partisipasi yang ditunjukkan oleh masyarakat squatter dalam menyukseskan pelaksanaan program. Adapun kebijakan yang telah dihasilkan dalam rangka penanganan permasaiahan squatter di Kota Bekasi tertuang dalam Keputusan Walikota Bekasi Nomor 64.A tahun 2004 mengenai Startegi Penanganan Squatter (SPS) Kota Bekasi Tahun 2004-2008 yang ditekankan pada "Penataan Fungsi Ruang dan Kawasan". Selanjutnya dalam menunjang pelaksanaan Pilot Proyek PPMS di lokasi sasaran pada kawasan sekitar TPA Bantargebang Kelurahan Okiwul telah dihasilkan Keputusan Walikota Bekasi No.400/Kep.226-Bappeda/VI/2003 tentang Pembentukan Institusi PPMS di Kota Bekasi.
Meskipun pelaksanaan Pilot Proyek PPMS telah berjalan sesuai dengan kebijakan program yang telah ditetapkan, namun masih saja ditemui adanya kendala-kendala baik internal maupun eksternal. Kendala internal masyarakat meliputi sumber daya manusia dan perilaku dan kebiasaan hidup masyarakat pemulung. Sementara kendala eksternal berupa persepsi negatif unsur stakeholder terhadap keberadaan program, kurangnya Koordinasi, serta konsistensi kebijakan pemerintah terhadap penanganan squatter.
Untuk itu diperlukan perbaikan terhadap beberapa hal oleh seluruh stakeholder pelaksana kegiatan baik oleh pemerintah maupun masyarakat dengan bersama-sama menciptakan upaya win-win solution dan pada akhirnya pelaksanaan Pilot Proyek PPMS dapat mendukung perkembangan pembangunan di wilayah Kota Bekasi."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T22362
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aria Chandra Destianto
"Tesis ini merupakan hasil penelitian tentang proses pemberdayaan masyarakat melalui Program Pengembangan Kecamatan (PPK) Fase II termasuk faktor pendukung dan penghambat serta upaya untuk mengatasinya. Program ini merupakan kebijakan Pemerintah Pusat yang bertujuan untuk menanggulangi kemiskinan dengan menitikberatkan pemberdayaan masyarakat sebagai pendekatan operasionalnya. Pemberdayaan masyarakat ini dimaksudkan untuk memperbaiki keadaan masyarakat agar mampu mengatasi permasalahan hidup sehingga mereka bisa keluar dari Iingkaran kemiskinan. Sumber dana pelaksanaan PPK Fase II keseluruhan berasal dari pemerintah pusat (Full Grant). Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, Desa Kupu merupakan salah satu desa yang mendapatkan program ini.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif sehingga menghasilkan data deskriptif yang diperoleh melalui wawancara mendalam dengan para informan, observasi dan studi kepustakaan. Pemilihan informan dilakukan secara purposive sampling terhadap aparat pemerintah daerah, FK dan FD bidang pemberdayaan, Camat dan Kepala Desa, tokoh masyarakat dan kelompok sasaran dengan jumtah 14 orang. Hasil penelitian ini dianalisis dengan dilandasi kebijakan PPK dan kerangka pemikiran tentang kemiskinan, pembangunan sosial, pengembangan masyarakat dan peran petugas pendamping.
Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa proses pemberdayaan masyarakat dalam PPK Fase Il Tahun Ketiga dilakukan melalui beberapa tahap mulai dari sosialisasi, perencanaan, pelaksanaan kegiatan, tetapi belum mencakup tahap pelestarian program. Partisipasi masyarakat mulai sejak sosialisasi program, perencanaan kegiatan sampai pelaksanaan. Petugas yang terlibat Iangsung di lapangan adalah FK dan FD yang berperan untuk melakukan pendampingan dan memfasilitasi setiap kegiatan yang dilakukan oleh kelompok sasaran dan warga masyarakat.
Pelaksanaan PPK mencakup kegiatan pembangunan sarana dan prasarana yaitu pembuatan saluran Drainase dan Kegiatan Usaha Ekonomi Produktif, serta Kegiatan Simpan Pinjam Perempuan. Proses pemberdayaan masyarakat terlihat sejak dilakukannya sosialisasi program yang melibatkan masyarakat sebagai kelompok sasaran dengan membentuk kelompok campuran dan kelompok perempuan. Pembentukan kelompok dilakukan untuk mempermudah penggalian gagasan terutama dalam penentuan dan penetapan jenis kegiatan sehingga dapat sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka. Kegiatan yang ditentukan bersama baru sampai pada pelaksanaan program. Partisipasi kelompok sasaran sejak sosialisasi sampai pelaksanaan program menggambarkan keberhasilan proses pemberdayaan masyarakat dalam pelaksanaan PPK.
Proses pemberdayaan masyarakat sesuai dengan Petunjuk Teknis Operasional PPK Fase II Tahun 2002. Dalam pelaksanaan kegiatan PPK terdapat faktor pendukung yaitu tingginya partisipasi masyarakat melalui swadaya. Sedangkan faktor yang menjadi penghambat adalah rendahnya sumber daya manusia warga Desa Kupu sehingga sang at berpengaruh terhadap pemahaman program, dan pemilihan kegiatan. Namun kendala tersebut dapat diatasi oleh Petugas Pendamping maupun Kepala Desa melalui pendekatan personal maupun diskusi kelompok secara formal maupun informal. Kurangnya koordinasi antar pelaku PPK di tingkat kecamatan dan kurangnya kerjasama antar anggota kelompok terutama setelah pelaksanaan kegiatan menjadi faktor penghambat yang cukup berpengaruh terhadap keberhasilan program.
Saran yang dapat dikemukakan dalam tesis ini yaitu : Petugas Pendamping, FK dapat dikurangi luas wilayah kerjanya dengan penambahan jumlah FK, atau FD mengikuti pelatihan-pelatihan (dalam bentuk pelatihan berjenjang) yang mencakup pemahaman tentang PPK dalam bentuk sosialisasi termasuk pelaksanaan teknis, proses pemberdayaan dalam pelaksanaan program serta pemantauan dan evaluasi; Pelaku PPK, pelaksanaan kegiatan sarana dan prasarana untuk kepentingan umum, partisipasi pemerintah seyogyanya lebih besar dad pada partisipasi warga masyarakat, proses sosialisasi kebijakan dapat dikurangi agar dapat menambah pemberdayaan pelaksanaan program serta koordinasi antar pelaku program; Aparat qesa, berperan aktif dalam pemantauan pelaksanaan program; Kelompok Sasaran, kerjasama antar anggota kelompok sasaran."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T22062
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Noviar Gustriandi
"Dewasa ini kehadiran para pencari kerja migran dalam jumlah yang tinggi di beberapa kota di Indonesia, membuat kota menjadi semakin padat dan tidak terkendali. Sektor formal yang secara umum memerlukan tenaga kerja yang mempunyai keahlian tertentu, berproduktivitas tinggi, modal yang besar, dan pemanfaatan teknologi yang serba canggih dan mutakhir, ternyata tidak menyediakan ruang bagi para migran pencari kerja. Para migran tersebut lalu membentuk usaha baru yang disebut sektor informal. Salah satu kegiatan dari sektor informal yang menjadi jenis pekerjaan yang penting adalah pedagang kaki lima. Pada umumnya nasib pedagang kaki lima kurang menguntungkan. Tidak jarang karena karakteristik yang melekat pada jenis pekerjaan ini membuat mereka sering terkena razia dan dikejar-kejar oleh petugas. Namun di sisi lain, sebagaimana yang ditunjukkan oleh besarnya jumlah pedagang kaki lima di Kota Pontianak (10.339 orang) mengindikasikan bahwa sektor ini mampu menjadi katup pengaman bagi meledaknya angka pengangguran. Sektor ini juga akan memberikan pemasukan yang tidak kecil bagi PAD Pemerintah Kota Pontianak, roda perputaran uang setiap harinya relatif cukup besar, yaitu mencapai 5,5 milyar rupiah dengan total omset sebesar 1,7 milyar rupiah. Kapabilitas yang ditunjukkan oleh sektor ini tidak lepas dari aktivitas yang mereka lakukan sehari-hari yang diikat oleh norma-norma informal yang menjadi aturan bagi sikap dan perilaku pedagang kaki lima dengan berbagai pihak sebagai modal sosial. Oleh karenanya, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besar kecilnya modal sosial pedagang kaki lima di Kota Pontianak yang dapat dilihat dari bagaimana mereka dapat mengimplementasikan norma-norma informal secara lugas atau dengan kata lain mereka memiliki kepercayaan (trust) dengan berbagai pihak di dalam maupun di luar jaringannya. Jika sebagian besar norma-norma tersebut lebih berlandaskan kepada trust, maka dapat dikatakan pedagang kaki lima di Kota Pontianak memiliki modal sosial yang besar. Sebaliknya, jika sebagian besar norma-norma tersebut kurang berlandaskan kepada trust, maka pedagang kaki lima di Kota Pontianak dapat dikatakan memiliki modal sosial yang kecil. Penelitian ini juga bermaksud untuk mengetahui bagaimana proses terbentuknya suatu jaringan dari kerja sama yang terjadi antara pedagang kakilima dengan berbagai pihak dan norma-norma informal apa saja yang terdapat dalam jaringan pedagang kaki lima tersebut.
Dalam pelaksanaan penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif yang menghasilkan data deskriptif. Jenis penelitian ini dipandang relevan untuk digunakan dalam mengamati perilaku dan kondisi sosial pedagang kaki lima sehari-hari. Dari metode kualitatif ini akan dapat digambarkan keadaan riil di lapangan berdasarkan dukungan fakta dan informasi yang diperoleh melalui teknik pengumpulan data studi kepustakaan (library research), observasi, dan wawancara yang dilakukan secara mendalam kepada informan (indepth interview). Penulis dengan sengaja memilih informan penelitian melalui teknik pemilihan informan purposive sampling, yaitu memilih pedagang kaki lima, baik yang berjualan di pasar-pasar tradisional maupun di pinggiran-pinggiran jalan, yang pada umumnya mereka menggunakan sebagian dari lahan publik. Dari 6 (enam) orang calon informan penelitian yang telah dipilih, ternyata pedagang kaki lima yang memenuhi beberapa kriteria informan yang telah penulis tetapkan, hanya 2 (dua) orang, yaitu pedagang kaki lima yang berjualan telur di Pasar Flamboyan dan pedagang kaki lima berjualan pakaian bekas (lelang) di Pasar Dahlia. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terbentuknya jaringan pedagang kaki lima dengan berbagai pihak adalah dari kerjasama yang dilandasi hubungan moral kepercayaan. Temuan di lapangan menunjukkan ada 4 (empat) pedagang kaki lima dengan berbagai pihak, yaitu jaringan dengan keluarga, agen, sesama pedagang kaki lima, dan Iangganan. Keempat jaringan tersebut dapat dikategorikan menjadi 3 (tiga) jaringan, yaitu jaringan keluarga, jaringan pertemanan, dan jaringan usaha. Ketiga jaringan pedagang kaki lima ini masing-masing memiliki pola hubungan sosial yang berbeda.
Hasil analisis temuan menunjukkan bahwa kedua pedagang kaki lima memiliki norma-norma informal yang sama, yaitu 16 (enam belas) norma. Hasil analisis trust terhadap norma-norma informal tersebut, memperlihatkan bahwa norma-norma informal yang lebih berlandaskan trust, yaitu sebanyak 11 (sebelas) norma (68,75%), sedangkan yang kurang berlandaskan trust sebanyak 5 (lima) norma (31,25%). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa norma-norma informal kedua pedagang kaki lima (penjual telur dan penjual pakaian bekas) memiliki modal sosial yang besar. Hasil analisis temuan menunjukkan bahwa norma-norma informal yang kurang berlandaskan kepada trust, ternyata merupakan norma-norma kunci yang dipegang teguh oleh pedagang kaki lima dalam menjalankan usahanya.
Disarankan dalam penelitian ini agar Pemerintah Kota Pontianak dapat merencanakan pembangunan sosial di daerah dengan mengembangkan potensi pedagang kaki lima yang terbukti memiliki modal sosial yang besar, termasuk memperluas peruntukan lahan pasar bagi pembangunan pasar-pasar tradisional untuk menampung sebagian besar pedagang kaki lima yang masih berada di pinggiran jalan serta memberikan bantuan modal dengan akses yang lebih mudah kepada pedagang kaki lima. Oleh karena hasil penelitian ini belum dapat digeneralisasikan sebagai modal sosial pedagang kaki lima yang berlaku umum, maka disarankan kepada peneliti-peneliti lainnya untuk meneliti modal sosial pedagang kaki lima jenis usaha lainnya, termasuk bagaimana ikatan kekeluargaan dan solidaritas sosial dilihat dari kesukubangsaan pedagang kaki limanya."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T21691
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Paulo Da Silva Pinto
"[ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang Pengaruh Jaminan Sosial untuk Lansia (Idosos) terhadap
Pemenuhan Kebutuhan dasar Lansia, Penelitian ini menggunakan pendekatan
kuantitatif. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Pengaruh Jaminan Sosial
untuk Lansia (idosos) terhadap pemenuhan kebutuhan dasar lansia di Distrik Dili,
Sub-Distrik Nain Feto, Timor Leste. Melakukan penelitian terhadap 100 orang dari
1,139 orang, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengaruh jaminan sosial untuk
lansia (idosos) terhadap pemenuhan kebutuhan lansia, melalui Uji Gamma, memiliki
derajat kekuatan menengah atau cukup 0,643 dan hubungan ini signifikan.

ABSTRACT
This thesis is discussed about Social Security for Elderly Pension (idosos) to the fulfillment of senior citizens primary needs using quantitative approach. The purpose of this research is to find out the impact of Social Security for Elderly (idosos) towards the fulfillment of senior citizens primary needs in Dili District, Sub-District of Nain Feto, Timor-Leste. This research conducted to 100 people out of 1,139 people, the results of the research is showed that the impact of social security for the elderly (idosos) towards the fulfillment of the primary need of citizens, through Gamma testing, strength and medium degree or only 0.643 and this is a significant relationship.;This thesis is discussed about Social Security for Elderly Pension (idosos) to the fulfillment of senior citizens primary needs using quantitative approach. The purpose of this research is to find out the impact of Social Security for Elderly (idosos) towards the fulfillment of senior citizens primary needs in Dili District, Sub-District of Nain Feto, Timor-Leste. This research conducted to 100 people out of 1,139 people, the results of the research is showed that the impact of social security for the elderly (idosos) towards the fulfillment of the primary need of citizens, through Gamma testing, strength and medium degree or only 0.643 and this is a significant relationship., This thesis is discussed about Social Security for Elderly Pension (idosos) to the fulfillment of senior citizens primary needs using quantitative approach. The purpose of this research is to find out the impact of Social Security for Elderly (idosos) towards the fulfillment of senior citizens primary needs in Dili District, Sub-District of Nain Feto, Timor-Leste. This research conducted to 100 people out of 1,139 people, the results of the research is showed that the impact of social security for the elderly (idosos) towards the fulfillment of the primary need of citizens, through Gamma testing, strength and medium degree or only 0.643 and this is a significant relationship.]"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
T42884
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kresnawati
"Anak usia dini yang rentan sosial karena rendahnya pendapatan keluarga, rendahnya pendidikan orang tua, lemahnya modal sosial, buruknya kondisi perumahan, dan tidak memiliki identitas, maka kondisi tersebut dapat mengancam kesejahteraannya. Dalam rangka menggambarkan penyebab dan efek yang dapat merugikan anak usia dini yang rentan sosial, penelitian ini menggunakan kerangka penilaian Triangle for the Assessment of Children in Need and Their Families. Kerangka penilaian tersebut untuk memahami kesejahteraan dan perlindungan anak usia dini yang rentan sosial dilihat dari tiga dimensi, yaitu kapasitas pengasuhan orang tua, faktor keluarga dan lingkungan dan kebutuhan perkembangan anak. Kesimpulan dari penelitian ini perlindungan dan kesejahteraan anak usia dini yang rentan sosial belum dapat terpenuhi dengan sepenuhnya. Selain itu, dinamika perlindungan dan kesejahteraan anak usia dini yang rentan sosial juga digambarkan belum dapat meningkatkan kesejahteraan anak usia dini baik pada keluarga dengan orang tua tunggal, keluarga dengan banyak anak, dan keluarga dengan anak bekerja. Pada akhirnya, meskipun perlindungan dan kesejahteraan pada anak usia dini yang rentan sosial belum sepenuhnya terpenuhi akan tetapi masih adanya dukungan dari faktor keluarga dan lingkungan yang masih dapat diandalkan dalam membantu dan mendukung perlindungan untuk meningkatkan kesejahteraan anak usia dini yang rentan sosial.

Early childhood who are socially vulnerable because of low family income, low parental education, weak social capital, poor housing conditions, and lack of identity, these conditions can threaten their welfare. In order to describe the causes and effects that can adversely affect socially vulnerable early childhood, this study uses the Triangle for the Assessment of Children in Need and Their Families assessment framework. The assessment framework is intended to understand the welfare and protection of socially vulnerable early childhood in terms of three dimensions, namely the capacity for parenting, family and environmental factors, and children's development needs. The conclusion of this research is that the protection and welfare of early childhood who are socially vulnerable has not been fully fulfilled. In addition, the dynamics of the protection and welfare of early childhood who are socially vulnerable are also described as not being able to improve the welfare of early childhood both in single parent families, families with many children, and families with working children. Although the protection and welfare of socially vulnerable of early childhood have not been fully fulfilled, but there is still support from family and environmental factors that can still be relied upon in helping and supporting protection to promote the welfare of socially vulnerable early childhood."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9   >>