Ditemukan 123 dokumen yang sesuai dengan query
Sazkia Balhqis Kemalajati
"Penelitian ini dilatarbelakangi adanya perbedaan pengakuan objek penghasilan atas transaksi non-fungible token (NFT) antara Wajib Pajak dan Direktorat Jenderal Pajak. Kemudian, pada Maret 2022, pemerintah menetapkan PMK Nomor 68 Tahun 2022 yang mengatur tentang pajak penghasilan atas transaksi aset kripto. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pemenuhan asas kepastian hukum dalam pengenaan pajak atas transaksi NFT dan permasalahan yang dihadapi pemerintah dalam pengenaan pajaknya. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan post-positivisme dengan teknik pengumpulan data melalui studi literatur dan wawancara mendalam. Hasil penelitian ini adalah pemungutan pajak penghasilan atas transaksi NFT belum sepenuhnya memenuhi asas kepastian hukum. Adapun indikator yang belum memenuhi kepastian hukum yaitu materi/objek, subjek, pendefinisian dengan menggunakan tafsiran otentik, penyempitan/perluasan materi, dan ruang lingkup. Selain itu, dalam praktik implementasinya permasalahan yang dihadapi pemerintah adalah kepatuhan pajak dan perkembangan variasi transaksi NFT.
The background of this research is that there are differences in recognition of income objects for non-fungible token (NFT) transactions between taxpayers and the Directorate General of Taxes. Then, in March 2022, the government issued PMK 68/2022, which regulates income tax on crypto-asset transactions. This study aims to analyze the fulfillment of the principle of legal certainty in collecting taxes on NFT transactions and the problems faced by the government in levying taxes. The approach used in this study is a post-positivism approach with data collection techniques through literature studies and in-depth interviews. This study's results show that the income tax collection on NFT transactions still needs to comply with the certainty of law principle fully. The indicators that have not met a certainty of law principle are material/object, subject, definition using authentic interpretation, narrowing/expanding material, and scope. Apart from that, in practice, the problems faced by the government are tax compliance and the development of variations in NFT transactions."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Bella Yuliana Lintangsari
"Salah satu penyumbang terbesar sector pajak ialah UMKM. UMKM berhak membayar pajak karena UMKM merupakan bentuk dari badan usaha dan memiliki penghasilan usaha. Akibatnya, pendapatan dari UMKM harus dikenakan pajak. Isu utama yang terjadi terkait dengan adanya peraturan omnibus law dimana semua undang-undang jadi satu, seharusnya Undang-Undang terkait perpajakan merupakan lex specialis. Sehingga dikhawatirkan UU Cipta Kerja akan menimbulkan multitafsir dan ketidakpastian hukum terutama dalam bidang perpajakan. Metode Penelitian yang digunakan adalah doktrinal dengan menggunakan data sekunder yang bersumber dari bahan hukum primer dan sekunder yang erat kaitannya dengan pajak, pajak penghasilan, dan pajak UMKM. Dari hasil penelitian menunjukkan, terdapat perbedaan kategori UMKM berdasarkan UU UMKM, PP 7 Tahun 2021 dan dalam hukum pajak. Pengenaan PPh bagi pelaku UMKM harus sesuai dengan kemampuan membayar. Melalui UU Nomor 7 tahun 2021 pemerintah memiliki tujuan untuk mengharmonisasikan lex specialist dari UU Cipta Kerja, kandungan UU Nomor 7 Tahun 2021 membebaskan PPh bagi pengusaha perorangan yang memiliki penghasilan kurang dari Rp. 500 juta.
One of the biggest contributors to the tax sector is micro, small, and medium enterprises. Micro, small, and medium enterprises are entitled to pay taxes because they are forms of business entities and have business income. As a result, income from micro, small, and medium enterprises must be taxed. The main issue that occurs is related to the existence of omnibus law regulations, where all laws become one. Laws related to taxation should be lex specialis. So it is feared that the Job Creation Law will cause multiple interpretations and legal uncertainty, especially in the field of taxation. The research method used is doctrinal, using secondary data sourced from primary and secondary legal materials that are closely related to taxes, income taxes, and taxes on micro, small, and medium enterprises. From the results of the study, there are differences in the categories of micro, small, and medium enterprises based on the law on the category of micro, small, and medium enterprises, PP 7 of 2021, and in tax law. The imposition of income tax on micro, small, and medium enterprises must be in accordance with their ability to pay. Through Law Number 7 of 2021, the government aims to harmonize the lex specialists from the Job Creation Law. The content of Law Number 7 of 2021 exempts income tax for individual entrepreneurs who have an income of less than Rp. 500 million."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Kristianus Arnando
"Penelitian ini bertujuan menganalisis kebijakan pajak atas penilaian kembali (revaluasi) aktiva tetap ditinjau dari asas kepastian hukum, kendala yang timbul dalam penerapan kebijakan pajak atas penilaian kembali aktiva tetap, dan desain kebijakan pajak atas revaluasi aktiva tetap. Metode penelitian yang digunakan yakni kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kebijakan Pajak atas revaluasi aktiva tetap yang berlaku saat ini sesuai dengan indikator asas kepastian hukum dalam hal: terdapat ketentuan yang jelas mengenai asas, norma, dan kaidah; terdapat kepastian mengenai dasar hukum; dan memiliki pengaturan yang jelas. Namun demikian, kebijakan tersebut tidak sesuai dengan indikator asas kepastian hukum dalam hal: pembentukan peraturan perpajakan tidak berdasarkan kajian ilmiah (scientific based) melalui naskah akademik; kebijakan belum menampung dinamika, aspirasi dan peran serta masyarakat, serta menyelesaikan konflik; kebijakan pajak belum memenuhi kriteria harus sederhana dalam administrasi dan tidak menghambat kelancaran usaha; dan kebijakan seringkali mengalami amandemen. Selain itu, terdapat kendala yang timbul dalam penerapan kebijakan pajak atas revaluasi aktiva tetap berupa kendala pengawasan. Berdasarkan hal-hal tersebut dirumuskan desain kebijakan pajak atas revaluasi aktiva tetap.
The purpose of this study is to to analyze the tax policy on revaluation of fixed assets in terms of legal certainty, constraints that arise in the implementation of tax policies on revaluation of fixed assets, and the design of tax policies for the revaluation fixed assets in the future. The research method used is qualitative with descriptive research types. The results of the study show that the current Tax Policy for revaluation of fixed assets is in accordance with the legal certainty aspects in terms of: there are clear provisions regarding principles, norms, and rules; there is certainty about the legal basis; and have clear settings. However, the policy is not in accordance with the legal certainty aspects in terms of: the establishment of tax regulations not based on scientific studies through academic texts; policies have not accommodated the dynamics, aspirations and participation of the community, and resolved conflicts; tax policy does not meet the criteria must be simple in administration and does not hamper the smooth running of business; and policies are often amended. In addition, there are obstacles that arise in the application of tax policies on revaluation of fixed assets in the form of control constraints. Based on these matters a design of tax policy is formulated for the revaluation of fixed assets."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Rendy Ananta Prasetya
"Penguasaan negara terhadap sumber daya alam yang harus dipergunakan untuk kemakmuran rakyat merupakan fondasi dari perekonomian Indonesia. Migas sebagai sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui harus dikelola dalam kerangka UUD 1945. Salah satu upaya negara dalam mengatur distribusi Bahan Bakar Minyak (BBM) adalah melalui Peraturan Menteri Energi Sumber Daya dan Mineral nomor 16 tahun 2011. Peraturan ini membahas mengenai kegiatan penyaluran Bahan Bakar Minyak dari Badan Usaha Pemegang Izin Usaha Niaga Umum (BU-PIUNU), Penyalur dan Konsumen Akhir. Penelitian ini berupaya untuk menjelaskan hak, kewajiban dan perlindungan hukum bagi para pihak dan kepastian hukum kegiatan Penyaluran jika ditinjau dari konsep keagenan dan distributor berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan nomor 11/M-DAG/PER/3/2006. Metode penelitian yang digunakan dalam Tesis ini adalah Penelitian Normatif dengan menggunakan data sekunder sebagai bahan penelitian. Penelitian Tesis ini juga melihat hubungan hukum yang ada pada kerjasama Penyaluran oleh PT Elnusa Petrofin selaku BU-PIUNU dengan PT Alden Pratama Putra sebagai Penyalur.
State control on natural resources is needed in order to maximize the welfare of the society. Oil and gas as a non-renewable resources needs to be maintained in Indonesia’s constitution 1945 framework. State efforts to manage the gasoline distribution materialized in Regulations Ministry of Energy and Mineral Resource number 16 year 2011. This regulation discuss about distribution activity from the holder of trading license (BU-PIUNU) to “Penyalur” and to an end consumer. This research explain the rights, obligations and legal protections to all party involved and how is the legal certainty on distribution activity when reviewed by Regulation Ministry of Trade number 11/M-DAG/PER/3/2006. The research methods on this Thesis is using normative approach using secondary data as research materials. This Thesis also explain the legal relation on this distributor cooperation between PT Elnusa Petrofin (BU-PIUNU) and PT Alden Pratama Putra (“Penyalur”)."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Naufal Fariz Darmawan
"Insurance Technology atau InsurTech adalah perusahaan asuransi, perantara, atau perusahaan berbasis teknologi yang memasuki sektor asuransi, yang memanfaatkan teknologi baru untuk memberikan nilai tambah baru bagi industri serta memberikan cakupan ke basis pelanggan yang lebih cerdas secara digital. Namun, Indonesia saat ini belum memiliki pengaturan yang komprehensif mengenai penyelenggaraan InsurTech dan tanpa adanya regulasi yang menyeluruh akan berpotensi memunculkan sejumlah risiko. Dengan demikian, penulis merasa perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan pokok permasalahan mengenai bagaimana eksistensi InsurTech ditinjau dari peraturan perundang-undangan di Indonesia dan bagaimana perbandingan pengaturan dan pelaksanaan InsurTech di Indonesia dan Singapura. Metode penelitian yang digunakan ialah metode yuridis-normatif dengan pendekatan komparatif. Dari penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa pengaturan InsurTech di Indonesia saat ini masih diatur secara parsial dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai asuransi, transaksi elektronik, maupun perlindungan konsumen. Terlebih, saat ini InsurTech di Indonesia masih didominasi oleh produk micro-insurance yang dipasarkan oleh InsurTech berbentuk aggregator maupun intermediaries. Jika dibandingkan dengan Singapura, kini InsurTech di Singapura telah berfokus pada penyempurnaan layanan dari produk yang telah ada dengan pengaturan yang telah mampu mengatasi persoalan risiko dan tantangan dari InsurTech yaitu dengan adanya peraturan khusus yang mengatur mengenai perlindungan data pribadi dan perlindungan konsumen bagi penyelenggara InsurTech. Oleh karena itu, OJK sebagai regulator memiliki urgensi untuk menerbitkan produk hukum yang spesifik dan komprehensif untuk mengatur detail penyelenggaran InsurTech di Indonesia dengan mempelajari pengaturan serta implementasi dari Singapura.
Insurance Technology, also known as InsurTech, is a new insurance company, intermediary, or technology-based company that enters the insurance sector and uses new technologies to provide new added value to the industry as well as coverage to a digitally smarter customer base. However, Indonesia appears to lack comprehensive arrangements for the implementation of InsurTech, which could pose a number of risks in the absence of comprehensive regulation. As a result, the author believes there is a need for additional research on how the existence of InsurTech is reviewed from the laws and regulations in Indonesia, as well as how to compare the regulation and implementation of InsurTech in Indonesia and Singapore. A juridical-normative method with a comparative approach was used for the research. According to the findings of this research, InsurTech regulations in Indonesia are currently only partially regulated by laws and regulations governing insurance, electronic transactions, and consumer protection. Furthermore, micro-insurance products marketed by InsurTech in the form of aggregators and intermediaries continue to dominate InsurTech in Indonesia. InsurTech in Singapore has now focused on improving the services of existing products with arrangements that have been able to overcome the risks and challenges of InsurTech, namely the existence of special regulations governing the protection of personal data and consumer protection for InsurTech operators. As a result, OJK, as a regulator, is under pressure to issue specific and comprehensive legal products to govern the details of InsurTech implementation in Indonesia by studying the arrangements and implementation in Singapore."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Diana Desiree Hardigaluh
"Perkembangan teknologi dan informasi serta internet telah memudahkan manusia untuk melakukan segala sesuatu secara daring, termasuk membeli suatu barang atua jasa. Salah satu dari banyak jenis perkembangan teknologi dan informasi adalah e-commerce. E-Commerce adalah segala bentuk transaksi bisnis atau pertukuran informasi yang dilakukan melalui teknologi informasi dan komunikasi, termasuk perdagangan barang dan jasa secara elektronik. Di dalam perjanjian jual-beli baik secara konvensional maupun elektronik, perlindungan terhadap hak-hak konsumen seyogianya menjadi perhatian utama pelaku usaha. Hal ini disebabkan meskipun sudah terdapat ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perlindungan konsumen, hingga saat ini masih sering ditemukan pelanggaran terhadap hak-hak konsumen, terutama dalam transaksi e-commerce. Skripsi ini adalah penelitian yuridis-normatif yang mengkomparasikan peraturan perundang-undangan tentang hukum perlindungan konsumen dalam transaksi e-commerce antara Indonesia, India, dan Amerika Serikat. Melalui studi komparasi dan analisis menggunakan sumber data dari kepustakaan, penelitian ini menemukan jawaban atas bagaimana kepastian hukum perlindungan konsumen dalam transaksi e-commerce di Indonesia. Selain itu, penelitian ini juga mendeskripsikan perihal perbandingan kepastian hukum perlindungan konsumen dalam transaksi e-commerce di Indonesia dengan India dan Amerika Serikat berdasarkan United Nations Guidelines for Consumer Protection. Lebih lanjut, penelitian ini juga memberikan preskripsi tentang kepastian hukum perlindungan konsumen dalam transaksi e-commerce di Indonesia yang seharusnya, apabila ditinjau dari perbandingan kepastian hukum perlindungan konsumen dalam transaksi e-commerce di India dan Amerika Serikat.
The development of technology and information and the internet has made it easier for humans to do many things, including purchasing goods and services. One of many developments in technology and information is e-commerce. E-Commerce is all kinds of business transactions or information exchange carried out through the internet, including trading of goods and services electronically. In the matter of buying and selling, both conventionally and electronically, the protection of consumer rights should be the main concern of business actors. This is because despite the provisions of laws and regulations governing consumer protection, until now there are still frequent violations of consumer rights, especially in e-commerce transactions. This thesis is a piece of juridical-normative research that compares the laws and regulations concerning consumer protection law in e-commerce transactions between Indonesia, India, and the United States. Through comparative studies and analysis using literature study, this thesis explores on how the legal certainty of consumer protection in e-commerce transactions in Indonesia is being achieved. In addition, this research also describes about the comparison regarding legal certainty of consumer protection in e-commerce transactions in Indonesia between India and the United States based on the United Nations Guidelines for Consumer Protection. Furthermore, this study provides a prescription on how the legal certainty of consumer protection in e-commerce transactions in Indonesia should be, when viewed from a comparison of consumer protection laws in e-commerce transactions in India and the United States."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Kamilia Savira
"Fokus dari penelitian ini adalah pada terbitnya sertipikat ganda yang dalam kenyataannya telah memicu terjadinya sengketa, seperti yang ditemukan dalam Putusan Mahkamah Agung No 1693 K/Pdt/2018. Hal tersebut menjadikan pemegang hak atas tanah yang sebenarnya tidak terlindungi, walaupun sertipikat sebagai tanda bukti hak atas tanah sebagai alat pembuktian yang kuat yang telah dimilikinya. Oleh karena itu permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah tentang perlindungan hak dan kepastian hukum bagi pemegang sertipikat hak atas tanah yang sebenarnya terkait terbitnya sertipikat ganda dan penyelesaian sengketa mengenai status tanah dan/atau pemegang hak atas tanah sebagai akibat dari adanya sertipikat ganda. Dalam penelitian ini, metode yang dipergunakan adalah yuridis normatif. Adapun pengumpulan datanya dilakukan melalui studi dokumen (kepustakaan). Data sekunder yang diperoleh, dianalisis secara kualitatif. Penelitian ini menemukan bahwa UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria sebagai dasar dari Hukum Tanah Nasional tidak secara jelas memberikan perlindungan tersebut. Namun peraturan pelaksananya yaitu PP No. 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah, khususnya Pasal 32 ayat (2) memberikan perlindungan melalui lembaga rechtsverwerking. Majelis Hakim dalam Putusan a quo juga menguatkan perlindungan semacam itu. Dengan adanya putusan tersebut maka BPN cq Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya harus melakukan pembatalan terhadap sertipikat yang cacat hukum. Adapun penyelesaian sengketa terkait sertipikat ganda itu sendiri semestinya tidak perlu menggunakan mekanisme litigasi karena dapat diselesaikan langsung di Badan Pertanahan Nasional sesuai dengan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional 21 Tahun 2020 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan yaitu dengan melakukan pembatalan sertipikat.
The focus of this research is on the issuance of the dual certificates which in fact have triggered. Land disputes, as found in the Supreme Court Decision No. 1693 K/Pdt/2018 of the land that has been owned. Therefore, the problem raised in this research is about the protection of rights and legal certainty for land rights certificate holders which are actually related to the issuance of dual certificates. In addition, the settlement of disputes regarding the status of land and/or holders of land rights as a result of the existence of multiple certificates. In this study, the method used is normative juridical order. The data collection is done through the study of the documents (library). Furthermore, the secondary data obtained were analyzed qualitatively. This research found that Act Law no. 5/1960 concerning Basic Agrarian Regulations as the basis of the National Land Law does not clearly provide such protection. However, the implementing regulations, namely Government Regulations No. 24/1997 on Land Registration, in particular Article 32 paragraph (2) provides protection through the rechtsverwerking institution. The Panel of Judges in the a quo Decision also strengthens such protection. Furthermore, with this decision, the BPN cq the Regency/Municipal Land Office must cancel the legally flawed certificate. The land dispute resolution related to the dual certificates itself should not need to use a litigation mechanism because it can be resolved directly at the National Land Agency in accordance with the Regulation of the Minister of Agrarian Affairs and Spatial Planning/National Land Agency 21 of 2020 concerning Settlement of Land Cases, namely by canceling the certificate."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Amanda Salsabila
"Pengadilan Pajak merupakan lembaga yang memiliki kewenangan dalam memutus perkara terkait sengketa pajak dan menjalankan fungsi perlindungan hukum bagi Wajib Pajak yang mencari keadilan di bidang perpajakan. Namun, fenomena yang terjadi hingga saat ini bahwa disparitas putusan Pengadilan Pajak atas kasus serupa masih sering terjadi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis alasan terjadinya perbedaan dan kepastian hukum pada putusan banding yang dikeluarkan oleh Pengadilan Pajak atas sengketa Branch Profit Tax BUT migas dengan mengambil dua putusan Pengadilan Pajak BUT X No. PUT-108978.36/2011/PP/M.XVIB Tahun 2019 dan PUT- 006362.36/2018/PP/M.IA Tahun 2020. Metode penelitian yang digunakan berupa pendekatan kualitatif dengan melakukan studi literatur dan studi lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan yang terjadi pada kedua putusan tersebut disebabkan oleh perbedaan interpretasi Hakim dalam memahami konsep bagi hasil yang tertera dalam Production Sharing Contract Sanga Sanga serta pemanfaatan tax treaty dalam menetapkan tarif Branch Profit Tax dan kepastian hukum dari putusan tersebut masih belum terpenuhi baik dari sisi konsistensi putusan dan belum didasarkan pada ketentuan hukum yang jelas.
The Tax Court is an institution that has the authority to decide cases related to tax disputes and carries out the function of legal protection for taxpayers seeking justice in the taxation sector. However, the phenomenon that has occurred up to now is that the disparity of court decisions on similar cases is still common. This study aims to analyze the reasons for the differences and the law in the appeal decision issued by the Tax Court on the Profit Tax dispute of the BUT Oil and Gas Branch by taking two decisions of the BUT X Tax Court No. PUT-108978.36/2011/PP/M.XVIB Year 2019 and PUT- 006362.36/2018/PP/M.IA Year 2020. The research method used is a qualitative approach by conducting literature studies and field studies. The results of the study indicate that the differences between the two decisions are caused by differences in the interpretation of the judge in understanding the concept of profit sharing stated in the Production Sharing Contract Sanga Sanga and the use of tax treaties in setting the Branch Profit Tax rate and the legal certainty of the decision has not been fulfilled either from in terms of consistency of decisions and not yet based on clear legal provisions."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Abdul Reza Prima Tarihoran
"Pendaftaran Tanah Sistem Lengkap (PTSL) adalah program pemerintah untuk melakukan pendaftaran tanah secara sistematis dan masal untuk mewujudkan kepastian hak atas bidang tahan di seluruh Indonesia. Program ini bermula pada tahun 1981 melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 189 Tahun 1981 tentang Proyek Operasi Nasional Agraria hingga mengalami pembaharuan pada tahun 2018 melalui Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pendaftaran Tanah Sistem Lengkap. Perubahan aturan tersebut tidak serta merta menjamin kepastian hukum pendaftaran tanah di Indonesia, masih terdapat kelalaian admnistrasi pada program PTSL khususnya di Kantor Pertanahan Kota Banda Aceh, sehingga menyebabkan sertipikat yang diterbitkan menjadi cacat administrasi dan dapat dibatalkan. Oleh karenanya administrasi pendaftaran tanah melalui PTSL harus dilakukan dengan cermat. Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah mengenai (1) Permasalahan Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) di Kantor Pertanahan Kota Banda Aceh; (2) Kepastian Hak Atas Tanah yang Tertukar Melalui Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) di Kantor Pertanahan Kota Banda Aceh. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis-normatif dengan menggunakan jenis data sekunder dan data primer sebagai pendukung. Hasil analisis (1) adalah permasalahan pendaftaran tanah melalui PTSL di Kantor Pertanahan Kota Banda Aceh disebabkan oleh kedala-kendala administrasi yang terjadi dilapangan pada saat pengumpulan data fisik dan data yuridis, akibatnya hak atas tanah dapat tertukar sehingga status sertifikat hak atas tanah yang diterbitkan Kantor Pertanahan menjadi cacat administrasi. Hasil analisis (2) yaitu kepastian hak atas tanah tertukar dapat diperoleh melalui pengadilan dengan mengajukan gugatan/permohonan pembatalan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Selain itu kepastian hukum sertipikat tanah tertukar juga dapat diperoleh melaui penyelesaian sengketa diluar pengadilan, salah satunya dalah mediasi di hadapan lembaga adat sesuai dengan ketentuan Pasal 45 Ayat 1 Permen ATR/BPN No. 20/2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan
Complete System Land Registration (PTSL) is a government program to carry out systematic and mass land registration to realize the certainty of rights to land holdings in Indonesia. This program began in 1981 through the Decree of the Minister of Home Affairs Number 189 of 1981 concerning the National Agrarian Operation Project until it underwent a renewal in 2018 through the Regulation of the Minister of Agrarian and Spatial Planning/Head of the National Land Agency Number 6 of 2018 concerning Complete System Land Registration. Changes to these rules do not necessarily guarantee legal certainty for land registration in Indonesia, there are still administrative omissions in the PTSL program, especially at the Banda Aceh City Land Office, causing the certificates issued to be administratively flawed and can be canceled. Therefore, the administration of land registration through PTSL must be carried out carefully. The problems raised in this study are (1) the Problem of Complete Systematic Land Registration (PTSL) at the Banda Aceh City Land Office; (2) Certainty of Exchanged Land Rights through Complete Systematic Land Registration (PTSL) at the Banda Aceh City Land Office. This research is a juridical-normative research using secondary data and primary data as support. The results of the analysis (1) are that the problem of land registration through PTSL at the Banda Aceh City Land Office is due to administrative constraints that occur in the field at the time of collecting physical data and juridical data, so that as a result land rights can be exchanged and the status of land rights certificates issued be administratively disabled. The result of analysis (2) is that the certainty of land rights being exchanged can be obtained through the court by filing a lawsuit/application for cancellation to the State Administrative Court (PTUN). Apart from that, legal certainty of exchanged land certificates can also be obtained through dispute resolution outside the court, one of which is mediation before customary institutions in accordance with the provisions of Article 45 Paragraph 1 of the Minister of ATR/BPN No. 20/2020 on Handling and Settlement of Land Cases."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Vivi Putri Rafely
"Penawaran umum perdana koin kripto, atau yang biasa dikenal sebagai Initial Coin Offering (ICO) merupakan mekanisme baru dalam menghimpun modal usaha dari masyarakat sebagai pelanggan koin kripto yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan start up. Mekanisme transaksi koin kripto dalam ICO melibatkan pelaku usaha (yang menerbitkan koin dan mengembangkan koin) dan kemudian koin tersebut ditawarkan kepada masyarakat secara umum. Mekanisme transaksi koin kripto melalui ICO pun tidak luput dari risiko, seperti yang telah terjadi di China dan Vietnam yang mengakibatkan kerugian hingga ratusan miliar rupiah. Namun, hingga saat ini masyarakat tidak bisa melakukan tuntutan ganti rugi. Hal ini dikarenakan tidak adanya regulasi yang mengatur atau melarang praktik ICO. Terdapat kekosongan hukum terkait mekanisme ICO di Indonesia. Di dalam Peraturan Bappebti No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Peraturan Bappebti No. 8 Tahun 2021 tentang Pedoman Penyelenggaraan Perdagangan Pasar Fisik Aset Kripto (Crypto Asset) di Bursa Berjangka Pasal 2 ayat (3) secara jelas menyebutkan bahwa ketentuan-ketentuan yng diatur di dalam Bappebti tidak mengatur tentang transaksi aset kripto melalui mekanisme ICO. Berkenaan dengan hal tersebut, penting untuk Bappebti agar segera merumuskan regulasi terkait mekanisme transaksi koin kripto dalam ICO, baik dengan cara membuat peraturan baru secara tersendiri yang khusus membahas ICO ataupun dapat membuat Perubahan atas Peraturan Bappebti No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Peraturan Bappebti No. 8 Tahun 2021 tentang Pedoman Penyelenggaraan Perdagangan Pasar Fisik Aset Kripto (Crypto Asset) di Bursa Berjangka.
Initial Public Offering of crypto coins, or what is commonly known as Initial Coin Offering (ICO) is a new mechanism for raising capital effort from the public as customers of crypto coins carried out by start-up companies. The crypto coin transaction mechanism in an ICO involves business actors (those who issue coins and develop coins) and then the coins are offered to the general public. The crypto coins transaction mechanism by ICO is not free from risk, as has happened in China and Vietnam which resulted in losses of up to hundreds of billions rupiah. However, until now the community has not been able to claim compensation. This is because there are no regulations that regulate or prohibit ICO practices. There is a legal vacum regarding the ICO mechanism in Indonesia. In Bappebti Regulation Number 13 of 2022 about Amandements to Bappebti Regulation Number 8 of 2021 about Guidelines for Organizing Physical Market Trading for Crypto Assets (Crypto Assets) on the Futures Exchange. Article 2 paragraph (3) clearly states that the provisions regulated in Bappebti do not regulate crypto assets transactions through the ICO mechanism. In this regard, it is important for Bappebti to immediately formulate regulations about ICO Mechanism, either by making new regulations separately that specifically talking about ICO mechanism or by making changes to previous regulation, which is Bappebti Regulation Number 13 of 2022 about Amandements to Bappebti Regulation Number 8 of 2021 about Guidelines for Organizing Physical Market Trading for Crypto Assets (Crypto Assets) on the Futures Exchange."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library