Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 123 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mohamad Alvin Alvano
"Business Judgement Rule merupakan aturan yang memberikan kekebalan atau perlindungan bagi manajemen perseroan dari setiap tanggung jawab yang lahir sebagai akibat dari transaksi atau kegiatan yang dilakukan olehnya sesuai dengan batas-batas kewenangan dan kekuasaan yang diberikan kepadanya, dengan pertimbangan bahwa kegiatan tersebut telah dilakukan dengan memperhatikan standar kehati-hatian dan itikad baik. Prinsip Businnes Judgment Rule secara implisit diakomodir di dalam Pasal 92 dan Pasal 97 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang bertujuan agar melindungi direksi dari upaya kriminalisasi, sehingga asas kepastian hukum terpenuhi.Seharusnya para penegak hukum dapat memilah penyebab yang terjadi dalam kerugian sebuah Badan Usaha Milik Negara. Apabila terjadi kerugian negara yang timbul dalam sebuah Badan Usaha Milik Negara, itu merupakan murni dari resiko bisnis itu sendiri, yang keputusannya diambil yaitu dengan prinsip kehati-hatian dan itikad baik, menurut Penulis, seharusnya dalam penyelesainnya dapat menggunakan prinsip Business Judgment Rule dan dapat dikatakan bukan sebagai suatu tindak pidana korupsi. Hal tersebut terjadi pada kasus perkara Hotasi Nababan, Mantan Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airline.Hasil penelitian bentuk pertanggungjawaban direksi dalam perseroan terbatas berdasarkan prinsip business judgement rule adalah pertanggungjawaban baik perdata yang telah diatur dalam Pasal 97 ayat 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, serta Pasal 1365 KUHPerdata, maupun pertanggungjawaban pidana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Business Judgement Rule is a rule which provides immunity or protection for the management of the company from any responsibility that is born as a result of a transaction or activity undertaken by him in accordance with the limits of authority and power given to him, considering that these activities have been conducted with respect to the standards prudence and good faith. Judgment Rule Businnes principle implicitly accommodated in Article 92 and Article 97 of Law Number 40 Year 2007 regarding Limited Liability Company which aims to protect the directors of the attempt to criminalize, so the principle of legal certainty is met.Supposedly law enforcement officials can sort out the cause of the losses occurring in a State Owned Enterprises. In the event of losses that arise in a State Owned Enterprises, it is purely from the business risk itself, the decision was taken on the principle of prudence and in good faith, according to the author, it should in its solution can make use of Business Judgment Rule and it can be said not as an act of corruption. This happens in the case of case Hotasi Nababan, former Director of PT Merpati Nusantara Airline.The results of the study form of accountability of directors in a limited liability company based on the principles of the business judgment rule is accountable to both civil set out in Article 97 paragraph 3 and 4 of Law Number 40 Year 2007 regarding Limited Liability Company, as well as Article 1365 of the Civil Code, as well as criminal liability regulated in Law Number 20 Year 2001 jo Law No. 31 of 1999 on Corruption Eradication.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T46932
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Dinda Dwi Sarinastiti
"Di era globalisasi, transaksi lintas batas negara dilakukan oleh perusahaan multinasional dengan melakukan pinjaman luar negeri yang mewajibkan pembayaran bunga pinjaman. Sebagai penghasilan pasif, untuk menerapkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) perlu memperhatikan beneficial owner dari suatu transaksi. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui penerapan beneficial owner secara konsep yang paling tepat antara DJP, PT XYZ, dan Majelis Hakim Pengadilan Pajak, selain itu tujuan lainnya untuk mengetahui penerapan azas kepastian hukum dalam Putusan Banding yang dikeluarkan Pengadilan Pajak. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui studi kepustakaan dan studi lapangan. Dalam kasus sengketa ini, penerapan beneficial owner secara konsep menurut PT XYZ adalah yang paling tepat dilakukan dibandingkan penerapan beneficial owner oleh DJP dan Majelis Hakim. Selain itu, dalam kasus ini ketiga belah pihak tidak memenuhi prinsip lex specialis derogate lex generalis, karena mengesampingkan P3B sebagai dasar dalam menentukan beneficial owner. Berdasarkan analisis menurut azas kepastian hukum, dapat dilihat menjadi tiga bagian: kepastian dari segi hukum pajak material dan formal, kepastian hukum dari segi kepastian hukum dari segi jaminan hukum, dan kepastian hukum dari segi menemukan hukum yang diwujudkan dengan metode interpretasi hukum. Untuk mengatasi perbedaan penentuan beneficial owner seharusnya tidak hanya mengacu pada UU Domestik melainkan perlu memperhatikan International Best Practice. Selain itu, perlu meningkatkan pemahaman mengenai kedudukan tax treaty yang lebih tinggi dibandingkan dengan UU Domestik. Pengetahuan terkait perpajakan internasional khususnya beneficial owner juga perlu ditingkatkan oleh Majelis Hakim untuk memenuhi kepastian hukum, terutama dari segi jaminan hukum dan interpretasi hukum.

In the era of globalization, cross-border transactions are carried out by multinational enterprises through foreign loans that require to payment of loan interest. As a passive income, to applying tax treaty it is necessary to pay attention to the beneficial owner of a transaction.This thesis aims to find out the most appropriate concept of beneficial owner between DGT, PT XYZ, and Panel of Judges, in addition the other aims to find out the application of the principle of legal certainty in the Appeal Decision issued by the Tax Court. The research method used in this study is descriptive qualitative method with data collection techniques through library research and field research. In the case of this dispute, the application of conceptually beneficial owner according to PT XYZ is the most appropriate compared to the application of the beneficial owner by the DGT and the Panel of Judges. Furthermore, in this case three parties are not to fulfill the principle of lex specialis derogate lex generalis, because they override the tax treaty as a basis in determining the beneficial owner.Based on the analysis according to the principle of legal certainty, it can be seen as three parts: certainty in terms of material and formal tax law, legal certainty in terms of legal guarantees, and legal certainty in terms of finding laws through legal interpretation methods. To overcome the difference in determining the beneficial owner, it should not only refer to the Domestic Law, but also need to pay attention to International Best Practice. Moreover, there is a necessary to increase the knowledge about position of the tax treaty that is higher than the Domestic Law. The knowledge related international tax especially beneficial owner also needs to be improved by the Panel of Judges to fulfill legal certainty, especially in terms of legal guarantees and legal interpretations."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elfrieda Anggi Basamarito
"Tax Treaty adalah sebagai sumber hukum yang bermaterikan kepentingan publik secara pembentukannya haruslah diperlakukan sama seperti ketentuan perundangan yang berlaku karena telah melewati proses pengesahan atau ratifikasi. Namun dalam pelaksanaan di lapangan dalam proses banding di Pengadilan Pajak, masih terdapat perbedaan putusan Majelis Hakim yang mempertimbangkan Tax Treaty maupun sebaliknya. Pengadilan Pajak harus memiliki kesatuan suara agar kepastian hukum tercapai baik untuk Wajib Pajak dan Direktorat Jenderal Pajak, karena sesuai dengan dasar hukum hierarki perundangan, Tax Treaty yang sudah diratifikasi memiliki kekautan hukum yang sah sebagai dasar penetapan Pajak Penghasilan Pasal 26 ayat (4). Oleh karena itu melalui penelitian yang menganalisa sumber normatif yaitu putusan pengadilan pajak Nomor: Put-099239.13/2009/PP/M.XVIB Tahun 2019 dan putusan Nomor: 886128/PP/M.VIIIA/36/2017 serta aturan perpajakan yang berlaku, akan mendorong kepastian hukum agar Majelis Hakim Pengadilan Pajak akan mendorong Majelis Hakim Pengadilan Pajak untuk memberikan kepastian hukum untuk menetapkan Tax Treaty sebagai sumber hukum untuk menggunakan tarif Pajak Penghasilan Pasal 26 ayat (4) sesuai dengan Tax Treaty.  Kepastian hukum penetapan tarif tersebut juga dapat diminimalisir melalui tahap awal dalam instansi Direktorat Jenderal Pajak sejak saat pemeriksaan keberatan sebelum WP mengajukan Banding ke Pengadilan Pajak, agar dapat dianalisa apabila WP terbukti berhak menggunakan tarif Tax Treaty, maka ketentuan Tax Treaty sudah seharusnya ditetapkan sebagai sumber hukum, sebaliknya apabila tidak memenuhi, maka berlaku aturan domestik perpajakan Indonesia sebagai dasar penetapan tarif PPh Pasal 26 ayat (4).  

Tax Treaty is a source of law with the material of public interest in its formation, it must be treated the same as the provisions of the applicable laws because it is equivalent to the Law which has passed the process of ratification or ratification. However, in the implementation in the field in the appeal process at the Tax Court, there are still differences in the decisions of the Panel of Judges considering the Tax Treaty or vice versa. The Tax Court must have a unified voice so that legal certainty is achieved for both Taxpayers and the Directorate General of Taxes, because in accordance with the legal basis of the legal hierarchy, the ratified Tax Treaty has legal force as the basis for determining Income Tax Article 26 paragraph (4). Therefore, through research that analyzes normative sources, namely the tax court decision Number: Put-099239.13/2009/PP/M.XVIB Year 2019 and the decision Number: 886128/PP/M.VIIIA/36/2017 as well as the applicable tax rules, will encourage legal certainty so that the Panel of Judges of the Tax Court will encourage the Panel of Judges of the Tax Court to provide legal certainty to determine the Tax Treaty as a legal source to use the Income Tax rate of Article 26 paragraph (4) in accordance with the Tax Treaty. The legal certainty of the determination of the tariff can also be minimized through the early stages in the Directorate General of Taxation agency since the time of the examination of objections before the taxpayer submits an appeal to the Tax Court, so that it can be analyzed if the taxpayer is proven to be entitled to use the tax treaty rate, then the provisions of the tax treaty should be established as a source of law. On the other hand, if it does not comply, then the Indonesian domestic taxation rules apply as the basis for determining the rate of Income Tax Article 26 paragraph (4)."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ashrinov Hanum Salsabila
"Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) berdampak pada negara Indonesia dalam aspek ekonomi, hal tersebut berdampak pula pada kepatuhan kewajiban perpajakan wajib pajak. Selaras dengan hal tersebut Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menerbitkan Peraturan Gubernur Nomor 36 Tahun 2020 tentang Penghapusan Sanksi Admnistrasi Pajak Daerah Selama Status Tanggap Darurat Bencana COVID-19 sebagai bentuk penanganan atas kondisi tersebut. Penelitian skripsi ini membahas mengenai penghapusan sanksi admnistrasi pajak daerah DKI Jakarta selama status tanggap darurat bencana COVID-19. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui penghapusan sanksi administrasi pajak yang ditinjau dari tujuan umum perpajakan sebagai perlindungan hukum bagi wajib pajak yang terkena dampak COVID-19. Selain itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kewenangan diskresioner yang dilakukan oleh seorang Gubernur dalam mengeluarkan peraturan tersebut serta untuk mengetahui kepastian hukum wajib pajak atas peraturan tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan jenis penelitian yuridis normatif dengan menggunakan data primer berupa peraturan perundangundangan, data sekunder berupa buku dan literatur lain, serta di dukung dengan wawancara dengan pihak terkait. Kesimpulan dari penelitian ini ialah menunjukkan bahwa terbitnya peraturan penghapusan sanksi admnistrasi pajak daerah DKI Jakarta selama status tanggap darurat bencana COVID-19 apabila ditinjau dari tujuan perpajakan sudah tepat. Kemudian peraturan tersebut merupakan kewenangan diskresioner yang dilakukan oleh seorang Gubernur selaku kepala daerah dalam mengeluarkan peraturan tersebut serta sudah cukup memberikan kepastian hukum bagi wajib pajak walaupun masih terdapat beberapa hal yang menimbulkan permasalahan.

The 2019 Corona Virus Disease (COVID-19) pandemic impacts Indonesian regarding economic aspect. It also affects tax compliance with tax obligations. In line with this, the Provincial Government of DKI Jakarta issued Governor Regulation Number 36 of 2020 concerning the Abolition of Regional Tax Administration Sanctions During the COVID-19 Disaster Emergency Response Status as the form of handling the condition. This undergraduate thesis discusses abolishing regional tax administration sanctions in Jakarta during the emergency response status for the COVID-19 disaster. This research aims to determine the abolition of tax administration sanctions in terms of general tax objectives as legal protection for taxpayers affected by COVID-19. This research also seeks to determine the discretionary authority exercised by a Governor in issuing these regulations and determining the legal certainty of taxpayers on these regulations. Moreover, this study was conducted using normative juridical analysis with primary data in the form of laws and regulations, secondary data in books and other literature, and supported by interviews with related parties. The conclusion of this study is to show that the issuance of regulations on the elimination of regional tax administration sanctions for DKI Jakarta during the emergency response status for the COVID-19 disaster when viewed from tax purposes is correct. The regulation is then a discretionary authority exercised by a Governor as the regional head in issuing the law. It is sufficient to provide legal certainty for taxpayers even though several things cause problems."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitriani Iswandari
"Tulisan ini menganalisis bagaimana kepastian hukum jual beli atas tanah dengan adanya Putusan Pengadilan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor 822/Pdt.G/2020/PN.TNG). Tulisan ini menggunakan metode doktrinal, dengan tipologi penelitian preskriptif analisis menggunakan bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan dan bahan hukum sekunder berupa buku-buku, artikel dan jurnal. Kepastian hukum dalam pembuatan akta jual beli (AJB) atas tanah menjadi landasan utama dalam transaksi properti, dimana terdapat beberapa situasi/kondisi ketika proses transaksi jual beli sudah lunas, pembeli masih belum dibuatkan AJB, sementara pembeli ingin mendaftarkan kepemilikan atas obyek yang dibelinya menggunakan atas nama sendiri, tetapi kesulitan dalam mencari keberadaan pihak penjual, sehingga pembeli menggunakan cara lain untuk memperoleh kepastian hukum melalui gugatan ke pengadilan. Kepastian hukum pembuatan AJB atas tanah yang dibuat karena adanya putusan pengadilan sejatinya tidak memiliki pengaturan hukum baik dalam PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (yang kini telah diperbaharui dengan PP No. 18 Tahun 2021), maupun dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. Meski di pasal 37 PP No. 24 tahun 1997 tidak mengakomodasi, Putusan pengadilan dapat dijadikan pondasi dasar dalam melakukan peralihan hak maupun balik nama sertifikat disebabkan putusan memiliki prinsip “Res Judicata Pro Veritate Habetur” yang bermakna bahwa “putusan hakim harus dianggap benar” ketika putusan tersebut ditetapkan, berdasarkan irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Prinsip tersebut memposisikan hakim sebagai bagian fundamental dalam menegakkan keadilan dalam negeri terkait suatu perkara yang hendak diputuskan. Hal tersebut memberi akibat hukum bagi Pembeli untuk memiliki hak memperoleh sertifikat yang sah yang akan diterbitkan oleh pihak Kantor Pertanahan Kota Tangerang Selatan atas kepemilikan tanah serta mendapat ganti rugi biaya perkara.

This article analyzes the legal certainty of buying and selling land with a court decision (Study of Tangerang District Court Decision Number 822/Pdt.G/2020/PN.TNG). This paper uses a doctrinal method, with a prescriptive analysis research typology using primary legal materials in the form of statutory regulations and secondary legal materials in the form of books, articles and journals. Legal certainty in making a sale and purchase deed (AJB) for land is the main basis for property transactions, where there are several situations/conditions when the sale and purchase transaction process has been completed, the buyer has not yet made an AJB. In contrast, the buyer wants to register ownership of the object he purchased using the above name. Still, it is difficult to find the seller's whereabouts, so the buyer uses other methods to obtain legal certainty through a lawsuit in court. The legal certainty of making AJB on land which is made because of a court decision does not have any legal regulation either in PP No. 24 of 1997 concerning Land Registration (which has now been updated with PP No. 18 of 2021), as well as in Law Number 5 of 1960 concerning Agrarian Principles, although in article 37 of PP No. 24 of 1997 does not accommodate, court decisions can be used as the basic foundation for transferring rights or changing the name of certificates because the decision has the principle of "Res Judicata Pro Veritate Habetur" which means that "the judge's decision must be considered correct" when the decision is determined, based on the principle "For the sake of Justice Based on Belief in One Almighty God.” This principle positions judges as a fundamental part of upholding domestic justice regarding a case to be decided. This has legal consequences for the Buyer to have the right to obtain a valid certificate which will be issued by the South Tangerang City Land Office regarding land ownership and to receive compensation for court costs."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arifin
"Sejak diberlakukannya Peraturan Daerah Nomor 8 tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Reklame dan Pajak Reklame yang efektif berlaku tanggal 28 Nopember 2000 Penghitungan pajak reklame adalah hasil perkalian antara tarip pajak sebesar 25 % dengan dasar pengenaan pajak yang dihitung berdasarkan variabel-variabel (1) besarnya biaya pemasangan reklame, (2) besarnya biaya pemeliharaan reklame, (3) lama pemasangan reklame, (4) nilai strategis lokasi dan (5) jenis reklame. Dasar pengenaan pajak yang dalam Peraturan Daerah disebut Nilai Sewa Reklame (NSR) ditetapkan besarannya dengan Keputusan Gubernur Propinsi OKI Jakarta No.74 tahun 2000 tentang Penetapan Nilai Sewa Reklame sebagai Dasar Penghitungan Pajak Reklame dalam bentuk Tabel NSR yang terbagi menjadi 10 tabel NSR. Dari 10 macam tabel NSR tersebut terdapat perbedaan bentuk dan besarannya bahkan ada pemberlakuan tabel NSR minimum dan maksimum. Yang menjadi pokok permasalahan adalah apakah keadilan dan prinsip kepastian hukum telah diterapkan dalam penetapan dasar pengenaan pajak reklame ?.
Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui apakan prinsip keadilan dan prinsip kepastian hukum tetah diterapkan dalam penetapan dasar pengenaan pajak reklame.
Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut maka masalah yang akan diteliti adalah apakah prinsip keadilan dan prinsip kepastian hukum telah diterapkan dalam pemungutan pajak reklame khususnya penetapan dasar pengenaan pajak reklame ?.
Kerangka teori yang digunakan berawal dari sistemperpajakan, kemudian teori prinsip keadilan dan kepastian hukum yang dikaitkan dengan dasar pengenaan pajak reklame.
Metodologi penelitian yang digunakan adalah metode survai dengan mendistribusikan kuesoner dan wawancara dengan responden, pengamatan langsung terhadap obyek penelitian dan studi kepustakaan. Hasil penelitian dapatdisimpulkan sebagai berikut:
1. Secara teori penetapan dasar pengenaan pajak belum atau tidak menerapkan prinsip keadilan dan prinsip kepastian hukum.
2. Dari hasil kuesioner, para responden seluruhnya setuju bahwa dasar pengenaan pajak reklame tidak menerapkan prinsip keadilan dan prinsip kepastian hukum.
Berdasarkan kesimpulan tersebut diatas disarankan agar:
1. Segera merevisi Keputusan Gubernur Propinsi OKI Jakarta Nomor 74 tahun 2000 yang mengatur tentang dasar pengenaan pajak reklame sebelum wajib pajak mempertanyakan mengenai penerapan prinsip keadilan dan prinsip kepastian hukum pada dasar pengenaan pajak reklame.
2. Nilai strategis lokasi ditetapkan berdasarkan nilai sewa lahan.
3. Biaya pemasangan dan biaya pemeliharaan dihitung berdasarkan biaya yang dikeluarkan atau ditetapkan koefisiennya saja.
4. Tidak memberlakukan Dasar Pengenaan Pajak minimum dan Dasar Pengenaan Pajak Tetap."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T309
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Aini Mutmainnah
"Tujuan Undang-Undang Perpajakan adalah memberikan kepastian hukum dan keadilan kepada Wajib Pajak. Dalam hai ini, ketentuan yang dimuat di dalam Undang-Undang Perpajakan tidak boleh melanggar tujuan Undang-Undang Perpajakan. Dalam membuat Undang-Undang Perpajakan, harus diusahakan supaya ketentuan yang dimuat di dalam Undang-Undang tersebut jelas, pasti, dan tidak mengandung arti ganda. Karena tanpa kepastian hukum, maka keadilan tidak dapat dicapai.
Dalam prakteknya, keadilan bukanlah sesuatu yang mudah dicapai. Oleh karena itu, Wajib Pajak diberikan hak seluas-luasnya untuk mencari keadilan. Wajib Pajak diberikan kesempatan untuk menempuh cara-cara tertentu dalam rangka memperoleh keadilan, apabila dalam pengenaan sanksi administrasi merasa diperlakukan tidak adil. Hal ini dapat dilakukan melalui pengajuan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi.
Di dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a UU KUP diatur mengenai kewenangan Direktur Jenderal Pajak untuk mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi yang dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya. Hal inilah yang akan dikaji apakah ketentuan Pasal 36 ayat (1) huruf a UU KUP tentang pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi yang dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya dapat memberikan kepastian hukum dan keadilan kepada Wajib Pajak.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ketentuan Pasal 36 ayat (1) huruf a UU KUP tidak memberikan kepastian hukum dan keadilan kepada Wajib Pajak. Ketentuan Pasal 36 ayat (1) huruf a UU KUP secara material tidak memenuhi syarat-syarat kepastian hukum dan asas-asas keadilan di dalam Undang-Undang Perpajakan. Dengan kata lain, isi dari Pasal tersebut tidak tepat, tidak jelas, menimbulkan pengertian ganda, dan tidak sinkron dengan Penjelasannya. Dengan demikian ketentuan Pasal 36 ayat (1) huruf a UU KUP melanggar tujuan Undang-Undang Perpajakan untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan kepada Wajib Pajak. Ketentuan Pasal 36 ayat (1) huruf a UU KUP juga tidak sesuai dengan sef assessment syslem yang sudah lama diterapkan di Indonesia. Di dalam ketentuan tersebut kepastian hukum dan law enforcement menjadi tidak ada, dimana sanksi administrasi yang telah dikenakan dapat dikurangkan atau dihapuskan hanya karena alasan kekhilafan Wajib Pajak yang sifatnya sangat subyektif.

Self Assessment System gives trustful to tax payers in doing their taxation obligation by themselves. Fiscus act bolh as a counsellor and a supervisor on it. They have to make sure that the tax payers have done their taxation obligation and acquired their taxation rights well.
The goals of Tax Regulation are certainty and equity. The rules, in the Tax Regulation, have to agree with the goals of the Tax Regulation. The rules have to be clear, certain, and not ambiguous. Without certainty, so equity can’t be reached. Certainty and equity must be given to the tax payers so they won’t fell doubtful in doing their taxation obligation and acquiring their taxation rights. Tax must be written and arranged in the Tax Regulation. It must be able to create certainty and equity.
In practice, it is difficult to get equity. Tax payers have right to get and to look for equity. Tax payers have right to acquire the subtraction or wiping out of administration sanction which held because of tax payers’ neglect or not because of tax payers’ wrong. Tax Regulation has rule about subtraction or wiping out of administration sanction which held because of tax payers’ neglect or not because of tax payers’ wrong. This research will analyze whether the rule can give certainty and equity to tax payers.
According to the result of this research can be concluded that the rule about subtraction or wiping out of administration sanction which held because of tax payers’ neglect or not because of tax payers’ wrong doesn’t give certainty and equity to tax payers. The rule is not suitable with certainty principle and equity principle in the Tax Regulation. In this case, the rule is not clear, not certain and has ambiguous. The rule doesn’t agree with the goals of Tax Regulation to give certainty and equity to tax payers. In the implementation the rule about subtraction or wiping out of administration sanction which held because of tax payers’ neglect or not because of tax payers’ wrong is not suitable with Self Assessment System in Indonesia because certainty and law enforcement become exlinct.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26054
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Fajar Suryanegara
"Skripsi ini membahas penetapan Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pengenaan Pajak atas produk rekaman ditinjau dari asas-asas pemungutan pajak produktivitas penerimaan, kepastian hukum, dan kesederhanaan. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif analisis.
Hasil penelitian ini dilihat dari latar belakang penetapan dasar Pengenaan Pajak adalah karena ada potensi pemasukan pajak yang besar namun sulit dipungut jika menggunakan mekanisme umum. Hasil penelitian jika ditinjau dari asas produktivitas penerimaan ketetapan ini bertujuan mengamankan penerimaan negara. Berdasarkan asas kepastian hukum ketetapan ini kurang memberikan kepastian hukum karena kesalahan penggunaan pasal 1 angka 17 Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai. Akhirnya, berdasarkan asas kesederhanaan ketetapan ini sudah memberikan kesederhanaan baik bagi wajib pajak atau Direktorat Jenderal Perpajakan karena pajak hanya dibebankan pada satu level pemungutan.

The focus of this study is the quotition other value as tax base for recording product reviewed from revenue productivity, certainty and simplicity tax principle. This research is qualitative with descriptive analysist design.
The result for this research based on the background is because there is big potential tax income but it is difficult to collect with common mechanism. The result reviewed from revenue productivity principle is to secure the income of the country. Based on certainty principle this quotation gives less certainty because the misinterpretation of article 1 number 17 Indonesian Value Added Tax law. Finally, based on simplicity principle this quotition has given simplicity whether for tax payer or Tax General Directorate because the imposition is levied only to one level."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
S10411
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Wasis Wiryadi
"Dalam skripsi ini penulis akan membahas mengenai aspek kepastian hukum perpajakan mengenai Dasar Perhitungan Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 bagi BUMN Masuk Bursa sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 255/PMK.03/2008 (PMK 255). Dalam PMK tersebut, Dasar Perhitungan Angsuran PPh 25 bagi BUMN didasarkan atas RKAP, sementara untuk Perusahaan Masuk Bursa didasarkan atas Laporan Keuangan. Lantas, bagaimana pengaturan bagi BUMN yang telah Masuk Bursa Menggunakan RKAP atau Laporan Keuangan kah mereka? Berdasarkan permasalahan tersebut salah satu hal yang menarik untuk dibahas adalah apakah Perhitungan Ansguran PPh 25 bagi BUMN Masuk Bursa sudah memenuhi aspek kepastian hukum Perpajakan? Selain itu, ditengah permasalahan tersebut Direktorat Jenderal Pajak kemudian mengeluarkan Surat Edaran tentang Penegasan penggunaan Laporan Keunagan sebagai Dasar Perhitungan Angsuran PPh Pasal 25 bagi BUMN Masuk Bursa. Namun apakah langkah tersebut sudah tepat? Dari hasil analisis yang dilakukan, adanya tumpeng tindih pengaturan tersebut tentunya tidak sesuai dengan Asas Kepastian Hukum Perpajakan yang menghendaki bahwa salah satu parameter untuk mengukur apakah telah tercapai kepastian hukum ialah apabila kata dan kalimat undang-undang tersusun sedemikian jelasnya sehingga tidak menimbulkan interpretasi yang berbeda. Selain itu, penyelesaian permasalahan dengan menggunakan Surat Edaran tentang Penegasan bukanlah merupakan langkah tepat. Hal ini disebabkan Surat Edaran Tentang Penegasan merupakan Produk Hukum Peraturan Kebijakan yang hanya mempunyai daya ikat kedalam yakni terhadap pihak Internal Direktorat Jenderal Pajak.

This paper will discuss about certainty aspect in Basic Calculation of Installments on Income Tax Article 25 (PPh 25) for Public State-Owned Enterprise as regulated by Ministry of Finance Regulation Number 255/PMK.03/2008 (PMK 255). In this Ministry of Finance Regulation, Basic Calculation of Installment Income Tax Article 25 for State-Owned Enterprise is regulated based on RKAP. Whereas, Basic Calculation of Installment Income Tax Article 25 for Public Company is regulated based on financial statements. So, the problem is How about the regulation for Public State-Owned Company Based on RKAP or Financial Report? Based on this problem, the one of the interest aspect to discuss is Does the calculation of PPh 25 has fulfilled the legal certainty aspect Moreover, when the dispute is occur, Directorate General of Taxes released a circular letter concerning the affirmation of financial statements using for Basic Calculation of Installments on Income Tax Article 25 (PPh 25) for Public State Owned Enterprise. But, does the action is correct From the analysis result, the overlapping arrangement is not accordance with the Tax Law Certainty Aspect which requires that the parameter to measure whether legal certainty has been achieved is if the words and sentences of the law are arranged clearly and can`t causes different interpretations. In addition, solving the problems with released Circular Letter of Affirmation is not the right action. This is due to Circular Regarding Affirmation is only has an internal binding force, namely to Internal Directorate General of Taxes.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>