Ditemukan 249 dokumen yang sesuai dengan query
Cantika Febrisya
"Pailitnya suatu perusahaan dalam dunia usaha dewasa ini sudah tergolong merupakan suatu peristiwa yang lumrah dan sering terjadi. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang berlaku di Indonesia sampai saat ini memberikan suatu alternatif bagi para kreditor untuk mengajukan permohonan pailit atas suatu perusahaan yang menjadi debitornya. Salah satu pihak yang dapat berkedudukan menjadi debitor dan mengalami permohonan pailit adalah emiten atau perusahaan publik. Apabila suatu emiten mengalami pailit maka terdapat pihak yang sangat dirugikan atas kondisi tersebut, yaitu para investor publik. Investor publik menjadi pihak yang sangat dirugikan karena dengan pailitnya emiten tempatnya berinvestasi maka para investor publik tersebut tidak dapat menjual saham-saham yang dimilikinya lagi di dalam emiten tersebut. Sementara itu posisinya yang merupakan pemegang saham dalam emiten terkait menjadikannya terhitung turut serta sebagai debitor pula. Oleh karena itulah maka investor publik berada di urutan paling akhir setelah kreditor konkuren di dalam pembagian harta pailit. Dan seringkali yang terjadi dalam prakteknya, investor publik tidak mendapatkan sisa dari pembagian harta yang ada karena telah habis dibagikan pada para kreditor dan biaya lainnya.
Bankruptcy in today's world of business occurs regularly and is regarded as a normal occasion. Law Number 37 of 2004 on Bankruptcy and Suspension of Debt Payment which applies in Indonesia provides creditors an alternative to file for bankruptcy towards a company which are his debtors. One of the parties which is the debtor that undergoes through file of bankruptcy is a listed company. In the event of a listed company undergoing bankruptcy, this would mean that public investors that are shareholders to the bankrupt company experience great loss. Public investors that are parties to the company are significantly disadvantaged because by the insolvency of the company in which he is an investor, he would not be able to sell the shares he owns in the company. At the same time, as a result of bankruptcy, his position as shareholder in the company would turn him into a debtor. Therefore, in distributing the asset of the dissolved company, the public investors would receive the asset second to the concurrent creditors. Frequently in practice, those public investors unfortunately do not receive any share from the dissolved asset because the remaining shares have been allocated to the concurrent creditors and other expenses."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S53673
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Alpha Alan Darma Saputra
"
ABSTRAKPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas dewan komisaris dan komite audit, serta kepemilikan institusional terhadap efisiensi investasi perusahaan. Disamping itu, penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh kepemilikan institusional atas hubungan antara efektivitas dewan komisaris dan komite audit dengan efisiensi investasi perusahaan. Efektivitas dewan komisaris dan komite audit dinilai melalui penetapan skor yang dinilai dari beberapa karakteristik yakni independensi, aktivitas, size, dan kompetensi. Pengujian hipotesis dilakukan dengan regresi logit menggunakan 282 sampel yang tercatat di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2014. Hasil penelitian ini memberikan bukti empiris bahwa efektivitas dewan komisaris tidak memiliki pengaruh dalam efisiensi investasi perusahaan, sedangkan efektivitas komite audit memiliki pengaruh positif dalam efisiensi investasi perusahaan, lalu besarnya kepemilikan institusional tidak memiliki pengaruh dalam efisiensi investasi perusahaan. Selain itu dapat disimpulkan juga bahwa perusahaan yang dimiliki oleh investor institusional tidak memiliki pengaruh dalam memperkuat hubungan antara efektivitas dewan komisaris dan efisiensi investasi perusahaan serta investor institusional tidak memiliki pengaruh dalam memperkuat hubungan antara efektivitas komite audit dan efisiensi investasi perusahaan.
ABSTRACTThis study aims to determine the effect of the effectiveness of the board of commissioners, audit committee and the institutional ownership on the company?s investment efficiency. Furthermore, this study aims to determine the effect of institutional ownership on the relation between the effectiveness of the audit committee and the effectiveness of the board of commissioners and company?s investment efficiency. Effectiveness of the board of directors and audit committee were assessed through scoring some of the characteristics which are independence, activities, size, and competencies. Hypothesis testing done by using a logit regression of 282 samples from companies that listed on the Indonesia Stock Exchange in 2014. The results of this study provide empirical evidence that the effectiveness of the boards of commissioners have no effect on the company?s investment efficiency, while the effectiveness of audit committee positively affect the company?s investment efficiency, and the size of institutional ownership has no effect on company?s investment efficiency. Moreover, the study also finds that the institutional ownership does not strenghthen board commissioners and audit committee?s effectiviness on investment efficiencies."
2016
S63825
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Julia Tsara Dhuha
"
ABSTRAKTeori behavioral finance menyatakan hal yang kontradiktif dengan teori yang dikemukakan oleh Fama and French mengenai efficient market hypothesis bahwa investor selalu berlaku rasional dalam menentukan keputusan investasi. Adanya kontradiksi ini kmemunculkan adanya perbedapat antara behavioral finance dengan neoclassical finance. Penelitian ini mencoba menganalisis antara hubungan sentiment investor terhadap penilaian harga saham menggunakan model pooled ordinary least square dengan fixed effect model dengan periode penelitian selama delapan tahun yaitu 2008 -2015. Penelitian ini menggunakan sampel penelitian 56 perusahaan non finansial yang terdaftar pada Bursa Efek Indonesia. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa sentiment investor tidak mempengaruhi penilaian harga saham di Bursa Efek Indonesia.
ABSTRACTRecent literature in behavioral finance has contradicted the notion of efficiency of markets. Greate emphasis on how psychological biases influence both the behavioral of investors and asset prices has led a strong debat among proponents of behavioral finance and neoclassical finance. This study conducts a pooled ordinary least squares model using the fixed effects estimator to investigate the linkage between investor sentiment an stock prices for 56 firms over a tome period of 8 years, from 2008 ndash 2015. The findings suggest that investor sentiment does not significantly affecr the stock prices in this sample."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
S65926
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Betharia
"
ABSTRAKPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara karakteristik perusahaan dengan kepemilikan asing. Variabel independen yang digunakan terdiri dari ukuran perusahaan, solvabilitas, deviden, likuiditas dan profitabilitas. Sampel yang digunakan dalan penelitian ini adalah 88 perusahaan publik non-keuangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia untuk periode 2013-2014. Penelitian ini menggunakan linear regression model, penelitian ini menunjukkan bahwa ukuran perusahaan dan profitabilitas memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan kepemilikan asing.Kata Kunci:Investor asing, Karakteristik Perushaan, Kepemilikan asing
ABSTRACTThis study aims to determine the relationship between characteristics of companies with foreign ownership. The independent variables used consist of firm size, solvency, dividends, liquidity and profitability. The samples used in this study were 88 non financial public companies listed on the Indonesia Stock Exchange for the period 2013 2014. This research uses linear regression model, this research shows that firm size and profitability have significant relation with foreign ownership. Key words Firm characteristics, foreign investors, foreign ownership"
2017
S67293
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Ryandy Rizky Effendy
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak investor institusi asing terhadap kebijakan dividen. Penelitian terdahulu di Cina dan beberapa negara berkembang lainya menunjukkan hasil bahwa investor institusi asing meningkatkan dividen perusahaan. Menggunakan data pada perusahaan ndash; perusahaan non keuangan yang listed di Bursa Efek Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode Generalized Least Square GLS dengan data tahunan selama 5 tahun yaitu pada periode 2012-2016. Penelitian ini menemukan bahwa investor institusi asing memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap kebijakan dividen perusahaan ndash; perusahaan non keuangan yang listed di Bursa Efek Indonesia. Hal ini mempertegas bahwa investor institusi asing masih mempertimbangkan besarnya pajak dividen yang ada di Indonesia untuk investor asing.
This study aims to determine the impact of foreign institutional investors on dividend policy. Previous research in China and some other emerging economies shows the result that foreign institutional investors increase corporate dividends. Use data on non financial companies listed on the Indonesia Stock Exchange. This research uses Generalized Least Square GLS method with annual data for 5 years that is in the period 2012 2016. This study found that foreign institutional investors have a negative and significant influence on the dividend policy of non financial companies listed on the Indonesia Stock Exchange. This confirms that foreign institutional investors are still considering the amount of dividend tax in Indonesia for foreign investors."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Andhika Pratama Akbar
"Sebagai salah bentuk perlindungan hukum terhadap investor, arbitrase investasi internasional memberikan sarana kepada investor asing untuk mengajukan klaim atas dasar perlindungan-perlindungan substantif yang menjadi hak investor. Dalam perkembangannya, tribunal arbitrase seringkali dihadapkan dengan isu korupsi yang dijadikan argumentasi oleh para pihak untuk menolak yurisdiksi tribunal atau meniadakan klaim pihak lain. Kondisi tersebut menimbulkan komplikasi dan ketidakpastian terkait perlindungan investor mengingat sarana terhadap arbitrase merupakan bentuk perlindungan prosedural bagi investor. Sifat dari tindak pidana korupsi yang luas, multi-dimensional dan memiliki sisi pemberi dan penerima juga berperan dalam menambah komplikasi permasalahan ini. Penelitian ini akan membahas komplikasi tersebut serta mengkaji kesiapan hukum investasi Indonesia dalam menghadapi permasalahan tersebut.
As one of a form of protection toward investors, international investment arbitration provides a way for foreign investor to file a lawsuit based on the substantive protection provided to them as a right. In its development, arbitral tribunal often faced with an issue of corruption that serve as a killing argument against the claim of other parties, this condition has the potential to complicate the issue and create uncertainty towards investor protection in which the international investment arbitration itself serves as a procedural protection of investor. The nature of the corruption which is broad, multi-dimensional, and got supply and demand side in it, furtherly complicate the issue. This study will discuss on this complicated issue and review about the readiness of Indonesian Investment Law to deal with the issue."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Herdyanto Kenya Putera
"Credit Default Swaps (CDS) sparked the interests of government and financial institutions around the globe due to its role within the 2008 financial crisis in the United States of America. A CDS is used by an investor to earn profits from selling protection or to hedge against the likeability of a counterparty to default (credit event). CDS is often traded within the OTC market, however since financial crisis of 2008, CDS are categorized as a high risk financial instrument and types of CDS required to be traded, executed, and cleared through designated entities. Though played a role within the financial crisis of 2008, CDSs are still often used for investment tools for investors, as the regulatory framework of the derivative has been improved drastically since the overhaul of the American financial system by Title VII of the Dodd Frank Act of 2010. Within Indonesia’s legal framework CDSs are acknowledged however lacks comprehensive investor legal protection such as in the United States of America. Therefore, the Author finds it interesting to comprehend CDS in Indonesia and then comparing it to the legal framework in the United States of America. The main focus of this undergraduate thesis is discussing the investor legal the investor legal protections provided in Indonesia and the United States of America; and to further elaborate how the both governments enact laws to overcome risks within the CDS transactions. This research uses the micro-comparison method that results in a juridical-normative research. The purpose of this research is to provide insight to improve the legal framework of CDSs in Indonesia. This research concludes that there are little to none investor protection provided in Indonesia regarding CDS, moreover Indonesia may adapt the regulations the government of the United States of America utilized to overcome the 2008 financial crisis.
Credit Default Swaps (CDS) menarik perhatian pemerintah dan lembaga keuangan di seluruh dunia karena perannya dalam krisis keuangan tahun 2008 di Amerika Serikat. CDS digunakan oleh investor untuk mendapatkan keuntungan dari penjualan proteksi atau untuk melakukan lindung nilai terhadap kemungkinan gagal bayar dari pihak lawan (credit event). CDS sering diperdagangkan di pasar OTC, namun sejak krisis keuangan 2008, CDS dikategorikan sebagai instrumen keuangan yang berisiko tinggi dan jenis CDS harus diperdagangkan, dieksekusi, dan dikliringkan melalui entitas tertentu. Meskipun berperan dalam krisis keuangan tahun 2008, CDS masih sering digunakan sebagai alat investasi bagi investor, karena peraturan derivatif telah diperbaiki secara drastis sejak perombakan sistem keuangan Amerika Serikat melalui Title VII Dodd Frank Act tahun 2010. Dalam hukum Indonesia, CDS diakui namun tidak memiliki perlindungan hukum yang komprehensif bagi investor seperti di Amerika Serikat. Oleh karena itu, Penulis merasa tertarik untuk memahami CDS di Indonesia dan kemudian membandingkannya dengan kerangka hukum di Amerika Serikat. Fokus utama dari skripsi ini adalah membahas perlindungan hukum bagi investor yang diberikan di Indonesia dan Amerika Serikat, serta bagaimana kedua negara tersebut memberlakukan hukum untuk mengatasi risiko dalam transaksi CDS. Penelitian ini menggunakan metode perbandingan hukum yang bersifat yuridis-normatif. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan masukan untuk memperbaiki hukum CDS di Indonesia. Penelitian ini menyimpulkan bahwa perlindungan investor yang diberikan di Indonesia terkait CDS masih sangat minim, sehingga Indonesia dapat m"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Muhammad Razakky Ramadhan
"Waran Terstruktur merupakan salah satu produk derivatif saham yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk menjual atau membeli aset yang mendasari Waran Terstruktur pada harga dan waktu tertentu. Terdapat banyak keuntungan yang dapat diperoleh investor dengan menggunakan instrumen investasi Waran Terstruktur. Di lain sisi, Waran Terstruktur juga memiliki risiko-risiko besar yang dapat berpotensi merugikan investor. Dalam hal ini diperlukan pengaturan yang dapat memberikan perlindungan hukum bagi investor Waran Terstruktur. Di Indonesia, Waran Terstruktur merupakan instrumen investasi yang ketentuannya baru diserap dalam peraturan di Indonesia, hingga saat ini masih terdapat beberapa hal yang belum diatur secara komprehensif, salah satunya mengenai ketentuan khusus terkait perlindungan hukum bagi Investor Waran Terstruktur. Adapun dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 8/POJK.04/2021 tentang Waran Terstruktur hanya mengatur terkait ketentuan yang berkaitan dengan perdagangan Waran Terstruktur. Berdasarkan hal tersebut, dalam penelitian ini akan dibahas pokok permasalahan sebagai berikut: (1) Apakah peraturan terkait perdagangan Waran Terstruktur di Indonesia telah mengatur ketentuan mengenai perlindungan investor?; dan (2) bagaimana ketentuan perlindungan investor dalam perdagangan Waran Terstruktur diatur dalam peraturan di United Kingdom, Singapura dan Hong Kong serta hal-hal yang harus diperbaiki dalam peraturan terkait di Indonesia?. Pada dasarnya, konsep Waran Terstruktur yang diperdagangkan di Indonesia sekilas memiliki kemiripan dengan konsep Structured Warrant di berbagai negara di dunia, termasuk di United Kingdom, Singapura, dan Hong Kong walaupun terdapat beberapa perbedaan pula dalam beberapa aspek. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan komparatif untuk membandingkan ketentuan Waran Terstruktur di Indonesia dengan negara-negara yang telah menerapkannya. Hasil dari penelitian ini nantinya adalah untuk menyarankan pemerintah dan regulator pasar modal di Indonesia untuk melengkapi peraturan Waran Terstruktur yang sudah ada dengan ketentuan khusus yang mengatur perlindungan Investor Waran Terstruktur.
Waran Terstruktur is a stock derivative product that gives the holder the right to sell or buy the Waran Terstruktur Underlying Asset at a certain price and time. There are many advantages that investors can get by using Waran Terstruktur investment instruments. On the other hand, Waran Terstruktur also have big risks that can potentially harm investors. In this case, regulations are needed that can provide legal protection for Structured Warrant investors. In Indonesia, Waran Terstruktur are investment instruments whose provisions have only been absorbed into Indonesian regulations, until now there are still several matters that have not been comprehensively regulated, one of which is regarding special provisions related to legal protection for Structured Warrants Investors. As for the Financial Services Authority Regulation Number 8/POJK.04/2021 concerning Waran Terstruktur, it only regulates provisions relating to the trading of Waran Terstruktur in general. Based on this, in this thesis the following main issues will be discussed: (1) Do regulations related to Waran Terstruktur trading in Indonesia regulate provisions regarding investor protection?; and (2) how are the provisions for investor protection in Waran Terstruktur trading regulated in regulations in the United Kingdom, Singapore and Hong Kong as well as matters that must be corrected in related regulations in Indonesia? Basically, the concept of Waran Terstruktur traded in Indonesia at a glance has similarities with the concept of Structured Warrants in various countries in the world, including in the United Kingdom, Singapore and Hong Kong, although there are some differences in a number of aspects. Therefore, this study will use normative juridical research methods with a comparative approach to compare the provisions on Waran Terstruktur in Indonesia with those of countries that have implemented them. The results of this research will be to advise the government and capital market regulators in Indonesia to complement the existing Waran Terstruktur regulations with special provisions governing the protection of Waran Terstruktur Investors."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Shavira Sekar Banowati
"Maraknya transaksi yang terjadi dalam pasar modal dapat menyebabkan peluang untuk melakukan pelanggaran dalam pasar modal demi mendapatkan keuntungan lebih. Investor selaku pelaku dalam pasar modal yang merupakan pihak yang cenderung lemah kerap menjadi korban atas pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku dalam pasar modal lainnya. Pelanggaran yang terjadi dalam pasar modal kerap dilakukan oleh pihak perusahaan efek selaku pengelola modal milik investor. Oleh karena itu, Otoritas Jasa Keuangan selaku pengawas dan regulator dalam sektor jasa keuangan wajib mengikuti perkembangan yang terjadi dalam pasar modal sehingga dapat menindaklanjuti pihak-pihak yang melakukan pelanggaran. Pencabutan izin usaha oleh Otoritas Jasa Keuangan merupakan salah satu sanksi yang dapat dikenakan apabila adanya pelanggaran oleh perusahaan efek. Hal ini dilakukan agar perusahaan efek tersebut tidak akan membahayakan aset-aset milik investor dan akan memberikan perlindungan bagi investor. Namun, dengan pencabutan izin usaha perusahaan efek, pemulihan keadaan atau ganti kerugian terhadap pihak investor yang telah mengalami kerugian akibat perbuatan pelanggaran perusahaan efek tersebut masih diperlukan. Hasil dari penelitian menunjukan bahwa dengan dilakukan pencabutan izin usaha terhadap perusahaan efek yang melakukan pelanggaran oleh Otoritas Jasa Keuangan, maka perusahaan efek tersebut tidak akan membahayakan aset milik investor dan mencegah adanya kehilangan aset serta memberikan efek jera terhadap perusahaan efek tersebut, kemudian apabila terdapat investor yang masih mengalami kerugian dapat menempuh jalan keluar melalui gugatan, dana perlindungan pemodal, disgorgement fund, maupun cara lain yang telah ditentukan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
The frequent amount of transactions that occur in the capital market can lead to opportunities to commit violations in the capital market in order to gain more profits. Investors as one of the actors in the capital market who are parties that tends to be weaker than other parties often become victims of violations committed by other parties in the capital market. Violations that occur in the capital market are often committed by securities companies as investors' capital managers. Therefore, the Financial Services Authority as the supervisor and regulator in the financial services sector must be aware of developments in the capital market so that they can take actions on parties who commit violations. Revocation of a business license by the Financial Services Authority is one of the sanctions that can be imposed if there is a violation by a securities company. This is done so that the securities company will not endanger the investors' assets and will provide protection for investors. However, with the revocation of the securities company's business license, recovery or compensation for investors who have suffered losses as a result of the securities company's violations is still required. The results of the thesis shows that by revoking the business license of securities companies that commit violations by the Financial Services Authority, these securities companies will not be able to endanger the assets of investors anymore and prevent further loss of assets and provide a deterrent effect on these securities companies, then if there are investors who still experiencing a loss can find a way out through lawsuits, investor protection funds, disgorgement funds, or other methods determined by the Financial Services Authority."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Dante Deva Daniswara
"Munculnya fenomena perkembangan Peer-to-Peer Lending yang merupakan buah dari pesatnya perkembangan di bidang teknologi informasi dan komunikasi merupakan inovasi teknologi di sektor keuangan yang membutuhkan rezim pengaturan yang dapat menjamin kepastian hukum dan memenuhi rasa keadilan terhadap para pemangku kepentingan di industri tersebut. Skripsi ini bertujuan untuk meneliti kelebihan dan kekurangan rezim pengaturan Peer-to-Peer Lending di Indonesia dengan cara membandingkannya dengan rezim pengaturan di Korea Selatan. OJK sebagai pemegang kekuasaan pengaturan dan pengawasan di sektor jasa keuangan telah mengeluarkan POJK No. 10/POJK.05/2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi sebagai payung hukum penyelenggaraan Peer-to-Peer Lending di Indonesia. Investor sebagai salah satu pemangku kepentingan dalam industri tersebut tentu membutuhkan adanya perlindungan hukum untuk menjamin kepentingannya. Substansi dari peraturan yang telah diterbitkan OJK menjadi bahan kajian utama dalam tulisan ini. Korea Selatan menjadi negara pembanding karena memiliki peraturan khusus di tingkat undang-undang yang mengatur mengenai Peer-to-Peer Lending. Perbedaan pendekatan masing-masing negara dalam mengatur industri Peer-to-Peer Lending tentu tidak dapat dilepaskan dari politik hukum ekonomi yang dianut di masing-masing negara. Dengan demikian, tiap-tiap negara memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing dalam pengaturannya itu. Penelitian ini memberi saran untuk pihak pembuat regulasi di Indonesia agar dapat meneladani dan mencontoh langkah negara lain yang lebih memperkuat perlindungan investor.
The emergence of Peer-to-Peer Lending as a phenomenon and a clear sign of development which is the result of rapid progress in the field of information and communication technology is a technological innovation in the financial sector that requires a regulatory regime that can guarantee legal certainty and fulfill a sense of justice for stakeholders in the industry. This thesis aims to examine the advantages and disadvantages of the Peer-to-Peer Lending regulatory regime in Indonesia by comparing it with the regulatory regime in South Korea. OJK as the holder of regulatory and supervisory powers in the financial services sector has issued POJK No. 10/POJK.05/2022 concerning Information Technology-Based Co-Funding Services as a legal umbrella for Peer-to-Peer Lending in Indonesia. Investors as one of the stakeholders in the industry certainly need legal protection to guarantee their interests. The substance of the regulations issued by OJK is the main study material in this paper. South Korea is the country of comparison because it has special regulations at the level of laws governing Peer-to-Peer Lending. Differences in the approach of each country in regulating the Peer-to-Peer Lending industry cannot be separated from the economic legal politics adopted in each country. Thus, each country has its own advantages and disadvantages in this arrangement. This research provides suggestions for regulators in Indonesia to emulate and copy the steps of other countries to further strengthen investor protection."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library