Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 74 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Peters, Michael A.
"Barack Obama, a skillful rhetorician and intelligent politician, talks of restoring the American and has used its narrative resources to define his campaign and his policies. In a time of international and domestic crisis, of massive sovereign debt, of the failure of neoliberalism, of growing inequalities, the question is whether the American Dream and the vision of an equal education on which it rests can be revitalized."
Rotterdam: Sense, 2012
e20400458
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Pía Riggirozzi
"This book offers argument about post-neoliberal models of regional governance in non-European contexts. The book critically explores models of transformative regionalism and specific dimensions articulating those models beyond neoliberal consensus-building. "
Dordrecht, Netherlands: Springer, 2012
e20401135
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Paul
"Kontrak Karya sebagai pintu masuk Penanaman Modal Asing Mineral di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1967, dengan diterbitkannya UU No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan UU No. 11 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan Umum.
Dalam perjalanannya, subsektor Pertambangan Umum melalui Kontrak Karya telah memberikan kontribusi yang cukup besar bagi perekonomian Indonesia, terutama pada periode Orde Baru, dimana pada saat itu Negara Indonesia sangat diminati oleh investor Kontrak Karya, karena Pemerintah berhasil menciptakan iklim investasi yang sangat kondusif dari segi regulasinya maupun stabilitas politiknya. Namun tidak dapat disangkal, hampir seluruh kewenangan pembinaan, pengelolaan, pengawasan dan pengembangan sub sektor Pertambangan Umum ada pada Pemerintah Pusat, sehingga partisipasi Pemerintah Daerah terbatas pada hal-hal yang kecil saja.
Sejak diberlakukannya Desentralisasi sumberdaya mineral terhitung murai tanggal 1 Januari 2001, terjadi perubahan paradigma yang sangat mendasar dalam pengelolaan sumberdaya mineral. Hampir seluruh wewenang pengelolaan sumberdaya mineral diserahkan pada daerah. Wewenang Pemerintah Pusat hanya yang bersifat strategis saja, antara lain menetapkan standar, prosedur, ataupun kebijakan kebijakan yang makro.
Perubahan pengelolaan sumberdaya mineral tersebut membawa dampak yang besar bagi investasi Kontrak Karya di Indonesia, dimana sejak kebijakan tersebut diberlakukan investasi baru Kontrak Karya tidak ada.
Tesis ini menyusun prioritas kriteria Otonomi Daerah terhadap peluang investasi Kontrak Karya di Indoneia dengan metode Analytical Hierarchy Process (AHP)."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2002
T3960
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sulistiyani
"Status kesehatan masyarakat suatu bangsa memiliki hubungan yang erat dengan tahapan atau kondisi pembangunan sosial ekonomi dan lingkungannya, Komponen-komponen lingkungan seperti udara, air dan tanah berada dalam waktu dan ruang (spatial) yang sama. Ruang atau wilayah atau spatial dapat bermakna geografis, iklim, topografi dengan segala isinya termasuk udara, air dan tanah yang secara ekologis memiliki batas perbedaan seperti kesamaan peruntukan, kesamaan iklim, kesamaan ciri geografis dan lain-lain sehingga batas wilayah administrasi belum tentu merupakan suatu batas spatial.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui status kesehatan masyarakat di Jawa Tengah berdasarkan perbedaan wilayah spatial dari data Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995.
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan data sekunder berasal dari data morbiditas SKRT 1995, dan rancangan penelitian yang digunakan adalah survey. Analisa statistik yang dilakukan adalah univariat dengan menggunakan bantuan program komputer SPSS for Windows release 6.0.
Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan jenis sakit untuk daerah Urban dan Rural, yaitu pada Rural terdapat jenis sakit endokrin, nutrisi dan metabolime sedangkan pada daerah Urban tidak muncul. Pada daerah Pantai, Peralihan dan Pegunungan juga terdapat perbedaan jenis sakit dimana pada Pantai terdapat jenis sakit urogenital, pada daerah Peralihan terdapat jenis sakit kulit dan pada daerah Pegunungan terdapat jenis sakit endolain, nutrisi & metabolisme. Jenis sakit tertinggi dari masing - masing daerah di Jawa Tengah adalah Digestiv. Jenis sakit Musculoskeletal tertinggi untuk daerah Pegunungan dan Rural Pegunungan. Daerah Banyumas, Cilacap dan Grobogan merupakan daerah yang mempurryai jenis sakit tertinggi di Jawa Tengah, yaitu Digestiv, Sirkulasi dan Respirasi untuk daerah Banyumas; Saraf untuk daerah Grobogan dan Mata untuk daerah Cilacap.

The public health status of a nation has close relation to the social - economic and environmental development condition. Environmental components such as air, water and soil are in the same space and time (spatial). The space or zone or spatial could mean the geography, the weather, the topography with all its content including the air, the water and the soil, which ecologically have disparities such the similarity of means, the similarity of weather, the similarity of geographical characteristics and so on. Therefore, the administrative region boundaries does not necessary mean the spatial boundary.
The objective of the research is to perceive the public health status in Central Java according to spatial regional differences from the data of Household Health Survey (SKRT) 1995.
This descriptive analysis is using secondary data form SIRT morbidity data 1995, and survey is used as research approach. The statistical analysis is univariant, executed by the assistance of SPSS computer program for Windows release 6.0.
The result obtained from this research shows that there are different diseases for the Urban and Rural area. In the Rural area there are endocrine, nutrition and metabolism diseases while in the Urban area are not found. Diseases found in the coastal are urogenital, in the buffer zone there are types of skin diseases and in the highland area there are diseases related to endocrine, nutrition and metabolism. In Central Java from each region, the highest rate of illness is due to digestion. Musculoskeletal is the highest for the highland and highland rural area. Banyumas, Cilacap and Grobogan are the three area where we found the highest rate of illness in Central Java. In Banyumas we found Digestion, Circulation and Respiratory diseases, while in Cilacap we found Eye diseases and Nervous diseases in Grobogan.
"
Depok: Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jufri Syahruddin
"Tesis ini difokuskan pada pembahasan mengenai determinan keberadaan rumah tangga dengan pekerja anak di Kawasan Timur Indonesia dan mengetahui karakteristik rumah tangganya. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data Susenas KOR tahun 2002. Adapun usia anak yang digunakan dalam penggolangan pekerja anak setelah mempertimbangkan keterbatasan data adalah antara 10 sampai 17 tahun. Sedangkan model yang digunakan adalah regresi logistik biner atau model logit, dengan penjelasan seeara deskriptif dan inferensial. Adapun variabel bebas yang dipakai adalah daerah tempat tinggal, jenis kelamin kepala rumah tangga, lapangan pekerjaan utama kepala rumah tangga, lapangan usaha kepala rumah tangga, pendidikan kepala rumah tangga, pendapatanlpengeluaran rumah tangga perkapita perbulan, umur kepala rumah tangga, jumlah anggota rumah tangga, status kesehatan kepala rumah tangga, dan perbandingan jumlah anak berdasarkan jenis kelamin dalam rumah tangga.
Analisis deskriptif untuk melihat karakteristik rumah tangga dengan pekerja anak, memberikan gambaran karakteristik rumah tangga dengan pekerja anak di Kawasan Timur Indonesia sebagai berikut: bertempat tinggal di daerah pedesaan, kepala rumah tangganya laki-laki, pendapatan/pengeluaran perbulan rumah tangganya rendah, kepala rumah tangganya hanya tamatan SD kebawah, memiliki anggota rumah tangga kurang dari 5 orang, pekerjaan utama kepala rumah tangganya di sektor pertanian, berusaha di bidang informal, memiliki anak laki-laki lebih banyak dari anak perempuan, umur kepala rumah tangganya lebih tua, dan kepala rumah tangganya berada dalam kondisi sehat dan ada keluhan namun tidak mengganggu kegiatan.
Berdasarkan analisis inferensial, terlihat bahwa semakin besar pendapatan/pengeluaran rumah tangga perbulan, maka semakin rendah risikonya menjadi rumah tangga dengan pekerja anak. Sedangkan untuk variabel jumlah anggota rumah tangga, semakin besar jumlah anggota rumah tangga, maka semakin besar pula risikonya menjadi rumah tangga dengan pekerja anak. Hal serupa juga terlihat pada analisis inferensial terhadap umur kepala rumah tangga, dimana semakin tua umur kepala rumah tangga, maka semakin besar risikonya untuk menjadikan rumah tangganya sebagai rumah tangga dengan pekerja anak. Adapun karakteristik kepala rumah tangga, seperti pendidikan, status kesehatan, lapangan pekerjaan utama, lapangan usaha, jenis kelamin, dan karakteristik rumah tangga seperti daerah tempat tinggal dan perbandingan jumlah anak berdasarkan jenis kelamin, juga memiliki pengaruh terhadap keberadaan rumah tangga dengan pekerja anak di Kawasan Timur Indonesia."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T13403
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nanik Suryo Haryani
"ABSTRAK
Berbeda dengan keadaan suatu kota yang telah direncanakan secara matang untuk menjadi kota dengan fungsi spesifik seperti kota pemerintahan, metropolitan Jakarta tumbuh sebagai kota multifungsi, di mana kegiatan pemerintahan, perdagangan, industri dan pendidikan berpusat, sekaligus menjadi pintu gerbang bagi arus barang dan orang dari dan ke negeri ini. Tidaklah mengherankan apabila Jakarta memiliki daya tarik yang sangat besar bagi para urbanit yang mencoba mengadu untung demi perbaikan nasib di sini. Kenyataan selanjutnya adalah bahwa para urbanit yang sebagian besar memiliki keahlian dan ketrampilan terbatas memberikan kontribusi yang sangat besar bagi pertumbuhan jumlah penduduk dan pertambahan daerah pennukiman kumuh di ibu kota.
Permukiman kumuh didefinisikan antara lain sebagai permukiman dengan unit-unit rumah dengan ukuran kecil-kecil serta kondisi fisik lingkungan yang buruk (Drakakish, 1980). Sebagian wilayah Kecamatan Penjaringan di Jakarta Utara adalah gambaran dari permukiman kumuh yang diobservasi dalam penelitian ini.
Tujuan pokok dari penelitian yang dilakukan ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kondisi fisik lingkungan permukiman kumuh dengan kondisi sosial ekonomi penghuninya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pihak-pihak terkait dan otoritas perencanaan tata ruang perkotaan serta program perbaikan kampung.
Hipotesis yang diajukan adalah: semakin rendah kondisi sosial ekonomi penghuni, maka akan semakin kumuh lingkungan permukimannya.
Penelitian dilakukan melalui beberapa langkah pendekatan. Pendekatan pertama yaitu studi menggunakan data primer, dalam hal ini interpretasi foto udara tahun 1982 dan tahun 1994. Interpretasi ini dimaksudkan untuk memperoleh informasi mengenai persebaran permukiman kumuh di Kecamatan Penjaringan. Pendekatan kedua adalah studi melalui observasi terestrial dengan cara mengamati langsung kondisi fisik lapangan serta wawancara langsung dengan para responden. Pendekatan ketiga adalah studi melalui data sekunder yang terkait dengan masalah ini, di antaranya data statistik, peta dan laporan-laporan dari instansi pemerintah.
Analisis data dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai kualitas lingkungan permukiman dan persebaran kekumuhan. Analisis ini merupakan gabungan antara pengolahan data lapangan dan interpretasi foto udara, dengan skenario foto udara ini akan menjadi verifikasi analisis data terestrial. Untuk keperluan penilaian, permukiman kumuh dibagi dalam tiga kategori, yaitu kumuh ringan, kumuh sedang dan kumuh berat. Tolok ukur atau indikator kekumuhan ini dihitung dengan cara memberikan nilai dan bobot pada setiap variabel yang telah ditetapkan dalam himpunan variabel kondisi fisik linglcuangan. Dalam hal ini, mengacu pads kriteria penilaian dari Ditjen Cipta Karya Departemen PU dan BAPPEM MHT DKI Jakarta, variabel kondisi fisik lingkungan permukiman yang dilibatkan ada sepuluh macam, yaitu genangan air, sarana sanitasi, sarana pembuangan sampah, kepadatan hangman, lebar jalan masuk, kondisi permukaan jalan masuk, ketersediaan somber air bersih, keadaan konstruksi bangunan rumah, tats letak blok permukiman dan leas rumah mukim. Kelompok variabel bebas yang akan dipelajari hubungannya dengan variabel kondisi fisik lingkungan permuldman di batasi tiga item, yaitu: pendapatan, tingkcat pendidikan serta kesehatan penghuni.
Analisis data menggunakan cara-cara yang lazim digunakan dalam metoda statistik, antara lain metode chi square untuk mengetahui adanya hubungan antara masing-masing variabel kondisi fisik dengan masing-masing variabel kondisi sosial ekonomi, serta metoda regresi berganda untuk mengetahui pola hubungan ketergantungan antara tingkat kekumuhan dengan variabel-variabel kondisi sosial ekonomi. Untuk memudahkan operasi perhitungan digunakan software SPSS (Statistical Package for Social Sciences).
Uji hipotesis dengan metode Chi square menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara kedua kelompok variabel. Sebanyak tiga puluh pasang tabulasi silang diuji, untuk menyelidiki adanya hubungan antar variabel-variabel yang terlibat. Sebanyak 23 item atau sekitar 77 persen dari ketiga puluh jenis yang diuji tersebut menunjukkan adanya hubungan antar variabel yang signif:kan. Faktor penghasilan penghuni menempati urutan pertama dalam hal banyaknya hubungan yang terbukti, yaitu 9 hubungan dari 10 macam yang diuji. Kemudian diikuti faktor tingkat pendidikan dengan 8 hubungan yang signifkan dan terakhir faktor kesehatan dengan 6 hubungan yang terbukti, masingmasing dari 10 hubungan yang diuji. Bila ditinjau kualitas kedekatan hubungan antar variabel yang telah teruji, rata-rata berada pads tingkat hubungan sedang dengan nilai contingency antara 0,30 sampai 0,49. Hubungan paling kuat terdapat antara pendapatan responden dengan kondisi konstruksi bangunan rumah yang ditempatinya dengan nilai contingency 0,500.
Perhitungan regresi antara indikator tingkat kekumuhan Y dengan ke tiga variabel.bebas: X11 (pendapatan), X12 (tingkat pendidikan) dan X13 (kesehatan) menghasilkan persamaan: Y = 7,279 + 0,458 X11 + 1,764 XS2 + 2,598 X13
Persamaan di atas menggambarkan pola hubungan antara variabel-variabel yang terlibat, dalam hal ini Y mewakili kondisi fisik lingkungan permukiman dan X11, X12 dan X13 mewakili kondisi sosial ekonomi penghuni. Persamaan regresi memberikan informasi bahwa antara kondisi fisik lingkungan dan kondisi sosial ekonomi terdapat hubungan positif atau sebanding, artinya peningkatan nilai variabel-variabel pada ruas kanan persamaan akan berakibat meningkatnya nilai variabel pada ruas kiri persamaan tersebut sehingga dapat disimpulkan bahwa bertambah buruknya kualitas pendapatan, tingkat pendidikan dan kesehatan penghuni akan berakibat atau menandakan semakin kumuhnya lingkungan permukiman.
Dugaan hasil pengujian persamaan regresi di atas hipotesa yang diajukan telah dapat dibuktikan.
Verifikasi basil analisis data terestrial dengan interpretasi foto udara menunjukkan adanya kesesuaian yang cukup baik dalam hal distribusi kekumuhan -Observasi terestrial menunjukkan bahwa sebagian besar permukiman berada dalam status kumuh berat. Perbandingan komposisi ini adalah 65,00 %; 26,70 % dan 8,30 % berturut-turut untuk permukiman kumuh berat, kumuh sedang dan kumuh ringan. Hasil interpretasi foto udara tahun 1994 memberikan komposisi dengan urutan seperti di atas: 68,15 %; 24,60 % dan 7,25 %. Di satu sisi tekanan akibat pertambahan jumlah penduduk mendorong berkembangnya pemukiman kumuh, terlihat dengan bertambahnya luas areal permukiman kumuh secara keseluruhan sebesar 2,90 hektar dari tahun 1982 sampai tahun 1994. Di sisi lain upaya-upaya peningkatan atau perbaikan kampung yang dilakukan pemerintah maupun swadaya masyarakat berhasil menekan perkembangan permukiman kumuh, bahkan dapat mengurangi luas permukiman berstatus kumuh berat. Peningkatan kualitas ini ditandai dengan berkurangnya luas areal permukiman kumuh sebesar 28,35 hektar dalam icurun waktu yang sama.
Faktor-faktor pendorong terjadinya kekumuhan permukiman yang teramati di lapangan mencakup tiga komponen besar, yaitu kepadatan, pola hidup penghuni dan keadaan lingkungan permukiman.
Kepadatan dimaksudkan sebagai kepadatan penghuni dan kepadatan bangunan permukiman. Semakin banyak penghuni dalam satu rumah yang ukurannya lebih kecil akan mendorong terjadinya kekumuhan. Di daerah penelitian kepadatan penghuni mencapai rata-rata 5 m2lorang, di bawah standar kebutuhan normal 6 - 9 m2lorang. Mengenai kepadatan bangunan permukiman diperoleh informasi yang akurat dari interpretasi foto udara, di mama sebagian besar blok permukiman mempunyai penutupan bangunan (building coverage) rumah mukim rata-rata di atas 75 %, yang dapat digolongkan ke dalam katagori kumuh berat.
Komponen pola hidup penghuni meliputi tiga aspek, yaitu penggunaan sarana sanitasi, tempat pembuangan sampah dan pemenuhan somber air bersih. Kenampakan di daerah penelitian mengenai adanya kecenderungan menuju kekumuhan permukiman adalah banyaknya responden yang tidak memiliki sarana sanitasi sendiri (sebanyak 20,80 %) ataupun mau menggunakan fasilitas sanitasi umum, melainkan membuang hajat secara babas di tempat-tempat terbuka seperti sungai yang aimya tak mengalir lancar atau laut.
Dorongan menuju kekumuhan akibat pola hidup yang kurang bersih dari unsur pembuangan sampah terlihat dominan, dan ini ditunjukkan dengan banyaknya jumlah responden yang membuang sampah sembarangan (43,30 %). Ketersediaan air bersih dalam jumlah normal sulit dipenuhi di daerah penelitian, ditunjukkan dengan banyaknya responden yang memenuhi kebutuhan air bersih dengan cara membeli air kalengan dan penjaja air keliling sebanyak 53,30 %. Hal ini menunjukkan bahwa sarana permukiman lingkungan tidak layak.
Komponen keadaan lingkungan permukiman mencakup empat aspek, yaitu tata letak blok permukiman, kondisi konstruksi bangunan rumah mukim, lebar jalan dan kondisi permukaan jalan masuk. Dorongan kekumuhan dari aspek tata letak ini teramati dengan rendahnya kualitas tata letak di sebagian besar permukiman responden (61,70 %) di daerah penelitian. Demikian pula kontribusi kondisi bangunan rumah mukim menuju kekumuhan permukiman tampak dari banyaknya rumah non permanen sebesar 46,70 % yang menggambarkan keadaan lingkungan buruk. Mayoritas jalan masuk di daerah penelitian mempunyai lebar kurang dari 1,0 m (54,20 %). Sempitnya jalan mengakibatkan jalan tersebut tidak mampu berfungsi secara layak sebagai alur lalu lintas, tampat bak sampah, penempatan saluran drainasi maupun sebagai pembatas antara rumah ke rumah. Jelas bahwa hal ini akan memicu buruknya keadaan lingkungan yang mengarah pada kekumuhan. Kondisi permukaan jalan yang ditemui di lapangan sebagian besar becek dan tergenang di saat hujan, memberikan dorongan terjadinya kondisi lingkungan buruk dan kumuh.

ABSTRACT
Correlation Between Physical Condition and Community's Socio-economic Condition in Slum Settlement Area. (A Case Study in Penjaringan Subdistrict, North Jakarta)
Within a diverging scheme with a well planned city for specific function as an administration city, the metropolitan of Jakarta emerges as a multi function city. This means Jakarta functions as a place for administration, trading, industry, education activities and consequently becomes the mayor place for exchange of goods and peoples of this country. It is not surprising that Jakarta performs greatly attractive for the migrants who find employments and a better live. Then the further reality was coming. In fact most migrants are unskilled and in turns, they in most contributed to high population growth and expansion of slum settlements in the capital city. Slum settlement is defined, among others, as a settlement occupied by very small houses and bad environment condition (Drakakish, 1980). In this context Penjaringan Subdistrict of North Jakarta is a good example to be observed due to its slum settlement.
The main aim of the current research is to discover the correlation between physical condition and community's socio-economic condition in slum settlement area. The gained result is expected as an input for interrelated participants and autorized board on city masterplanning and settlement betterment programmes. The presented hypothesis: as the quality of community's socio-economic condition goes lower, the settlement environment will be found worse.
The current research is conducted through several approaches. The first way is a study through primary data, in this case interpretation of 1982 and 1994 aerial photograph. This interpretation is intended to gain information concerning with the distribution of slum settlement area in Penjaringan Subdistrict. The second mean is a terestrial observation based study by means of direct survey of physical site condition and interviewing the respondents. The third access is a study of interfaced secondary data, among others are statistical data, maps and government reports.
Data analysis were conducted to obtain the feature of settlement environment quality and expansion of slum condition. The analysis is a combined one between site data calculation and aerial photograph interpretation, within the scenario that aerial photograph was aimed as a verification of terestrial data calculation result. For scoring purposes, slum settlement was divided into three categories : light slum, medium slum and heavy slum. Slum indicator was calculated by assigning a value and grade to each variables defined in environment physical condition variable group. Based on evaluation criteria from Ditjen Cipta Karya, Public Works Department and BAPPEM MHT DKI Jakarta, the involved settlement physical environment variables consist of ten items: water impounding, sanitation facility, waste disposal facility, building density, access street width, access street surface condition, availability of water supply source, housing structure condition, site arrangement of housing block and the size of house space. The independent variables to be studied in connection with settlement physical environment condition were limitted into three items: income, education level and community's health.
Data analyses were conducted through scientific practices in statistical methods, those are Chi-square to obtain the existence of correlation between physical condition variables and socio-economic condition variables respectively, and multiple regression to identify the dependent correlation of slum category and its socio-economic condition. The calculation operation took the advantage of SPSS (Statistical Package for Social Sciences) software for its simplicity.
Chi-square hypothesis test identified a significant correlation between both variable groups. Thirty sets of cross tabulations were tested, to investigate the magnitude of correlation between interfaced variables. As much as 23 items or around 77 percent from those, indicated the existence of significant correlation of variables. Respondent income factor ranks at the first in case of proved correlation result, that is 9 significant correlation out of 10 selected items. Second rank is occupied by education level with 8 correlation and the last one is health factor with 6 proved correlation from 10 tested items each. From the quality of correlation view points, the proved variable correlations have medium grade in average sense, with the range of contingency coefficient for 0.30 - 0.49. The strongest correlation exists between respondent income and house structure condition with contingency coefficient of 0.500.
Regression calculation of slum condition grade Y to the three independent variables : X11 (income), X12 (education level) and X13 (health) results an equation:
Y = 7.279 + 0.458 X11 + 1.764 X12 + 2.598 X13 .
The above equation shows correlation form among involved variables, in this case Y represents settlement physical environment condition and X11, X12 and X13 represent community's socio-ecomical condition. Regression equation presents information that environment physical condition is paralelly correlated with socio-ecomic condition. It means the increasing score of the right hand side of the equation will improve the rate of left side, that will lead to a conclusion, i.e, as the quality of income, education level and community's health goes lower, the settlement environment will be degraded or it indicates a worse environmental condition. This is to say that proposed hypothesis has been proved by the above mentioned regression test result.
Verification of terestrial data analyses resulted in aerial photograph interpretation indicates a good similarity on slum distribution. Terestrial observation shows that most settlement area holds the heavy slum status. In comparison, the composition of heavy slum, medium slum and light slum is 65 %; 26.70 % and 8.30 % respectively. Interpretation of 1994 aerial photograph exhibits a composition as above: 68.15 %; 24.60 % and 7.25 %. From one aspect, population growth and population pressure promote the expansion of slum settlement, denoted by the new expansion of slum area of 2.90 ha, from 1984 to 1994. On the other hand, the government or community's self supporting effort succeeded in settlement betterment campaign, even it was possible to reduce the expansion of heavy slum settlement. This quality improvement was indicated by the reduction of slum settlement area of 28.35 ha during the same period.
The prompting factors on settlement slum observed on site consist of three main components, i.e. density, live style and settlement environmental condition.
Density refers to residential density and physical settlement density. More residents in a smaller house will stimulate slum condition. In observation, the density is 5 m2 per person on average, under the normal standard 6 to 9 m2 per person. Taking the physical settlement density into account, it was accurately recognized from aerial photograph that most settlement blocks have average settlement building coverage of more than 75 %, which can be classified into heavy slum category.
Life style component consists of three aspects: sanitation facility usage, availability of waste disposal facility and water supply. In observation, it was indicated that within slum settlement, quite a lot of respondents have no private sanitation facility (20.80 %) or agree to use public sanitation facility, but freely defecate in open space as rivers or sea. From the point of waste disposal, stimulus to slum condition resulted in dirty live style was apparently very dominant, and it was indicated by a proportion of respondent littering (43.30 %). Water supply in sufficient quantity was not available in observation area, indicated by respondents who meet their water demand from passing water sellers (about 53.30 %). All these show an improper settlement environment infrastructure.
Environment components cover four aspects, they are settlement blocks arrangement, house structure condition, access street width and access street surface condition. Slum pressure originated from arrangement aspect was observed from the low arrangement quality of most respondent's settlement (61.70.%). Similar pattern was indicated for housing structure contribution on slum formation. As much as 46.70 % non permanent housing structures was observed, as they represent unlikely environmental condition. Most access street width in observation area are less than 1.0 m (about 54.20 %).
These narrow streets cause inappropriate function of traffic path, disposal bin and drainage channel location, neighbourhood's border. It was clear that those matters will lead to bad environment to stimulate slum formation. Most street surfaces were muddy and impounded in rainy days, prompts the slum and bad environment.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tangdilintin, Paulus
"Studi tentang keluarga perkotaan (urban family) mulai menarik perhatian para ahli sosiologi sejak pertengahan abad ke 19. Ada beberapa sebab yang mendorong perkembangan torsebut. Darongan utama terletak pada perkembangan kehidupan social baik di Eropa maupun di Amerika yang sangat dipengaruhi oleh perubahan-perubahan besar dengan pertumbuhan industri moderen. Pada saat itu proses industrialisasi dan urbanisasi berlangsung sangat cepat. Sistem kelas sosial masih, berperan sementara struktur sosial yang baru mulai berkembang. Hubungan-hubungan keluarga sangat berpengaruh pada keadaan ini. Hak, kewajiban dan tanggung jawab individu terhadap keluarga dan masyarakat, terutama masyarakat yang mendasarkan ikatannya pada hubungan-hubungan primer, mulai dipertanyakan dan tertantang, demikian,juga sebaliknya.
Dalam periode abad ke 19 kebanyakan studi dalam bidang ini terutama menekankan pada perkembangan pranata keluarga. Pada saat itu banyak teori-teori tentang sistem keluarga diperkenalkan.
Namun pada pertengahan abad ke 19 dan permulaan abad ke 20, studi tentang keluarga beralih tekanan, yaitu tidak lagi pada pengkajian tentang perkembangan pranata keluarga, tetapi menaruh perhatian pada masalah-masalah sosial dikaitkan dengan perubahan-perubahan keluarga.
Ada 2 orang tokoh yang dianggap oleh Nisbet sebagai pelopor dalam analisa perubahan keluarga, yaitu Frederic Le Play (1806-1882) dan Frederich Engels (1820-1895). Le Play dengan tulisannya yang tersohor Les Ouvier Europeans (The European Workers) - 1855, dianggap mewakili pandangan konservatif yaitu pandangan yang bersifat menentang ide-ide yang terkandung dalam dua revolusi besar, yaitu industrialisme dan revolusi Perancis, seperti demokrasi, teknologi dan sekularisasi serta sebaliknya mempertahankan etas tradisi, khususnya tradisi abad pertengahan`'. Le Play sangat cemas menyaksikan makin hilangnya kekuasaan dan wibawa keluarga, gereja dan kerukunan hidup. Sebaliknya is bereaksi sangat keras terhadap gejala yang disebutnya efek otomisasi (atomizing effect), karena desakan-desakan teknologi, industrialisasi dan pembagian kerja?"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1990
D391
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cheka Virgowansyah
"Salah satu tolok ukur pertumbuhan ekonomi adalah pertumbuhan PDB, sedangkan pertumbuhan PDB dapat didekati dengan pertumbuhan output. Kajian mengenai turunan output sudah banyak dilakukan namun kajian mengenai pola perubahan output di Indonesia sendiri masih relatif kurang. Oleh karena itulah penulis tertarik untuk meneliti pola perubahan output perekonomian Indonesia setiap sektor. Jadi permasalahan dalam tesis lni adalah bagaimana pola perubahan output Indonesia selama periode 1975-1985, 1985-1995, dan 1995-2003, serta seberapa besar kontribusi faktor final demand, teknologi dan sinergi dalam memberikan kontribusi pada total perubahan output perekonomian selama periode penelitian.
Untuk menangkap permasalahan tersebut maka dalam tesis ini digunakan pendekatan dekomposisi output yang mendekomposisi ouput menjadi tiga komposisi yaitu efek final demand, efek teknologi, dan efek sinergi. Dengan menggunakan tabel input-output 66 sektor transaksi total dari tahun 1975 sampai dengan 2003 pubikasi BPS. Sebelum dilakukan dekomposisi terlebih dahulu dilakukan penyetaraan cakupan sektor 1-0 dari tahun 1975 sampai dengan 2003 dan penghilangan efek inflasi dengan mendeflasi final demand.
Hasilnya adalah bahwa selama hampir tiga puluh tahun ini perubahan output di Indonesia lebih didominasi oleh final demand. Peran teknologi dalam perubahan output relatif lebih kecil. Sektor yang mendominasi perubahan output perekonomian adalah sektor-sektor manufaktur, namun sektor ini rentan terhadap goncangan perekonomian. Sektor yang relatif tahan adalah sektor-sektor pertanian. Pada periode III peran final demand menurun hingga 59,73 % dari 87, 64 % pada periode I. Peran teknologi dalam perubahan output relatif kecil."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
T18281
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hudzaifah Abdullah
"Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa wanita Muslim memiliki partisipasi angkatan kerja perempuan yang lebih rendah dibandingkan wanita non-Muslim. Namun, studi tentang Muslim dan partisipasi pekerja perempuan seringkali terbatas pada pengukuran identitas, membandingkan Muslim dan non-Muslim, sementara tidak dapat menangkap dampak aktual nilai-nilai Islam terhadap keputusan perempuan untuk bekerja. Penelitian ini bertujuan untuk menangkap pengaruh nilai-nilai islam terhadap keputusan perempuan untuk bekerja, dengan mengukur tingkat religiusitas mereka. Dengan menggunakan data Indonesia Family Life Survey, penelitian ini menemukan bahwa religiusitas yang di ukur melalui salat mempengaruhi preferensi perempuan untuk bekerja. Selain itu, kami menemukan bahwa ada perbedaan antara perempuan yang lajang dan sudah menikah dalam menimbang keputusan untuk bekerja.

Many studies have shown that Muslim women have lower female labor force participation than non Muslim women. However, the study of being a Muslim and female labor particiaption are often limited to identity measurement, while unable to address the actual effect of Islamic values on women's decision making. This study seeks to capture the influence of Islamic values on women's decision to work, by measuring their level of religiosity. Using data from Indonesia Family Live Survey, we found that religiosity in form of religious practice shape women's preference to work. In addition, we also found that marital status influence women's decision to work in different ways.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2017
S67623
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adi Putra Hasan
"Pemulihan perekonomian Indonesia setelah dilanda krisis pada tahun 1997 - 1998 ternyata tidak secepat yang dialami oleh Korea Selatan, Thailand dan Malaysia yang juga dilanda kriris yang sama. Berlarut-larutnya pemulihan ekonomi tersebut antara lain karena Iambatnya penyelesaian masalah BLBI akibat macetnya komunikasi politik antara elit pemerintahan baik mengenai pengertian BLBI maupun tentang siapa yang harus bertanggung jawab terhadap dana triliunan yang telah disalurkan tersebut.
Fenomena seperti itulah yang menarik penulis untuk melakukan penelitian terutama untuk mengetahui mengapa terjadi perbedaan pendapat diantara elit pemerintahan mengenai pengertian BLBI, mengapa komunikasi politik antara Presiden dengan Gubemur Bank Indonesia tidak lancar, dan bagaimana sikap media di dalam memberitakan masalah tersebut. Dengan menggunakan paradigma konstruktivisme, maka analisis dalam tesis ini bersifat kualitatif dan deskriptif.
Media yang diteliti adalah surat kabar Kompas, Media Indonesia, Sinar Harapan, Bisnis Indonesia, Jurnal, majalah Gatra dan Tempo serta tabloid Kontan, yang memuat berita serta editorial mengenai BLBI. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa berlarut-larutnya penyelesaian BLBI terutama disebabkan karena kebijakan publik tersebut sejak awal tidak terkomunikasikan secara terbuka. Selain daripada itu, adanya pergantian rezim dari orde baru ke orde reformasi, menyebabkan masalah BLBI telah berkembang ke arah penyelesaian politic. Komunikasi politik yang seharusnya dapat mempercepat penuntasan masalah BLBI, ternyata penyelesaiannya."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14070
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   2 3 4 5 6 7 8   >>