Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 163 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sukman
"Di Indonesia penggunaan merkuri dalam jumlah besar terdapat pada pertambangan emas. Satu diantaranya berada di Desa Ratatotok kecamatan Belang kabupaten Minahasa propinsi Sulawesi Utara. Disini juga terdapat pertambangan emas dalam skala besar, PT. Newmont Minahasa Raya (NMR) yang membuang limbah tailling ke laut Teluk Buyat. Penggunaan merkuri yang luas menyebabkan terjadi pencemaran lingkungan dan badan-badan air sehingga dapat mengkontaminasi biota laut yang ada di dalamnya, terutama ikan pada akhirnya Akan masuk ke rantai makanan manusia dan berdampak terhadap kesehatan.
Penelitian ini bertujuan mengetahui gambaran kadar merkuri dalam darah dan hubungannya dengan pola mengkonsumsi ikan pada masyarakat desa Ratatotok kecamatan Belang kabupaten Minahasa propinsi Sulawesi Utara tahun 2003. Rancangan penelitian Cross Sectional data sekunder hasil penelitian gangguan kesehatan masyarakat akibat pencemaran merkuri pada masyarakat desa Ratatotok dan Teluk Buyat, yang berumur antara 16-64 tahun dan bersedia diambil sampel darahnya.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara pola konsumsi ikan dengan kadar merkuri dalam darah dan variabel pekerjaan sebagai faktor confounding. Artinya responden yang mengkonsumsi ikan sebanyak 5-7 kali dalam seminggu berisiko 17 kali lebih untuk mempunyai merkuri dalam darah > 1,5 µg/dl dibanding dengan masyarakat yang hanya mengkonsumsi ikan sebanyak 1-2 kali saja dalam seminggu setelah dikontrol variabel pekerjaan sebagai penambang emas tanpa izin (PETI). Sedangkan masyarakat dengan pola konsumsi makan ikan 3-4 kali seminggu berisiko 10 kali lebih untuk mempunyai merkuri dalam darah > 1,5 µg/dl dibanding dengan masyarakat yang hanya mengkonsumsi ikan sebanyak 1-2 kali saja dalam seminggu.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi peneliti lain untuk melakukan penelitian yang lebih komprehensif mulai dari sumber pencemaran, kandungan merkuri pada ikan yang biasa mereka konsumsi yaitu dari hasil tangkapan nelayan dari perairan Teluk Buyat, serta dampak kesehatan yang mungkin timbul mengingat sebagian besar (52%) kadar merkuri dalam darah masyarakat telah melampaui nilai ambang batas yang direkomendasikan.
Daftar Pustaka : 50 (1981-2002)

Relationship Between Fish Consumption Pattern and Blood Mercury Level in Ratatotok Village, Belang Subdistrict, Minahasa District, North Sulawesi Province in 2003In Indonesia, the use of mercury of large numbers can be found in gold mining. One of the gold mines is located in Ratatotok village, Belang subdistrict, Minahasa district, North Sulawesi province. Here a large scale gold mining company, PT Newmont Minahasa Raya (NMR) disposed tailing waste to Teluk Buyat sea. Extensive mercury usage caused environmental and water bodies contamination as to contaminate sea biota particularly fish, which, in turn will enter human food chain. Health impact monitoring could be done by examining biologic indicators, blood in this case.
This study aims to describe blood mercury level and its relationship with fish consumption pattern, This study used secondary data obtained through other research on public health problems caused by mercury contamination in Ratatotok village and Teluk Buyat in 2001, using cross sectional design, population was inhabitants of Ratatotok village and Teluk Buyat and sample was inhabitant of Ratatotok and Teluk Buyat aged 16-64 years old and willing to be blood sampled.
The study showed that there was statistically significant relationship between fish consumption pattern and blood mercury level, with occupation as non-licensed gold miner (PETI) as confounding factor. This means that the PETIs tended to eat fish 5-7 times a week and had blood mercury level of X1.5 µg/dl.
The results of this study is expected to be used as reference by other researcher to conduct a more comprehensive study started form Tie A. Tie B, Tie C, and health impact (Tie D), considering that more than half (52%) of subject in this study had blood mercury level over the recommended level.
References: 50 (1981-2002)
"
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T13020
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Joko Kumoro
"Partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa yang dapat di salurkan melalui LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa) di Indonesia. Khususnya di Yogyakarta belum dapat di capai dengan baik. Lemahnya partisipasi masyarakat ini diduga kuat ada hubunganya dengan faktor gaya kepemimpinan ketua LKMD dan tingkat pendidikan masyarakat itu sendiri. Berdasarkan pada asumsi tersebut, maka penelitian ini memiliki tujuan: (1) mengetahui ada tidaknya hubungan antara gaya kepemimpinan ketua LKMD dengan partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa ini kecamatan Godean, Sleman, Yogyakarta; (2) mengetahui ada tidaknya hubungan antara tingkat pendidikan warga masyarakat dengan partisipasinya dalam pembangunan desa di kecamatan Godean, Sleman, Yogyakarta. Selanjutnya ditetapkan empat teori utama sebagai logika berfikir pada tahap pertama penelitian ini., yaitu: Teori pembangunan desa, yang mengacu pada pradigma pembangunan yang mengutamakan manusia (people-centered development) yang di kemukakan oleh David C. Korten.
Pengukuran terhadap variabel gaya kepemimpinan ketua LKMD mempergunakan teorikepemimpinan yang dikembangkan oleh Pusat Studi kepemimpinan, Universitas Iowa. Variabel tingkat pendidikan operasionalisasinya berdasrkan asas pendidikan seumur hidup, yaitu bahwa pendidikan dapat diperoleh melalui jalur sekolah, non-formal maupun informal. Partisipasi masyarakat dalan pembangunan desa sebagai variabel tergantung diukur dengan mempergunakan teori partisipasi prosesional dari Cohen dan Uphoff. Pada tahap kedua; analisis terhadap hubungan variabel bebas dengan variabel tergantung mempergunakan teknik korelasi product Moment dari Karl Pearson.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara gaya kepemimpinan ketua KLMD dengan partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa di kecamatan Godean, Sleman, Yogyakarta. Demikian pula penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara tingkat pendidikan dengan partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa di kecamatan Godean, Sleman, Yogyakarta. Oleh karena itulah agar partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa di kecamatan godean, Sleman, Yogyakarta dapat meningkat perlu diterapkan gaya kepemimpinan ketua LKMD yang cenderung ke arah demokratis dan perlu senantiasa diupayakan perbaikan tingkat pendidikan masyarakat.
Berdasarkan pada temuan diatas, maka diajukan saran agar dipertimbangkan materi gaya kepemimpinan sebagai salah satu bahan uji bagi calon kepala desa (ex-officio ketua LKMD). Disamping itu perlu diprogramkan peningkatan pendidikan masyarakat baik melalui pendidikan formal, nonformal maupun informal sehingga diharapkan wawasan dan pemahaman tentang pembangunan dapat meningkat."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kartini Sunyoto
"Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kematian ibu dengan perdarahan antepartum di RSU dilakukan penelitian dengan rancangan case-control yang menggunakan data rekam medis di RSU se wilayah III Cirebon tahun 1992-1996 yang dipergunakan format MCM sebagai alat pengumpul data. Populasi adalah ibu hamil yang datang ke RSU dengan komplikasi perdarahan antepartum, diambil seluruh kasus kematian ibu PAP sebagai sampel yaitu 53 ibu PAP dan 263 ibu PAP yang tidak meninggal dan terpilih sebagai control. Digunakan analisa univariat, bivariat dan regresi logistik untuk memperkirakan OR dan 95% confidence interval serta interaksi digunakan untuk memerikasa efek modifikasi. Temyata yang berpotensi sebagai konfonding adalah persalinan dan kesiapan darah, umur kehamilan dan kegawatan serta frekuensi hamil dan kegawatan adalah persalinan dan kesiapan darah, umur kehamilan dan kegawatan serta frekuensi hamil dan kegawatan. Melalui penelitian ini didapat faktor penentu terhadap kematian ibu PAP adalah tindakan pengakhiran persalinan, pendidikan ibu, kondisi kegawatan saat tiba di RSU, status rujukan, umur kehamilan, frekuensi kehamilan dan kesiapan darah. Ternyata variabel persalinan menjadi faktor penentu utama terhadap kematian ibu dengan perdarahan antepartum di rumah sakit Umum, tepatnya ibu PAP yang datang ke RSU tidak diakhiri persalinan rnempunyai risiko kematian lebih besar dari pada yang diakhiri persalinan di RSU.
Maka dapat disimpulkan bahwa untuk mencegah kematian ibu PAP di RSU antara lain setiap ada kasus PAP diatas 35 minggu baru dapat di pulangkan setelah tindakan pengakhiran kehamilan; dan sarana tenaga, material khususnya untuk pembedahan dan pembiayaan serta prosedur tetap di RSU senantiasa menjadi perhatian pimpinan RSU dan Pemerintah Daerah untuk pemenuhannya. Untuk pelayanan kesehatan ekstemal RSU diharuskan segera merujuk ibu PAP tanpa melakukan manipulasi apapun serta memberikan pertolongan pertama untuk perdarahannya baik infus maupun transfusi. Selain itu agar senantiasa diupayakan pembatasan kehamilan yang dapat mempengaruhi kematian ibu khususnya ibu dengan PAP.
Karena pendidikan ibu mempengaruhi kematian Ibu PAP maka pemberdayaan wanita menjadi panting agar wanita dapat mengambil keputusan sendiri, dapat mempersiapkan kelahiran dengan baik sehingga 2 keterlambatan dapat dihindari; dengan melibatkan keluarga masyarakat dan aparat.

It is found out through the research that the decisive factor responsible for the death of pregnant women with antepartum hemorrhage are the effort of breaking up the pregnancy with child birth, the educational back ground of the women, the condition of criticalness when they enter the hospital, the status of reference, the age of pregnancy, the frequent of pregnancy, and the readiness of blood. It is found out too that the child birth variable is the main decisive factor on the death of pregnant women with antepartum hemorrhage; the death risk is higher on the pregnant women with antepartum hemorrhage without child birth efforts in comparison to the others with child birth efforts.
It can be concluded that, to prevent the pregnant women with antepartum hemorrhage from death, there should be the effort of breaking u[ the pregnancy with child birth, the availability dualified human resources and equipments for surgical operation, financing, and the regular procedure applied at the hospitals should always be paid attention by the head of the hospitals and the local goverment. For the external health service, the hospitals should immediately refer to the pregnant women with antepartum hemorrhage without making any manipulation and give them the first aid for their bleeding. In addition, there should be efforts to restrict pregnancies which may cause death to the pregnant women with antepartum hemorrhage.
Since the educational back ground influences the death of the pregnant women with antepartum hemorrhage, the women's education should be increased in order that they can make their own decisions in the anticipation of their child birth involving the families, sorroundings, and goverment agencies.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yulianti Sastrawinata
"ABSTRAK
Proses restrukturisasi yang dilakukan oleh BUMN dalam menghadapi globalisasi dan perdagangan bebas membawa dampak bagi rumah sakit BUMN milik PTP Nusantara II yang mempunyai 4 rumah sakit di Sumatera Utara. Dampak tersebut adalah adanya kebijaksanaan Direksi PTP Nusantara II yang tadinya merupakan cost center bagi perusahaan dapat menjadi rumah sakit mandiri yang bersifat revenue center.
Untuk membuat perencanaan strategi rumah sakit dilakukan penelitian kualitatif terhadap keempat rumah sakit dengan melakukan analisis SWOT serta penilaian posisi dan penetapan strategi melalui pendekatan tekhnik matrik LMUI.
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa keempat rumah sakit berada pada posisi kuadran II stabilisasi. Posisi ini menunjukan bahwa ternyata rumah sakit untuk pertumbuhannya mempunyai peluang yang sangat besar akan tetapi kelemahannya sangat banyak dibandingkan dengan kekuatannya.
Sasarannya adalah meningkatkan hasil usaha dengan memperluas cakupan pelayanan dan melakukan efisiensi, serta penampilan organisasi dan manajemen rumah sakit yang telah memenuhi standar akreditasi pada tahun 2000. Sasaran khusus untuk masing-masing rumah sakit adalah menjadi rumah sakit mandiri pada tahun 2002 untuk Rumah Sakit Tembakau Deli sebagai rumah sakit rujukan ; tahun 2003 untuk Rumah Sakit GL tobing sebagai rumah sakit dengan pelayanan unggulan atau rumah sakit khusus ; sebagai rumah sakit dengan pelayanan kesehatan paripurna pada kedua rumah sakit lainnya yaitu tahun 2004 untuk Rumah Sakit Bangkatan dan tahun 2005 untuk Rumah Sakit Zubir Harahap.
Strategi pokok pengembangan rumah sakit adalah strategi stabilisasi dan strategi ekspansi. Strategi stabilisasi bertujuan untuk mengatasi kelemahan-kelemahan yang ada di dalam rumah sakit yaitu adanya otonomi dalam bidang keuangan, logistik dan personalia, menyesuaikan struktur organisasi, meningkatkan manajemen keuangan, melaksanakan manajemen sumber daya manusia, manajemen mutu dan manajemen pemasaran. Strategi ekspansi bertujuan merebut peluang pasar yang ada untuk meningkatkan pendapatan dan memperluas cakupan pelayanan melalui pengembangan pasar dan pengembangan jenis pelayanan kesehatan yang tentunya harus disertai dengan melengkapi sarana dan fasilitas rumah sakit. Penerapan strategi tersebut berbeda-beda sesuai dengan kondisi masing-masing rumah sakit. Strategi pemasaran yang dilakukan untuk masing-masing rumah sakit adalah strategi diferensiasi untuk Rumah Sakit Tembakau Deli, strategi fokus untuk Rumah Sakit GL Tobing serta strategi kepemimpinan biaya untuk Rumah Sakit Bangkatan dan Rumah Sakit Zubir Harahap.
Daftar Pustaka : 30 (1984-1997)

ABSTRACT
Main Development Strategy For PTP Nusantara II Hospital In North Sumatera, IndonesiaThe restructurisation operation undergone by state-owned companies in anticipating the globalization era and free-trade brings considerable impact to the four hospitals owned by state-owned, PTP Nusantara II in North Sumatera. This is reflected in the management direction to turn the hospitals from being cost-centers into revenue-centers, independent hospitals.
In planning the hospital strategy, a qualitative research was performed against the four hospitals using SWOT analysis and LMUI matrix approach. LMUI matrix is a technique used to evaluate position and to decide on strategy. The four hospitals were found to be at the stabilization phase, which is shown by being at the 2nd quadrant of the LMUI matrix.
Specific target for each hospital towards independent hospital are Tembakau Deli Hospital to be reference hospital by 2002, GL Tobinh Hospital to be distinguished hospital or hospital with specific service by 2003, while both Bangkatan Hospital and Zubir Harahap Hospital are to become comprehensive hospital by 2003 and by 2005 respectively.
The main strategies for the hospitals are stabilization and expansion strategies. The stabilization strategy is aimed at overcoming the hospital's disadvantageous by awarding autonomy for financial, logistics and personnel-related system, by performing cost-efficient operations and improving the organization and management performance as well asoptimizing the organizational structure, improving the Financial management, accomplishing Human Resource management, Quality management and Marketing management. Expansion strategy objectives are to increase their revenue by seizing market opportunity through service diversification, through market development and product development, coupled by efforts to equip the hospitals with essential facilities and infrastructures.
The strategy implementation would have to be customized according to each hospital's conditions. Their marketing strategies are differentiation strategy for Tembakau Deli Hospital, focus strategy for GL Tobing Hospital, and cost-leadership strategy for both Bangkatan Hospital and Zubir Harahap Hospital.
Bibliography : 30 ( 1984-1997 )
"
Depok: Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edi Yanto
"ABSTRAK
Peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan agro industri menuntut peningkatan produksi pertanian yang semakin tinggi, padahal lahan pertanian yang subur semakin menyusut untuk berbagai kepentingan pembangunan non pertanian. Oleh karena itu pengembangan pertanian semakin mengarah kepada lahan-lahan marjinal (khususnya di luar Pulau Jawa), seperti lahan rawa pasang surut dan lebak.
Sebagai wilayah potensial pengembangan pertanian, peranan lahan rawa pasang surut sebagai sumberdaya akan semakin strategic, tidak hanya untuk menyangga produksi pangan nasional, industri pedesaan dan pengembangan wilayah, tetapi secara khusus pengembangan pertanian di lahan rawa pasang surut terutama dikaitkan dengan program transmigrasi yang diarahkan untuk peningkatan produksi pertanian, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani.
Salah satu program pembangunan yang telah dilaksanakan oleh Pemrrintah Daerah Tingkat I Lampung, yaitu pendayagunaan sumberdya rawa dengan rata reklamasi di daerah Rawa Mesuji Tulang Bawang (Rawa Jitu), Lampung Utara. Kebijaksanaan pembangunan Rawa Jitu mencakup beberapa aspek, antara lain: (1) kebijaksanaanreklamasi area seluas ± 20.000 hektar dengan tujuan untuk meningkatkan produktivitas lahan dan pengembangan wilayah pertanian; (2) kebijaksanaan transmigrasi lokal (pemukiman kembali penduduk) eks perambah hutan dengan sasaran untuk meningkatkan kesejahteraan petani, dengan dukungan pembangunan sarana dan prasaranafisik, prasarana sosial, ekonomi dan kelembagaan . Pada satu sisi program ini mencakup aspek peningkatan produktivitas lahan, peningkatan pendapatan dan kesejahterean petani secara layak dan berkesinambungan. Namun pada sisi lain program pengembangan wilayah pertanian yang terkait dengan program translok juga akan berdampak pada lingkungan fisik, biologi, serta sosial ekonomi dan budaya
Untuk melihat keragaan akhir dari program pengembangan wilayah pertanian tersebut, maka secara khusus dilakukan penelitian yang pengkajiannya meliputi aspek: (1) pengembangan wilayah pertanian Rawa Jitu; (2) dampak terbadap kondisi sosial, ekonomi dan budaya, khususnya tingkat kesejahteraan petani; serta (3) analisis aspek pengembangan wilayah. Secara khusus dapat dirumuskan masalah-masalah penelitian, antara lain:
1. Bagaimanakah tahapan dan proses pengembangan wilayah pertanian di Rawa
2. Bagaimanakab kondisi lingkungan di daerah Rawa Jitu yang menyangkut aspek fisik, biologi, geologi dan sosial ekonomi;
3. Bagaimanakah keragaan akhir beberapa indikator kunci sosial ekonomi dan budaya petani, seperti: kependudukan agro ekosistem, tingkat kesejahteraan (tingkat kemiskinan, distribusi pendapatan, struktur pengeluaran rumah tangga); pola hubungan sosial dan kondisi kesehatan masyarakat; serta
4. Bagaimanakah bentuk hubungan antara tingkat pendapatan dengan beberapa variabel produksi, seperti: (a) luas riil lahan garapan; (b) jumlah biaya tunas untuk input produksi, (a) jumlah alokasi tanaga kerja; (d) jumlah biaya tunai untuk tenaga kerja luar keluarga; (e) tingkat pendidikan; (f) pengalaman bertani
Penelitian dilakukan dengan metode studi kasus di wilayah eks proyek reklamasi Rawa Jitu IV, dengan mengambil daerah eks Satuan Pemukiman. (SP-2 dan SP-3) sebagai daerah studi. Unit sampel yang menjadi obyek penelitian adalah rumah tangga petani eks peserta translok. Untuk itu diambil sebanyak 100 rumah tangga petani (lebih kurang 10 % dari total rumah tangga yang ditempatkan di kedua daerah penelitian), dengan metode acak sederbana. Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder yang dihimpun dengan Teknik Triangulasi (prosedur yang menggunakan beberapa metode secara indepanden? yaitu kuesioner, wawancara, observasi dan studi kepustakaan). Analisis data dilakukan dengan metode kualitatif dan kuantitatif, menggunakan fasilitas program komputer SPSS for Window.
Rawa Jitu terbentuk di antara dua sungai besar, yaitu Sungai Mesuji dan Sungai Tuang Bawang yang dipengaruhi aktivitas pasang surut Laut Jawa. Daerah ini merupakan rawa belakang (back swamps), semula merupakan kawasan hutan konversi dengan ekosistem hutan rawa yang kaya akan berbagai jenis flora dan fauna. Pengembangan wilayah pertanian dilakukan dengan pembangunan. saluran drainase yang berfungsi ganda, yaitu: (1) sebagai pembuang kelebihan air dan menurunkan kadar konsentrasi garam-garam yang terakumulasi dalam tanah melalui proses pencucian; (2) sebagai sarana transportasi air (saluran navigasi).
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpullkau beberapa hal sebagai berikut:
1. Melalui program transmigrasi lokal, masing-masing rumahtangga petani mendapat alokasi lahan rata-rata seluas 1,904 hektar (berupa lahan pekarangan, lahan usaha-I dan lahan usaha II); perumahan serta fasilitas umum dan fasilitas social untuk mendukung tercapainya kesejahteraan petani Tingkat produktivitas lahan yang dicapai masih relatif rendah, yaitu rata-rata 2,587 ton per ha untuk tanaman padi dan 4,305 ton per ha untuk tanaman jagung.
2. Pengembangan wilayah pertanian Rawa Jitu, secara umum memberikan dampak terbadap kesejahteraan petani, yang dapat terlihat dari keragaan beberapa indikator: (a) Tingkat pendapatan per kapita per tahun telah mencapai rata-rata Rp. 366.523; (b) Dikaitkan dengan kriteria tingkat kemiskinan Sayogyo (1977) dan kriteria berdasadran SK Menteri Transmigrasi Nomor 269/Men/1984, ternyata pendapatan tersebut telah berada di atas garis kemiskinan atau setara dengan 458,15 kg beras berdasarkan harga setempat; (e) Berdasarkan distribusi pendapatan terlihat bahwa Gird Ratio untuk wilayah Rawa Jitu adalah 0,21 yang berarti penyebaran pendapatan di kalangan petani relatif merata; (d) Demikian juga halnya jika digunakan kriteria dari Bank Dunia, ternyata 40 % kelompok petani berpendapatan rendah ternyata telah menerima 26,11 % bagian pendapatan ; (e) Dari sisi pengeluaran per kapita per bulan, di daerah Rawa Jitu telah mencapai rata-rata Rp. 42.914 yang berarti telah berada di atas rata-rata pengeluaran per kapita penduduk Lampung, yaitu Rp. 18.244,- dan angka Good Service Ratio 2,97;
3. Setelah bermukim lebih kurang 7 tahun masing-masing rumah tangga petani memiliki kekayaan rata-rafa Rp. Rp. 482.260; dan luas rumah tempat tinggal mencapai 42,13 m2 dan luas ruang per orang 8,425 m2. Kondisi tersebut ternyata belum memenuhi standar perumahan yang ditetapkan Departemen PU, yaitu 50 m2 atau konsumsi ruang rata-rata 10 m2 per kapita;
4. Pengembangan wilayah pertanian disamping memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan petani, juga menimbulkan dampak terhadap lingkungan, yang dapat diidentifikasi, antara lain: Dampak fisik dan Biologi berupa: (a) kondisi tanah; (b) kondisi hidrologi; (c) hama tanaman dan tumbuhan pengganggu; (d) sumberdaya energi konvensional; (e) habitat satwa liar. Dampak Sosial Ekonomi Budaya, berupa: (a) keanekaragaman masyarakat; (b) kesehatan masyarakat; (e) sistem transportasi; (d) ketenagakerjaan
5. Secara khusus petani akan melakukan adaptasi social budaya, di daerah pemukimannya yang baru. Dalam perkembangan tahap lanjut terdapat beberapa bentuk kelembagaan hubungan kerja pertanian dan kelembagaan Penguasaan lahan, sebagai respon petani terhadap kendala-kendala fisik dan sosial ekonomi di daerah Rawa Jitu. Bentuk-bentuk hubungan kerja pertanian tersebut antara lain: (a) upah borongan; (b) upah harian; (c) sistem derepan; (d) giliran kerja atau tukar tenaga. Sedang kelembagaan penguasaan tanah yang berkembang antara lain: (a) sistem penyakapan; (b) sistem sewa dan sistem gadai;
6. Berdasarkan hasil analisis regresi linier berganda, diketahui bahwa pendapatan petani di daerah Rawa Jitu dipengaruhi oleh beberapa peubah, antara lain: (a) Luas rill lahan garapan; (b) total input produksi; (c) alokasi tenaga kerja; (d) biaya tunai yang dikeluarkan untuk tanaga kerja luar keluarga; (e) tingkat pendidikan dan (f) pengalaman berusahatani. Hal ini ditunjukkan oleh F hitung = 607,64 yang lebih besar dari F tabel = 3,60. Berdasarkan nilai R2 = 0,97 dapat disimpulkan bahwa pendapatan petani memang dipengaruhi oleh peubah-peubahnya.
Disarankan dalam menyusun strategi pembangunan Rawa Jitu pada tahap lanjut, hendaknya mempertimbangkan aspek peningkatan produksi pertanian, penyebaran fasilitas pelayanan, rencana pemekaran wilayah dan peningkatan kualitas hidup serta pelestarian lingkungan (perlindungan terhadap habitat tumbuhan dan satwa langka yang masih tersisa).
Daftar Kepustakaan : 64 (1979 -1996)

ABSTRACT
Increased of population and development of agro-industry rewire improvement of agricultural products, while the fertile land has been becoming limited for non agricultural development Therefore, the agricultural development tends to move to less fertile area (marginal land) outside Java, such as tidal swamp area and backs-swamp.
The role of tidal swamp area is very potential not only for supporting national food productions, rural industry, and regional development, but also in linking with transmigration program for agricultural production, income improvement, and farmers welfare.
One of agricultural development has been underway by the Government of Lampung Province is the use of swamp resource through reclamation in Mesuji Tulang Bawang (Rawa Jitu), North Lampung. The policy development is Rawa Jitu included such several as: (1) policy of swamp reclamation in the area of + 20,000 hectare with objectives to increase land production and regional development, (2) policy of local transmigration/translok (resettlement) for former forest squatter with the goals to improve farmer welfare, supported by physical infrastructure, social, economic, and institutional facilities. On one aspect, this program covers aspect of sustainable improvement of land productivity, income, and farmer welfare. On the other hand, this program could alter physical, biological, socio-economic and cultural environments.
In order to evaluate the present performance, this research intends to investigate aspects, such as: (1) agricultural area development of Rawa Jitu, (2) the development impacts on socio-economic and culture, especially on level of fume's welfare, and (3) analysis of regional development
More specifically, the research formulates the problems as followed:
1. how the steps and processes of regional development in Rawa Jitu were developed
2. how the initial condition of physical, biological, geological, and socio-economic environment existed
3. how does the present performance of key economic indicators such as: demography, agro ecosystem, welfare conditions (poverty level, income distribution, structure of household expenditures), and pattern of community social relationship, health status; and
4. how does the relationship between income level and factors such as: (a) size of land holding, (b) input production costs, (c) labor allocation, (d) costs for non family labor, (e) education level, and (f) farming experiences.
This research used case study of ex reclamation project of Rawa Jitu IV. Location of study was in Units of Settlement (SP-2 and SP-3). This research employed household sample of formers translok participants. The research randomly selected 1 00 households (approximately 10% of the total population in the area). Data being collected included primary and secondary data using triangulation method (method which used several separate techniques, e.g. questionnaire, interview, observation, and library study). Data analysis was using qualitative and quantitative approach helped by SPSS computer program.
Rawa Jitu was formed by two big rivers, i.e.: Mesuji and Tulang Bawang rivers. This area is constantly influenced by tidal activities of Java sea. This area formerly was conversion forest, with swamp ecosystem rich with flora and fauna The agricultural area development was underway by making drainage canals which have multiple functions for (1) spill way of excessive water and reducing salt concentration which was accumulated in the soil through leaching processes, and (2) water transportation facilities (navigation canals).
The research concluded the followings:
1. On average each translok family received 1.904 ha of land which consisted of house yard, farm land-I, and farm land-II); housing and public facilities to support farmers welfare. Land productivity was relatively low, ie.: 2.587 ton paddy per hectare, and 4.305 ton per hectare of corn;
2. The agricultural area development of Rawa Jitu has given positive impacts on farmers welfare given the following indicators: (a) average annual per capita income was Rp366,523; (b) considering Sajogjo's (1977) poverty criteria and Ministry of Transmigration. decision No. 269/Men11984, that income was well above the poverty line which was 458.15 kg equal rice; (c) gini ratio index was 0.21 which indicated that the income distribution was relatively equal; (d) using World Bank criteria, it was showed that 40% of low income farmer group received 26.11% of total income; (e) using expenditure approach, the monthly expenditure was Rp42,914, well above Lampung expenditure average, i.e.: Rp18.244, and Good Services Ratio was 2.97;
3. After settling for 7 years, each household family has asset of Rp482,260 and the size of house yard was 42.13 m2 per family or 8.425 m2 per person. These conditions have not meet with that Public Works Department criteria, Le.: 50 m2 per family and 10 m2 per capita;
4. Agricultural area development not only provide positive impacts on farmers' welfare, but also causing negative impacts on the environment: (A) physical and biological impacts, such as: (a) soil conditions, (b) hydrological conditions, (c) pest and weeds, (d) conventional energy resources, (e) wild habitat (B) socio, economic, and culture, such as: (a) social gap, (6) community health, (c) transportation system, (d) employment;
5. In particular, farmers will make socio and economic adjustment as a response to physical and economic constraints in Rawa Jitu. In further development, there has been established types of institutional working relationship in agriculture (contract system, waging system, derepaiz system, and work shifting) and land tenure (land tenancy, land rent, pawning system)
6. Analysis of multiple linear regression suggested that all factors have significantly influenced to the farmers income. This was shown by F test =607.64 bigger F table = 3.60. The value of R2 = 0.97 which indicated that all independent variables have clearly explained the dependent variable.
The study concluded that in formulating the future ofRawa TJtu., the Government ofLampung Province should consider the improvement of agricultural production, distribution of public services, planning of area development, improvement of quality of life, and environmental sustainability.
E. Refrences : 60 (1979 -1996)
"
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marion Lukman
"Permasalahan kemiskinan pascakonflik sosial sudah berlangsung beberapa tahun, akan tetapi proses untuk merehabilitasi masyarakat tersebut belum berhasil secara optimal. Masyarakat pascakonflik sosial membutuhkan suatu upaya pemberdayaan yang dapat meningkatkan kemampuan masyarakat itu kembali ke keadaan semula, bahkan lebih baik.
Tesis ini bertujuan untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam mengenai pemberdayaan masyarakat pascakonflik sosial melalui program Community Based Livelihood Initiatives (CBLI) di desa Lalubi, kecamatan Crane Timur, kabupaten Halmahera Selatan, propinsi Maluku Utara. Program ini dijalankan oleh sebuah lembaga non pemerintah, yaitu Yayasan Tanggul Bencana (YTB).
Permasalahan ini diambil karena sudah begitu banyak pola pemberdayaan masyarakat yang dilakukan, baik oleh pemerintah maupun lembaga non pemerintah. Semuanya itu turut berperan dalam pembangtinan, sekecil apa pun peran mereka, termasuk program CBLI yang ditangani oleh YTB.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan berusaha untuk menggali informasi secara mendalam mengenai pola pemberdayaan masyarakat melalui program CBLI. Pemilihan informan merupakan informan yang lebih mengetahui secara teknis dan Iangsung sebagai sumber data yang dicari. Untuk pengumpulan data tersebut menggunakan teknik wawancara mendalam (in depth interview), partisipan observasi, dan studi dokumentasi. Ketiga teknik itu digunakan untuk saling melengkapi sehingga dapat mengungkapkan realita sesungguhnya dari berbagai jawaban informan.
Adapun teori yang dijadikan rujukan dan kerangka analisis dalam penelitian ini adalah konsep pemberdayaan oleh tentang pendekatan pemberdayaan dalam upaya menumbuhkembangkan peranan stakeholders dan mengembangkan metodologi pembinaan dalam pelaksanaan pemberdayaan itu sehingga menjadikan masyarakat berdaya yang berarti juga kemandirian masyarakat. Selain itu konsep Intervensi Kesejahteraan Sosial menurut Cox (2001) yang merupakan tahapan pemberdayaan dari tahapan persiapan, pengkajian, perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan terminasi program.
Hasil penelitian menunjukkan suatu hubungan peranan yang terjadi antara peran pemerintah desa, peran tokoh agama, peran organisasi non pemerintah yang dalam hal ini adalah YTB mempunyai peranan dalam penyediaan sarana dan prasarana serta program yang realistis bagi kebutuhan masyarakat.
Hasil penelitian dari wawancara mendalam adalah melalui pendekatan kelompok terjadi proses penguatan di dalam masyarakat. Masyarakat menentukan sendiri pengurus kelompoknya, membuat aturan-aturan, membuat sanksi-sanksi yang disepakati, pemecahan masalah secara musyawarah, kesadaran untuk mengembalikan dana pinjaman, dan adanya tabungan kelompok.
Dikaitkan dengan kebijakan YTB, hasil penelitian mendalam dari program CBLI belum sepenuhnya sesuai dengan konsep pemberdayaan yang mengarah kepada kemandirian, yang terlihat sangat kuat adalah pemberdayaan ekonomi. Akan tetapi variabel adanya menumbuhkembangkan kerja sama dan keterpaduan antara unsur stakeholders, menumbuhkembangkan fungsi partisipasi masyarakat dalam kelompok sasaran, peningkatan kesadaran, dan peningkatan motivasi sudah berjalan dengan baik. Sedangkan peningkatan sumber daya manusia (intelektual) melalui peningkatan ketrampilan belum sesuai dikarenakan kebutuhan yang baru berjalan dari proses pelaksanaan program hanya kepada pembimbingan administrasi pembukuan yang sederhana.
Penelitian ini juga menemukan, bahwa proses pelaksanaan program CBLI memiliki tahapan-tahapan dan relevan dengan tahapan Intervensi Kesejahteraan Sosial yang dirumuskan oleh Cox (2001). Meskipun dalam aktivitasnya berbeda, tetapi secara substansi pola penanganan program CBLI dan Cox relatif sama.
Kendala yang dihadapi lembaga dalam pemberdayaan masyarakat melalui program CBLI terkait dengan koordinasi secara strulctural dari pemerintah daerah dalam mengembangkan pembangunan di desa Lalubi, faktor internal dari WG yang secara personal hanya ditangani oleh satu orang saja, yang mengakibatkan CO hanya menunggu petunjuk dari WG, dan pada kelompok sasaran, dimana motivasi dan kepercayaan terhadap anggota kelompok yang lain belum sepenuhnya.
Berdasarkan temuan penelitian tersebut, maka disarankan agar lembaga melakukan konsolidasi pengurus WG yang difasilitasi oleh YTB, CO juga diberikan kepercayaan dalam mengelola kelompok. Saran kepada Kelompok Sasaran adalah pertemuan kelompok perlu terus dijaga agar menghindari ketidakpercayaan dan turunnya motivasi untuk mengembangkan diri, kelompok juga perlu menjaga aturan-aturan kelompok yang disepakati bersama, dan perlunya saling membantu dan mendukung semacam rantai agar anggota kelompok yang sudah menjalankan usaha dapat membeli dan menjual sehingga terjadi putaran uang yang lancar. Saran kepada Pemerintah Daerah adalah meningkatkan koordinasi dalam penyelenggaraan pemerintahan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13689
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Said D.
"ABSTRAK
Sulawesi Tenggara adalah salah satu provinsi yang ke-25 di Indonesia. Provinsi ini terletak di Pulau Sulawesi bagian Tenggara yang melepaskan diri dari Provinsi Sulawesi Selatan-Tenggara berdasarkan Peraturan Pemerintah Pusat No. 2 tahun 1964 disahkan dengan Undang-undang No. 13 tahun 1964. Peresmiannya dilaksanakan pada tanggal 27 April 1964.
Pada tahun 1952 Sulawesi Tenggara masih berstatus sebagai Kabupaten (Dati II) yang berada dalam wilayah Pemerintahan Propinsi Sulawesi Selatan-Tenggara (Sulselra). Ketika itu Kabupaten Sulawesi Tenggara berkedudukan di Bau-Bau meliputi empat wilayah kewedanaan -- Kewedanaan Buton, Kendari, Muna, dan Kolaka. Pada tahun 1960 Kabupaten Sulawesi Tenggara dimekarkan menjadi empat Daerah Tingkat II --yakni masing-masing kewedanaan ditingkatkan statusnya menjadi kabupaten.
Daerah Sulawesi Tenggara dihuni oleh empat kelompok etnik asli Buton, Muna, Tolaki, dan Moronene. Bugis-Makassar adalah etnik pendatang terbanyak jumlahnya dan telah lama menetap di daerah ini. Keberadaan etnik Bugis-Makassar di daerah ini sejak masa kerajaan-kerajaan tradisional, sehingga sudah sulit memisahkan antara mereka dengan etnik asli.
Sulawesi Tenggara ketika bergabung dengan Sulawesi Selatan dianggap sebagai daerah belakang yang kurang di perhatikan. Pembangunan terbengkalai, sehingga ketinggalan dibanding dengan daerah lainnya. Bahkan oleh pemerintah Sulawesi Selatan dijadikan sebagai daerah pembuangan untuk menghukum orang-orang yang tidak loyal kepada kebijakan pemerintah.
Kondisi Sulawesi Tenggara yang demikian itu juga didorong oleh permasalahan yang dihadapi Pemerintah pada tahun 1950-an berkembangnya isyu otonomi daerah dan ketidak berhasilan pembangunan menjadi tema sentral yang bergema di daerah. Bahkan permasalahan tersebut menjadi alasan bagi luar Jawa mendesak Pemerintah Pusat untuk menuntaskan otonomi daerah. Kesempatan ini dimanfaatkan pula oleh masyarakat Sulawesi Timur untuk mengajukan usul kepada Pemerintah Pusat agar Sulawesi Timur yang meliputi bekas Kewedanaan Buton, Muna, Kendari, Kolaka, Bungku/Mori dan Luwuk Banggai menjadi satu provinsi.
Untuk menanggapi permasalahan tersebut Pemerintah Pusat mangeluarkan kebijakan untuk mengadakan pemekaran provinsi di Indonesia yang berlangsung antara tahun 1950-1960. Namun pemekaran provinsi selama kurun waktu itu belum termasuk dengan permohonan masyarakat Sulawesi Timur. Tidak ditanggapinya keinginan masyarakat Sulawesi Timur mendorong masyarakat daerah tersebut yang berada di Makassar (sekarang Ujung Pandang) ikut mempelopori demonstrasi-demonstrasi mengajukan tuntutan kepada Pemerintah Pusat.
Pada tanggal 17 Pebruari 1957 di Makassar tokoh masyarakat, mahasiswa, pemuda, dan pelajar asal Sulawesi Timur ---Baton, Muna, Kendari, Kolaka, Bungku/Mori dan Luwuk/Banggai -- yang menetap di kota Makassar mengadakan Rapat di Gedung SMEP Negeri (sekarang SMA Negeri I ) Jalan Bawakaraeng No. 39 Makassar. Tujuan rapat itu adalah untuk memberikan tanggapan atas demonstrasi-demonstrasi yang diprakarsai oleh mahasiswa asal Sulawesi Timur yang berlangsung pada awal bulan Pebruari 1957.
Ternyata kehendak pemuda, pelajar dan mahasiswa itu mendapat dukungan dari tokoh-tokoh masyarakat Sulawesi Timur. Dalam rapat itu sekaligus membentuk Panitia Penuntut Provinsi Sulawesi Timur (PPPST) yang diketuai Ngitung dilengkapi dengan wakil ketua, sekretaris dan anggota. Pembentukan panitia ini bertujuan agar perjuangan penuntutan itu terorganisasi dan secara terus-menerus mendesak Pemerintah serta mengiapkan bahan-bahan yang berkaitan dengan data-data yang dibutuhkan Pemerintah Pusat tentang Sulawesi Timur.
Keinginan masyarakat Sulawesi Timur, ternyata tidak direstui oleh Pemerintah Sulawesi Selatan dan Kodam XIV Hasanuddin di Makassar. Penolakan itu disebabkan bahwa daerah Sulawesi Timur belum layak untuk dijadikan satu provinsi, terutama dalam jumlah penduduk dan sumber daya manusianya. Juga dari segi keamanan daerah ini rawan karena menjadi pusat gerilya DI/TIl Pimpinan Abdul Kahar Mudzakar.
Ketidak relaan Sulawesi Selatan terhadap keinginan masyarakat Sulawesi. Timur, pada akhirnya mengundang timbulnya konflik kepentingan. Konflik semakin serius ketika kalangan masyarakat Sulawesi Timur timbul Juga sekat-sekat social yang bersumber dari kepentingan politik dan etnik. Sehingga konflik yang terjadi tidak hanya mengacu pada konflik eksteren, tetapi Juga konflik interen.
Setelah melalui perjuangan selama 14 tahun, akhirnya keinginan itu direalisasikan pada tahun 1964. Namun yang direstui adalah Provinsi Sulawesi Tenggara wilayahnya meliputi Kabupaten Sulawesi Tenggara -- Kewedanaan Buton, Muna, Kendari, dan Kolaka. Tidak termasuk Bungku/Mori dan Luwuk/Banggai, kedua wilayah ini masuk dalam Pemerintahan Provinsi Sulawesi Tengah.
Sejak berdirinya Provinsi Sulawesi Tenggara, ternyata tidak dapat mengakhiri konflik lama, tetapi justeru menjadi semakin berlanjut. Konflik-konflik kepentingan susul menyusul terjadi yang bersumber dari kepentingan masing-masing etnik. Hingga sekarang permasalahan tesebut sering muncul ke atas permukaan, terutama penentuan dalam pengisian jabatan dan posisi penting dibidang pemerintahan selalu rnengundang pro dan kontra, karena masing-masing etnik mempertahankan keinginannya untuk menempatkan orang-orang yang berasal dari daerahnya.
"
1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syahfirin Abdullah
"ABSTRAK
Saat ini semakin disadari pentingnya penyebaaran kegiatan ekonomi dan pembangunan yang lebih merata di seluruh wilayah Indonesia. Perkembangan kegiatan ekonomi luar Jawa diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk dan mengurangi perpindahan penduduk ke Palau Jawa yang pada gilirannya akan mengurangi permasalahan kependudukan di Indonesia
Propinsi Lampung sejak lama menjadi daerah tujuan migrasi penduduk Pada jaman penjajahan, Lampung ditetapkan sebagai salah satu daerah kolonisasi oleh pemerintah penjajahan Belanda Pada jaman awal kemerdekaan hingga masa orde baru daerah Lampung juga dijadikan sebagai daerah penempatan transmigran.
Mengingat sejarahnya yang panjang sebagai wilayah penempatan transmigran, di Propinsi Lampung banyak terdapat wilayah dengan mayoritas penduduk pendatang terutama dari Palau Jawa sehingga banyak tempat tempat di propinsi Lampung yang mempunyai nama yang lama dengan di Pulau Jawa, khususnya Jawa Tengah. Karena penduduk yang berasal dari daerah lain jumlah cukup banyak, naaka hubungan antara penduduk Lampung dengan penduduk dari daerah lain, khususnya Jawa menjadi sangat intensif. Didukung dengan letak geografis daerah Lampung sangat berdekatan dengan Pulau Jawa, kondisi ini menyebabkan daerah Lampung merupakan salah satu tujuan utama transmigrasi swakarsa dari Pulau Jawa. Oleh karena itu, walaupun penempatan transmigrasi umum oleh pemerintah ke Lampung telah dihentikan sejak tahun 1980, tetapi penduduk Jawa yang masuk ke Lampung masih tetap besar. Mengingat sumber daya alam dan pembangunan masing-masing daerah atau kabupaten di daerah Propinsi Lampung juga berbeda-beda, maka distribusi atau persebaran penduduk tidak tersebar secara merata.
Melihat kenyataan-kenyataan yang telah disebutkan di atas, menarik untuk diselidiki faktor apa saja yang mempengaruhi migrasi masuk ke Lampung dan migrasi masuk antar kabupaten di Propinsi Lampung berikut karakteristik migran yang masuk ke Lampung. Dengan itu diharapkan dapat diperoleh gambaran tentang migran sehubungan dengan karakteristik kependudukan individu migran itu sendiri (umur, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan dan lain-lain) dan karakteristik latar belakang daerah asalnya. Untuk tujuan itu, dalam penelitian ini digunakan data Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) tahun 1985.
Ada dua tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini. Pertama, memperoleh gambaran mengenai migran yang masuk ke Propinsi Lampung yaitu yang menyangkut karakteristik individu dan latar belakangnya. Kedua, melihat faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi probabilita seseorang untuk melakukan perpindahan ke Propinsi Lampung baik yang berasal dari propinsi lain maupun yang berasal dari Propinsi Lampung sendiri (migrasi antar kabupaten).
Berkaitan dengan tujuan kedua di atas, akan dilihat berapa besar pengaruh dari masing-masing faktor yang bersangkutan dalam hal ini dilakukan dengan analisis inferens. Selain itu juga akan dilakukan analisis deskriptif mengenai karakteristik migran yang ada di Propinsi Lampung. Hal terakhir ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran umum mengenai migran yang ada di daerah tersebut.
Penelitian ini dilakukan dengan dua metode yaitu analisis deskriptif (analisa tabulasi silang) dan analisis inferens. Analisis inferens dilakukan dengan membuat fungsi multinomial logistic untuk mengetahui probabilita migrasi masuk ke Propinsi Lampung. Variabel babas yang digunakan dalam analisis adalah umur, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan dan dua variabel kontekstual yaitu pendapatan per kapita dan peran sektor industri dalam PDRB. VariabeI kontekstual diperoleh dengan satuan analisis kabupaten (wilayah di propinsi Lampung) dan Propinsi untuk wilayah di luar Lampung.
Di antara penduduk muda (berumur di bawah 25 tahun) proporsi bukan migrannya adalah lebih kecil dibandingkan dari pada di antara penduduk tua (berumur 25 tahun atau lebih). Sementara itu proporsi migran antar Kabupaten di antara penduduk muda (di bawa 25 tahun) adalah sedikit lebih tinggi di banding pada penduduk umur tua, namun perbedaan proporsinya relatif kecil
Penduduk yang berpindah dan propinsi lain, baik dari Jawa maupun dari propinsi lainnya nampaknya terdiri dari orang-orang muda yang berumur di bawah 25 tahun. Hal ini terlihat pada beda proporsi migran dari propinsi lain di antara penduduk berumur kurang dari 25 tahun jauh lebih besar dibandingkan dengan yang berumur 25 tahun atau lebih. Pada penduduk muda proporsinya adalah sebesar 0,062 sedangkan pada penduduk tua hanya sekitar setengahnya atau sebesar 0, 031.
Kenyataan ini nampaknya sesuai dengan dugaan kita sebelumnya yang mana migran terdiri dari kaum muda yang produktif. Keputusan migran nampaknya merupakan keputusan ekonomi yang memperhitungkan kemungidnan memperoleh pekerjaan, dan jangka waktu bekerja di daerah tujuan. Pada penduduk muda, masa kerja di daerah tujuan adalah lebih lama dibandingkan dengan penduduk tua Semakin lama masa kerja di daerah tujuan semakin besar manfaat ekonomi yang diperoleh dari perpindahan yang telah dilakukan. Sebaliknya kesempatan ekonomi yang diharapkan oleh penduduk tua adalah lebih kecil, mengingat kemampuan yang semakin terbatas. Sementara itu masa kerja yang mungkin dapat dilakukan oleh penduduk tua lebih sedikit.
Nampaknya tidak ada perbedaan yang berarti antara laki-laki dan perempuan dalam hal proporsi bukan migran. Proporsi bukan migran pada laki-laki adalah 0,880 sedangkan pada perempuan sebesar 0,878. Proporsi migran antar kabupaten pada penduduk wanita adalah lebih rendah dibandingkan pada penduduk laki-laki, yang mana pada laki-laki proporsinya sebesar 0,081 sedangkan pada wanita sebesar 0,069.
Proporsi migran antar kabupaten pada laki-laki maupun perempuan adalah lebih besar dibandingkan dengan proporsi migran dan luar propinsi. Kendala jarak nampaknya menyebabkan probability pindah antar kabupaten menjadi lebih besar dari pada probability pindah antar propinsi. Selain itu, dalam propinsi yang sama pengetahuan mengenai kondisi daerah tujuan lebih dapat diketahui secara seksama. Sementara itu bagi penduduk asal luar propinsi informasi ini lebih terbatas.
Migran dari luar propinsi Lampung nampaknya lebih banyak yang berstatus belum kawin dari pada yang pernah kawin. Ini terlihat dari migran asal luar propinsi yang mana proporsinya lebih besar dikalangan penduduk belum kawin dibandingkan dengan pada penduduk yang pemah kawin. Pada penduduk yang berstatus belum pernah kawin proporsinya adalah sebesar 0,053 sedangkan pada penduduk yang pernah kawin proporsinya sebesar 0,04.
Kenyataan ini nampaknya berhubungan dengan beban yang harus dipikul dalam bermigrasi. Pada penduduk yang belum kawin beban yang harus ditanggung dalam perjalanan migrasi maupun beban moral dalam meninggalkan daerah asal adalah lebih rendah. Pada penduduk yang berstatus kawin, beban yang harus ditanggung lebih besar, misalnya harus membawa serta anak dan istri. Dalam kondisi yang belum pasti di daerah tujuan, adanya beban tanggungan ini bukan masalah sederhana. Biaya yang harus ditanggung, apalagi apabila migran tidak langsung memperoleh penghasilan yang cukup adanya beban tanggungan akan sangat memberatkan.
Variabel pendidikan formal nampaknya tidak begitu diperhatikan dalam menentukan keputusan migrasi ke dareah lampung. lni terlihat pada tidak adanya perbedaan proporsi migran menurut pendidikan Proporsi migran antar kabupaten pada penduduk berpendidikan tamat SD atau lebih adalah sebesar 0,074 dan pada penduduk yang berpendidikan lebih rendah adalah sebesar 0,075. Hal yang sama juga terjadi pada proporsi migran asal luar propinsi, yang mana pada penduduk yang berpendidikan rendah (tidak tamat SD atau tidak sekolah) maupun berpendidikan tamat SD atau lebih sama-sama sebesar 0,045.
Kenyataan ini diduga karena sebagian besar migran yang datang ke Propinsi Lampung tujuannya adalah bekerja di sektor pertanian (perkebunan). Pada sektor pertanian, pendidikan formal bukanlah suatu hai yang penting dalam menentukan penghasilan pekerja. pengalaman bertani dan bercocok tanam malah lebih diperlukan. Selain itu diperkirakan, pendatang ke propinsi Lampung, selain petani adalah pedagang sektor informal, yang mana sama halnya dengan pertanian, pendidikan formal bukan hal yang menentukan penghasilan pekerja.
Setelah kita perhatikan perbedaan proporsi migrasi berdasarkan variabel individu, sekarang mari kita perhatikan pengaruh variabel lingkungan terhadap proporsi migrasi. Keputusan migrasi nampaknya tidak dipengaruhi oleh kondisi perekonomian daerah. Bila dibandingkan proporsi migran pada penduduk yang daerahnya mempunyai PDRB perkapita rendah dengan yang tinggi nampak tidak ada perbedaan.
Variabel tingkat industrialisasi nampaknya mempunyai pengaruh yang berbeda antara kelompok migran maupun antara tingkat industrialissisi rendah dan tinggi. Pada Tabel 4 terlihat bahwa proporsi bukan migran lebih besar pada daerah yang tingkat industrialisasinya lebih tinggi. Sedangkan proporsi migran antar kabupaten daerah yang tingkat industrinya rendah proporsi migrannya tinggi.. Proporsi migran dari luas propinsi ternyata hampir tidak ada perbedaan menurut tingkat industrialisasi. "
1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karepesina, Muh.Yasim
"Secara garis besar penelitian ini menjelaskan tentang perkembangan terkini hubungan sosial antara antara kelompok masyarakat Islam dan Kristen pasca konflik horizontal di Propinsi Maluku Utara. Penelitian ini sangat penting dilakukan sehingga dapat diketahui secara akurat pola hubungan sosial antara kedua belah pihak yang pada akhirnya dapat diambil sejumlah kebijakan tertentu untuk memperkuat pola hubungan yang mendukung dan menetralisir pola hubungan yang menghalangi pelaksanaan pembangunan di Maluku Utara.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang menghasilkan data deskriptif dan diperoleh dari penelusuran kepustakaan dan hasil wawancara dengan para informan. Untuk mendukung data tersebut, penelitian ini juga dilakukan dengan metode observasi.
Dari basil penelitian menunjukkan bahwa antara kedua belah pihak telah melakukan akomodasi yang pada intinya adalah ingin membangun kembali kebersamaan seperti sedia kala. Dengan akomodasi tersebut itu pula, akhirnya mengantarkan kedua belah pihak pola hubungan selanjutnya yaitu kerja sama, persaingan dan konflik. Kerja sama antar kedua belah pihak terjadi dalam bidang - bidang sosial kamasyarakatan, ekonomi, dan politik. Hal ini disebabkan karena mereka memiliki kepentingan yang sama, kemudian persaingan terjadi pada bidang ekonomi, pendidikan dan politik. Dalam bidang pendidikan dan politik, pihak Muslim lebih unggul dibandingkan dengan kelompok masyarakat Kristen. Sedangkan dalam bidang ekonomi pihak Kristen lebih unggul. Konflik yang terjadi antara mereka adalah konflik laten berupa sikap prasangka dan kebencian serta perasaan dendam.
Keterlibatan Pemerintah Daerah dan LSM dalam normalisasi hubungan antara kedua belah pihak dimulai dari pencegahan konflik untuk memelihara perdamaian, membentuk perdamaian sampai membangun perdamaian. Dalam pencegahan konflik pemerintah daerah dan aparat keamanan sedikit menggunakan paksaan yang oleh penulis disebutkan dengan keterlibatan langsung, sementara keterlibtan tidak langsung adalah dimana Pemerintah Daerah dan LSM hanya memfasilitasi dan mendorong kedua belah pihak untuk melakukan perundingan damai.
Dalam upaya normalisasi hubungan antara kedua belah pihak, terdapat beberapa faktor pendukung dan penghambat. Faktor pendukung antara lain : 1). Adanya kesamaan nasib dan kesamaan etnis; 2). Saling ketergantungan secara ekonomi; 3). Adanya intervensi dan pihak ketiga. Sedangkan Faktor penghambat adalah: 1). Kondisi geografis Maluku Utara; 2). Adanya kebencian.dari kedua belah pihak; 3), Adanya kelompok-kelompok kepentingan yang sengaja menciptakan instabilitas.
Oleh karena itu, dalam pembangunan perdamaian yang berkelanjutan di Maluku Utara maka perlu dilakukan dialog-dialog dalam semua level masyarakat, pendistribusian sumber-sumber perekonomian yang adil dan merata Sehingga tidak terjadi kecemburuan sosial yang dapat merusak hubungan mereka sendiri."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13849
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tengku Razmara
"Pada kondisi saat ini, sejak di berlakukannya Otonomi Daerah, hampir di semua sektor mengalami perubahan yang signifikan. Tidak terkecuali di Kantor Penghubung Pemerintah Propinsi Riau, peranannya semakip strategis dan komplek. Peningkatan sumber daya manusia, sarana & prasarana, efisiensi dan efektivitas organisasi telah dilakukan. Sehingga budaya kerja yang ada dapat menentukan optimalisasi pelaksanaan pekerjaan dalam mencapai produktivitas pegawai yang tinggi. Budaya kerja yang kondusif antara lain ditunjukkan oleh sikap pegawai yang mampu beradaptasi terhadap perubahan-perubahan baik eksternal maupun internal dan dapat menciptakan suasana kerja yang nyaman, sehingga produktivitas pegawainya juga tinggi.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana suasana budaya kerja dan produktivitas pegawai, tinggi atau lemah, dan untuk mengetahui lebih jauh hubungan budaya kerja dengan produktivitas pegawai di lingkungan Kantor Penghubung Pemerintah Propinsi Riau di Jakarta.
Metode pengumpulan data menggunakan kuesioner, jumlah sampel sebesar 60 dan teknik pengambilan sampelnya menggunakan sampling jenuh atau semua populasi yang ada menjadi sampel penelitian. Analisis data yang terkumpul dari kuesioner dilakukan dengan menggunakan analisis deskriptif, karena datanya ordinal menggunakan analisis median dan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan budaya kerja dengan produktivitas pegawai menggunakan analisis non parametrik yaitu uji korelasi Spearman Rank (Rho).
Untuk mengetahui validitas dan reliabilitas dari instrumen penelitian peneliti menguji validitas dan reliabilitas dari instrumen budaya kerja dan instrumen produktivitas pegawai sebelum dan sesudah pengambilan data dengan menggunakan Pearson's Product Moment dan rumus Alpha dengan bantuan program SPSS 11,00.
Peneliti menggunakan variabel budaya kerja menurut De Bettignie dalam Ndraha, 1997, terdiri dari beberapa aspek, yaitu: (1) conformity (kebatuhan), (2) reactance (reaksi atau respon), (3) responsibility (tanggung jawab), (4) risk taking (pengambilan risiko), (5) standards (standar atau baku), (6) rewards (ganjaran), (7) clarity (kejelasan), (8) team spirit (semangat tim), dan (9) warmth (kehangatan). Adapun variabel produktivitas pegawai yang diambil dari Encyclopedia of Professional Management dan diuraikan lebih lanjut oleh peneliti, terdiri dari : (1) kemampuan merumuskan kebijakan, (2) pembinaan sarana dan prasarana, (3) kelancaran urusan tata usaha, (4) pembinaan pegawai, (5) kualitas dan tersedianya bahan, (6) skala pelaksanaan pekerjaan, (7) sikap kerja, (8) motivasi dan (9) efektivitas.
Pengukuran budaya kerja menurut Waworuntu, 2002:49, dalam Purnama, Nur Ratih, 2002:41, bahwa budaya tinggi dengan median ≥ 4; budaya lemah dengan median ≥ 3 dan ≤ 4; dan budaya diambang. pintu (sudah menjadi nilai tetapi masih lemah) dengan median ≤ 3. Pengukuran terhadap produktivitas pegawai juga menggunakan pengukuran yang sama, yaitu produktivitas tinggi dengan median≥ 4; produktivitas lemah dengan median ≥3 dan ≤ 4; dan produktivitas diambang pintu (sudah menjadi nilai tetapi masih lemah) dengan median ≤ 3.
Hasil penelitian, berdasarkan analisis median diketahui persepsi dari 60 responden terhadap suasana/kondisi budaya kerja pada Kantor Penghubung Riau, 90,0% menyatakan budaya kerjanya tinggi dan 10,0% menyatakan budaya kerjanya lemah, serta nilai median sebesar 4,2857. Adapun persepsi dari 60 responder terhadap tingkat produktivitas pegawai pada Kantor Penghubung Riau di Jakarta, 90,0% menyatakan produktivitas pegawainya tinggi dan 10,0% menyatakan produktivitas pegawainya lemah, serta nilai median sebesar 4,2857.
Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan uji korelasi Spearman Rank (Rho), diketahui bahwa terdapat korelasi yang significant antara budaya kerja dengan tingkat produktivitas pegawai yaitu sebesar r = 0,977** dan p = 0,000; berarti ada hubungan yang sangat kuat antara budaya kerja dengan tingkat produktivitas pegawai. Apabila budaya kerjanya tinggi maka produktivitas pegawainya juga tinggi.
Secara keseluruhan baik budaya kerja maupun produktivitas pegawai hasilnya adalah tinggi, namun ada beberapa saran yang dapat peneliti sumbangkan yaitu :
1. Segenap jajaran pimpinan dan staf di Kantor Penghubung Pemerintah Propinsi Riau agar dapat meningkatkan kemampuannya dalam beradaptasi dengan berbagai perubahan;
2. Perlu dilakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kekuatan dari budaya kerja yang akan menentukan keberhasilan pelaksanaan tugas;
3. Agar tetap memberikan pelayanan yang memuaskan kepada masyarakat, yang disesuaikan dengan kebutuhan dan perubahan strategi pelayanan Pemerintah Propinsi Riau.

Relationship Between Working Culture And Personnel Productivity In Contact Office Of Riau Province GovernmentAt present condition, since the enforcement of Local Autonomy, nearly all sectors undergo significant changes. That includes Contact Office of Riau Province Government, it holds more strategic and complex roles. Improvement of human resources, facilities & infrastructures, organizational efficiency and effectiveness have been implemented. Therefore, the available working culture can determine the optimum job implementation in achieving high personnel productivity. A conducive working culture among others is projected by the personnel attitudes that can adapt towards both external and internal changes and can create a comfortable working environment, so that the personnel productivity is also high.
Based on that grounds, this research is aimed at identifying as to whether the working culture condition and personnel productivity, high or low, and further identifying the relationship between working culture and personnel productivity in Contact Office Of Riau Province Government in Jakarta.
Method of data collection uses questionnaires with a total of 60 samples and the technique to get the samples is through saturated samples or all respondents available become research samples. Data analysis collected from the questionnaires is done through the use of descriptive analysis, because the data is ordinal, analysis median is used and to find out the presence or the absence of relationship between working culture and personnel productivity using non-parametric analysis, that is, correlation test of Spearman Rank (Rho).
To find out the validity and reliability of the research instruments the researcher verify the. validity and reliability of working culture instruments and personnel productivity instruments before and after data collection through the use of Pearson's Product Moment and Alpha formula with the assistant of SPSS 11,00 program.
The researcher uses working culture variable, according to De Bettignies in Ndraha, 1997, consisting of several aspects, that is,: (1) conformity, (2) reactance, (3) responsibility, (4) risk taking, (5) standards, (6) rewards, (7) clarity, (8) team spirit, and (9) warmth. As for the personnel productivity variable extracted from Encyclopedia of Professional Management and further elaborated by the researcher, consist of: (1) ability to formulate policy, (2) facility and infrastructure building, (3) smoothness of administrative affairs, (4) personnel development, (5) quality and materials availability, (6) scale of jobs implementation, (7) working attitudes, (8) motivation and (9) effectiveness.
Measurement of working culture according to Waworuntu, 2002:49, in Pumama, Nur Ratih, 2002:41, states that high culture with median ≥ 4; low culture with median ≥ 3 and ≤ 4; and in subsistence level culture (has become a point but still low) with median ≤ 3. The measurement towards personnel productivity also utilizes the same measurement, that is, high productivity with median ≥ 4; low productivity with median ≥ 3 and ≤ 4; and subsistence level productivity (has become a point but still low) with median ≤ 3.
The results of the research, based on the median analysis have identified the perceptions from 60 respondents towards working culture condition in Riau Contact Office, 90,0% says high and 10,0% says low, and the median point: 4,2857. As for the perception from 60 respondents towards personnel productivity level in Riau Contact Office in Jakarta, 90,0% says high and 10,0% says low, and the median point: 4,2857.
Based on the analysis using correlation test of Spearman Rank (Rho), it is identified that there is significant correlation between working culture and personnel productivity level, that is, r = 0,977** and p = 0,000; which means that there is very strong relationship between working culture and personnel productivity level. If the working culture is high, so is the personnel productivity.
As a whole both working culture and personnel productivity level are high, however the following are the recommendations that can be contributed by the researcher. All levels of management and staff in Contact Office of Riau Province Government are to increase their capacity in adapting with various changes; It is necessary to make some efforts to increase the power of working culture which will determine the success of jobs implementation; It is necessary to maintain the provision of satisfying services to the society, which are adjusted with the needs and the changes of service strategy of Riau Province Government."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13942
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library