Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 100 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sipayung, Sylfia
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menguraikan proses penjualan jasa piutang pembiayaan dimulai dari consumer acquisition, penerimaan dan penanganan aplikasi, pengambilan keputusan, pencairan dana, penagihan piutang, serta tindakan yang dilakukan terhadap piutang bermasalah. Kemudian bagaimana analisis internal control terhadap ancaman (threats) dan kegiatan pengendalian (controls) pada penjualan jasa pembiayaan pada PT. MF. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode wawancara untuk mendapatkan data primer yang dibutuhkan untuk menganalisis dan mendeskripsikan aktivitas pengendalian internal yang ada pada perusahaan pembiayaan seperti PT. MF.

ABSTRACT
This study aims to determine the services sales process starts from consumer financing receivables acquisition, receipt and handling of applications, decision-making, disbursement, collection of accounts receivable, as well as actions taken towards troubled receivables. Then how internal control analysis about the threats and controls of the sales activities of receivables financing services that exist on the PT. MF. Data collection methods used in this study were interviews to obtain primary data required to analyze and describe the internal control activities that exist in finance companies such as PT. MF.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2016
S61559
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitria Fatma Amiranti
"PT PANN adalah Badan Usaha Milik Negara yang memiliki lingkup usaha membantu perusahaan pelayaran dengan tujuan memperoleh fasilitas mendapatkan barang modal berupa kapal laut dengan cara leasing, sehingga nantinya setelah pembayaran angsuran atau cicilan leasing tersebut selesai dan lunas, maka kapal laut dapat dimiliki oleh perusahaan pelayaran. Cara pembiayaan leasing dilakukan karena perusahaan pelayaran tidak memiliki kemampuan finansial untuk membeli kapal. PT PANN digugat telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan penyalah gunaan keadaan oleh PT. Caraka Trans Pasifik dan PT. Pelayaran Caraka Tirta Perkasa. Untuk itu maka rumusan masalah yang diteliti penulis adalah bagaimana penyalahgunaan keadaan terjadi dan dilakukan oleh PT. PANN sebagai kreditur dalam perjanjian leasing dan apakah dalil Perbuatan Melawan Hukum yang digunakan PT. Pelayaran Caraka Tirta sudah sesuai dengan unsur-unsur Perbuatan Melawan Hukum berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata yang dilakukan kreditur. Untuk itu maka diteliti putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 606/Pdt.G/2015/PN.JKT.PST. Perjanjian leasing ditandatangani dalam bentuk perjanjian baku, diketahui bahwa posisi tawar Tergugat lebih tinggi dibanding Penggugat, hal ini merupakan penyalah gunaan keadaan dan disebut sebagai cacat kehendak oleh Prof. Cohen. Tergugat juga sengaja melakukan pembiaran dan tidak menarik kapal, dan Penggugat tetap diwajibkan membayar bunga dan denda, sehingga ini merupakan perbuatan melawan hukum. Ketentuan bunga ini melanggar undang-undang karena perusahaan leasing hanya diperbolehkan menarik keuntungan dari pembayaran sewa. Perjanjian leasing juga dilarang menggunakan kuasa mutlak. Penulis sependapat dengan Putusan Pengadilan bahwa PT PANN telah melakukan penyalah gunaan keadaan dan melakukan perbuatan melawan hukum. Perjanjian leasing tidak memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata karena causa yang tidak halal.

PT PANN is an Indonesian state owned enterprises which has a business to assist shipping company with the purpose of obtaining facilities by obtaining capital goods in the form of a seacraft by leasing, so that after the installment payment or the lease installment is completed and paid off, the ship can be owned by shipping company. The way of leasing rdquo is because shipping companies dont have the financial ability to buy seacraft. PT PANN has been sued of undue influence as a tort law by PT Caraka Trans Pasifik and PT Pelayaran Caraka Tirta Perkasa. Then the authors problem formulation research is how undue influence occurred by PT PANN as the creditor of lease agreement and wheter the argument of tort law used by PT Pelayaran Caraka Tirta Perkasa is accordance with the elements of tort law under the article 1365 of the Civil Code made by the creditor. Therefore, author choose to investigated courts decision number 606 Pdt.G 2015 PN.JKT.PST. The lease agreement is signed in the standard agreement form, which is known that the defendants bargaining position is higher than the plaintiff, that is an undue influence and that is reffered to defective by Prof. Cohen. The defendant also deliberately omitted and withdraw the seacraft, and the plaintiff is still required to pay the interest and penalties, so this is a tort law. This interests provision violates the law because the leasing company is only allowed to take advantage of the lease payment. The lease agreement is also prohibited from using absolute power. The author agrees with the courts decision that PT PANN has committed undue influence and committed against the law. The lease agreement does not comply with the provisions of article 1320 of the Civil Code due to the unlawful cause."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asri Putri Amanda
"Munculnya pandemi COVID-19 telah memberikan dampak amat besar pada aspek perekonomian, khususnya industri penerbangan. Efek dari pandemi ini memberikan kesulitan bagi pihak maskapai penerbangan sebagai lessee dalam memenuhi kewajiban kontrak leasing, dan perusahaan leasing sebagai lessor dihadapkan pada risiko pembayaran sewa yang tertunda atau bahkan tidak terpenuhi. Menanggapi polemik tersebut, klausul force majeure memiliki peran besar dalam memberikan suatu dasar hukum untuk menunda atau melepaskan kewajiban yang sulit atau bahkan tidak mungkin dipenuhi dalam situasi darurat seperti pandemi COVID-19. Namun demikian, penafsiran pandemi COVID-19 sebagai suatu keadaan memaksa dapat berbeda-beda. Terlebih lagi, tidak semua kontrak secara otomatis mencakup klausul force majeure, salah satunya seperti kontrak leasing pesawat udara. Akibatnya, pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak leasing pesawat udara dihadapkan pada kompleksitas dan ketidakpastian hukum dalam menangani konsekuensi pandemi. Tujuan penelitian ini adalah untuk membahas mengenai penafsiran force majeure terhadap peristiwa pandemi COVID-19 dalam melaksanakan renegosiasi kontrak dan akibat hukum yang timbul terhadap kontrak leasing pesawat udara atas terjadinya pandemi COVID-19 sebagai force majeure. Adapun, dengan menggunakan metode doktrinal dan bahan data sekunder, kesimpulan dari penelitian ini adalah pertama, pandemi COVID-19 dapat dikategorikan sebagai force majeure relatif. Dengan kata lain, pemenuhan kewajiban debitur dapat ditangguhkan atau ditunda untuk sementara waktu hingga keadaan memaksa (pandemi COVID-19) berhenti. Setelah keadaan memaksa tersebut dinyatakan selesai, maka debitur harus melaksanakan kewajiban perjanjiannya kembali. Kedua, pelaksanaan renegosiasi kontrak leasing pesawat udara pada dasarnya tidak dilandasi dengan alasan force majeure, melainkan adanya peran lessor yang proaktif dan terbuka untuk bekerja sama mencari solusi yang memberikan keadilan bagi para pihak.

The emergence of the COVID-19 pandemic had a huge impact on economy aspects, especially the aviation industry. The effects of this pandemic have made it difficult for airlines as lessees need to fulfill their leasing contract obligations and leasing companies as lessors are faced with the risk of delayed or even incomplete rental payments from lessees. Responding to this polemic, the force majeure clause has a big role in providing a legal basis for postponing or releasing obligations that are difficult or even impossible to fulfill in emergency situations such as the COVID-19 pandemic. However, the interpretation of the COVID-19 pandemic as a force majeure event can vary. Moreover, not all contracts automatically include a force majeure clause, such as aircraft leasing contracts. Consequently, parties involved in aircraft leasing contracts grapple with legal complexities and uncertainties in addressing the consequences of the pandemic. The aim of this research is to discuss the interpretation of force majeure regarding the COVID-19 pandemic event in renegotiating contracts and the legal consequences arising on aircraft leasing contracts due to the occurrence of the COVID-19 pandemic as force majeure. Therefore, by using doctrinal method and secondary data, the conclusion drawn from this research is, firstly, that the COVID-19 pandemic can be categorized as a relative force majeure. In other words, the debtor's obligations fulfilment can be temporarily postponed or delayed until the force majeure condition (COVID-19 pandemic) ceases. Once the force majeure condition is declared over, the debtor must resume fulfilling their contractual obligations. Secondly, the renegotiation of aircraft leasing contracts is fundamentally not based on force majeure reasons, but rather on the proactive role of the lessor, who is open to collaborative solutions that ensure fairness for all parties involved."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dhiyaa Dibrina Fa Atin
"Pengalihan utang atau disebut dengan take over kredit dalam perjanjian pembiayaan leasing dapat dilakukan sesuai ketentuan perjanjian pembiayaan, yaitu atas sepengetahuan pihak leasing atau perusahaan pembiayaan dan harus dilaksanakan berdasarkan pada ketentuan hukum novasi atau pembaharuan utang. Namun, pada praktiknya masih sering dilakukan take over kredit tanpa sepengetahuan dan persetujuan perusahaan pembiayaan atau disebut juga take over kredit di bawah tangan. Pada tulisan ini akan membahas kasus Putusan No. 3/Pdt.G/2019/ PN. PgP mengenai terjadi take over kredit di bawah tangan yang mengakibatkan terjadinya penahanan BPKB mobil, meskipun telah dilakukan pelunasan oleh pihak ketiga karena pihak leasing tidak mengakui adanya take over kredit. Tulisan ini menggunakan metode penelitian doktrinal dengan tujuan menganalisis keabsahan perjanjian take over kredit di bawah tangan dalam perjanjian pembiayaan leasing dan akibat hukumnya dalam Putusan No. 3/Pdt.G/2019/PN. PgP. Pengalihan utang (take over kredit) yang dilakukan di bawah tangan adalah tidak sah karena tidak memenuhi syarat sah perjanjian, yaitu kesepakatan para pihak dan berdasarkan novasi pengalihan debitur tidak terjadi apabila kreditur belum membebaskan debitur dari kewajiban perjanjian. Akibat hukumnya adalah pihak ketiga tidak memiliki hak atas kepemilikan objek pembiayaan.

Debt transfer or credit takeover in a leasing financing agreement can be carried out in accordance with the provisions of the financing agreement, namely with the knowledge of the leasing party or finance company and must be carried out based on the legal provisions of novation or debt renewal. However, in practice, credit takeovers are often carried out without the knowledge and approval of the finance company or also known as underhand credit takeovers. This paper will discuss the case of Decision No. 3/Pdt.G/2019/PN. PgP regarding an unofficial credit takeover that resulted in the detention of the car's BPKB, even though repayment has been made by a third party because the leasing party does not recognize the credit takeover. This paper uses the doctrinal research method with the aim of analyzing the validity of an unofficial credit takeover agreement in a leasing financing agreement and its legal consequences in Decision No. 3/Pdt.G/2019/PN.PgP. Credit takeover carried out unofficially is invalid because it does not fulfill the valid requirements of the agreement, namely the agreement of the parties and based on novation, the transfer of the debtor does not occur if the creditor has not released the debtor from the obligations of the agreement. The legal effect is that the third party has no right to ownership of the financing object."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manogihon, Benedictus Hananta
"Banyaknya kasus pengambilan paksa kendaraan bermotor milik debitor yang menjadi objek fidusia oleh kreditor berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Fidusia dan perbuatan dari kreditor tersebut bertentangan dengan konstitusi sehingga ketentuan tersebut membuat pihak debitor merasa dirugikan. Seharusnya Debitor mengajukan permohonan eksekusi terhadap objek jaminan fidusia terlebih dahulu kepada pengadilan negeri. Metode Penelitian dalam Penulisan ini berbentuk doktriner, yaitu suatu Penelitian yang bekerja untuk menemukan jawaban-jawaban yang benar dengan pembuktian kebenaran yang dicari. Isi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur Nomor 10/Pdt.G.S./2021/PN.Jkt.Tim telah merugikan Debitor. Kreditor merampas 1 (satu) unit kendaraan bermotor roda empat milik Debitor. Penarikan kendaraan tersebut telah melanggar ketentuan penarikan kendaraan yang dibeli secara kredit yang termuat dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010/2012 tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan yang Melakukan Pembiayaan Konsumen untuk Kendaraan Bermotor dengan Pembebanan Jaminan Fidusia.

There are many cases of forced taking of motor vehicles belonging to debtors which are fiduciary objects by creditors based on the provisions of Article 15 paragraphs (2) and (3) of Law Number 42 of 1999 concerning Fiduciary and the creditors' actions are contrary to the constitution so that these provisions make the debtor feel disadvantaged. The debtor should submit a request for execution of the object of the fiduciary guarantee first to the district court. This research method in writing is in the form of doctrinaire, namely research that works to find the correct answers by proving the truth sought. The contents of the East Jakarta District Court Decision Number 10/Pdt.G.S/2021/PN.Jkt.Tim have harmed the Debtor. The Creditor confiscated 1 (one) four-wheeled motorized vehicle belonging to the Debtor. The withdrawal of the vehicle violates the provisions for withdrawing vehicles purchased on credit as contained in Minister of Finance Regulation Number 130/PMK.010/2012 concerning Registration of Fiduciary Guarantees for Finance Companies that Provide Consumer Financing for Motorized Vehicles with Fiduciary Guarantees."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Afrizal
"Pokok permasafahan dalam tesis ini adalah untuk mengetahui apakah perlakuan pajak penghasilan berkenaan dengan penyusutan dan pembayaran lease pada finance lease sesuai Keputusan Menteri Keuangan No. 1169/KMK.01/1991 mempunyai dampak yang sama terhadap pajak penghasilan.
Tujuan penulisan tesis ini adalah untuk menganafisis perbedaan yang sepadan (comparable) antara penyusutan pada barang modal yang dibeli dan deduktibiltas pembayaran lease pada finance lease dan melihat pengaruhnya terhadap pajak penghasilan.
Suatu transaksi finance lease dapat ditinjau dari perspektif form over substance atau substance over form. Di dalam penentuan peristiwa kena pajak perpajakan lebih menekankan makna ekonomis daripada bentuk yuridis transaksi tersebut (substance over form).
Metode penelttian yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah metode deskriptif analisis, dengan teknik pengumpulan data berupa studi kepustakaan dan studi lapangan pada perusahaan leasing dengan sampel 4 data pembayaran lease yang mewakili masing-masing kelompok harta sesuai Undang-Undang No. 17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasiian.
Dan hasil analisis diketahui bahwa pembayaran lease pada finance lease meliputi biaya penyusutan dan biaya bunga, di samping itu semakin panjang perbedaan antara masa lease dengan masa manfaat barang modal, maka semakin besar penghematan pajak dari penyusutan dengan menggunakan finance lease.
Wajib pajak dapat memanfaatkan ketentuan pajak penghasilan berkenaan dengan pembebanan finance lease sebagai sarana tax planning untuk mendapatkan penghematan pajak dari penyusutan dengan cara membandingkan total niiai sekarang biaya penyusutan barang modal alternatif membeli dan finance lease. Di samping, itu Otoritas pajak disarankan untuk mengeluarkan addendum atas Keputusan Menteri Keuangan No. 1169/KMk. 01/1991 yang berkenaan dengan masa manfaat aktiva yang disewa guna usaha yang dibeli oleh lessee (pelaksanaan hak opsi) untuk keperiuan penyusutan sehingga ada kepastian dan keseragaman perhitungan sisa masa manfaat dan tarif penyusutan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T304
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lusyana
"Berperannya usaha leasing di Indonesia dapat menguntungkan para pengusaha lemah modal agar dapat mengembangkan usahanya. Masalah yang diteliti dipusatkan kepada Tijauan fiukum Perjanjian Leasing antara PT. Bunas Finance dengan PT. Beta Buana Conblock Industry dalam praktek operasional, yang mengacu kepada Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor Kep 122/MK/IV/2/1974, 32IMISK/2/1974, dan 30/Kpb/I/1974 tertanggal 7 Pebruari 1974, tentang perizinan usaha leasing. Tujuan Penulisan Tesis ini adalah untuk mengetahui apakah perjanjian leasing antara PT. Bunas Finance dengan PT. Beta Buana Conblock Industry merupakan operasional leasing atau Financial Leasing, serta manfaat apa yang diperoleh PT. Beta Buana Conblock Industry dalam Perjanjian Leasing tersebut.
Penulisan Tesis menggunakan metode kombinasi multidispliner dan interdisipliner, karena dalam melakukan Penelitian Ilmu Hukum membutuhkan verifikasi dan bantuan disiplin ilmu lain. Dengan demikian Metode Penelitian yang dipergunakan dalam Tinjauan Hukum Perjanjian Leasing antara PT. Bunas Finance dengan PT. Beta Buana Conblock Industry dalam Praktek Operasional, berupa metode pendekatan yang bersifat normatif, studi kepustakaan dan lapangan dengan menguraikan secara detail, tentang leasing yaitu pada penelitian hukum normatif, lahan pustaka merupakan data dasar yang digolongkan sebagai data sekunder yang ada dalam keadaan siap terbuat, bentuk dan isinya telah disusun peneliti-peneliti terlebih dahulu serta dapat diperoleh tanpa terikat waktu dan tempat.
Adapun manfaat yang diperoleh dalam penelitian ini yakni mengetahui secara jelas tentang Financial Leasing, yakni penggunaan peralatan/barang dapat diperoleh tanpa harus mengeluarkan uang, leasse memperoleh tambahan sumber pembiayaan dan leasse mempunyai kesempatan untuk mengembangkan usahanya. Diakhir masa leasing,lessee mempunyai hak opsi untuk membeli atau memperpanjang jangka waktu kontrak leasing.
Untuk itu disarankan agar pemerintah segera membuat peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur tentang masalah leasing, karena selama ini peraturan yang ada hanya mengatur tentang perizinan pendirian perusahaan leasing, ketentuan bisnis leasing, tentang pajak penjualan dan ketentuan lain yang tidak mengatur mengenai mekanisme perjanjian itu sendiri. Penulis menghimbau agar pemerintah mengakui leasing sebagai Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB), mengingat masalah dana dalam bisnis leasing masih memperoleh hambatan utama."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
T19878
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wagey, Liberty
"Pokok Permasalahan
Perkembangan pembangunan nasional serta semakin bervariasinya kebutuhan akan modal tambahan bagi dunia usaha yang ada di Indonesia sekarang ini, di mana juga persyaratan untuk memiliki secara penuh suatu barang modal untuk usahanya bukanlah suatu kemutlakan lagi. Para pengusaha sekarang untuk mengembangkan perusahaannya dapat menggunakan barang-barang modal dengan hak pakai yang sifatnya khusus yaitu lewat perjanjian leasing.
Adanya perjanjian leasing dalam dunia usaha di Indonesia telah menambah perbendaharaan sumper-sumber pembiayaan pembangunan/usaha yang tadinya hanyalah bergantung kepada beberapa sumber yang telah lama ada seperti Bank dan Lembaga-Lembaga Keuangan lainnya. Keberadaan perjanjian leasing juga merupakan suatu langkah kedepan yang merombak khasanah kebiasaan transaksi dunia usaha kita dari sistim cash and carry atau biasa disebut transaksi tunai dan beralih ke sistim pembayaran secara berkala (sistim kredit).
Disamping sebagai suatu bentuk perjanjian yang boleh dikatakan masih baru, perjanjian leasing juga sebenarnya merupakan perkembangan lebih lanjut dari bentuk-bentuk perjanjian yang telah ada, dimana sebagai landasan antara lain ada, pada pasal l320 juncto pasal 1338 KUH Per serta ketentuan-ketentuan Hukum Perjanjian pada umumnya.
Metode Penelitian.
Setiap penulisan ilmiah harus didasarkan pada fakta yang seobyektif mungkin, yang diperoleh dari penelitian. Untuk mendapatkan data-data, maka mengadakan penelitian yang berupa :
- Field research/penelitian lapangan.
Penelitian ini dilakukan dengan cara mengadakan pengumpulan data dan penelitian secara langsung pada obyek dalam hal ini adalah pelaksanaan perjanjian leasing pada badan-badan usaha leasing yang ada di Jakarta. Dan dari data yang terkumpul diadakan analisa untuk di ambil kesimpulan.
-Library research/penelitian kepustakaan.
Penelitian ini dilakukan dengan cara mengadakan pengumpulan data dengan mernpelajari dari buku-buku kepustakaan. Hal ini dimaksudkan untuk mengadakan perbandingan pendapat-pendapat para sarjana tentang obyek yang di teliti. Dan selanjutnya untuk membandingkan teori dan praktek.
- Wawancara/interview.
Penelitian ini dilakukan dengan cara mewawancarai pejabat yang ada hubungannya dengan obyek yang diteliti, guna melengkapi data-data yang telah ada. Penulis dalam hal ini menggunakan metode wawancara yang tidak berstruktur.
Hal-Hal Yang Ditemukan
- Bahwa secara umum perjanjian leasing hampir sama dengan perjanjian sewa-menyewa, sewa-beli dan yang lainnya. Kualifikasi subyek dan obyeknya yang menentukan perbedaannya.
- Adanya hak optie merupakan sesuatu keharusan untuk dicantumkan dalam suatu ikatan, walaupun pelaksanaan dari ikatan itu sendiri pada waktunya nanti harus berdasarkan pula suatu perjanjian yang terpisah yang terlepas dari Perjanjian Leasing itu sendiri.
Kesimpulan
- Bahwa keberadaan perjanjian leasing di dalam khasanah dunia usaha kita ada1ah merupakan suatu langkah yang positip, karena jeias bisa memenuhi kebutuhan praktek dalam lalu lintas hukum.
- Selain memenuhi kebutuhan dunia usaha kita, perjanjian leasing juga merupakan suatu langkah maju di mana tadinya kecenderungan yang ada dalam masyarakat usaha di Indonesia untuk bertransaksi secara "cash and carry" , dengan adanya perjanjian leasing masyarakat telah lebih terbuka menerima sistim pembayaran secara berkala/kredit, serta secara perlahan-lahan tapi pasti mulai meninggalkan sistim yang lama tadi.
Saran
- Melihat perkembangan usaha jasa leasing dalatn dunia usaha kita, maka pentinglah kiranya pihak yang berwenang dalam hal ini pemerintah untuk membentuk undang-undang
yang khusus mengatur periha1 leasing di Indonesia, serta dilengkapi pula dengan peraturan-peraturan pelaksanaan yang lebih lengkap dan mantap.
- Juga mengenai pengaturan ketenagakerjaan dalam bidang usaha leasing ini perlu ditata lebih baik, mengingat pembangunan yang sedang dijalankan oleh bangsa kita memerlukan lowongan pekerjaan yang sangat banyak, salah satu diantaranya para ahli hukum kita perlu diberi kesempatan yang lebih luas untuk ikut menangani usaha jasa leasing, yang pada saat ini barulah beberapa ahli-ahli dari disiplin ilmu tertentu saja yang diutamakan berkecimpung dalam jenis usaha leasing ini. Juga peng gunaan tenaga-tenaga asing perlu sangat dibatasi mengingat tenaga-tenaga ahli Indonesia sendiri sudah banyak yang mampu menangani hal ini."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1985
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andia Hastriani
"Tesis ini meneliti tentang praktek jaminan fidusia sehubungan dengan pengadaan pesawat udara di Indonesia, khususnya oleh PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk., dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan metode analisis kualitatif. Pesawat udara dgolongkan sebagai benda bergerak dengan kekhususan (sui generis), yang salah satu kekhususannya adalah bahwa pesawat udara harus didaftarkan pada suatu negara. Hukum negara tempat pesawat udara didaftarkan akan berlaku terhadap pesawat udara tersebut dimanapun pesawat itu berada. Konvensi Cape Town mengatur ketentuan-ketentuan umum yang berkaitan dengan hak kebendaan atau jaminan yang diakui secara internasional atas beberapa jenis benda bergerak, termasuk di antaranya pesawat udara. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 merupakan perwujudan dari ratifikasi Konvensi Cape Town dan Protokol Cape Town ke dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan yang telah mencabut Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan, memberikan dampak pada lembaga jaminan atas pesawat udara di Indonesia karena Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tidak menyebutkan secara tegas mengenai lembaga jaminan yang dapat dibebankan atas pesawat udara. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 mengatur bahwa pesawat udara yang didaftarkan di Indonesia dapat dibebankan dengan kepentingan internasional berdasarkan perjanjian hak jaminan kebendaan, perjanjian pengikatan hak bersyarat atau perjanjian sewa guna usaha, perjanjian-perjanjian mana merupakan perjanjian yang digunakan untuk pembiayaan pengadaan pesawat udara; undang-undang ini juga membebaskan para pihak di dalamnya untuk memilih hukum yang digunakan dalam perjanjian tersebut. Dalam praktek pengadaan pesawat udara, banyak perusahaan penerbangan, termasuk Garuda Indonesia, menggunakan skema pembiayaan sewa guna usaha (leasing) dengan jaminan fidusia atas tagihan asuransi dan tagihan reasuransi sebagai lembaga jaminannya. Dalam kaitannya dengan pembebanan jaminan fidusia, notaris memegang peranan sentral karena dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia ditentukan bahwa akta pembebanan jaminan fidusia harus dibuat dalam akta notaris.

This thesis provides a review on fiduciary security on aircrafts acquisition in Indonesia, particularly by PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, by using normative juridical research and qualitative analysis as the preferred methods. An aircraft is categorized as movable goods with specificity (sui generis), one of its specificity is an aircraft must be registered in a nation. Law of a nation in which the aircraft is registered to, shall prevail to the aircraft wherever the aircraft is. Cape Town Convention regulates general provisions on security rights that are recognized internationally for several types of mobile equipments, including aircrafts. Law Number 1 of 2009 is the embodiment of the ratification of the Cape Town Convention and Cape Town Protocol into Indonesian laws and regulations. Law Number 1 of 2009 on Aviation which revoked Law Number 15 of 1992 on Aviation has given an impact on security rights on aircrafts in Indonesia since Law Number 1 of 2009 does not explicitly regulate which security right that can be imposed on aircrafts. Law Number 1 of 2009 determines that aircrafts registered in Indonesia can be encumbered with international interests arising from security agreements, title reservation agreements or leasing agreements, which are utilized to finance the aircraft acquisition; this law also provides that the parties within the relevant agreements are free to choose the governing law for such agreements. In practice, most of airlines companies, including Garuda Indonesia, use financial leasing scheme with fiduciary security on insurance proceeds and reinsurance proceeds as security to acquire aircrafts. With regard to fiduciary security, notaries hold the central role given Law Number 42 of 1999 on Fiduciary Security stipulates that fiduciary security deed must be drawn up in a notarial deed."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28999
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Teti Zekirae
"ABSTRAK
Era informasi ditandai dengan pemanfaatan teknologi informasi (TI) oleh sebagian besar perusahaan dalam upayanya untuk menjadi pemenang diantara sesama pemain dalam industri yang sama. Sejauh ini, pemanfaatan TI untuk kepentingan tersebut seringkali tidak dibarengi dengan penilaian besarnya kontribusi peranan TI terhadap nilai perusahaan itu sendiri. Hal ini dapat dimaklumi mengingat peranan TI adalah modal yang sifatnya abstrak, sementara sampai dengan saat ini, perusahaan masih banyak memfokuskan keberhasilan perusahaannya hanya pada modal yang tangible, dimana pengukuran modal ini tertuang dalam laporan keuangan tahunan perusahaan. Oleh karenanya diperlukan upaya untuk mengukur kontribusi peranan TI. Karena sifatnya yang intangible, maka kontribusi peranan TI harus diukur melalui pengukuran modal perusahaan yang bersifat intangible pula, yaitu melalui pengukuran modal intelektual (MI) yang diterjemahkan kedalam indikator pengukuran.
Dalam tesis ini, dilakukan pengukuran kontribusi TI dalam MI perusahaan pembiayaan, dimana metode pengukuran MI menggunakan model Skandia. Sedangkan pengukuran kontribusi TI dalam MI dilakukan dengan cara pembobotan terhadap MI perusahaan. Data yang dipakai untuk pengukuran adalah data selama tiga tahun terakhir.
Hasil yang diperoleh dari tesis ini antara lain : pemahaman konsep bisnis yang benar merupakan prasyarat awal yang mutlak harus dimiliki dalam proses pengukuran MI, sehingga dapat ditetapkan indikator yang mewakili keadaan perusahaan yang sesungguhnya.; perlu dieksplorasi berbagai metode pengukuran lain untuk melengkapi model Skandia; sebagian besar indikator untuk perusahaan pembiayaan sama dengan indikator yang terdapat pada model Skandia, beberapa indikator yang berbeda adalah indikator yang disebabkau oleh e-business; terdapat dua peran MI dalam menghasilkan nilai bagi perusahaan pembiayaan yaitu sebagai value extracting dan value creating; dan bahwa TI telah berperan dalam menghasilkan nilai, yang tidak hanya berlaku bagi perusahaan yang bisnis utamanya bergerak dalam bidang TI tetapi juga perusahaan yang bisnis utamanya tidak bergerak dalam bidang TI, dalam hal ini, adalah perusahaan pembiayaan.

ABSTRACT
Today, most of companies use information technology (IT) as a tool to bring them to be a winner among other players in the same industry. So far, the companies utilizing IT almost never measure how much the IT contribution in their corporate value. It is because, the IT contribution is a kind of intangible assets; meanwhile many companies only focus on their value from their tangible assets which are put down on an annual financial report. As it has been known that the corporate value is derived from two kinds of capital, those are financial capital and intellectual capital (IC). Financial capital is a kind of tangible asset, whereas IC is a kind of intangible asset. Therefore, in order to know value of the IT contribution is needed to measure intangible assets of the company.
This thesis analyzes and applies a practical way to measure the IT contribution in a leasing company. First step is to measure intangible asset of the company. It is done by measuring IC based on Skandia model and second step is to measure the IT contribution by weighing indicators of the IC.
Among important results of the thesis are the starting point of IC measurement is the company strategy itself, so that it can be determined some IC indicators which are relevant for the company; it is needed to explore other IC measurement methods to complement the Skandia; most of leasing company indicators are same as the indicators of Skandia, some indicators different from the Skandia are indicators related to e-business; there are two roles of IC in generating value for leasing company, those are value extracting and value creating; and the IT contribution in generating value is not limited just for company which its core business is IT, but also for company that its core business is not related to IT."
Jakarta: Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, 2002
T40400
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   4 5 6 7 8 9 10   >>