Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 441 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Patti Arsendra, aurhor
"Latar Belakang: Pilot harus mempunyai tingkat kebugaran jasmani yang optimal. Salah satu indikator untuk menentukan tingkat kebugaran jasmani adalah VO2 maks. Nilai VO2 maks dipengaruhi oleh indeks massa tubuh (IMT), usia, aktivitas fisik dan kebiasaan merokok.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh faktor IMT, usia, aktivitas fisik dan kebiasaan merokok terhadap nilai VO2 maks pilot sipil Indonesia.
Metode: Subjek penelitian ini adalah pilot sipil yang melakukan pemeriksaan kesehatan di Balai Kesehatan Penerbangan pada tanggal 13-24 Mei 2013. Disain penelitian ini adalah potong lintang dengan pengambilan sampel purposif, analisis menggunakan metode regresi linear.
Hasil: Penelitian pada 114 subjek menunjukkan semakin tinggi IMT akan menurunkan nilai VO2 maks [koefisien regresi (-r)= -0,30; 95% Interval Kepercayaan (CI)= -0,62 : 0,016; P= 0,063], semakin tua usia semakin turun nilai VO2 maks (-r= -0,33; 95%CI= -0,44:-0,21; P= 0,000), dan semakin baik status aktivitas fisik akan mempertinggi nilai VO2 maks (r= 2,66; 95%CI= 2.09 : 3.23; P= 0,000) sedangkan kebiasaan merokok tidak terbukti berpengaruh terhadap nilai VO2 maks. Peningkatan 1 poin status aktivitas fisik NASA meningkatkan 2,66 poin nilai VO2 maks, sedangkan peningkatan 1 tahun usia atau 1 poin IMT masing-masing akan menurunkan 0,33 dan 0,30 poin nilai VO2 maks. Indeks Brinkman tidak memperlihatkan pengaruh yang signifikan terhadap nilai VO2 maks.
Kesimpulan: Semakin tinggi nilai IMT, semakin naik usia akan menurunkan nilai VO2 maks. Sedangkan semakin baik aktivitas fisik akan semakin baik nilai VO2 maks.

Background: Pilot should have optimum physical fitness. One indicator to determine physical fitness is VO2 max. Body Mass Index (BMI), age, physical activity and smoking habit can affect VO2 max score. The aim of this study was to find out the effect of BMI, age, physical activity and smoking habit on VO2 max score among civilian pilots in Indonesia.
Method: The subjects of this study were civilian pilots, undergoing medical check up at Balai Kesehatan Penerbangan at May 13-24 2013. This cross- sectional study used purposive sampling method and linear regression to analyze data.
Results: The study with 114 subjects found negative correlation between BMI and VO2 max [regression coefficient (-r)= -0.30; 95% Confidence Interval (CI)= - 0,62 : 0,016; P= 0.063), negative correlation between age and VO2 max (-r= -0.33; 95%CI= -0,44 : -0,21; P= 0,000), positive correlation between physical activity status and VO2 max (-r= 2,66; 95%CI= 2.09 : 3.23; P= 0,000). Smoking habit did not demonstrate significant correlation with VO2 max. One point addition of NASA physical activity status will give 2.66 point elevation of VO2 max, whereas 1 year increasing of age or 1 point increasing of BMI will lower 0.33 and 0.30 point of VO2 max score. Brinkman Index didn’t seem to have significant correlation with VO2 max score.
Conclusion: Increased BMI and age will lower VO2 max score. However, better physical activity increase VO2 max score.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ronald Irwanto Natadidjaja
"Latar belakang : Infeksi kulit dan jaringan lunak komplikata hingga saat ini masih termasuk kasus yang sering dijumpai dalam klinik. Infeksi kulit dan jaringan lunak komplikata kerap kali dapat berakibat fatal. Data yang diperoleh di ruang rawat inap penyakit dalam RSCM menunjukkan lebih dari 200 kasus infeksi kulit dan jaringan lunak komplikata sepanjang tahun 2010, dengan angka kejadian sepsis kurang lebih mencapai sekitar 10%. Manfaat diagnostik kausatif melalui temuan kultur kuman sebaiknya juga dinilai, karena pada kenyataannya, pemberian antibiotik sesuai temuan kultur kuman juga tidak sepenuhnya menjamin menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien, hal ini seringkali dimungkinkan oleh karena banyaknya kesalahan dalam pengambilan dan pelaporan hasil spesimen.
Tujuan : Mengetahui pola sensitifitas dan resistensi mikroorganisme aerob, pola penggunaan antibiotika, serta manfaat kultur pada infeksi kulit dan jaringan lunak komplikata.
Metode : Penelitian merupakan studi kohort retrospektif dengan data sekunder pada pasien- pasien dengan infeksi kulit dan jaringan lunak komplikata yang masuk ke rawat inap penyakit dalam antara bulan Juli 2011 - Juli 2012.
Hasil : Diperoleh 90 subjek penelitian dengan temuan S. aureus dan S.epidermidis merupakan bakteri gram positif yang paling banyak dijumpai. Angka resistensi S. epidermidis terhadap oxacyllin yang dapat menjadi indikator tingginya Methycillin Resistant Staphylococcus epidermidis (MRSE) mencapai 53,8%, sedangkan untuk Methycillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) hanya 15,4%. Bakteri gram negatif yang terbanyak dijumpai adalah Pseudomonas sp yang mencapai 19,5% dari seluruh temuan kultur. Angka resistensi Pseudomonas sp terhadap cephalotin selaku indikator antibiotik beta laktam pada temuan ini mencapai 90%. Pada pemberian antibiotik empirik, kombinasi ampicillin-sulbactam dengan metronidazole menempati urutan tertinggi, yaitu mencapai 63,9%. Penggunaan antibiotik meropenem tunggal tampak mendominasi kelompok dengan eskalasi antibiotik Pada kelompok de-eskalasi antibiotik, 100% subjek diberikan antibiotik tunggal. Ciprofloxacin mendominasi pemberian antibiotik pada kelompok tersebut, yaitu mencapai 32,2% Penilaian manfaat kultur dilakukan dengan terlebih dahulu mengontrol faktor perancu, dan setelah mengontrol variabel perancu, secara statistik tidak ada perbedaan keberhasilan antara antibiotik empirik yang diberikan sesuai kultur dengan antibiotik empirik yang diberikan tidak sesuai kultur. OR pada penelitian ini adalah 0,45 dengan p > 0,05.
Simpulan : Angka resistensi terhadap antibiotik beta laktam yang ditunjukkan oleh bakteri gram positif dan gram negatif cukup tinggi, dengan penggunaan antibiotik empirik yang terbanyak adalah ampisulbaktam dan metronidazole. Penggunaan meropenem tunggal paling banyak dijumpai pada kelompok dengan eskalasi antibiotik, sementara ciprofloxacin tunggal merupakan antibiotik yang paling banyak dijumpai pada kelompok de-eskalasi antibiotik. Pada penelitian ini, secara statistik tidak ada perbedaan keberhasilan antara antibiotik empirik yang diberikan sesuai kultur dengan antibiotik empirik yang diberikan tidak sesuai kultur.

Background: Complicated skin and soft tissue infection is arising as a global problem in worldwide with high fatality rate that should urgently be treated in clinical practice. Cipto Mangunkusumo Hospital, Internal Medicine Ward data showed, there were more than 200 cases during 2010, with 10% sepsis incidence rate. The culture effectiveness should be evaluated, because there are still more bias which frequently happened in sample taking or reporting procedure. This condition evokes high morbidity and mortality.
Aim: To analyze the sensitivity and resistance pattern of aerobic microorganism, empiric antibiotic and culture using in complicated skin and soft tissue infection.
Methods: July 2011-July2012 retrospective cohort study with secondary data of complicated skin and soft tissue infection patients in Cipto Mangunkusumo Hospital Internal Medicine Ward.
Result: There are 90 subjects with S. aureus and S. epidermidis as the highest finding of gram positive culture. S. epidermidis high resistance rate to oxacyllin indicates the high event of Methycillin Resistant Staphylococcus epidermidis (MRSE) infection which reaches 53,8%, for a while only 15,4% of S. aureus that present as Methycillin resistant Staphylococcus aureus (MRSA).Pseudomonas sp that reaches 19,5% is the most frequent of gram negative culture finding. This finding show high indication for beta lactam resistant. The most frequent of empiric antibiotic using is ampicillin-sulbactam in combination with metronidazole that achieves 63,9%. Single meropenem and single ciprofloxacin treatment is a majority issue in group with antibiotic escalation and antibiotic de-escalation. The culture effectiveness is searched after confounding factors statistic reduction done. There are no statistic significant improve for success between appropriate culture based antibiotic and inappropriate culture based antibiotic, with 0,45 OR and p= 0,085.
Conclusion: High resistance to beta lactam showed by both gram positive and gram negative. Ampicillin-sulbactam in combination with metronidazole is the most frequent of empiric antibiotic using, with single meropenem and single ciprofloxacin as a majority use in antibiotic escalation and de-escalation group, and the appropriate culture based antibiotic and inappropriate culture based antibiotic success shows not statistically improve.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dyah Purwaning Rahayu
"Toluena sudah diketahui sebagai toksikan yang dapat menimbulkan toksisitas pada manusia sehingga ditetapkan nilai ambang batas pada pekerja sebesar 50 ppm. Hingga saat ini data mengenai efek pajanan toluena dibawah nilai ambang batas terhadap gangguan pada tingkat molekuler masih terbatas. Penelitian mengenai dosis toluena dibawah nilai ambang batas masih diperlukan sebagai upaya perlindungan yeng lebih baik terhadap pekerja. Penelitian toksisitas pada dosis toluena yang lebih rendah dari nilai ambang batas dapat dilakukan pada hewan coba. Rancangan penelitian eksperimental murni terhadap 30 ekor tikus Wistar jantan dengan tingkat pajanan1,6 ml; 3,2 ml; 6,4 ml; 12,8 ml, dan kontrol. Pajanan dilakukan selama 14 hari berturut-turut dengan durasi 4 jam per hari, dengan mengalirkan toluena cair ke dalam chamber yang dipertahankan pada jumlah yang tetap. Analisis data dilakukan untuk memperoleh perbandingan jumlah sel Sertoli dan kadar malondyaldehide (MDA) testis antar kelompok penelitian dengan uji ANOVA, untuk mengendalikan faktor suhu dan kelembaban lingkungan digunakan uji MANOVA. Jumlah sel Sertoli pada kelompok 1,6 ml; 3,2 ml; 6,4 ml; 12,8 ml; dan kelompok kontrol masing-masing nilai memiliki nilai mean 2,35 per 10 lapang pandang; 4,47 per 10 lapang pandang; 4,08 per 10 lapang pandang; 5 per 10 lapang pandang; dan 4;83 per 10 lapang pandang yang secara statistik tidak bermakna pada p=0,067. Kadar MDA testis pada kelompok 1,6 ml; 3,2 ml; 6,4 ml; 12,8 ml; dan kelompok kontrol untuk masing-masing kelompok memiliki nilai median 0,10 mmol/mg; 0,9 mmol/mg; 0,12 mmol/mg; 0,06 mmol/mg; dan 0,07 mmol/mg, yang secara statistik tidak bermakna pada nilai p= 0,856. Disimpulkan dosis pajanan kurang dari sama dengan 12,8 ml tidak menyebabkan perubahan kadar MDA testis dan penurunan jumlah sel sertoli.

Toluene has known as toxicant that can cause human toxicity which the treshold is 50 ppm. Nowadays, we have lacked data of effects of toluene exposure below the treshold that can lead mollecular disturbances. The experiment of toluene exposure below the treshold is necessary to prevent the workers. The experiment of toluene toxicity by toluene exposure below the treshold can do in animal. The true experimental study of 30 male Wistarrats, administered by 1,6 ml; 3,2 ml; 6,4 ml; and 12,8ml toluene liquid and control. Exposure given by flows the liquid toluene on the chamber with the duration of 4 hours per day, for 14 consecutive days. Statistical analysis to comparation the Sertoli cel and malondialdehyde (MDA) level in each group do by ANOVA test and MANOVA test do to control the environment. Sertoli cel on each group 1,6 ml; 3,2 ml; 6,4 ml; 12,8 ml; and control has each mean 2,35 per 10 field of view; 4,47 per 10 field of view; 4,08 per 10 field of view; 5,00 per 10 field of view; and 4;83 per 10 field of view, which is not significants in p=0,067. The testicular MDA level on each group 1,6 ml; 3,2 ml; 6,4 ml; 12,8 ml; and control has each median 0,10 mmol/mg; 0,09 mmol/mg; 0,12 mmol/mg; 0,06 mmol/mg; and 0,07 mmol/mg, which is not significants in p=0,856. Conclutions the exposure dose less then equal to 12,8 ml cannot lead the testicular MDA level and decreasing of Sertoli cells
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Khomimah
"Penyandang diabetes melitus (DM) mempunyai risiko tinggi mengalami penyakit kardiovaskular (PKV), yang progresivitasnya dipercepat oleh penurunan kapasitas fibrinolisis. Penyandang DM yang berpuasa Ramadhan mengalami berbagai perubahan yang dapat memengaruhi kendali glikemik dan status fibrinolisisnya. Penelitian ini bertujuan mengetahui penurunan fruktosamin dan plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1), dengan metode kuasi eksperimental one group design self control study pada penyandang DM tipe-2 yang berpuasa Ramadhan dan berusia 40-60 tahun. Hasil penelitian ini menunjukkan sebagian besar subjek memiliki 3 faktor risiko PKV dan dengan kendali glikemik yang jelek sebelum puasa Ramadhan. Terdapat penurunan yang bermakna pada glukosa puasa plasma, tetapi tidak bermakna pada glukosa darah 2 jam setelah makan. Tidak terdapat perbedaan asupan kalori pada 18 subjek yang dianalisis. Tidak didapatkan penurunan yang bermakna pada fruktosamin serum maupun PAI-1 plasma. Kendali glikemik yang dicapai sebelum dan asupan kalori selama berpuasa Ramadhan kemungkinan merupakan faktor yang memengaruhi penurunan fruktosamin. Selain glukosa darah, faktor yang memengaruhi kadar PAI-1 plasma di antaranya adalah insulin plasma, angiotensin II, faktor pertumbuhan dan inflamasi, yang tidak diukur dalam penelitian ini.

Diabetes mellitus (DM) have a high risk of cardiovascular disease (CVD). CVD progression is accelerated by the reduction in the capacity of fibrinolysis. Persons with DM who fasting Ramadan have a variety of changes that can affect glycemic control and status of fibrinolysis. To know decreased fructosamine and plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1), with the method of quasi-experimental one-group design with self-control study in type-2 diabetes who were fasting Ramadhan, and aged 40-60 years. These study showed most of the subjects had 3 risk factors for CVD and with poor glycemic control before the fasting of Ramadan. There was a significant decreased in fasting plasma glucose, but not significantly decreased in blood glucose 2 hours post meal. There was no difference in calorie intake in 18 subjects who were analyzed. There were no significant reductions in serum fructosamine and plasma PAI-1. Glycemic control achieved before and calorie intake during Ramadan fasting is possible factors that affect fructosamine decreased. In addition to blood glucose, factors that affect the levels of PAI-1 plasma including plasma insulin, angiotensin II, growth factors and inflammation, which were not measured in this study.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Riesye Arisanty
"Latar Belakang : Pemahaman mengenai karakteristik biologik dan faktor prognostik melanoma malignum yang merupakan tumor ganas melanositik merupakan hal yang penting karena berhubungan dengan pemilihan terapi serta kesintasan penderita. Agresivitas tumor dapat dinilai dari beberapa faktor histopatologik, antara lain: ada tidaknya ulserasi, aktivitas mitosis, dan keterlibatan kelenjar getah bening. Ekspresi protein p16 dan ki67 merupakan beberapa marker yang memiliki peran dalam prediktif prognostik melanoma malignum.
Tujuan : Mengetahui hubungan antara ekspresi protein p16 dan Ki67 pada beberapa faktor prognostik histopatologik yang dapat digunakan sebagai penanda agresivitas tumor yaitu ulserasi, aktivitas mitosis dan metastasis pada tumor primer melanoma malignum jenis nodular.
Metode : Penelitian ini merupakan studi potong lintang dengan metode imunohistokimia menggunakan p16 dan Ki67 pada 25 kasus melanoma malignum jenis nodular.
Hasil : Ekspresi protein p16 negatif pada 40% kasus melanoma ulseratif dan 52% kasus dengan aktivitas mitosis tinggi, dan 16% kasus pada metastasis kgb. Ekspresi Ki67 positif pada 44% kasus melanoma dengan aktivitas mitosis tinggi, dan 20 % kasus melanoma metastasis serta 32% kasus dengan ulserasi.
Kesimpulan : Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara ekspresi p16 dengan gambaran ulserasi, aktivitas mitosis tinggi, dan metastasis kgb pada melanoma malignum kulit jenis nodular. Tidak terdapat hubungan antara ekspresi Ki67 dengan gambaran ulserasi, aktivitas mitosis tinggi serta metastasis kgb pada melanoma malignum kulit jenis nodular.

Background : To understanding about biological behaviour and prognostic factor of melanoma malignum as a malignant tumor from melanocyte is important, because its relationship with choise of therapy and survival of the patiens. The aggresivity of the tumour, can be predicted from several prognostic factors: ulceration of the tumour, mitotic activity, and lymph nodes metastasis. P16 and Ki67 protein expressions can be used as a prognostic markers in cutaneous nodular melanoma malignum.
Aim : Assesing p16 and Ki67 protein expression and its relatinoship with several histopatological prognostic factors as a marker of aggressiveness of the tumors: ulceratin, mitotic activity, and lymph nodes metastasis in cutaneous nodular melanoma malignum.
Metode : This was a cross-sectional study on 25 cases of nodular melanoma, stained with p16 and ki67 antibody with immunohistochemical methods.
Result : P16 negative expression can be found in 40% of ulcerated melanoma cases, and 52% cases with high mitotic activity and 16% of cutaneous nodular melanoma with lymph nodes metastasis. Ki67 positive expression was found in 44% of cases with high mitotic activity, 20% cases of metastasis melanoma and 32% cases in ulcerated melanoma.
Conclusion : There was no statistically significant association between p16 expression with ulcerated melanoma, high mitotic activity,and metastatic melanoma in lymph nodes. Also no statistically significant between Ki67 expression with ulcerated melanoma, high mitotic activity and lymph nodes metastatic melanoma.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wiji Lestari
"Malnutrisi merupakan salah satu masalah penting yang sering terjadi pada pasien dengan penyakit gagal jantung kronik. Perubahan neurohormonal dan reaksi inflamasi yang terjadi menyebabkan serangkaian perubahan metabolisme. Kondisi ini jika tidak diimbangi asupan nutrisi yang adekuat akan terjadi kaheksia kardiak. Adanya kaheksia kardiak terbukti meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Laporan serial kasus ini memaparkan empat kasus pasien gagal jantung kongestif dengan etiologi penyakit jantung hipertensi disertai berbagai kondisi penyerta. Semua pasien telah mengalami kaheksia kardiak sehingga memerlukan dukungan nutrisi selama perawatan.
Masalah yang turut menyertai dan berkaitan erat dengan nutrisi pada keempat pasien adalah infeksi, anemia, hipoalbuminemia, gangguan fungsi ginjal, gangguan fungsi hati, keseimbangan cairan dan elektrolit serta defisiensi mikronutrien tertentu serta nutrien spesifik. Penentuan kebutuhan energi total dihitung berdasarkan rumus Harris Benedict disesuaikan dengan faktor stres tergantung beratnya kasus dan kondisi penyerta. Pemberian protein disesuaikan dengan fungsi ginjal pada masing-masing pasien. Restriksi cairan dan natrium disesuaikan dengan keadaan retensi cairan, keadaan hiponatremia dan respon terhadap diuretik yang diberikan. Pemberian mikronutrien tertentu dan nutrien spesifik belum sepenuhnya dapat dilaksanakan pada keempat kasus.
Monitoring dan evaluasi yang diberikan meliputi klinis, antropometri terutama perubahan berat badan akibat retensi cairan, toleransi asupan, keseimbangan cairan dan kapasitas fungsional. Selama pemantauan didapatkan peningkatan asupan nutrisi dengan toleransi yang baik disertai dengan perbaikan klinis, kapasitas fungsional dan kondisi metabolik. Tata laksana penyakit primer yang adekuat disertai dukungan nutrisi yang optimal menghasilkan outcome yang baik selama perawatan. Perlu penatalaksanaan nutrisi berkelanjutan untuk mempertahankan status nutrisi, membantu mengontrol progresifitas penyakit dan mengendalikan komplikasi.

Malnutrition is the one of the most important problem which is frequently occurred in chronic heart disease patients. Neurohormonal changes and inflammatory reactions which developed will cascading metabolism shifts. If this condition is not followed by adequately nutrition intake, patients will have cardiac cachexia. The present of cardiac cachexia is evidenced in increasing the morbidity and mortality. This case series described four congestive heart failure patients which caused by hypertensive heart disease with various morbid conditions. All of the patients had cardiac cachexia and require nutritional support during the inward.
Several problems accompany and strongly relate with nutritional aspect in this cese series were infection, anemia, hypoalbuminemia, renal dysfunction, hepatic dysfunction, water and electrolyte imbalance, and specific micronutrient and nutrient deficiency. Total energy needs based on Harris Benedict formula and stress factors depend on case severity and other morbid conditions. Protein requirement adjusted to renal function for every patient. Water and sodium restriction adjusted to water retention, hyponatremia, and given diuretic responses conditions. Specific micronutrient and nutrient were not fully maintained in those four cases.
Monitoring and evaluation of this case series including clinical, antropometry especially weight changes due to water resistance, tolerance of intake, water balance and functional capacity conditions. During follow up, the improvement of nutrition intake and tolerance were developed as good as improving clinical, functional capacity, and metabolic condition. Adequate treatment for primary disease accompanied by optimal nutritional support resulted great outcome during inward. Further nutritional support are required to maintain nutritional status, help controlling disease progression, and control complications.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Migunani Utami
"Latar belakang: Abnormalitas pemulihan laju jantung (PLJ) setelah uji treadmill yang dapat terjadi di antara penerbang merupakan prediktor penyakit jantung koroner. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi beberapa faktor risiko terhadap PLJ setelah uji treadmill pada penerbang sipil di Indonesia.
Metode: Penelitian potong lintang dengan purposive sampling di antara penerbang sipil berusia 35-65 tahun yang melakukan pemeriksaan kesehatan berkala di Balai Kesehatan Penerbangan, Jakarta tanggal 5-21 Mei 2014. Data demografi dan pekerjaan diperoleh dari kuesioner yang diisi langsung oleh subyek. Hasil pemeriksaan fisik, uji treadmill dan laboratorium diambil dari rekam medik. Definisi PLJ adalah perbedaan denyut per menit (dpm) antara laju jantung maksimal selama uji treadmill dengan laju jantung pada menit ke-2 periode pemulihan. Analisis dilakukan dengan regresi linier.
Hasil: Selama periode penelitian terdapat 207 penerbang yang menjalani uji treadmill, 180 orang di antaranya bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini, sedangkan yang memenuhi kriteria 158 orang. Faktor-faktor dominan yang memperlambat PLJ adalah indeks massa tubuh (IMT), usia, jam terbang dalam 24 jam terakhir, dan tekanan darah diastolik sebelum treadmill. Peningkatan 1 kg/m2 IMT, 1 tahun usia, 1 jam terbang dalam 24 jam terakhir dan 1 mmHg tekanan darah diastolik sebelum treadmill masing-masing memperlambat PLJ sebesar 1,07 dpm (β = -1,068; p = 0,000), 0,46 dpm (β = -0,464; p = 0,000), 0,44 dpm (β = -0,436; p = 0,019), dan 0,30 dpm (β = -0,296; p = 0,000).
Simpulan: Peningkatan IMT, usia, jam terbang dalam 24 jam terakhir, dan tekanan darah diastolik sebelum treadmill akan memperlambat PLJ.

Background: Abnormalities of heart rate recovery (HRR) after exercise treadmill test (ETT) that can occur among pilots is a predictor of coronary artery disease. This study aims to identify some risk factors to HRR after ETT on commercial pilots in Indonesia.
Methods: A cross-sectional study with purposive sampling among 35-65 years old commercial pilot who perform periodic medical check-up at Civil Aviation Medical Center, Jakarta on May 5th-21th 2014. Demographic and job data obtained from questionnaires completed by the subjects directly. Results of physical examination, laboratory and ETT taken from medical records. Heart rate recovery was defined as difference of beat per minute (bpm) between peak exercise heart rate and 2 minute post exercise. Data were analyzed with linear regression.
Results: During the study period there were 207 pilots underwent ETT, 180 of them were willing to participate in this study, and 158 participants met the criteria. Dominant factors that delayed HRR is body mass index (BMI), age, flight time in the last 24 hours and resting diastolic blood pressure. Increasing of 1 kg/m2 BMI, 1 year age, 1 hour flight time and 1 mmHg resting diastolic blood pressure will delayed HRR 1,07 bpm (β = -1,068; p = 0,000), 0,46 bpm (β = -0,464; p = 0,000), 0,44 bpm (β = -0,436; p = 0,019) and 0,30 bpm (β = -0,296; p = 0,000) respectively.
Conclusion: Increasing of BMI, age, flight time in the last 24 hours before ETT, and resting diastolic blood pressure will delayed HRR.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Erlangga, 2012
616.025 TEK t III (1)
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Hall, John E. (John Edward), 1946-
Singapore: Saunders, 2014
612 HAL g
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Lloyd, Margaret
Edinburgh : Churchill Livingstone, 2009
610.696 LLO c
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>