Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 56 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Banduningsih Rahayu
"Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi persebaran pusat kota di DKI Jakarta berdasarkan tiga sudut pandang, yaitu empiris, keilmuan, dan kebijakan publik. Selain menggunakan metode overlay peta, penelitian ini juga menggunakan menggunakan Teknik Delphi terutama untuk mengumpulkan pendapat ahli planologi, arsitektur, dan sosiologi mengenai kriteria dan lokasi pusat kota di DKI Jakarta. Sementara itu, sudut pandang empiris dilandasi oleh teori kota inti berganda, sedangkan sudut pandang kebijakan publik ditinjau berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta Tahun 2010. Semua data yang diperoleh kemudian disintesiskan sehingga menghasilkan pandangan utuh mengenai pusat kota.
Hasil penelitian ini memperlihatkan ada 14 lokasi pusat kota yang terbagi menjadi : 6 lokasi pusat perkantoran yang tersebar baik di bagian tengah maupun di sisi barat dan timur kota; 6 lokasi pusat perdagangan dan komersil yang tersebar memanjang dari utara hingga ke tengah kota; 4 lokasi pusat industri yang tersebar di bagian barat dan timur kota; dan 2 lokasi pusat hiburan dan jasa yang tersebar di bagian tengah kota. Pusat kota yang sesungguhnya di DKI Jakarta adalah di kawasan Sudirman - Thamrin.

This study aims the distribution center city in DKI Jakarta. Jakarta City Center examined using the method Technuique Delphy (Delphi technique) to assess the arguments of experts urban design, architecture, and sociology through the interview process. The results of these interviews will be obtained based on the views of the city center of scientific fields. Empirical point of view obtained through the theory of multiple core city sedangakn public policy point of view seen by Spatial Plan of DKI Jakarta in 2010. Data obtained in the form of each view of city center synthesized or combined to produce acomplete view of city center.
The results obtained there are 14 city center locations which are divided into several functions of 6 as a central office locations spread across the central part of town, west side, and east of the city; 6 locations as trade and commercial center of the scattered extends from north to city center; 4 locations as scattered industrial centers in western and eastern cities, and 2 locations as a center of entertainment and services that are scattered in the middle of town.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2011
S42404
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Evelyn Yuliusman
"Praktek kefarmasian dan standar pelayanan kefarmasian harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan wewenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan, yaitu Apoteker. Agar dapat menjalankan pekerjaan tersebut, Apoteker harus memiliki pengetahuan yang cukup dan pengalaman praktis dalam mengelola apotek dan sediaan farmasi. Oleh sebab itu, selama bulan April 2016 dilakukan praktek kerja profesi apoteker di Apotek Atrika, Jalan Kartini Raya No. 34A Mangga Besar. Pelaksanaan praktek kerja ini dilakukan agar mahasiswa dapat memahami tugas dan fungsi Apoteker Pengelola Apotek (APA) dalam menjalankan pelayanan kefarmasian di apotek. Dari hasil praktek kerja profesi, diketahui bahwa tugas dan tanggung jawab Apoteker meliputi pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai, serta pelayanan farmasi klinis. Apoteker juga berperan sebagai pemberi layanan, pengambil keputusan, komunikator, pemimpin, pengelola, pembelajar seumur hidup dan peneliti. Wawasan, pengetahuan dan pengalaman praktis yang diperoleh selama PKPA antara lain dalam hal pengkajian resep, penyiapan resep, dispensing, pemberian informasi obat, pelayanan swamedikasi, pemusnahan resep, pengelolaan stok obat, serta pelaporan Narkotika dan Psikotropika menggunakan SIPNAP secara online. Permasalahan yang ada dalam praktek kefarmasian antara lain adalah terjadinya kekurangan stok karena pengadaan obat yang dilakukan secara sentral dan menggunakan metode pola konsumsi.

Pharmaceutical service and pharmaceutical care have to be done by pharmacists, health workers who have skill and knowledge in pharmaceutical area. Pharmacists have to possess sufficient knowledge and practical experience in managing pharmacy and pharmaceutical products to fulfill their role. Thus, an internship in Atrika Apotek in Kartini Raya No 34A, Mangga Besar was done during April 2016. Internship was done to understand the role and function of head pharmacist in implementing pharmaceutical care in pharmacy. From the internship, the task and responsibility of pharmacists such as managing pharmaceutical products, health tool, and disposable medical devices; as well as implementing clinical pharmacy was known. Pharmacists also have role as service deliver, decision maker, communicator, leader, manager, life time learner, and researcher. Insight, knowledge and practical experiences that were obtained are prescription assessment; prescription compounding and dispensing; medicine information; self medication; prescription disposal; medication supply management; and narcotics psychotropics reporting using online SIPNAP. The problem with current pharmaceutical practice that was observed is low medication supply due to central medicine procurement using consumption method.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2016
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Evelyn Yuliusman
"Dinas kesehatan merupakan instansi daerah yang mempunyai tugas utama melakukan pembinaan dan pengawasan setiap kegiatan yang berhubungan dengan sumber daya di bidang kesehatan dan upaya kesehatan. Instansi ini membutuhkan pekerja berupa tenaga kesehatan termasuk apoteker agar dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Oleh sebab itu, dilakukan praktek kerja profesi apoteker di Suku Dinas Kesehatan Kota Administratif Jakarta Pusat yang bertujuan untuk memahami peran, tugas dan tanggung jawab apoteker di instansi pemerintahan; memiliki pengetahuan tentang tupoksi instansi pemerintahan di bidang farmasi; serta memiliki wawasan, pengetahuan, ketrampilan dan pengalaman praktis melakukan pekerjaan di instansi pemerintahan. Praktek kerja profesi dilakukan pada tanggal 18-29 Januari 2016. Dari hasil praktek kerja profesi, diperoleh pengetahuan bahwa peran, tugas dan tanggung jawab apoteker di instansi pemerintahan seperti Suku Dinas Kesehatan antara lain pengawasan, pengendalian, monitoring dan evaluasi perizinan dan non perizinan pada sumber daya kesehatan; memberikan rekomendasi kepada PTSP dalam rangka penetapan dan pemberian sanksi atas pelanggaran dan penyalahgunaan perizinan dan non perizinan pada sumber daya kesehatan; serta pengelolaan persediaan obat dan perbekalan kesehatan pada lingkup kota administrasi. Tupoksi Suku Dinas Kesehatan di bidang farmasi antara lain melakukan binwasdal terhadap sarana farmasi dan sarana kesehatan; pengelolaan obat buffer dan obat program; monitoring harga obat generik; rekpitulasi laporan POR dan persentase penggunaan obat generik; pembuatan LPLPO serta laporan ketersediaan obat di puskesmas; analisa dan verifikasi RKO di puskesmas dan RSUD; serta analisa dan pelaporan SIPNAP sarana pelayanan kefarmasian. Pekerjaan di instansi pemerintahan yang dilakukan selama PKPA antara lain rekapitulasi data POR puskesmas, rekapitulasi data jumlah tenaga kesehatan puskesmas dan kegiatan binwasdal ke apotek. Ada pun masalah kefarmasian di pemerintahan yang diamati antara lain kurangnya jumlah apoteker yang bekerja di pemerintahan.

Health Department is a district institute which main purpose is to develop and supervise all activity realted to health resources and health effort. This institute need health workers, including pharmacist, to fulfill it's purpose. Thus, internship in Jakarta Pusat Health Department was done in order to understand the pharmacist role, task, and responsibility in government institute as well as attaining knowledge, insight, skill and practical experience in working in governmental institution. The internship was done from 18 to 29 January 2016. From the internship, it is known that pharmacist role, task and responsibility in governmental institution like health department are mentoring, supervising, monitoring and evaluating license and non-license matter for health resources; giving recommendation for PTSP in establishing and imposing sanction for licensing and non licensing related offense and misuse for health resources; also manage medicine and health products supplies in the administration town. The task and function of the health department are mentoring, supervising and controlling the pharmacy and health institutions; managing buffer stock and program's medicine; monitoring generic medicine price; POR report recapitulation; generic medicine usage percentage; making LPLO and medicine supply in community health center and RSUD; also analysing and reporting the SIPNAP. Work in government institution that was done were POR data recapitulation; health workers number in community health center recapitulation; and mentoring, supervising, monitoring a pharmacy. The pharmaceutical problem government institution that was observed was the limited number of pharmacist.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2016
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Asrika Mutiara
"ABSTRAK
Nama : Asrika MutiaraNPM : 1606814873Program Studi : ApotekerJudul Laporan : Praktek Kerja Profesi di Suku Dinas Kesehatan Kota Administrasi Jakarta Pusat Periode Bulan Oktober Tahun 2016 Praktek Kerja Profesi Apoteker PKPA dilaksanakan di Suku Dinas Kesehatan Kota Administrasi Jakarta Pusat pada 10 Oktober 2016 hingga 27 Oktober 2016. Tujuan dilaksanakannya Praktek Kerja Profesi di Suku Dinas Kesehatan Kota Administrasi Jakarta Pusat agar calon Apoteker mampu memahami peranan, tugas dan tanggung jawab apoteker di Suku Dinas Kesehatan; memiliki pengetahuan tentang tugas pokok dan fungsi Suku Dinas Kesehatan di bidang farmasi; memiliki wawasan, pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman praktis melakukan pekerjaan kefarmasian di Suku Dinas Kesehatan; dan memiliki gambaran nyata tentang permasalahan kefarmasian di Suku Dinas Kesehatan. Kegiatan yang dilakukan selama praktek kerja profesi di Suku Dinas Kesehatan Kota Administrasi Jakarta Pusat meliputi pemberian materi tugas dan fungsi masing-masing subseksi di seksi Sumber Daya Kesehatan, mengikuti rekomendasi teknik dan pembinaan, pengawasan, pengendalian oleh subseksi Farmakmin, lokakarya, dan praktek kerja di puskesmas kecamatan Senen. Kata Kunci : Suku Dinas Kesehatan Kota Administrasi Jakarta Pusat, Praktek Kerja Profesixiv 56 : 26 LampiranReferensi : 19 2002-2016

ABSTRACT
Name Asrika MutiaraNPM 1506814873Study Program ApothecaryTitle Internship at Regional Health Departement of Central Jakarta Period October 2016 Internship at Regional Health Departement of Central Jakarta was started on October, 10th 2016 to October, 27th 2016. This internship was intended to make Apotechary student understand roles, assignments and responsibilities of apotechary in Regional Health Departement to get knowledges about principal assigment and function of Regional Health Departement in pharmaceutical fields, to get insights , knowledges, skills, and practical experience to perform pharmaceutical practice in Regional Health Departement and to gets an overview about pharmaceutical practice issues in Regional Health Departement. Activities at Regional Health Departement were assignments and function each subsections in Health Resources section, technical recommendation and managing, monitoring, controlling by Farmakmin subsection, workshop, and work practiced in Community Health Center of Senen Region. Keywords Regional Health Departement of Central Jakarta, Profession Internshipxiv 56 26 AppendicesBibliography 19 2002 2016 "
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2017
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Cesa Radita Putra
"Setiap orang berhak atas kesehatan dan mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan, pelayanan yang aman, bermutu dan terjangkau serta berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan. Pemerintah bertanggung jawab untuk merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, membina dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata. Penyelenggaraan upaya kesehatan di DKI Jakarta dilakukan oleh Dinas Kesehatan yang dalam melaksanakan tugasnya dibentuk unit kerja pada kota administrasi yaitu Suku Dinas Kesehatan. Di dalam struktur organisasi Suku Dinas Kesehatan terdapat peran apoteker terutama pada seksi Sumber Daya Kesehatan yang meliputi sub seksi Farmasi, Makanan, dan Minuman. Oleh sebab itu, Praktek Kerja Profesi PKP di Pemerintah dapat membuat mahasiswa mengetahui dan mendalami tugas serta peran Apoteker di Pemerintahan. Kegiatan yang dilakukan selama PKP antara lain kegiatan pembinaan, pengawasan dan pengendalian sarana kefarmasian, makanan dan minuman; pengelolaan persediaan farmasi, notulensi sosialisasi pencabutan izin apotek rakyat serta kegiatan pelayanan resep, administrasi puskesmas, dan pengelolaan sediaan farmasi di Puskesmas Kecamatan Menteng. Tugas khusus yang diberikan yaitu membandingkan tugas dan peran Apoteker di Puskesmas dengan PMK No. 74 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas.

Everyone is entitled to health and has equal rights in obtaining access to resources in the areas of health, safe, quality and affordability and self sufficiency and is responsible for self determination of necessary health services. Governments are responsible for planning, organizing, organizing, fostering and supervising the implementation of equitable health efforts. Implementation of health efforts in DKI Jakarta conducted by the Department of Health in carrying out its duties established a working unit in the city administration of the Health Office. In the organizational structure of the Health Office there is the role of pharmacist especially in Health Resources section covering sub section of Pharmacy, Food and Beverage. Therefore, the Profession Practice PKP in Government can make students know and deepen the task and role of Pharmacist in Government. Activities undertaken during the PKP include coaching activities, supervision and control of pharmaceutical, food and beverage facilities Pharmaceutical supply management, socialization notification of revocation of people 39 s pharmacy permit as well as prescription service activities, administration of puskesmas, and management of pharmaceutical preparations in Puskesmas Kecamatan Menteng. Specific task given is comparing task and role of pharmacist in health center with PMK no. 74 tahun 2016 Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2017
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rr. Katrina Ardhanari
"Penelitian ini dibuat berdasarkan permasalahan pokok yang dihadapi dalam menerapkan Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta Nomor 7 Tahun 1998 dan pengaruhnya terhadap tingkat penerimaan Pajak Hiburan di Kotamadya Jakarta Pusat. Permasalahan tersebut meliputi; pertama realisasi penerimaan Pajak Hiburan pada Suku Dinas Pendapatan Daerah Kotamadya Jakarta Pusat tahun /1995/1996 ski tahun 1999/2000 yang mengalami penurunan. Kedua. realisasi penerimaan Pajak Hiburan yang dikaitkan dengan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya. Ketiga, sampai seberapa besar tunggakan Pajak Hiburan setelah diberlakukannya Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta Nomor 7 Tahun 1998. Keempat, usaha-usaha apa saja yang dilakukan agar Wajib Pajak Iebih patuh didalam mernenuhi kewajiban pembayaran pajak hiburan. Terakhir, adalah tindakan apa yang dilakukan apabila tunggakan pajak tidak dapat ditagih lagi.
Tujuan penelitian dimaksudkan, pertama untuk mengetahui realisasi penerimaan Pajak Hiburan sebelum dan sesudah diberlakukannya Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta Nomor 7 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Hiburan dan Pajak Hiburan, yaitu tahun 1995/1996 s/d tahun 1999/2000. Kedua mengetahui sampai sejauh mana realisasi penerimaan Pajak Hiburan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Ketiga, mengetahui dan mengevaluasi besarnya tunggakan pajak. Keempat, mengetahui sejauh mana usaha-usaha yang ditempuh terhadap Wajib Pajak Hiburan yang menunggak pajaknya. Terakhir, mengevaluasi tindakan apa yang dilakukan apabila tunggakan pajak tidak dapat ditagih lagi.
Metode yang digunakan adalah bersifat deskriptif dengan teknik analisisi kualitatif dan kuantitatif. Selain itu, menggali dari beberapa literatur yang berhubungan erat dengan pajak hiburan dan Peraturan-Peraturan tentang Pajak Hiburan. Data dikumpulkan melalui wawancara langsung dengan pejabat Suku Dinas Pendapatan Daerah Kotamadya Jakarta Pusat dan beberapa Wajib Pajak.
Hasil penelitian menunjukkan realisasi penerimaan Pajak Hiburan selalu memenuhi sasaran. kecuali realisasi penerimaan 1997/1998. Jumlah Wajib Pajak yang menunggak secara keseluruhan hanya 5,4% dimana 8 Wajib Pajak telah tutup. Realisasi penerimaan 1999/2000 lebih besar dibanding rencana penerimaan 1999/2000. Realisasi penerimaan 1999/2000 lebih besar dibanding realisasi penerimaan 1998/1999, Hal ini penerapan Peraturan Daerah Nornor 7 Tahun 1998 cukup efektif untuk meningkatkan penerimaan Pajak Hiburan. Adapun rekomendasi yang diajukan antara lain, sebaiknya Suku Dinas memiliki kewenangan sendiri dalam menangani tunggakan pajak."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T391
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Malik
"Program Rumah Singgah dalam memberdayakan anak jalanan adalah merupakan salah satu program jaring pengaman sosial (JPS) yang diluncurkan Pemerintah. Program tersebut dimaksudkan untuk mengurangi dampak krisis yang melanda Indonesia sejak tahun 1997, yang sampai saat ini masih belum pulih. Disamping melalui rumah singgah, upaya menangani anak jalanan telah pula dilakukan oleh berbagai instansi pemerintah dan lembaga masyarakat sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing.
Banyaknya lembaga sosial kemasyarakatan (LSK) yang terlibat dalam mendirikan dan mengelola rumah singgah, disatu pihak adalah merupakan pertanda baik yaitu adanya kepedulian pada hal-hal yang bersifat kemanusiaan. Namun dipihak lain banyak pula diantara mereka yang tidak didukung oleh komitmen moral dan professional yang memadai. Akibatnya banyak rumah singgah dikelola seadanya, terkadang menyalahgunakan paket dana operasional yang disediakan pemerintah. Disamping itu ada pula oknum rumah singgah yang memperlakukan anak jalanan secara tidak wajar. Hal ini diperparah lagi dengan tidak adanya seleksi yang ketat dan tidak berfungsinya kontrol dari pemerintah. Lemahnya kontrol pemerintah karena disain program tidak didukung dengan sistem pengawasan dan pengendalian yang baik. Akibatnya suatu rumah singgah sangat tergantung dari kualitas para pengelolanya semata. Secara umum pelaksanaan operasional rumah singgah ditentukan oleh unsur-unsur, yaitu kebijaksanaan pemerintah, disain program, anak jalanan, komunitas lokal serta pengelolaan rumah singgah itu sendiri.
Berkenaan dengan hal tersebut penelitian yang penulis lakukan adalah bertujuan untuk mengungkap gambaran manajemen sosial rumah singgah. Untuk itu penulis meneliti salah satu diantara rumah singgah yang ada. yaitu rumah Singgah Bina Masa Depan (RSBMD) yang terletak di JI. Paseban Raya No. 59 Jakarta - Pusat.
Dari hasil penelitian secara umum diperoleh kesimpulan bahwa pengelolaan rumah singgah dipengaruhi beberapa unsur yang saling terkait satu sama lainnya. Unsur-Unsur tersebut meliputi ; latar belakang LSK sebagai lembaga yang mendirikan rumah singgah, model manajemen yang dikembangkan, tenaga pengelola sebagai pelaksana, komunitas dan sumber-sumber setempat, serta pedoman atau petunjuk teknis yang ditetapkan.
Diperoleh data bahwa Pengelolaan RS-BMD secara internal yang dilaksanakan selama ini berlangsung dalam suasana kekeluargaan. Artinya setiap petugas dapat mengerjakan semua tugas secara bersama-sama atau sendiri-sendiri. Sistem administrasi, ketatausahaan dan pencatatan terhadap semua aktifitas dan asset, serta pendokumentasian, belum ditata dan terlaksana sebagaimana selayaknya suatu lembaga yang professional dalam pengaturan manajemen modern.
Sistem perencanaan, pengorganisasian, pengendalian, pengawasan belum berjalan, terutama yang bersifat eksternal. Dalam merekrut tenaga pengelola, khususnya pekerja sosial dan tenaga administrasi, tidak dilakukan seleksi secara ketat guna memperoleh tenaga professional. Hal ini terjadi karena imbalan yang disediakan sangat rendah dan tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan minimal di Jakarta. Dalam memenuhi keperluan yang dibutuhkan RSBMD, sepenuhnya sangat tergantung pada Yayasan. Dukungan komunitas sekitar terhadap RS-BMD belum memadai. Dukungan dan kerjasama dengan pihak-pihak atau lembaga lain masih bersifat pasif. Artinya, dukungan dan kerjasama muncul bila diminta oleh pengelola RS-BMD.
Walaupun dengan pengelolaan yang demikian ternyata 98 orang anak jalanan yang menjadi dampingan RS-BMD, dapat memperoleh pemberdayaan dalam bentuk beasiswa, usaha ekonomi produktif dan latihan keterampilan. Padahal jumlah yang ditargetkan hanya 44 orang anak. Mereka dapat menjalani pendidikan formal dari tingkat SD, SLTP sampai dengan SLTA sebanyak 54 orang. Disamping itu terdapat tiga kelompok usaha dan yang lainnya dapat mengikuti latihan keterampilan dan memperoleh dampingan. Selain pemberdayaan pada anak jalanan juga dilakukan pemberdayaan pada orang tua anak jalanan.
Berdasarkan hasil dan temuan penelitian tersebut penulis mengajukan suatu model pengembangan rumah singgah yang berbasiskan komunitas lokal. Komunitas lokal dapat terlibat mulai dari gagasan pendirian rumah singgah, persiapan-persiapan, peiaksanaan, sampai pada tahap pengawasan dan pengendalian, serta ikut bertanggung jawab akan kelangsungan dimasa yang akan datang. Diharapkan dengan model ini rumah singgah mempunyai basis yang kuat untuk melaksanakan misinya dan tidak terbatas pada target proyek yang bersifat jangka pendek."
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T4825
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Glorya Novita
"Era monopili bisnis telekomunikasi domestik yang dikelola TELKOM berakhir pada bulan September 2000 seiring dengan berlakunya secara efektif Undang-undang Nomor 36/1999 tentang telekomunikasi. Setidaknya sejak tanggal 8 September 2000 pemerintah telah menetapkan 2 (dua) BUMN TELKOM dan INDOSAT untuk memulai kompetisi bisnis komunikasi di Indonesia. Keduanya mendapat hak penyelenggaraan yang lebih luas, yakni TELKOM dapat menyelenggarakan jasa internasional, sebaliknya INDOSAT juga diberi kewenangan mengelola bisnis telekomunikasi domestik.
Sebagai pioneer dari perusahaan yang bergerak di bidang bisnis jasa telekomunikasi tentunya TELKOM harus paling siap menyongsong dan menghadapi masa yang penuh kompetisi tersebut dengan sumber daya manusia yang berkualitas. Sumber daya manusia yang berkualitas berarti sumber daya manusia yang memiliki pengetahuan, keahlian dan manusia yang berkualitas (mempunyai kreativitas yang tinggi).
Untuk menghadapi tantangan tersebut PT.TELKOM memerlukan strategi pengembangan sumber daya manusia yang tepat dengan membuat beberapa alternatif pengembangan SDM. Sebelum kita memperoleh alternatif terbaik, kita harus menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan, kemudian kita menentukan siapa yang paling berperan dalam menentukan pengembangan SDM tersebut dan akhirnya kita dapat menetapkan tujuan dari pengembangan SDM tersebut dan melaksanakan strategi pengembangan SDM yang terbaik dengan nilai/bobot alternatif yang tertinggi.
Menurut Malayu S.P. Hasibuan (1994:76) pengembangan sumber daya manusia adalah sebagai suatu usaha untuk meningkatkan kemampuan teknis, konseptual dan moral karyawan sesuai dengan kebutuhan pekerjaan/jabatan melalui pendidikan dan latihan. Pendidikan meningkatkan keahlian teoritis, konseptual dan moral karyawan, sedangkan latihan bertujuan meningkatkan keterampilan teknis pelaksanaan pekerjaan karyawan. Dalam pengembangan SDM dan organisasi secara umum menurut Azhar Kasim dipengaruhi oleh visi organisasi, design dan strategi organisasi, budaya organisasi, strategi pelayanan terhadap pelanggan, system imbalan, manajemen kinerja dan manajemen pelatihan dan pengembangan.
Dalam menetapkam prioritas strategi pengembangan SDM yang tepat digunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP). AHP adalah suatu analisis yang memerlukan respondennya adalah orang yang ahli dibidangnya, oleh karena itu yang menjadi subjek penelitiannya adalah para pejabat terkait TELKOM, khususnya Kandatel Jakarta Pusat yang berada dibawah satuan kerja bagian dukungan manajemen.
Strategi pengembangan SDM dipengaruhi oleh tujuh factor yaitu: Visi dengan bobot (0,271), Sistem imbalan dengan bobot (0, 209), Design dan strategi dengan bobot (0, 169), Manajemen kinerja dan karir (0, 117), Strategi pelayanan terhadap pelanggan dengan bobot (0, 905), Manajemen pelatihan dan pengembangan (0, 074), dan Budaya organisasi dengan bobot (0, 067). Aktor/pelaku yang terlibat dalam menentukan strategi pengembangan SDM TELKOM adalah: Dirut dengan bobot (0, 567), Kepala dukungan manajemen dengan bobot (0, 218), Kepala sub bidang urusan SDM dengan bobot (0, 116), Kepala seksi administrasi dan data SDM dengan bobot (0, 059), dan Kepala seksi layanan kesejahteraan SDM dengan bobot (0, 040).
Dalam menentukan strategi pengembangan SDM dibuat beberapa alternatif dengan urutan prioritas sebagai berikut: Penilaian kinerja dengan bobot (0, 441), Perencanaan kebutuhan pegawai dengan bobot (0, 265), Penerimaan dan penempatan pegawai dengan bobot (0, 151), Pelatihan dan pengembangan SDM dengan bobot (0, 065) dan Pengarahan karir bagi pegawai menjadi alternatif terakhir dengan bobot (0, 078).
Dari hasil pengelolaan data dengan menggunakan AHP dapat diketahui bahwa faktor yang paling mempengaruhi strategi pengembangan SDM adalah visi dengan bobot (0, 271), faktor yang paling menentukan pengembangan SDM adalah Direktur utama dengan bobot (0, 567) dan alternatif pengembangan SDM yang terbaik adalah melakukan Penilaian kinerja dengan bobot (0, 441).
Daftar Pustaka: 40 Buku, 4 Diktat, 5 lain-lain"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12272
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chaidir
"Fenomena-fenomena mengenai kejahatan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba di Indonesia telah sangat memprihatinkan. Dalam pemberitaan tentang peredaran gelap dan penyalahgunaan narkoba di media-media massa tidak pernah putus dan selalu terjadi setiap hari. Bahkan dengan terungkapnya kasus-kasus tentang keberadaan pabrik-pabrik yang memproduksi narkoba dalam jumlah besar di Tanggerang dan Bogor, menunjukan terjadi peningkatan kerawanan kejahatan narkoba di Indonesia baik secara kualitas maupun kuantitas.
Wilayah hukum Polres Metropolitan Jakarta pusat, sebagai daerah yang paling rawan terjadinya aktivitas kejahatan di bidang peredaran gelap dan penyalahgunaan narkoba, dinilai sebagai daerah yang tepat untuk dilakukan sebuah penelitian mengenai peran orang tua dalam ikut mengawasi tindakan anak-anaknya dari pengaruh penyalahgunaan narkoba. Dalam ketentuan Undang-undang Narkotika Nomor 22 Tahun 1997 Pasal 88 ayat (2) diatur mengenai kewajiban orang tua untuk melaporkan anaknya yang mengalami ketergantungan atau kecanduan narkotika. Akan tetapi, selama ini tidak pernah ada kasus yang berkaitan dengan penyalahgunaan narkotika yang dijerat dengan ketentuan tersebut. Oleh karena itu penelitian ini diarahkan pada tindakan penyidik terhadap keluarga pecandu narkotika di Satuan Narkoba Polres Metro Jakarta Pusat.
Penelitian ini bertujuan memberikan gambaran tentang tindakan-tindakan dalam penanganan kasus narkotika yang melibatkan kesalahan orangtua yang tidak melaporkan anaknya yang mengalami kecanduan narkotika. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan menggunakan metode penelitian kualitatif, agar hasil dari penelitian tersebut mendapatkan gambaran mengenai tidak diterapkannya ketentuan yang mewajibkan orang tua melaporkan anaknya yang mengalami kecanduan narkotika.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan tidak dilakukanya penyidikan yang berkaitan dengan Undang-undang Narkotika Nomor 22 Tahun 1997 Pasal 88 ayat (2) tentang kewajiban orang tua untuk melaporkan anaknya yang mengalami ketergantungan atau kecanduan narkotika, yaitu (1) Ketidaktahuan pihak keluarga tentang adanya kewajiban untuk melaporkan kepada pihak kepolisian mengenai anaknya yang mengalami kecanduan narkotika, (2)Tindakan tidak melaporkan permasalahan tersebut oleh orang tua ditujukan dengan maksud untuk melindungi anggota keluarganya dari jeratan hukum, (3) penyidik kurang menguasai mengenai Undang-Undang Narkotika khususnya ketentuan yang mengatur tentang kewajiban orang tua tersebut, (4) Kesulitan yang dialami penyidik dalam melakukan proses penyidikan berkaitan dengan persyaratan dari pihak kejaksaan yang mengharuskan setiap kasus yang dilimpahkan harus memenuhi bukti-bukti yang benar-benar dapat menjerat kesalahan tersangka, yaitu berupa saksi, barang bukti, dan pengakuan tersangka.
Dengan kondisi tersebut, maka perlu adanya peningkatan kualitas dari aparat penegak hukum dan koordinasi yang baik agar upaya penanggulangan kejahatan di bidang peredaran gelap dan penyalahgunaan narkoba dapat dilaksanakan secara baik dan konsisten serta diberlakukan tindakan yang tegas dan tanpa pandang bulu terhadap para pelakunya.

The phenomenon of illicit drug abuse and trafficking has been in an alarming condition in Indonesia. The media reporting on such an issue never fades away its frequency, even on daily basis. In fact, the numerous disclosures of ecstasy's key laboratories in Tangerang and Bogor, has proved that the crime quality and quantity in Indonesia have equally been escalating.
The jurisdiction of Central Jakarta's Police, a district of where is known for its high amount illicit drugs abuse and trafficking activities, is considered to be the most accurate location for this research, which focuses on the role of parent in effectively overseeing their offspring against illegal drug abuse and trafficking. The Narcotics Law No.2211997, Part 88/2, rules that parent is responsible to report to police should their children is an illicit-drug user. Yet, there has not been any file on the case applying this regulation. Hence, based on this fact, this thesis principally concentrates on the proceedings of police investigators, within the Narcotics Unit of Central Jakarta's Police, toward the family of drugs addict.
This thesis illustrates various narcotics cases, which enclose parent's injudiciousness for not reporting their addicted offspring to the police. The research method used in this thesis is qualitative approach. It aims to provide an outcome with models that the parents obligation to report their addicted offspring to police is not putting into practice.
The finding of this thesis shows that there are 4 factors that prevent parent from reporting their offspring to police, as associated with the Narcotics Law No.22/1997, Part 88/2, namely: 1). A lack of parents knowledge about the Narcotic Law No.22/1997, Part 88/2; 2). A sense of protecting their offspring from legal punishment 3). A lack of police investigator's knowledge about the Narcotic Law No.22/1997, Part 88/2, especially on part of the parent's obligation ; 4). Difficulties faced by the police investigators in finding the evidence, witness, & suspects confession, as part of the requirements for the court.
With these 4 conditions rest in front, an improved quality of the law enforcement personnel and a better coordination among the law enforcement are necessity in fighting the problem of drug abuse and trafficking in Indonesia. Law enforcement would be able to perform better and in consistent, of where the charges and law are being practiced in a fair order.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15157
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurbaiti
"Kecenderungan biaya pelayanan kesehatan yang terus meningkat mendorong PT. Askes untuk mencari altematif pembiayaan yang dapat mengeiisienkan dana tanpa mengurangi mutu pelayanan. Salah satu sistem tersebut adalah Sistem Kapitasi Total dimana provider dibayar berdasar jumlah peserta terdaftar yang menjadi tanggungnya. Penerapan sistim kapitasi total tersebut perlu dipantau efektifitasnya dengan melihat kecendelungan angka kunjungan, angka rujukan menurut pesena terdaiiar dan angka rujukan menumt kunjungan. Penelitian ini diharapkan dapat diketahui bagaimana keoenderungan tersebut dan faktor-faktor apa yang mempengaruhinya. Pcnelitian dilakukan di Jakarta Pusat dengan rancangan cross sectional, jumlah sampel 37 puskesmas, menggunakan wawancara terstruktur dan wawancara mendalam, menggunakan data sekmmdcr tahun 1999-2000 , analisis data menggunakan SPSS.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah penerapan selamzr 2 tahun, angka kunjungan cendenmg menurun, begitu pula angka rujukan menurut jumlah peserta terdatiar sedangkan angka nrjukan menunrt kunjungan oendenmg meningkat. Tingkat puskesmas dan besamya jasa yang diterima dari PT. Askes ternyata berhubungan dengan angka kunjungan, sedangkan status kepegawaian kepala puskesmas dan pengetahuan kepala puskesmas teniang kapitasi total berhubungan dengan angka mjukan menurut kunj ungan Disarankan agar kapitasi total disosialisasikan kepada provider maupun kepada pwert; sistem pendataan pesqrta diyrerkuat., dilakukan pemantauan langsung oleh PT. Askes ke puskesmas dan kemungkinan agar PT.Askes dapat kontrak langsung dengan puskesmas,

The increasing tendency of the health care cost had forced PT.Askes to seek an alternative in iinancing system , without decreasing the quality of services. One of the system used is the total capitation where the providers are paid based on the amount of members registered The effectiveness of the capitation system should be monitored through visit rates, referrals rates per member registered and refenal rates per visit. 'I'hc objective of the study is to describes the rates and factors influencing them. The study is conducted in Central Jakarta , using cross sectional design, involving 37 primary care facilities as unit amalysis. The Structured and in-depth interview were used as well as the 1999- 2000 secondary data, quantitative analysis has been done using SPSS.
The result of the study showed that after 2 yeais of implementation, the visit rates had a tendency to decrease, similar result can also be seen on the referral rates per member registered, while the number of referralrates per visit tended to increase. The referral rate is related to' the grade of primary health care facility and the amount of payment received from PT. Ashes The study revealed that the referral per visit rate is related to employment status and the knowledge of the total capitation of the head ofthe primary health care facilities. The study suggested that capitation system should be socialized to the providers and the members. The membership data base system should be improved, PT. Askes should conduct direct monitoring to primary health care facilities and finally to review the possibility of direct contract with the primary health C818 facilities.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T5069
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6   >>