Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2003 dokumen yang sesuai dengan query
cover
C Yekti Praptiningsih
Abstrak :
Infeksi Saluran Pernafasan Akut atau ISPA mengakibatkan sekitar 4 juta kematian balita di negara berkembang. Di Indonesia ISPA bawwb, khususnya pneumonia mengakibatkan kematian sekitar 150.000 balita per tahun. Namun sesuai dengan hasil penelitian di Indramayu pula bahwa upaya penurunan mortalitas karena ISPA khususnya pneumonia dapat dicapai sebesar 25% jika program memberi masukan secara memadai kepada ibu. Yang dimaksud dengan memberi masukan kepada ibu adalah melakukan komunikasi dan pemberian informasi dengan ibu sebagai sasaran.

Dalam Program Pemberantasan Penyakit (P2) ISPA untuk penanggulangan pneumonia balita, bentuk komunikasi antar pribadi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari penatalaksanaan kasus ISPA yang tepat dan benar. Efektifitas tatalaksana kasus ISPA sangat ditentukan oleh dilaksanakannya pesan yang disampaikan oleh petugas kesehatan kepada ibu secara tepat dan benar. Agar ibu dapat melaksanakan pengobatan dan perawatan penunjang di rumah secara benar, maka petugas kesehatan harus mampu berkomunikasi secara efektif.

Untuk itu perlu kiranya dilihat sejauh mana kemampuan petugas kesehatan dalam melakukan komunikasi sebagai bagian dari pelaksanaan tugas tenaga kesehatan di Puskesmas yang merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan di Indonesia. Penelitian ini akan melihat sejauh mana kemampuan petugas poliklinik puskesmas dalam komunikasi dengan ibu balita yang menderita ISPA yang datang ke Puskesmas, serta melakukan telaah faktor-faktor yang berhubungan dengan kemampuan komunikasi petugas kesehatan khususnya kepada ibu balita yang menderita ISPA.

Jenis desain penelitian ini adalah Cross Sectional. Populasi penelitian sekaligus merupakan sampel penelitian adalah petugas poliklinik puskesmas yang berada di seluruh Kabupaten Bogor yang berjumlah 202 petugas.

Data dikumpulkan dengan cara observasi petugas pada waktu melakukan pelayanan kepada pasien balita ISPA dan wawancara dengan petugas tersebut, kemudian dianalisa menggunakan piranti lunak program EPI INFO versi 6.0 dan program STATA versi 3.1.

Dari hasil penelitian didapatkan proporsi petugas poliklinik puskesmas di kabupaten Bogor yang mampu berkomunikasi dengan ibu balita ISPA sebesar 41,1% petugas. Hasil analisis bivariat menunjukkan tidak adanya hubungan yang bermakna antara variabel umur, lama masa kerja, asal daerah, penguasaan bahasa, sikap terhadap pesan, variabel pendidikan, pelatihan, pengetahuan komunikasi, membaca pedoman, ketersediaan pedoman dan ketersediaan media komunikasi dengan kemampuan komunikasi petugas poliklinik puskesmas di kabupaten Bogor. Hasil akhir penelitian ini menunjukkan bahwa variabel pengetahuan ISPA dan supervisi berperan atau berhubungan erat terhadap kemampuan komunikasi petugas dengan ibu balita ISPA, sehingga hasil ini dapat menjadi pertimbangan dalam membuat kebijaksaan dalam upaya meningkatkan kemampuan komunikasi petugas.
Factors Related to Communication Skills of Health Workers Providing Health Services For Mothers of Young Children with Acute Respiratory Infections (ARI) In Bogor District, West Java, year 2000The Acute Respiratory Infection (ARI) disease has caused 4 million deaths of under-fives in developing countries. In Indonesia, as one of developing countries, 150.000 children under-fives die due to pneumonia annually.

Based on a study conducted in Indramayu district, West Java, deaths caused by pneumonia can be reduced to 25% if mothers of the sick child are given appropriate and adequate information about the disease. A good communication needs to be conducted between health personnel and mother of young children whereas the mother is treated as the target of the communication.

In the ARI Control Program, inter-personal communication between health personnel and mothers is an essential part that can not be separated from the implementation of ARI Case Management. The successful way in doing this thing lies when the health personnel can give appropriate and correct information on how to give drugs and home care treatment to mothers effectively so that mothers understand and are able to practice at home.

It is thus necessary to find out how far the health personnel, as the first line of health provider in community, can perform their communication skills which is part of their main responsibilities at health center.

This research is meant to find out skills of health personnel working at the policlinic of Health Center (HC) in communicating with mothers of the sick child with ARI also factors related to skills of health personal in communicating with the mothers.

The study was done in cross-sectional design. The populations studied, which were also a research sample, were those working at the policlinic HC in Bogor district amounting to 202 personnel.

Data were collected by interviewing and observing the health personnel in giving the services to the patient, and then analyzed using EPI INFO software program version 6.0 and STATA program version 3.1.

The result shows that only 41.1% of HC personnel have good communication skills to communicate with mothers of sick young children with ART. The Bivariat analysis there is no significant correlation of age, duration of work, district of origin, language capability, behavior of message, education, training, communication knowledge, guidelines reading, provision of guidelines and communication media with the capabilities or communication skill of health personnel at the HC policlinic in Bogor district.

The final result shows that variable of ART knowledge and supervision have role and close relationship to the communication skills of health personnel. It is hope this result would be a consideration in making future policies to improve health personnel communication skills.
Universitas Indonesia, 2000
T5756
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sumardi
Abstrak :
Obat tradisional adalah merupakan obat alternatif diluar obat kimia. Penggunaan obat tradisional menunjukkan kecenderungan meningkat sehingga kepercayaan akan khasiat obat tradisional semakin besar. PT. Indofarma didalam menjalankan usaha bisnis obat tradisional disatu sisi mendukung program pemerintah di bidang farmasi dengan memproduksi obat murah berbasis bahan baku lokal. Di sisi lain PT. Indofarma dalam menjalankan usahanya tidak terlepas dari prinsip-prinsip perseroan. Tulisan ini menganalisis tentang "Analisis Strategi Bisnis Obat Tradisional pada PT. Indofarma" yang merupakan BUMN. Dalam upaya untuk mewujudkan tujuan yang hendak dicapai dalam analisis tersebut penulis melakukan penelitian terhadap pendapat beberapa responden yang berasal dari internal perusahaan PT. Indofarma. Beberapa responden tersebut kemudian dijadikan sampel dalam penelitian ini. Adapun sampel yang dipilih adalah pegawai perusahaan PT. Indofarma yang berada pada jajaran jabatan struktural. Jajaran jabatan struktural yang dimaksud adalah jabatan setingkat manajer sampai dengan direktur utama. Selanjutnya untuk menjaga keabsahan dari hasil penelitian yang menyangkut strategi bisnis PT. Indofarma, maka sampel yang dipilih adalah seluruh pegawai pejabat perusahaan. Oleh karaena itu, berdasarkan penetapan sampel yang digunakan, maka penelitian ini menggunakan teknik sensus, karena melibatkan seluruh populasi yang ada. Analisis: tesis ini menitik beratkan pada analisis strtategi bisnis dilihat dari kondisi lingkungan eksternal dan lingkungan internal perusahaan. Adapun kondisi eksternal perusahaan dapat digambarkan/disimpulkan bahwa ; kondisi ekonomi cukup mengancam, kondisi politik cukup mengancam, perkembangan teknologi cukup berpeluang , kondisi sosial budaya cukup mengancam, kondisi ekologi cukup berpeluang , keberadaan pendatang Baru masih dapat diatasi dan dianggap masih cukup memberikan peluang, kondisi pemasok cenderung cukup berpeluang, kondisi pembelli cukup mengancam, kehadiran produk pengganti cukup mengancam , kondisi tingkat persaingan cukup mengancam. Sedangkan kondisi internal dapat disimpulkan bahwa ; kemampuan produksi yang dimiliki PT. Indofarma cenderung merupakan kekuatan, kemampuan keuangan PT. Indofarma cenderung merupakan kelemahan, kemampuan pemasaran yang dimiliki PT. Indofarma cenderung merupakan kekuatan, kemampuan sumber daya manusia cenderung merupakan kekuatan, kondisi kemampuan manajemen cenderung merupakan kekuatan untuk masuk dalam persaingan industri. Atas dasar analisis terhadap lingkungan strategi diperoleh prioritas upaya pembenahan, yaitu : a. Implementasi strategi keunggulan harga b. Implementasi strategi swastanisasi kepemilikan c. Implementasi diversifikasi produk dan usaha d. Implementasi keunggulan kualitas produk Berdasarkan beberapa kesimpulan di atas, maka dapat direkomendasikan beberapa hal sebagai berikut : 1. Pada dasarnya strategi yang ada selama ini cenderung belum mengakomodasi perkembangan dan perubahan yang terjadi di lingkungan strategi 2. Disarankan dalam penerapan strategi bisnis yang ditawarkan dari hasil penelitian ini perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu dan tenaga ahli.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T8337
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suriah
Abstrak :
Pengobatan tradisional sudah sejak dahulu dimanfaatkan oleh masyarakat dan merupakan warisan budaya nenek moyang, yang sampai saat ini masih diakui keberadaannya dan hubungannya dekat dengan masyarakat, meskipun jangkauan pelayananan kesehatan modern telah cukup baik. Dalam upaya mengatasi masalah kesehatan atau memelihara keadaan sehat, di Indonesia terdapat dua sistim pelayanan kesehatan yang hidup saling berdampingan, yaitu sistim pengobatan modern dan pengobatan tradisional yang hidup dalam aneka ragam kebudayaan masyarakat. Hasil Survai Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 1999, memperlihatkan bahwa pola tindakan yang diambil oleh masyarakat perkotaan pada waktu sakit adalah 91,51% berobat ke fasilitas kesehatan modern, 11,46% dengan memanfaatkan pengobatan tradisional, 1,79% dan lain-lain. Sedangkan pola tindakan yang diambil oleh masyarakat pedesaan pada waktu sakit adalah : 88,30% berobat ke fasilitas modern 17,44% dengan memanfaatkan pengobatan tradisional, 3,23% dan lain-lain. Data hasil survai tersebut membuktikan bahwa pengobatan tradisional sampai saat ini masih terus dimanfaatkan oleh masyarakat meskipun pelayanan kesehatan modern sudah menjangkau hampir seluruh lapisan masyarakat. Salah satu sistim pengobatan tradisional sebagai pengobatan alternatif yang dimanfaatkan oleh masyarakat adalah pengobatan dengan sengatan lebah yang digunakan sebagai stimulus untuk terapi. Sistem pengobatan dengan sengatan lebah telah dibuktikan secara ilmiah dan didukung para ahli di berbagai negara dalam bentuk pengobatan akupunktur kombinasi bisa lebah. Lebah madu, secara langsung disengatkan pada titik-titik akupunktur tubuh. Sehubungan dengan hal tersebut di Sulawesi Selatan telah dikembangkan sistem pengobatan alternatif sengatan lebah oleh unit pengembangan lebah madu, Pusat Studi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin sejak tahun 1992 merintis karir dalam pengobatan Apiterapi yang kemudian diinteroduksi secara meluas pada bulan Juni 1998. Klinik ini pada awalnya mempunyai 26 cabang yang tidak hanya tersebar di Sulawesi Selatan tapi juga di Sulawesi Tengah (Palu) dan Sulawesi Utara (Gorontalo). Sekarang jumlah klinik yang masih dimanfaatkan oleh masyarakat adalah 15 cabang. Klink tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat dari berbagai latar suku bangsa yang ada di Sulawesi Selatan. Penelitian ini bertujuan menggali informasi tentang peta pengetahuan dari tiga suku bangsa di Sulawesi Selatan dalam pemanfaatan pengobatan alternatif sengatan lebah. Penelitian dilakukan dengan metode kualitatif pendekatan yang digunakan adalah rapid ethnografi. Informan penelitian yaitu masyarakat pengguna klinik apiterapi yang mewakili tiga suku bangsa (Makassar, Bugis dan Mandar) di Sulawesi Selatan, tokoh masyarakat dan apiteraper (petugas atau pengobat tradisional sengatan lebah). Teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam. Pengolahan data menggunakan analisis tema dan pengembangan taksonomi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peta pengetahuan tiga suku bangsa terbentuk sebelum dan setelah memanfaatkan pengobatan alternatif sengatan lebah karena dipengaruhi beberapa hal seperti: fakta, informasi, sosial budaya, pengalaman keyakinan, dan kemampuan ekonomi. Karena cukup banyak masyarakat memanfaatkan pengobatan ini maka oleh pihak yang terkait perlu melakukan pengkajian terhadap manfaat dan keamanan pengobatan alternatif sengatan lebah, kebijakan yang diambil hendaknya disesuaikan dengan kondisi sosial budaya masyarakat. Selain itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap pengobatan tradisional lainnya yang juga dimanfaatkan oleh ketiga suku bangsa.
Cognitive Map of Three Ethnics Groups in South Sulawesi in the Utilization of Bee Venom Therapy as Alternative MedicineTraditional medicine is used by the population in a long time ago. It is a heritage still close with the population although modern medicine improves fast. In Indonesia, there are two systems of health care; these are modern and traditional medicine. National Survey of Socio-economic, 1999, shown that health seeking behavior of the people who lives in urban are 91,51% of the people go to the modern health care, 11,46% of them go to traditional medicine, 1,79 is another. But for who lives in the villages are 88,30% of them go to modern health care, 17,44% using traditional medicine and 3,23% is another. It shown that traditional medicine is still used by the people although the modern health care is improved close the people. One of traditional medicine as alternative medicine is Bee Venom Therapy. This medicine has been proved scientifically and support by the experts in several countries. Il also has been improved in the acupuncture type that is combined by bee venom. Related to that, Bee Venom Therapy has been improving in South Sulawesi introduced by Bee Reproduction Unit. Study Centre of Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Hasanuddin University Research Centre is being a pioneer to improve carrier path in apitherapy medicine since 1992. It was introduced widely in Juni 1998. Early this clinic has 26 branches, not only in South Sulawesi but also in central Sulawesi (Palu) and North Sulawesi (Gorontalo). Up to now, the number of clinics that is still used by the people from ethnics is 15 branches. This research aims to observed information about cognitive map from three ethnics in South Sulawesi in utilization of bee venom therapy; it used qualitative approach by rapid ethnographic study. Informants are users of apitherapy clinics that is representative for three ethnics (Makassar, Bugis and Mandar) in South Sulawesi, the opinion leader and apitheraper. It use in-depth interview for data collection. Data is analyzed by using theme and taxonomy improvement. The result shows that cognitive map of the third ethnics, before and after using bee venom therapy is influenced by facts, information, socio-culture, experience, belief and economic capability. Related instance must conduct utilization and safely review of it's medicine because more people use it. Beside that, following research can be conducted to another traditional medicine that is used by the third ethnics.
2001
T8338
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aviandy S.
Abstrak :
ABSTRAK Latar Belakang: Tajam penglihatan adalah kemampuan mata di dalam penerbangan untuk membedakan dua obyek kecil dengan sudut pandang satu menit pada jarak 6 meter dalam kondisi penerangan yang normal. Bayangan obyek tidak jatuh tepat pada fovea sentralis karena fungsi sel kerucut yang bertanggung jawab dalam hal ini tidak dapat bekerja dengan baik dalam membedakan obyek pada jarak 6 meter. Ini adalah salah satu dari kondisi faktor manusia yang terkait dengan kemungkinan tirnbulnya kecelakaan penerbangan. Studi pada 100 orang calon penerbang PSDP ini merupakan studi lanjutan dengan menggunakan desain penelitian simulasi pre dan post eksperimen tetapi memiliki rentang frekwensi, lensa kolimasi dan calon populasi sampel yang berbeda. Hasil Penelitian: Secara analisa statistik terbukti bahwa getaran dengan frekuensi 10 Hz menurunkan tajam penglihatan lebih besar dibanding 20 Hz pada jarak pandang 75 cm maupun 6 meter (P < 0,05). Sedang penurunan tajam penglihatan jarak pandang 75 cm lebih besar daripada jarak pandang 6 meter baik pada frekuensi 10 Hz maupun 20 Hz (P < 0,05). Faktor tinggi badan pada jarak pandang 6 meter dengan getaran 10 Hz tanpa kolimasi berpengaruh bermakna terhadap penurunan tajam penglihatan (P < 0,05), begitupun pada analisa regresi multivariat terhadap jarak pandang 75 cm (P < 0,05). Koreksi dengan lensa kolimasi didapatkan paling efektif dengan lensa 8D dibandingkan dengan lensa 6D (P < 0,05). Kesimpulan: Searah dengan penelitian terdahulu terbukti bahwa getaran dapat menurunkan tajam penglihatan terutama yang berfrekuensi rendah dan lensa kolimasi sangat bermanfaat dalam menurunkan akibat tersebut.
ABSTRACT Visual Acuity Impairment Due To The Whole Body Sinusoidal Vertical & Horizontal Vibration Effect And Corrections With Collimating Lens Among PSDP Pilot Candidates at Lakespra Saryanto 1997 Background: Visual acuity is the ability of the eyes in flight to discriminate two small objects with the visual angle of one minute at 6 m distance in normal illumination. The image projection will not fall preciously on fovea centralis because the cones which is responsible for these do not work well especially at 6 m distance object. This is one of the human factors condition those related to the occurrence of aircraft accidents. Study upon 100 subjects of PSDP pilot candidates at Lakespra Saryanto was an advanced study with different range of frequencies, collimating lens and sample population. Result: Statistic analysis proved that visual acuity impairment due to the vibration with 10 Hz was worse than 20 Hz at visual distance of 75 cm or 6 m (P < 0,05), Visual acuity at 75 cm visual distance was more impaired compared with 6 meter on both frequency (P < 0,05). Body height factor has significant influence to visual acuity at 6 m visual distance with 10 Hz vibration without collimation (P < 0,05) either at 75 cm visual distance with regression multivariate analysis (P < 0,05). The most effective correction with collimation lens are using 8D lens rather than 6D lens (P < 0,05). Conclusion: In accordance with previous research has been proved that vibrations cause visual acuity impairment, especially at low frequency and collimation lens has special benefit to reduce those effects.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendry Widjaja
Abstrak :
Dalam menghadapi persaingan yang semakin ketat di era globalisasi, sebagai revenue centre yang menyumbang sekitar 46,52% dari semua penerimaan operasional RSMG maka manajemen Apotik IFRSMG yang tepat menjadi sangat penting. Dari data yang ada terlihat bahwa kinerja Apotik IFRSMG menunjukkan kecenderungan yang semakin menurun setiap tahun terutama untuk pasien rawat jalan di mana persentase obat yang tidak terlayani mencapai 63,37% pada tahun 2001 Hal ini membawa kerugian finansial yang sangat besar dan mengancam kelangsungan hidup RSMG. Untuk meningkatkan volume penjualan resep di Apotik IFRSMG, maka dilakukan penelitian cross sectional pada bulan Juni 2004 dengan metode kuantitatif dan kualitatif. Data dianalisa secara univariat dan bivariat dengan analisa uji statistik chi square dengan menggunakan program statistik SPSS versi 11.0. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan hubungan antara bauran pemasaran dengan konsep 7P ( produk, harga, lokasi, promosi, petugas, bukti fisik dan proses pembelian ) dengan keputusan pembelian obat oleh pasien rawat jalan RSMG. Penelitian ini menggunakan data primer berupa kuesioner yang ditanyakan langsung kepada responden di 8 poli rawat jalan serta data sekunder dari survei pesaing dan pencatatan harian di Apotik IFRSMG. Dari hasil penelitian didapatkan jumlah resep yang dilayani dari poli rawat jalan sebanyak 45% (meningkat dibanding tahun 2003) dengan 92,9% sudah >2 kali membeli obat. Sampel pada penelitian ini terdiri dari 60,5% yang tidak membeli/sebagian dan 39,5% yang membeli penuh. Alasan utama tidak membeli adalah: mahal (43,3%) dan lama (22,38%). Strategi harga yang digunakan adalah mark up sebanyak 21% dari harga beli dan untuk obat bebas 12-20%. Harga obat secara umum jauh lebih mahal dibanding harga pesaing. Persediaan obat sudah cukup baik di mana rata-rata 2,11 resep yang ditolak setiap hari akibat tidak tersedia di apotik. Lokasi apotik dikeluhkan sulit terlihat oleh 81% responden. Sumber informasi masih sangat kurang terbukti dari 71% yang tidak pernah mendengar tentang apotik ini. Promosi oleh dokter hanya 7,6%. Mutu petugas secara umum termasuk sedang dengan nilai 3,26. Kecepatan petugas masih termasuk buruk dengan nilai 2,49. Ruang tunggu apotik juga termasuk sedang dengan nilai 3,15. Kerapian dan kenyamanan masih termasuk kategori buruk. Proses pembelian sudah termasuk baik. Dari uji bivariat diketahui bahwa dari 15 variabel yang dinilai ternyata ada 12 variabel yang bermakna dengan nilai p-0,000 yaitu ketersediaan obat, lokasi, kecepatan petugas, keramahan petugas, keterangan petugas, kesopanan petugas, kemampuan petugas, cara komunikasi petugas, kerapian petugas, kerapian dan kenyamanan ruang tunggu serta proses pembelian. Sedangkan 3 variabel yang tidak bermakna yaitu: sumber informasi, kebersihan petugas dan kebersihan ruang tunggu. Sebagai saran untuk perbaikan, maka diusulkan beberapa strategi pemasaran yang perlu dilakukan oleh manajemen yaitu: pengembangan target konsumen, penentuan posisi apotik sebagai apotik yang unggul dan lengkap dengan harga yang kompetitif, ketersediaan obat dengan analisa ABC Index Kritis, strategi harga yang berorientasi pasar (bukan lagi strategi mark up), promosi dari dalam oleh tenaga medis ditingkatkan, penggunaan sistem komputer yang terintegrasi antara apotik dan tiap poli rawat jalan, pelayanan yang baik dan cepat serta berorientasi pada pelanggan, discount yang menarik, pemindahan lokasi apotik, peningkatan mutu petugas, peningkatan kemampuan komunikasi petugas, penataan interior dan display yang lebih baik, kenyamanan ruang tunggu ditingkatkan, riset dan audit pemasaran berkala, proses pembelian dipermudah, melakukan riset operasional mengenai sistem antrian resep dan penelitian lanjutan dengan masyarakat sekitar. Akhirnya strategi yang dibuat harus bisa beradaptasi dengan perubahan kesempatan dan tantangan global. Daftar Bacaan: 40 ( 1984 - 2004 )
Analysis the Relationship Between Marketing Mix and Purchasing Decision of Medicine by the Out-patient at Pharmacy Installation Dispensary of Medika Gria Hospital 2004In facing the tight competition of the globalization era, as the greatest revenue centre that contribute about 46,52% of the overall operational income of Medika Gria Hospital in 2003, the proper management of the Pharmacy Installation Dispensary of Medika Gria Hospital therefore become the highlight point. From the data we can see that the performance of the pharmacy show a declining tendency every year especially for the out-patient where the percentage of the un-served prescriptions were reaching 63,37% of the overall prescriptions made by outpatient doctor by the year 2003. This is a big threat and causing the big losing and therefore create a financial problem that influence the survival of Medika Gria Hospital. In order to increase the volume of sales at the pharmacy, a cross sectional research was done in June 2004 with quantitative and qualitative method. Data analysis used are univariate and bivariate with Chi-square test using statistic program analysis with SPSS for Windows version 11.0. The purpose of this research is to find out the relationship between the Seven Ps of marketing mix ( product, place, price, promotion, people, physical evidence and processes ) and the purchasing decision of the out-patient of Medika Gria Hospital. In this research the primary data are obtained by using questionnaire which were directly asked to 210 respondents (patient or family) from 8 out-patient clinic_ While secondary data are obtained by doing survey of one competitor and the daily observation at the pharmacy. The research has shown that 45% of all the prescriptions of out-patient clinic is served at the pharmacy ( better than the year 2003) whereas 92,9% has ever purchased more than 2 times at the pharmacy. The sample of this research are divided into 2 categories i.e: 60,5% refuse 1 incomplete to purchase and 39,5% agree to purchase. The main reason to refuse is: expensive (43,3%) and long waiting hours (22,38%). Pricing strategy used is cost-based with 21% mark up for out-patient and 12-20% for OTC. In general the price is still far more expensive compare with competitor. The availability of medicine is quite good where only 2, 11 prescriptions daily are rejected due to out of stock. The location of the pharmacy is hard to find according by 81% of respondents. Source of information is still bad that 71% of the respondents answer that they never heard about the pharmacy. Internal promotion by medical doctor is only 7,6%. The quality of all the dispensary staff is moderate with the score 3,26. The speed of the staff is still bad with the score 2,49. The waiting room is classified moderate with the score 3,15. The tidiness and comfort are still bad. The purchasing process is consider good Using bivariate analysis we could see that 12 of the 15 variables that are observed has shown significant statistical relationship with p value :1000 i.e: availability of medicine, location; prompt service, friendliness, quality of information, courtesy, capabilitiy, the way to communicate and neatness of the staff; tidy and comfortable waiting room as well as the whole process of purchasing. Meanwhile there are 3 variables tnat have no significant statistical relationship i.e: source of information, cleanliness of dispensary staff and waiting room. To increase the performance, some suggestion regarding marketing strategy should be consider by the management i.e: increase target market, positioning the pharmaceutical as one of the best pharmaceutical with complete medicine and competitive price, improve the availability of medicine by ABC critical index analysis, market-oriented pricing strategy instead of mark-up strategy, increase internal promotion by medical staff, integrated computerized system between pharmaceutical and outpatient clinic, an excellent and prompt service, customer-oriented service, an interesting discount, changing the location of the pharmacy, increase the quality of staff, improve communication skill of all staff, a good interior and display setting, improve the comfort of waiting room, a routine marketing research and audit, improve the purchasing process, operational research on prescriptions queuing system and further research with outer community. Finally, strategy will have to take into account changing global opportunities and challenges. Bibliography : 40 ( 1984 - 2004 )
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T12872
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sahelangi, Ulanya Hannagracia Mariatheodore
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan mengetahui gambaran karakteristik individu, variabel organisasi dan faktor psikologis perawat pelaksana dan hubungannya dengan kesalahan pemberian obat yang dilakukan perawat di rumah sakit X tahun 2004. Maksud penelitian ini adalah untuk mengurangi kejadian kesalahan pemberian obat yang dilakukan perawat pelaksana di bangsal perawatan umum, agar mutu rumah sakit terjaga. Penelitian ini menggunakan analisis kuantitatif dan kualitatif dengan pendekatan potong lintang. Analisis statistik dilakukkn secara univariat dan bivariat. Dikarenakan pada hasil bivariat tak ditemukan hubungan antara karakteristik individu, variabel organisasi dan faktor psikologis dengan kesalahan pemberian obat, maka tidak dilanjutkan analisis multivariat regresi logistik. Tetapi dari hasil wawancara mendalam penelitian kualitatif menujukkan penyebab terjadinya kesalahan pemberian obat disebabkan supervisi yang kurang, beban kerja yang tersa berlebih, instruksi kerja yang kurang jelas, sikap masing-masing individu dalam hal kurang teliti, inkonsisten, juga kurangnya motivasi kerja. Disarankan agar dalam mengurangi kesalahan supervisi ditingkatkan, mulai membuat system pelaporan kejadian kesalahan, membuat analisa kerja dan tinjau ulang imbalan yang diberikan. Pihak manajemen harus lebih memperhatikan jaminan kualitas, kontrol proses, pelaksanaan siklus PDCA. Daftar Pustaka 54 (1982 - 2003)
Analyze Correlation Individual Variable, Organization and Psychologic Factors with Medication Errors by Nurse at X Hospital Year 2004 This study is to figure out the individual characteristic, organization variable and psychologist factors of the nurses active in general ward, and its correlation with medication errors which is done by these nurses at X hospital year 2004. The purpose of this study is to eliminate and minimize medication errors done by the nurses in general ward , and the result is quality hospital . This study is a cross sectional quantitative with univariate and bivariate analysis and qualitative. There is no significance correlation between individual characteristic, organization variable and psychologist factors with medication errors, therefore multivariate logistic regression analysis has not done . Result from in depth interview found out that medication error happened cause of minimal supervision, high work load, standard operating procedure not informative enough, inconsistency and low motivation. Suggestion to minimize medication errors are improvement in supervision, arrange medication error report system, evaluate work analysis and renewal reward and payment roll. Management should have to give more attention in quality assurance, controlling process, which is in PDCA cycle. References : 54 (1982 - 2003)
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T13181
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Papilaya, Johan
Abstrak :
Formularium Rumah Sakit merupakan suatu daftar obat baku beserta peraturan-peraturannya yang digunakan sebagai pedoman dalam pemakaian obat di suatu rumah sakit yang dipilih secara rasional, berdasarkan informasi obat yang sahih dan sesuai kebutuhan pasien di rumah sakit. Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Daerah Bekasi yang merupakan rumah sakit kelas C dengan kapasitas tempat tidur 112 buah, dan mempunyai tenaga dokter spesialis di empat bagian dasar maupun unit-unit lainnya. Komite Farmasi dan Terapi yang terbentuk sejak 1989 telah berhasil membuat Formularium Rumah Sakit yang merupakan salah satu tugas dari komite tersebut. Kenyataan yang ditemukan menunjukan bahwa Formularium Rumah Sakit ini belum digunakan secara optimal seperti terlihat di unit rawat jalan empat besar yaitu unit bedah, kesehatan anak, kebidanan dan penyakit kandungan serta unit penyakit dalam. Ditemukan 54,25 % resep antibiotik dan 59,91 % macam antibiotik serta 46,7 % resep analgetik dan 49,2 % macam analgetik yang menyimpang dari Formularium Rumah Sakit. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktorfaktor yang berhubungan dengan penggunaan Formularium Rumah Sakit di unit rawat jalan RSUD Bekasi dan upaya peningkatan penggunaannya. Penggunaan Formularium Rumah Sakit diukur dengan prosentase penggunaan antibiotik dan analgetik karena kedua macam obat inilah yang paling sering ditulis dokter dalam prakteknya. Jenis penelitian ini adalah deskriptif analitik dengan responden sebanyak 36 orang yang terdiri dari dokter umum, dokter spesialis maupun dokter gigi. Dengan melakukan wawancara dan pengisian kuesioner dicarilah hubungan variabelvariabel yang diduga secara teeri maupun empiris berhubungan dengan penggunaan Formularium Rumah Sakit. Dengan uji chi-square dan uji korelasi Pearson's didapati 2 variabel mempunyai hubungan yang bermakna secara statistik, sedangkan 7 variabel lainnya tidak terbukti mempunyai hubungan bermakna secara statistik. Penelitian ini menyimpulkan bahwa lama kerja dokter berhubungan dengan penggunaan analgetik dan ada tidaknya buku petunjuk yang informatif berhubungan dengan penggunaan antibiotik 'sesuai Formularium Rumah Sakit. Sedangkan variabel lainnya yaitu: umur dokter, pendidikan, pengetahuan dokter, sikap dokter, ketersediaan obat, kepercayaan dokter, dan komunikasi dokter tidak berhubungan dengan penggunaan anatibiotik maupun analgetik sesuai Formularium Rumah Sakit. Korelasi tertinggi antara variabel babas dan variabel terikat terdapat pada variabel komunikasi dokter dengan penggunaan analgetik sedangkan yang terendah antara umur dokter dengan penggunaan antibiotik. Disarankan agar diterbitkan buku petunjuk penggunaan Formularium Rumah Sakit yang berukuran saku bagi tiap dokter di RSUD Bekasi, dan Formularium perlu direvisi secara berkala disesuaikan dengan pola penyakit dan kemajuan industri farmasi. Disarankan pula agar Komite Farmasi dan Terapi perlu ditingkatkan perannya sebagai penyebar informasi tentang Formularium Rumah Sakit dan evaluasi secara periodik terhadap penggunaannya perlu dilaksanakan untuk menilai kepatuhan penggunaan Formularium Rumah Sakit tersebut.
Hospital Formulary is a list of raw drugs and its regulations used as a directive in medicines usage at rationally elected hospital, in accordance with genuine medicines information and in line with patients requirements at hospital. The research id conducted at Regional General Hospital Bekasi which is made up C-level hospital with 112 beds capacities, and consist of. medical specialist in four ground part units and other units. Pharmacy and Therapy Committee which was formed since 1989 is succeed to create Hospital Formulary which constitutes one of the committee task. The fact that the Hospital Formulary has not optimally used as shown in four big part of outer treatment unit, that is in surgical operation unit, children health, obstetry and gynecology unit and internal decease units as well. It is found 54,25 %, of antibiotic prescription, 59,91 % sort of antibiotics, 46,7 % analgesics prescription and 49,2 % sort of analgesics which deviates from Hospital Formularium. The purpose of this research is to identify any factors related to Hospital Formulary usage at outer treatment unit Regional General Hospital Bekasi and an effort to improve the usage. Hospital Formularium usage is measured with antibiotic and analgetic prosentage usage since the two kind of medicines are frequently recommended by doctor in their practicing. This research type is analytic descriptive with total respondents is 36 people which consists of general practice, specialist and dentists. Conducting some interviews and filling questioners the variables are founded which is estimated theoretically or empirically have to do with Hospital Formularium usage. By means of chi-square and Pearson's correlation test, it is found out 2 variables which significant correlation statistically each other, while other 7 variables proved no significant correlation statistically. This research concludes that the length of doctor working is in line with analgetic usage and no informative guidance books as the antibiotic usage up to Hospital Formulary. While other variables are : doctor's age, education, doctoral's knowledge, doctor behavior, drugs supply, doctor belief and communication do not have to do both with anti-biotic usage and analgetic in accordance with Hospital Formularium. The highest correlation between free variable and unfree variable existed on doctor communication variable with analgetic usage while the lowest is doctor's age with antibiotic usage. It is recommended to publish a pocket directive book concerning Hospital Formulary usage for every doctors at Regional General Hospital Bekasi, and the formulary has to be revised periodically which is corresponded with diseases types and the advanced of pharmacy industry. It is suggested also that Pharmacy and Therapy Committee plays more import-ant roles as an information disseminator regarding Hospital Formularium and does periodic evaluation on its usage to appraise the Hospital Formulary usage disciplines.
Depok: Universitas Indonesia, 1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sudibyo Supardi
Abstrak :
WHO me1alui resolusi tahun 1977 menyatakan bahwa pelayanan kesehatan masyarakat tidak dapat merata sampai tahun 2000 tanpa mengikut sertakan sistem pengobatan tradisional. Pengobatan tradisional antara lain menggunakan obat tradisional, yang terdiri dari simplizia, jamu gendong, jamu berbungkus dan obat fitoterapi. Dalam upaya pembinaan dan pemanfaatan obat tradisional agar dapat digunakan oleh masyarakat desa, diperlukan intormasi tentang penggunaan obat tradisional dan faktor?faktor yang berhubungan dengannya. Untuk mendapakan informasi tersebut dilakukan survai secara cross sectional terhadap 27 ibu rumah tangga di desa Tapos, Bogor yang dipilih secara multistage random sampling. Data dikumpulkan deagan cara mewawancarai responden di rumahnya menggunakan kuesioner. Untuk analisis data dilakukan uji Chi-square dan uji Phi atau Cramer -s V. Dari hasil dan pembahasan disimpulkan sebagai berikut: 1. Dari karakteristik ibu rumah tangga yang berupa umur, jumlah anak, pendidikan dan pekerjaan, hanya hubungan pendidikan dan pekerjaan ibu rumah tangga dengan pengetahuan tentang obat tradisional yang bermakna. 2. Hubungan antara pengetahuan ibu rumah tangga tentang obat tradisional, sikap terhadap obat tradisional, kepercayaan terhadap khasiat obat tradisional dan ketersediaan obat tradisional dengan penggunaan obat tradisional secara statistik bermakna. Keeratan hubungan utama pada ketersediaan, lalu kepercayaan terhadap khasiat. pengetahuan dan terakhir sikap. 3. Ibu rumah tangga di desa Tapos yang menggunakan obat tradisional selama satu bulan sebesar 37,6%. 4. Penggunaan obat tradisional oleh ibu rumah tangga di desa Tapos kebanyakan : berupa simplisia nabati, digunakan untuk pengobatan sariawan pegel linu dan menjaga kesehatan beralasan karena manjur/cocok 1-4 kali sebulan, mendapat secara gratis/tidak membayar dan mengetahui manfaatnya dari orang tua. 5. Ibu rumah tangga di desa Tapos kebanyakan lebih mengenal simplisia nabati darapada jamu berbungkus maupun jamu gendong.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maryana Ugahary
Abstrak :
Latar Belakang Penelitian. Warm up merupakan suatu latihan pendahuluan yang dirancang mempersiapkan tubuh untuk mengikuti aktivitas olah raga. Terdapat beberapa macam warm up yaitu: 1. Warm up pasif : pemanasan tubuh dengan sumber dari, luar seperti mandi air hangat, pancuran air hangat, diatermi. 2. Warm up aktif : pemanasan tubuh dengan cara melakukan gerakan tubuh seperti berlari-lari, bersenam, bersepeda dan lain-lain. Warm up aktif dapat terdiri dari beberapa tahap, yaitu: a) Jalan atau lari perlahan (jogging), untuk meningkatkan aliran darah sehingga menghasilkan suhu tubuh yang lebih tinggi di seluruh tubuh. b) Latihan kalistenik yaitu gerakan tubuh yang ritmis sistematik yang biasanya dilakukan tanpa alat atau beban, terdiri dari gerakan melengkung (bending), berputar (twisting), mengayun (swinging), menendang (kicking) dan melompat (jumping) dan latihan lain seperti push up, sit up, chin up (7). Latihan kalistenik biasanya dilakukan dari atas ke bawah mulai leper, lengan dan bahu, abdomen, punggung dan tungkai. c) Latihan peregangan ,(stretching) untuk otot otot yang diperlukan dalam olah raga yang bersangkutan. Untuk pelari diperlukan peregangan otot bahu dan tricep, punggung, panggul, quadricep, hamstring, gastrocnimeus dan achilles_ Latihan peregangan yang dipakai sebaiknya yang secara statik yaitu setelah otot diregang penuh secara aktif, maka otot dipertahankan pada posisi ini selama beberapa waktu. Waktu yang diperlukan untuk mempertahankan peregangan ini sekurangnya 6 detik agar serabut kolagen dalam otot, tendon, ligamen, mendapatkan perobahan plastisitasnya. d) Tahap terakhir yaitu tahap koordinasi, dipusatkan pada teknik olah raga yang bersangkutan dengan mempraktekkan gerakan-gerakan spesifik, misalnya untuk olah raga lari jarak pendek dapat berupa latihan start dan beberapa sprint pendek 20 ? 40 meter. Seluruh warm up dapat berlangsung sekurangnya 15 - 20 menit sebagai akibat dari warm up suhu tubuh ditingkatkan. Hal ini merupakan satu dari beberapa faktor yang meningkatkan kemampuan (performance), karena meningkatnya suhu tubuh menyebabkan : 1. Meningkatnya kecepatan kontraksi dan relaksasi otot sehingga otot akan bekerja lebih efisien. 2. Hemoglobin membawa lebih banyak oksigen serta dissosiasinya juga lebih cepat. 3. Efek yang sama dengan hemoglobin juga terjadi pada myoglobin. 4. Proses metabolisme meningkat. 5. Hambatan pada pembuluh darah menurun. Pada latihan peregangan yang merupakan bagian dari warm up, memberi kelenturan otot yang periting untuk meningkatkan kemampuan pada olah raga atau perlombaan terutama pada pelari jarak pendek yang memerlukan kecepatan. Hogberg dan Ljunggren memeriksa efek warm up (dalam bentuk lari kecepatan sedang dikombinasi dengan kalistenik) terhadap kecepatan lari 100 meter, 400 meter, 800 meter, pada atlet yang terlatih baik. Didapatkan untuk lari 100 meter perbaikan 0,5 - 0,6 detik, untuk lari 400 meter perbaikan 1,5 - 3 detik, untuk lari 800 meter perbaikan 4 - 6 detik dibandingkan tanpa warm up. Sebagian besar penyelidik membuat kesimpulan bahwa suatu warm up cenderung meningkatkan kemampuan, meskipun belum ada kesamaan dalam menentukan Jenis, intensitas dan lama warm up. Mengenai lamanya warm up, Hogberg dan Ljunggren juga mengamati hasil lebih baik sesudah warm up 15 menit dibanding sesudah 5 menit pada lomba lari 100 m, tetapi selanjutnya perbaikan tidak bermakna bila warm up diperpanjang dari 15 menit - 30 menit. Lari sprint 400 meter yang merupakan endurance sprinter memerlukan energi aerobik + 30%, energi anaerobik ± 70% sedangkan sprint 100 meter hampir seluruhnya memerlukan energi anaerobik. Sebagai cara yang mudah untuk menentukan apakah intensitas dan lama warm up sudah cukup, yang merupakan tanda adanya kenaikan suhu tubuh yaitu dengan melihat apakah atlet yang menjalankan warm up sudah mulai berkeringat. Bila diinginkan cara yang lebih ilmiah yaitu dengan mengukur kenaikan suhu tubuh. Berdasarkan hal tersebut diatas, penulis ingin melakukan penelitian sampai seberapa jauh pengaruh intensitas dan lama warm up terhadap kecepatan lari pada pelari jarak pendek.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1990
T58508
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Selvinna
Abstrak :
Di Indonesia, dunia obat-obatan tidak terbatas pada bahan yang berasal dari zat kimia/obat modern. Besarnya kebutuhan akan obat menyebabkan meningkatnya penggunaan bahan atau senyawa dari bahan alam sebagai zat berkhasiat, di samping penggunaan obat dari bahan alam lebih ekonomis dan efek sampingnya lebih sedikit. Salah satu jenis obat dari bahan alam yang menguasai pasaran dan digemari masyarakat Indonesia adalah obat-obat tradisional Cina, yang dalam berbagai bentuk sediaan dan indikasi dijual secara bebas di hampir seluruh kota di Indonesia, baik dengan status terdaftar maupun tidak terdaftar. Obat-obat tradisional Cina telah digunakan sejak ribuan tahun yang lalu, dan dalam periode yang panjang ini masyarakat Cina telah menyusun farmakope raksasa yang berisi ribuan formula obat untuk berbagai penyakit yang dipercaya khasiatnya secara empiris. Obat tradisional Cina biasanya memiliki komposisi yang merupakan kombinasi dari beberapa bahan alami. Kombinasi ini bertujuan untuk meningkatkan kerja bahan utama dari komposisi tersebut, atau untuk mengurangi efek samping bahan utama tersebut. Obat tradisional Cina telah dipercaya memiliki efek antitumor, memperbaiki sistem kardiovaskuler dan hemostasis, antipiretik, dan sebagai imunomodulator. Sayangnya, hingga kini data kimia dan biologi dari komposisi obat tradisional tersebut masih sangat terbatas sehingga sulit menentukan zat mana yang merupakan zat aktif utama yang menyebabkan efek terapi. Demikian pula, sulit menentukan zat mana yang dapat menyebabkan efek samping dan toksisitas, sehingga memang tidak mudah menentukan efektivitas dan keamanan obat tradisional Cina. Salah satu dari sekian banyak obat tradisional Cina yang tersedia luas di pasaran adalah Pien Tze Huang, yang dipercaya memiliki khasiat dalam mengatasi penyakit hati, keganasan, dan berbagai penyakit inflamasi seperti gingivitis, abses, dan sebagainya. Hingga kini terdapat beberapa publikasi percobaan hewan yangmembuktikan efek protektif Pien Tze Huang pada sel hati, namun di Indonesia belum pemah dilakukan penelitian obat ini pada manusia. Di Indonesia terdapat kebiasaan pada sebagian pasien untuk menggunakan Pien Tze Huang setelah operasi agar luka operasi cepat sembuh dan tidak infeksi. Walaupun kebiasaan ini telah dijalankan selama puluhan tahun tanpa menimbulkan efek yang tidak diinginkan, belakangan terdapat laporan terjadinya perdarahan pada pasien pasca bedah yang menggunakan Pien Tze Huang. Namun hubungan antara terjadinya perdarahan dengan penggunaan Pien Tze Huang tersebut masih belum jelas, sehingga penelitian ini dilakukan untuk menilai efek Pien Tze Huang terhadap parameter hemostasis.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T 16200
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library