Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 1111 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Gusdi Sastra
Depok: Universitas Indonesia, 1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yayah Bachria Mugnisjah Lumintaintang
"Masyarakat Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta) terdiri atas berbagai bangsa dan suku bangsa dengan berbagai latar belakang sosial, budaya, dan bahasa. Hasil sensus penduduk memperlihatkan bahwa masyarakat Jakarta terdiri atas berbagai kelompok etnis, seperti Jawa, Sunda, Minangkabau, Batak, Manado, dan Anton (B'S, 1991). Dengan kata lain, masyarakat Jakarta adalah masyarakat majemuk.
Bahasa yang dipergunakan sebagai alat komunikasi masyarakat Jakarta adalah .bahasa Indonesia, bahasa Melayu (yang lebih dikenal "dialek Jakarta" atau Melayu Betawi), bahasa Jawa, Bahasa Sunda, bahasa-bahasa daerah serta dialek lainnya, dan Bahasa asing, seperti bahasa Inggris dan bahasa Belanda. Bahasa-bahasa itu dipergunakan oleh pemakainya menu-rut suatu pala pemakaian bahasa yang sesuai dengan fungsi, situasi, dan konteksnya. Ada juga orang Jakarta yang menggunakan bahasa oampuran (Lumintaintang, 1976; Muhadjir, 1979).
Dari gambaran situasi kebahasaan di atas, jika dipandang dari sudut masyarakatnya atau adanya lebih dari satu bahasa dalam masyarakat tersebut, situasi kebahasaan di DKI Jakarta dapat disebut kedwibahasaan secara kemasyarakatan (societal bilingualism) menurut konsep Mackey (dalam Fishman, Editor, 1968:555); Haugen, (1972c:309); Fishman, (1975:73); Halim dan Latief (1975:5); Dittmar (1976:197); Nababan (1994c:29-31), dan Moeliono (1985:88).
Dengan kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi kenegaraan (Halim, 1976:20-22; Nababan, 1981:4-5; dan Moelicno, 1985:38), Berta adanya kontak antarbahasa daerah di wilayah kota Jakarta itu, banyak anggota masyarakat Jakarta merupakan dwibahasawan secara perseorangan (individual bilingualism). Jika dipandang dari pembedaan fungsi bahasa tertentu dalam masyarakat (Ferguson, 1959 dalam ^i1, 1971:1-26 dan dalam Giglioli, Editor, 1972:232-236); Fishman (1975:73); Poedjosoedarmo (1979:2); dan Moeliono (1985:85-91), situasi kebahasaan di Jakarta dapat disebut situasi diglosik dengan bahasa Indonesia yang mempunyai fungsi "tinggi" (H) dan bahasa daerah, termasuk dialek Jakarta, sebagai bahasa yang mempunyai fungsi "rendah" (L) karena secara resmi dan umum, bahasa Indonesia biasanya/umumnya dipakai dalam situasi resmi umum, dan bahasa Indonesia dipelajari dalam situasi (pendidikan) formal, sedangkan bahasa daerah diperoleh di luar sekolah.
Proses urbanisasi dan irdustrialisasi yang sangat pesat pada beberapa tahun terakhir ini menyebabkan komunikasi antardaerah semakin meningkat. Keadaan-keadaan seperti ini menyebabkan semakin banyak kontak antarbahasa daerah yang menghasilkan perubahan kebiasaan berbahasa seseorang. Komunikasi antarbahasa daerah terdapat pula di kawasan transmigrasi karena transmigrasi mempertemukan masyarakat dan, daerah atau pulau yang berbeda. Salah satu akibat lain dari pertemuan anggota masyarakat dari daerah atau pulau yang berbeda adalah terjadinya perkawinan campuran, yang di dalam disertasi ini dimaksudkan perkawinan antarsuku, yang antara lain, perkawinan antara orang-orang dari suku Jawa dengan suku Sunda, suku Batak dengan suku Jawa, suku Aceh dengan suku Minang, atau suku Manado dengan suku Ambon. Adanya perkawinan campuran itu menyebabkan adanya situasi bilingual (multilingual) di dalam rumah tangga?"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1990
D194
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bawole, George
"Disertasi ini membahas fokus dalam bahasa Bantik. Pengertian "fokus" pada penelitian ini mengacu kepada pendapat yang sudah menjadi lazim di kalangan pengamat bahasa yang termasuk bahasa Filipina, misalnya Pike (1972), Prentice (1965, 1981), Naylor {1975, 1978, 1980), Dahl (1978, 1984, 1986), Ferrell dan Stanley (1980), Milner (1980), Kroeger (I988a, 1988b), Arms (1991). Para linguis berpendapat bahwa fokus mengacu kepada perhatian penutur terhadap salah satu dari beberapa relasi sintaktis-semantis antara predikat yang berkelas verba dengan nomina (pronomina, frasa (pro)nominal) pada sebuah klausa. Biasanya ada pemarkah secara formal pada verba, yang menandai adanya relasi sintaktis-semantis itu dan pemarkah itu juga menandai apa peran nomina (pronomina, frasa (pro)nominal) yang dikenai relasi itu. Oleh Pike (1972: 197), relasi sintaktis-semantis itu disebut relasi aktivitas terfokus dari predikat (focused activity-relation of the predicate), dan nomina (pronomina, frasa (pro)nominal) yang dikenai relasi itu disebut komplemen fokus (focus-complement).
Untuk menjelaskan relasi aktivitas terfokus ini, saya kutip contoh yang diambil Pike (ibid: 197) dalam bahasa Bilaan (salah satu bahasa di Filipina). Bahasa Bilaan mempunyai tiga macam relasi aktivitas terfokus, yaitu (a) relasi aktivitas terfokus pada pelaku (actor-focused activity relation), (b) relasi aktivitas terfokus pada sasaran (goal-focused activity relation), dan (c) relasi aktivitas terfokus pada referen (referent-focused activity relation). Komplemen fokusnya disebut komplemen fokus pada pelaku (actor-focused complement), komplemen fokus pada sasaran (goal-focused complement), dan komplemen fokus pada referen (referent--focused complement)."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1993
D68
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Njaju Jenny Malik
"Sejak beberapa tahun yang lalu studi sistematik tentang hubungan antara bentuk bahasa dan makna sosial telah berkembang dengan pesat (Ervin Tripp, 1969: 10). Di sini terlihat bahwa bahasa bukan hanya memiliki aspek-aspek linguistik saja tetapi juga memiliki aspek-aspek sosial. Jadi pemakaian bahasa selain tergantung pada strukturnya, juga tergantung pada faktor-faktor sosial.
Kesadaran tentang hubungan yang erat antara bahasa dan masyarakat menjadi lebih nyata pada pertengahan abad ini. Para ahli bahasa mulai sadar bahwa pengkajian bahasa tanpa mengaitkannya dengan masyarakat akan mengenyampingkan beberapa aspek penting dan menarik, dan mungkin menyempitkan pandangan terhadap disiplin bahasa itu sendiri. Satu aspek yang mulai disadari adalah hakekat bahwa bahasa adalah suatu gejala yang senantiasa berubah, dan jika diteliti sebagian dari puncak perubahan itu timbal dari masyarakat yang menuturkannya. Sesuatu bahasa itu bukanlah suatu cara pertuturan yang digunakan oleh semua orang bagi semua situasi dalam bentuk yang sama, sebaliknya bahasa itu berbeda-beda tergantung terhadap siapa ia digunakan, oleh siapa, di mana, dan juga mengenai apa.
Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa untuk dapat berhubungan dengan manusia lain maka manusia menggunakan bahasa. Tanpa bahasa baik lisan maupun isyarat (melalui gerak-gerik tangan, kaki, dan seluruh badan) tak mungkin sesuatu yang terkandung di dalam pikiran dapat dinyatakan. Adapun yang dimaksud dengan alat perhubungan di sini meliputi aspek yang lebih luas. Di dalam konteks warga masyarakat fungsi bahasa adalah sebagai alat untuk menjamin dan mengekalkan hubungan diantara warga dalam masyarakat tersebut.
Selain itu juga bahasa mempunyai fungsi utama dan fungsi khusus. Fungsi utama dari bahasa adalah fungsi komunikasi, di mana fungsi ini memungkinkan para anggota masyarakat bahasa saling mengerti sesamanya. Sedangkan fungsi khusus bahasa adalah fungsi estetis.Oleh karena itu dalam masyarakat pemakai bahasa ada komunitas manusia yang menganggap diri mereka menggunakan bahasa yang sama (language community). Dengan demikian di dalam suatu masyarakat yang majemuk dihasilkan variasi-variasi bahasa yang digunakan oleh masyarakat itu sendiri. Oleh karena bermacam-macam sebab, dapat terjadi pertemuan antara dua masyarakat yang masing-masing menggunakan bahasa yang berlain-lainan. Akibatnya penutur kedua bahasa itu dapat belajar unsur-unsur dari bahasa yang lain yang belum dikenal sebelumnya. Kemampuan mengerti sampai dapat menggunakan secara aktif bahasa yang lain itu melahirkan keadaan yang disebut sebagai kedwibahasaan.
Dalam masyarakat Indonesia yang terdiri dari bermacam-macam suku bangsa dengan sendirinya terdapat pula bermacam-nacam bahasa, yang digunakan untuk berkomunikasi antar anggota masyarakat yang sama penggunaan bahasanya. Dengan kekayaan bahasa daerah yang beratus-ratus jumlahnya di samping bahasa nasional, masyarakat Indonesia merupakan masyarakat gandabahasa yang semakin sarat dengan beban permasalahan bahasa."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ngusman Abdul Manaf
"This study is aimed at describing and explaining the variation of the realization of politeness strategies on the directive in the Indonesian language produced by members of the Minangkabau ethnic group in Padang. The sources of the data are Indonesian speakers who originally belong to the Minangkabau ethnic group. In addition, there are also data taken from documents. The data consist of utterances performing directives in Indonesian produced by members of the Minangkabau ethnic group in Padang. The data were collected using survey questionnaire, interview, participant observation and from documentary sources. The main method of data analysis was quantitative and supported by qualitative analysis.
The results of the study reveal that the cues showing the phenomena are as follows. In the realization of directives in Indonesian, the respondent uses the various types of utterances that can be grouped into five categories as suggested by Brown and Levinson (1987). The frequency distribution among categories is different. The five main speech act categories are (1) bald on record, (2) on record with redressive action using positive politeness, (3) on record with redressive action using negative politeness, (4) off record, and (5) not doing the face-threatening act (FTA).
The use of speech strategies is in-line with the degree of politeness, namely the awareness to show that the speaker saves the face of the participants, specifically the face of the addressee from the acts threatening his face. The respondents of this study (possibly the other speakers as well) minimize the threat to participants' face by mitigating the illocutionary force of the utterance. Basically, they mitigate the illocutionary force in two ways, namely (1) minimizing the distance between speaker and addressee (in-group ness) and (2) maximizing the distance between speaker and addressee (distancing).
The speaker chooses a certain speech strategy based on the potential weight of the threat to the participants face. The weight of the threat is calculated on the basis of two main parameters, namely (1) degree of power differences between speaker and addressee (+ P or -P) and (2) degree of solidarity between speaker and addressee (+S or -S). If the power of the speaker is higher than that of the addressee and the solidarity between the speaker and the addressee is low and other factors remain constant, the weight of the face threat is high. On the contrary, if the power of the speaker is lower than that of the addressee and the degree of solidarity is high while the other factors remain constant, the weight of the face threat is low. If the weight of the face threat is high, the respondents tend to choose more indirect speech strategies. On the other hand, if the face threat is low, the participants tend to choose the more direct speech strategies.
Among the five main speech strategies, the strategy on record with redressive action using negative politeness is the most frequently used for realizing directive in Indonesian. The plausible explanation for this choice is the fact that this strategy contains medium level indirectness; the utterances produced are not too direct as in bald on record, nor is it too indirect as in hints. Bald on record strategy produces a strong illocutionary force that can be perceived by the addressee as imperative. On the other hand, hints are considered as utterances, which are so indirect that the addressee as irony can perceive them. Both imperative and irony might threaten the addressee's face. The selection of speech strategies in the realization of directive speech act in Indonesian by the respondents is influenced by the use of the Minangkabau language that recognizes four types of register so-called longgam kato non ampek (four types of Minangkabau register which functions to differ the level of politeness). The influence of langgam kato nary ampek on the selection of speech strategy can clearly be observed in the use of address terms and the use of indirect speech acts.
The findings show that there are inter-group differences within the Minangkabau ethnic community in Padang in the realization of directives on the basis of age group and social class, but the difference is not significant in terms of gender variable. Respondents who are younger and those who come from lower social class use indirect speech strategies more frequently than those who are older or those who come from the higher social class. The younger respondents and those who come from the lower social class possess higher awareness to save the participants' face, specifically the addressee's face as compared to the older respondents and those who come from the higher social class. The tendency to use indirect speech act in the realization of directives by the younger respondents and those who come from the lower social class results from their evaluation that more indirect speech strategies tend to have a lower probability to threaten the face than direct speech acts.
The differences in the realization of speech strategies by the respondents on the basis of age group and social class show that there is an on-going shift in the way of viewing the politeness principle by Minangkabau ethnic group in Padang. Politeness principle, which used to be adhered to by minimizing the social distance between the speaker and the addressee (in-group ness), is slowly replaced by the politeness principle which is observed by maximizing the social distance between the speaker and the addressee (distancing). The shift is hypothesized to result from the fact that the younger respondents and those from the lower social class feel unsafe when they use on record with redressive action using positive politeness strategy, whose basic principle is to minimize the social distance between the speaker and the addressee."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
D534
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Djantera Kawi, compiler
"Dialektologi sebagai bagian dari linguistik historis komparatif, sejak kebangkitannya pada tahun 1876, yang disemarakkan oleh munculnya DSA (Deutscher Sprachatlas) oleh George Wenker pada tahun-tahun berikutnya telah memberi angin baru atau memperkaya pandangan para ahli bahasa dalam telaah kebahasaan. Bahkan kemudian pengingkaran atas hukum-bunyitanpa-kecuali (Ausnahmslosigkeit der Lautaesetze), yaitu pandangan kebahasaan yang dianut oleh kelompok yang menamakan dirinya Neogrammarians (Junggrammatiker) dengan tokoh-tokoh seperti Brugmann, Osthoff dan Leskien.
Sejak itu perhatian pada bidang dialektologi yang juga dikenal sebagai geografi bahasa atau dialek semakin meningkat; dan hal ini ditandai antara lain dengan munculnya karya besar Gillieron yaitu ALF (Atlas Linguistique de la France) dengan suatu modifikasi dalam hal metodologinya apabila dibandingkan dengan DSA-nya Wenker. Ferdinand de Saussure, pelopor linguistik struktural yang membuat pembedaan bahasa ke dalam apa yang dinamakan langue (bahasa sebagai sistem tanda) dan parole (pemakaian bahasa atau ujaran) menyebut data DSA sebagai langue dan ALF sebagai parole (Moulton, 1972: 199).
Dalam kontras dengan linguistik historis komparatif, dialektologi dianggap sebagai telaah variasi bahasa pada dimensi (matra) lain dari dimensi waktu. Dialektologi berkenaan dengan dimensi yang berhubungan dengan ruang dan jarak geografis.
Bahasa yang dipakai pada wilayah yang luas sering diucapkan agak berbeda atau sangat berbeda antara satu wilayah dengan wilayah yang lain. Perbedaan tersebut mungkin berkenaan dengan fonologi, leksikon dan gramatika. Variasi geografis ini sesungguhnya sudah lama menjadi perhatian para ahli kebahasaan. Oleh karena itu dalam menerapkan hukum bunyi tersebut, para pemuka Junggrammatiker mengatakan bahwa hukum-hukum itu berlaku dalam batas-batas tertentu. Bila ada penyimpangan maka penyimpangan itu akan dirumuskan kembali dalam hukum tertentu yang lain. Bila tidak dapat dijelaskan maka hal itu merupakan akibat dari analogi. Hal ini ditopang oleh penemuan K. Verner dalam tahun 1876, yang kemudian terkenal dengan nama Hukum-Verner. Rumusan Hukum Verner tersebut berbunyi sebagai berikut: 'Frikatif tak bersuara bahasa German akan berubah menjadi frikatif bersuara dalam lingkungan bersuara bila aksen utamanya tidak terdapat pada vokal sebelumnya dalam bahasa Proto Indo-Eropa' (Keraf, 1984. 43).
Di samping itu yang penting dicatat sebagai dampak dari telaah geografi dialek ialah bahwa bahasa-bahasa lokal dengan kebervariasian dan keberbedaannya yang besar mampu menyajikan data yang sangat luas yang berperan sebagai sebuah laboratorium yang dapat dimanfaatkan oleh para ahli bahasa dengan segala ancangan teori telaahnya (Moulton, 1972: 217).
Dari sejarah perkembangan dialektologi, sejak kebangkitannya, pada pertengahan abad ke-19 di Eropah hingg sekarang, tampak bahwa baik dialektologi itu sendiri (juga linguistik historis komparatif sebagai induknya) maupun linguistik umum telah berkembang dengan pesat dan saling menopang. Dengan berkembangnya linguistik struktural yang rumusan-rumusannya didasarkan pada berbagai data lapangan yang sangat bervariasi, maka berkembang pula dialektologi struktural sebagai implikasi dari penerapan teori-teori struktural dalam telaah dialektologi. Begitu pula dalam perkembangan selanjutnya dalam hal penerapan teori generatif dan sosilinguistik.
Apabila dalam sejarah perkembangan linguistik di Eropah, dialektologi--melalui peta-peta--menyajikan segala macam gejala fonologi, leksikal dan gramatikal yang sangat berharga untuk telaah linguistik, maka telaah dialektologi atas bahasa-bahasa Indonesia tentu akan bermanfaat pula bagi para ahli bahasa di Indonesia dan perkembangan linguistik di Indonesia."
Depok: Universitas Indonesia, 1991
D00165
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anton M. Moeliono
"Bahasa Indonesia sering dijadikan contoh keberhasilan di dalam perencanaan bahasa, khususnya di dalam fungsinya selaku bahasa kebangsaan. Tidak dapat diingkari bahwa kedudukannya di dalam sejarah bahasa, sosial, dan politik Indonesia sangat penting. Beberapa monografi mutakhir memerikan aspek luar-bahasa itu dari berbagai sudut pandangan. Bodenstedt (1967), misalnya, dengan menggunakan ancangan (approach) sosiologi, berusaha menjelaskan tata hubungan antara bahasa kebangsaan dan gerakan politik untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Khaidir Anwar (1976) menangani masalah yang berhubungan dengan pengangkatan bahasa Malaya menjadi bahasa kesatuan nasional di Indonesia dan peranannya kemudian sebagai bahasa negara yang resmi di dalam perspektif sosiolinguistik. Aspek sejarah dan sosiolinguistik juga menjadi perhatian Husen Abas (1978) yang membahas peranan bahasa Indonesia sebagai bahasa, pemersatu di dalam jaringan kornunikasi antarsuku dan antarbudaya.
Kemiripan telaah penulis ini dengan ketiga tesis yang disebut di atas terletak pada minat terhadap masalah kebahasaan dan cara pemecahannya. Perbedaannya akan tampak di dalam ancangannya yang menempatkan berbagai masalah itu di dalam kerangka teori perencanaan bahasa yang sedang berkembang. Studi ini berusaha mensistemkan konsep-konsep pokok di dalam teori itu dengan bertolak dari praktek pengembangan dan pembinaan bahasa di Indonesia selama ini. Penelaahan itu menghasilkan kerangka acuan baru, yang pada hemat penulis ini, dapat memadukan bermacam-macam pandangan perencanaan bahasa ke dalam kesatuan yang lebih bersistem. Walaupun penulis ini tidak ingin dituduh hanya bermain dengan istilah yang lazim dipakai di dalam kepustakaan perencanaan bahasa, salah satu usaha awalnya, yang dirasakannya perlu dilakukan di dalam kalangan ini, justru berupa pencermatan pembatasan makna istilah yang kadang-kadang masih bersimpang-siur.
Di samping itu, sebagai pengarang yang menulis di dalam bahasa Indonesia, penulis ini juga berhadapan dengan masalah pengungkapan pikirannya di dalam ragam bahasa ilmiah. Atas kepercayaan bahwa perkembangan ilmu dan ragam bahasa ilmiah gantung-bergantung, maka di dalam tulisan ini akan ditemukan sejumlah istilah Indonesia yang mungkin digunakan untuk pertama kali untuk merujuk ke konsep yang pelambangannya di dalam bahasa Inggris sudah disepakati oleh kalangan ahli sosiolinguistik. Penulis ini pun ingin menunjukkan bahwa pergumulannya dengan materi pembahasannya, yang harus direkamkannya di dalam bahasa yang masih sering dianggap orang kurang terkembang, merupakan proses yang kreatif baginya.
Di dalam proses penulisan itu, penulis ini banyak dipengaruhi oleh gagasan Haugen, pelopor teori perencanaan bahasa, yang lewat karangannya turut mewarnai penafsiran pelbagai pokok bahasan studi ini. Penulis ini juga merasa diperkaya oleh wawasan Ferguson, Fishman, Rubin, Neustupny, dan Jernudd, yang baik lewat percakapan pribadi maupun lewat tulisannya, merupakan sumber bagi apa pun yang berharga di dalam studi ini. Dengan sendirinya penyimpangan anggapan terhadap apa yang disebut perencanaan bahasa yang sekarang dianut oleh penulis ini tidak dapat dipulangkan kepada mereka. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1981
D1004
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Kaswanti Purwo
"Penelitian yang saya lakukan semenjak bulan Juli 1976 ini merupakan usaha saya untuk mendalami dan memahami bahasa Indonesia; apa yang saya lihat dalam bahasa Indonesia itu kemudian saya tuangkan dalam karya tulis yang terdiri dari tujuh bab. Ada berbagai alat yang dapat dipergunakan untuk melihat atau mengamati sesuatu. Dalam mengamati bahasa Indonesia ini saya memilih memakai kerangka teori deiksis. Namun, kecondongan penelitian ini tidak saya tujukan pada usaha untuk mengembangkan teori deiksis itu sendiri (dengan memakai bahan-bahan yang ada dalam bahasa Indonesia) melainkan lebih saya arahkan pada pemergunaan teori deiksis sebagai alat untuk menyingkapkan seluk-beluk yang ada dalam bahasa Indonesia. Untuk tujuan penyingkapan itu saya perbandingkan pula beberapa fenomena dalam bahasa Indonesia dengan yang ada dalam bahasa-bahasa tak serumpun (seperti bahasa Inggris, Prancis, Belanda, Latin, Rusia) dan bahasa-bahasa serumpun (seperti bahasa Tagalog, Batak Toba, Sunda, Jawa, Aceh).
Saya memulai penelitian dengan mengkhasanahkan leksem-leksem persona, ruang, dan waktu dalam kaitannya dengan deiksis. Kata-kata yang berhubungan dengan persona, ruang, dan waktu itu saya daftar dan saya perikan aspek semantis leksikalnya dalam Bab II. Uraian dalam Bab II membatasi diri pada bidang semantis leksikal karena yang dibahas dalam bab ini adalah masalah deiksis luar-tuturan (eksofora). Pembatasan bidang yang dianalisis ini membawa akibat adanya beberapa persoalan-antara lain hubungan antara bentuk verbal di- dengan kata ganti persona--yang tidak dapat diuraikan lebih lanjut dalam Bab II; persoalan-persoalan itu kemudian dipaparkan secara terpisah dalam bab lain.
Kalau dalam Bab II yang dibicarakan adalah deiksis luar-tuturan (eksofora), dalam Bab III yang dibahas adalah deiksis dalam-tuturan (endofora). Uraian dalam Bab III menyangkut salah satu aspek sintaksis, yaitu perihal koreferensi. Salah satu akibat dari penyusunan konstituen﷓konstituen bahasa secara linear adalah kemungkinan adanya konstituen tertentu yang sudah disebutkan sebelumnya.mengalami penyebutan ulang, Kedua konstituen tersebut karena kesamaannya lazim dinyatakan sebagai dua konstituen yang berkoreferensi (memiliki referee yang sama). Ada tiga macam strategi dalam peristiwa koreferensi ini: {i) mempronominalkan salah satu konstituennya (masalah anafora termasuk ke dalam jenis pertama ini), (ii) melesapkan (menghilangkan) salah satu konstituennya, dan (iii) menyebut ulang konstituen yang telah disebutkan sebelumnya. Bahasa Indonesia menempuh strategi yang berbeda dengan strategi yang ditempuh oleh bahasa lain yang tak serumpun (misalnya bahasa Inggris). Bahasa seperti bahasa Inggris lebih banyak menempuh strategi daripada bahasa Indonesia; bentuk-bentuk pronominal dalam bahasa Indonesia tidak sebanyak yang ada dalam bahasa seperti bahasa Inggris. Bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sama-sama dapat menempuh strategi tetapi kendala (constraint) yang mendasari struktur ini berbeda. Strategi lazim ditemukan dalam bahasa Indonesia tetapi tidak dalam bahasa seperti bahasa Inggris. Masalah seperti ini-karena menyangkut bidang sintaksis yang lebih luas-tidak diuraikan lebih lanjut pada Bab III melainkan pada Bab VII.
Percampuran antara deiksis luar-tuturan dan deiksis dalam-tuturan diuraikan dalam Bab IV; peristiwa percampuran ini dalam penelitian ini termasuk dalam apa yang disebut pembalikan deiksis (deictic reversal). Pembalikan deiksis dalam hal persona dapat dijumpai misalnya dalam kalimat kutipan tidak langsung bahasa Rusia (Brecht 1974:513 ff.). Pembalikan deiksis dalam hal waktu dapat ditemukan misalnya dalam fenomenon yang lazim disebut epistolary tense (misalnya dalam bahasa Latin Klasik) dan historical present (misalnya dalam bahasa Inggris). Bahasa Indonesia selain menunjukkan adanya fenomenon pembalikan deiksis dahal persona dan waktu, juga memperlihatkan adanya fenomenon pembalikan deiksis dalam hal ruang, seperti yang dapat dijumpai dalam pembicaraan dengan telepon dan dalam penulisan surat.
Aspek semantis situasional dari kata ganti persona dalam bahasa Indonesia yang belum dibahas dalam Bab II (karena dalam bab itu kerangka pembicaraannya terbatas pada aspek semantis leksikal saja) dipaparkan dalam Bab V. Aspek semantis situasional yang disoroti dalam Bab V ini dikritkan dengan masalah kepekaan-konteks (context-sensitivity) yang dapat dijumpai dalam struktur yang bermodus imperatif, adhortatif, dan dubitatif.
Beberapa leksem ruang dan waktu ada yang belum dapat dibahas secara tuntas dalam Bab II karena leksem-leksem yang bersangkutan memiliki permasalahan yang menyangkut salah satu aspek dalam bidang sintaksis, yaitu susunan beruntun (sequential order). Perihal pemetaan kronologis (chronological mapping), struktur beku (freezes), dan struktur korelatif ikut dibahas dalam Bab VI sehubungan dengan kaitannya pada susunan beruntun. Hal ini dilakukan demi pemahaman beberapa leksem ruang dan waktu yang perlu ditelusuri lebih lanjut.
Sebetulnya penulisan hasil penelitian saya dapat ditutup atau diakhiri pada Bab VI. Akan tetapi, karena ada beberapa masalah yang belum terselesaikan penguraiannya dalam bab-bab sebelumnya, dan. masalah tersebut hanya disinggung sepintas lalu saja, padahal masing-masing masalah tidak terkumpul menjadi satu karena pemaparannya tersebar ke dalam kelima bab terdahulu secara terpisah-pisah, maka kesemuanya itu saya kumpulkan menjadi satu dalam Bab VII. Beberapa masalah tersebut dikumpulkan menjadi satu dalam Bab VII karena mempunyai suatu kerangka kesatuan tersendiri, kerangka yang menyangkut bidang sintaksis yang lebih luas (daripada yang ditelaah dalam bab-bab sebelumnya). Penelusuran permasalahan bidang sintaksis yang lebih luas ini ternyata menyeret saya lebih jauh ke salah satu aspek sintaksis yang penting dalam linguistik, yaitu tipologi bahasa. Akan tetapi, persoalan ini tidak ditelaah untuk dipecahkan dalam Bab VII karena, apabila ditelusuri lebih lanjut, hasilnya dapat menjadi suatu disertasi tersendiri. Oleh karena itu, apa yang dipaparkan dalam Bab VII hanyalah pemerian permasalahannya saja. Persoalan ini perlu dipecahkan bukan hanya demi pemahaman dari sudut pandang deiksis (karena hanya sedikit sekali kaitannya dengan deiksis) tetapi terlebih-lebih demi penyingkapan "misteri" dalam bidang sintaksis (terutama dalam bahasa Indonesia), suatu bidang studi linguistik yang hingga kini masih merupakan daerah yang "rawan". "
Depok: Universitas Indonesia, 1982
D264
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
E. Zaenal Arifin
"ABSTRAK
Konsep jumlah tergolong kategori semantik, seperti halnya jenis kelamin, modalitas, aspektualitas, dan temporalitas yang masing-masing berpasangan dengan kategori gramatikal bilangan, jenis (gender), modus (mood), aspek (aspect), dan kala (tense). Konsep jumlah tersebut merupakan gambaran di dalam pikiran manusia yang menyatakan satu atau tunggal dan lebih dari satu atau jamak tentang maujud, hal, atau peristiwa di dunia nyata atau yang dibayangkan.
"Pengungkapan konsep jumlah di dalam bahasa Sunda" ini berlatar pokok bahasan semantik, yaitu berlatar masalah pengacuan, sedangkan pengungkapannya harus diamati pada tataran morfologi dan sintaksis. Dari sudut semantik ditelusuri berjenis jenis pengacuan yang disandang pleb konsep ketunggalan dan kejamakan. Dari sudut morfologi dan sintaksis analisis data diarahkan pada pemarkahan, pembentukan, dan distribusi ungkapan yang berkonsep ketunggalan dan kejamakan. Di samping 1W, ungkapan tertentu mempertimbangkan juga aspek pragmatik, yaitu yang menghubungkan sistem bahasa dengan pemakaian bahasa di dalam komunikasi (Kridalaksana et al. 1985:6; Verhaar 1996:14; Levinson 1997:9), yang di dalam hal ini siapa pembicara, kawan bicara, di mana, dan kapan diproduksinya ungkapan yang berkonsep jumlah tersebut (Brown dan Yule 1996:27).
Pertanyaan tentang bagaimana pengungkapan konsep jumlah, baik secara leksikal maupun secara gramatikal, belum dirinci dengan jelas. Alat apakah yang dipergunakan sebagai pemarkah jumlah secara leksikal, dan alat apa pula yang dipergunakan secara gramatikal, baik secara morfologis maupun secara sintaktis, belum juga dibahas dengan memadai.
Tujuan Penelitian
Sesuai dengan latar pokok bahasan pada tujuan penelitian ini adalah:
(a) mengamati, memerikan, dan menjelaskan jenis pengacuan yang disandang each ungkapan yang berkonsep ketunggalan dan kejamakan;
(b) mengamati, memerikan, dan menjelaskan bermacam-macam pemarkah jumlah, baik secara leksikal maupun secara gramatikal;
(c) mengamati, memerikan, dan menjelaskan kendala konstruksi dan distribusi ungkapan yang berpengacuan ketunggalan dan kejamakan.

ABSTRACT
Concepts of numbers are classified as a semantic category, likewise sex, modality, aspectuality and temporality, each of which can be paired with the grammatical category of numeral, gender, mood, aspect, and of tense. Such a concept is formulated in one's mind as being one or singular and being more than one or plural about entities, conditions, and phenomena in a real or imagined world.
The act of expressing the concepts of number in Sundanese concerns mainly with semantic issues, namely references, whereas it has to be observed at the levels of morphology and syntax. From semantic points of view, various referring expressions endowed in the concepts for singularity and plurality are thoroughly analysed in this study. From morphological and syntactical points of view, an analysis is conducted with the focus on the process of marking, forming, and distributing expressions of the concepts for singalurity and plurality. Besides, certain expressions are analysed with some considerations on the aspects of pragmatic, namely those interconnecting a language system and a language use (Kridalaksana et at. 1985:6; Verhaar 1996:14; Livinson 1997:9), and those concerning the speaker, hearer, setting, and time of producing an expression of the concept of number (Brown and Yule 1996:27).
2. Research Objectives
In line with the background stated earlier, the research study aims to
(a) observe, describe, and explain various references shown by the expressions of the concepts for singularity and plurality;
(b) observe, describe, and explain various markers of number, both lexically and grammatically;
(c) observe, describe, and explain the constraints on the formation and distribution of referring expressions of singularity and plurality.
"
2000
D39
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sudaryono
"ABSTRAK
karena perubahan itu dapat berarti pembatalan, penolakan, atau peniadaan yang kesemuanya itu akan menentukan tindak lanjut komunikasi yang sedang dilakukan. Mengingat pentingnya negasi bagi kelanjutan suatu komunikasi, maka negasi menjadi pusat perhatian dalam pembentukan dan pemahaman makna suatu tuturan.
Pentingnya negasi dalam suatu bahasa dikemukakan oleh Lehmann. Melalui penelitiannya terhadap tiga puluh bahasa di dunia Lehmann (1973:52-53) berasumsi bahwa konstituen negatif, bersama dengan konstituen lain yang disebut qualifier, bersifat universal. Keuniversalan negasi juga ditunjukkan oleh Bloomfield (1933:249), Greenberg (1963), Langacker (1972:22), dan Payne (1985:233). Fakta bahwa negasi itu bersifat universal menunjukkan bahwa kehadirannya dalam setiap bahasa mendukung fungsi yang panting.
Khusus dalam bahasa Indonesia pentingnya negasi, disamping fungi utamanya sebagai alnt untuk menyangkal sesuatu, jugs ditunjukkan oleh terpakainya konstituen negatif sebagai salah satu parameter dalam penggolongan kata, terutama tidak den bukan untuk menentukan verba dan nomina. Beberapa ahli bahasa Indonesia itu menentukan verba sebagai kelas kata yang dapat bergabung dengan tidak, dan nomina sebagai kelas kata yang dapat bergabung dengan bukan dan tidak dengan tidak dalam konstruksi negatif. Walaupun negasi bukanlah parameter utama dan memadai2 untuk mengklasifikasikan kata-kata bahasa Indonesia, namun nomina den verba yang ditentu--ken olehnya adalah kelas kata yang utama dalam semua bahasa.
Kajian terhadap negasi dalam bahasa-bahasa Indo-Eropa dan beberapa bahasa yang lain telah banyak dilakukan.3 Bahkan disertasi tentang negasi dalam bahasa-bahasa selain bahasa Indonesia telah banyak ditulis, misalnya disertasi yang ditulis oleh Chasagrande (1968), Lasnik (1972), Coombs {1976), Bhatia (1978), De Abrew (881), dan Choi (1983). Akan tetapi penelitian yang mendalam don tuntas mengenai negasi dalam bahasa Indonesia sampai saat ini belum pernah dilakukan. Dalam survei Teeuw (1961) dan Uhlenbeck (1971) juga tidak dijumpai pembahasan masalah negasi dalam bahasa Indonesia. Dalam buku-buku tatabahasa Indonesia masalah negasi juga hanya disinggung secara dangkal, dan itu pun tidak terdapat dalam memos buku tatabahasa Indonesia.
Lazimnya pembahasan masalah negasi dalam buku-buku tatabahasa Indonesia dimasukkan ke dalam pembicaraan mengenai penggolongan kata. Dalam sepuluh buku tatabahasa yang telah penulis amati (yaitu Mees (1953), Alisjahbana (1954), Simorangkir-Simandjuntak (1955), Poedjawijatna (1958), Hadidjaja (1968), Fokker (1972), Safioedin (1973) dan (1978), Keraf (1973), dan Ramlan (1978)) tidak satu pun pengarang membahas secara khusus don mendalam masalah negasi dalam bahasa Indonesia. Begitu pule. dalam Tate Bahasa Baku Bahasa Indonesia (1888) dan dalam buku-buku pengajaran bahasa Indonesia untuk orang asing, seperti yang ditulis oleh MacDonald (1967), Wolff (1972), Soebardi (1973), Danusoegondo (1976) dan Nothofer (1986) masalah negasi juga tidak dibahas secara khusus."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1992
D333
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>