Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 22 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Andira Permata Sari
"Ketentuan dalam UU Pokok Agraria menyatakan bahwa tanah dengan status hak milik hanya dapat dimiliki oleh Warga Negara Indonesia. Namun sebagaimana yang terjadi dalam Putusan Mahkamah Agung No. 1208 PK/PDT/2022, Orang Asing ternyata menggunakan konsep pinjam nama (nominee arrangement) untuk dapat memiliki tanah hak milik di Gianyar, Bali. Konsep tersebut dituangkan ke dalam bentuk perjanjian yaitu Surat Pernyataan dan Perikatan yang dibuat di hadapan notaris. Penelitian ini dilakukan dengan mengangkat 2 (dua) rumusan masalah, yaitu kedudukan hukum penggunaan pinjam nama (nominee arrangement) yang dibuat dalam bentuk perjanjian di hadapan notaris dan kesesuaian pertimbangan majelis hakim dalam menggunakan Surat Edaran Mahkamah Agung sebagai dasar hukum penggunaan pinjam nama (nominee arrangement). Penelitian ini dilakukan berdasarkan metode doktrinal dengan
menggunakan data sekunder yang didukung oleh data primer. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsep pinjam nama (nominee arrangement) tidak diatur dalam perundang-undangan di Indonesia, sehingga untuk menentukan kedudukan hukumnya menggunakan aspek perikatan dan perjanjian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan aspek larangan pengasingan tanah dalam UU Pokok Agraria. Berdasarkan kedua peraturan tersebut konsep penggunaan pinjam nama (nominee arrangment) dianggap melanggar Pasal 1337 KUHPerdata dan Pasal 26 ayat (2) UU Pokok Agraria. Sedangkan terhadap notaris yang turut serta membuat akta autentik terkait pinjam nama telah tidak memenuhi kewajibannya dalam UU Jabatan Notaris dan Kode Etik Profesi untuk bersikap cermat dan menjaga kepentingan para pihak. Selain itu, penggunaan Surat Edaran Mahkamah Agung sebagai dasar hukum penggunaan pinjam nama (nominee arrangement) oleh majelis hakim sesuai dengan putusan-putusan pengadilan terdahulu yang memutuskan bahwa kepemilikan hak milik atas tanah tetap menjadi milik WNI sebagai pihak yang namanya tercantum dalam sertipikat. Namun ketentuan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut berbeda dengan akibat hukum yang diatur dalam Pasal 26 ayat (2) UU Pokok Agraria.

Agrarian Law (UU Pokok Agraria) stated that land with freehold status can only be owned by Indonesian citizens. However, as happened in Supreme Court Decision No. 1208 PK/PDT/2022, foreigners apparently use the concept of nominee arrangement to be able to own freehold land in Gianyar, Bali. This concept made in the form of a notarial agreement. This research was carried out by raising 2 (two) research questions, namely the legal position of nominee arrangements made in the form of a notarial agreement and the suitability of the panel of judges' considerations in using Supreme Court Circular (Surat Edaran Mahkamah Agung) compared to Agrarian Law (UU Pokok Agraria) as the legal basis for nominee arrangements. This research employs doctrinal legal methods using secondary data and alo supported by primary data. The results of the research shows that the concept of nominee arrangement is not regulated in Indonesian law, so to determine its legal position need to use the agreement aspect in the Civil Code (KUHPerdata) and the prohibition aspect of land alienation in the Agrarian Law (UU Pokok Agraria). Based on these two regulations, the concept of using nominee arrangements is considered to violate Article 1337 of the Civil Code (KUHPerdata) and Article 26 paragraph (2) of the Agrarian Law (UU Pokok Agraria). Meanwhile, notaries who participate in making authentic deeds related to nominee arrangements have not fulfilled their obligations in the Notary Law and the Professional Code of Ethics to be careful and safeguard the interests of the parties. Apart from that, the use of Surat Edaran Mahkamah Agung as a legal basis for determining the subject who has the right to own land in a nominee arrangement case by a panel of judges is correct. However, the provisions in the Supreme Court Circular (Surat Edaran Mahkamah Agung) are different from the legal consequences regulated in Article 26 paragraph (2) of the Agrarian Law (UU Pokok Agraria)."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Lenggo Geni
"Fokus pada penelitian ini mengenai kekuatan bukti kepemilikan Akta Pernyataan dan Akta Kuasa kepemilikan tanah dibandingkan dengan Sertipikat Hak Milik berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 691/PK/Pdt/2022. Metode penelitian dalam tesis ini yakni menggunakan bentuk penelitian hukum doktrinal. Tipologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari penelusuran data kepustakaan (library research). Sumber bahan hukum pada penelitian hukum doktrinal terdiri atas bahan hukum primer yang terdiri dari peraturan perundang-undangan terkait, sekunder berupa artikel dan jurnal. Penelitian ini menemukan bahwa Sertipikat Hak Milik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, sepanjang tidak dibuktikan sebaliknya. Sedangkan terhadap Akta Pernyataan dan Akta Kuasa ini dibuat dengan memenuhi prosedur pembuatan akta Autentik sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Jabatan Notaris, sehingga ia memiliki mempunyai kekuatan seperti undang-undang bagi pihak yang menandatanginya. Sehingga sepanjang Akta-Akta ini sudah memenuhi syarat-syarat prosedur pembuatannya sebagai Akta Autentik, maka akta-akta ini patut dihormati juga oleh pihak ketiga, sedangkan terhadap para pihak mengikat layaknya undang-undang yang mesti ditaati. Pertimbangan Hakim dalam menilai kekuatan kepemilikan akta pernyataan dan akta kuasa kepemilikan tanah dikaitkan dengan hukum daerah setempat pada penelitian ini dirasakan sudah tepat bahwa Hakim memandang bahwa akta pernyataan dan akta kuasa kepemilikan tanah atau yang dalam penelitian ini lebih tepat disebut sebagai akta pernyataan yang disepakati kedua belah pihak merupakan dasar dari pada Tuan KAJ dalam menerbitkan Sertipikat Hak Milik atas nama Tuan S, namun dalam pertimbangannya kurang kuat/kurang dasar. Patut ditambahkan, seperti ketentuan konstitusi UUD 1945, mengenai kesamaan hak bagi setiap warga negara Indonesia patut dipertahankan dan tidak terdapat perbedaan yang dalam putusan ini belum menjadi bahan pertimbangan Hakim.

The focus of this research is on the strength of the proof of ownership of the Deed of Declaration and Deed of Power of Attorney for land ownership compared to the Certificate of Ownership Based on the Supreme Court Decision Number 691/PK/Pdt/2022. The research method in this thesis uses a form of doctrinal legal research. The typology used in this research is descriptive research. The type of data used in this research is secondary data obtained from library research. Sources of legal materials in doctrinal legal research consist of primary legal materials consisting of related laws and regulations, secondary in the form of articles and journals. This research found that the Certificate of Ownership has perfect evidentiary power, as long as it is not proven otherwise. Meanwhile, the Deed of Declaration and Deed of Power of Attorney are made by complying with the procedure for making an Authentic Deed as stipulated in the Notary's Position Regulations, so that it has the force of law for the party who signs it. So as long as these Deeds fulfill the procedural requirements for making them as Authentic Deeds, then these Deeds should also be respected by third parties, while the parties are binding like laws that must be obeyed.. The Judge's consideration in assessing the strength of ownership of the statement deed and land ownership power of attorney deed is linked to local regional law in this research. In this research, it is felt that it is correct that the Judge considers that the statement deed and land ownership power of attorney deed or what in this research is more accurately referred to as the statement deed are secondly approved. Both parties are the basis for Mr. KAJ in issuing the Certificate of Ownership in the name of Mr. S, but in his consideration it is less strong/less than basic. It should be added, as is the constitutional provision of the 1945 Constitution, regarding equal rights for every Indonesian citizen which should be maintained and there are no differences which in this decision have not been taken into consideration by the Judge."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maxwell Kurniadi
"Pipil adalah salah satu bentuk dari surat pengenaan pajak atas tanah yang dianggap sebagai hak lama terhadap kepemilikan atas tanah sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria oleh masyarakat adat. Hak lama atas tanah yang minim informasi kepemilikannya dan tidak tercatat di Badan Pertanahan Nasional sering kali menjadi sasaran empuk bagi pelaku kejahatan untuk menguasai tanah secara “legal” dengan melakukan penipuan dalam pada salah satu syarat pendaftaran tanah untuk pertama kali. Perbuatan melawan hukum ini dilakukan pelaku dengan tujuan untuk meraup keuntungan melalui jual beli tanah kepada pihak ketiga selaku pembeli beritikad baik yang tidak mengetahui kebenaran sesungguhnya atas tanah tersebut dan mengakibatkan kerugian baik kepada pembeli maupun pemilik tanah sebenarnya. Oleh karena itu, tulisan ini menganalisis bagaimana kedudukan pihak ketiga beritikad baik dalam suatu sengketa jual beli tanah serta akibat hukum terhadap Sertipikat Hak Milik No. 1073/Desa Bunga Mekar dan Sertipikat Hak Milik No. 1074/Desa Bunga Mekar yang cacat hukum akibat penipuan pada pendaftaran pertama kali pada studi kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 3540M/Pdt/2019. Penelitian ini menggunakan metode penelitian ilmu hukum doktrinal yang bersifat preskriptif dengan menggunakan metode penelitian normatif kualitatif berdasarkan studi dokumen. Prinsip itikad baik memberikan suatu perlindungan hukum terhadap pihak yang menerapkannya dengan memenuhi persyaratan jual beli yang ditentukan oleh undang-undang telah dipenuhi walaupun pada kenyataannya jual beli tersebut mengandung cacat hukum. Hasil produk hukum berupa Sertipikat Hak Milik No. 1073/Desa Bunga Mekar dan Sertipikat Hak Milik No. 1074/Desa Bunga Mekar dibatalkan demi hukum karena terjadinya kecacatan hukum dan Pipil No. 936, Persil No. 127b, Klas III kembali menjadi satu-satunya hak atas tanah yang pada tanah tersebut.

Pipil is a form of tax imposition letter on land which is considered an old right to land ownership before the enactment of Law Number 5 of 1960 concerning Agrarian Principles by indigenous peoples. Old land rights with minimal ownership information and not registered with the National Land Agency often become easy targets for criminals to control land "legally" by committing fraud in one of the land registration requirements for the first time. This unlawful act was carried out by the perpetrator with the aim of making a profit through buying and selling land to a third party as a buyer in good faith who did not know the real truth about the land and resulted in losses to both the buyer and the actual land owner. Therefore, this paper analyzes the position of a third party in good faith in a land sale and purchase dispute and the legal consequences of the Certificate of Ownership No. 1073/Village Bunga Mekar and Certificate of Ownership No. 1074/Bunga Mekar Village which is legally flawed due to falsification of documents during the first registration in the case study of Supreme Court Decision Number 3540M/Pdt/2019. This research uses prescriptive doctrinal legal research methods using qualitative normative research methods based on document studies. The principle of good faith provides legal protection for parties who apply it by fulfilling the terms of sale and purchase determined by law even though in reality the sale and purchase contains legal defects. The resulting legal product is a Certificate of Ownership No. 1073/Village Bunga Mekar and Certificate of Ownership No. 1074/Desa Bunga Mekar was canceled by law due to legal defects and Pipil No. 936, Plot No. 127b, Class III again becomes the only land right on that land."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hikari Kepartono
"Penelitian ini membahas mengenai kedudukan pemilik tanah yang tidak lagi menguasai tanahnya secara fisik dan juga terkait perlindungan hukum bagi pembeli yang tidak melakukan pengecekan secara fisik atas objek yang dibelinya dalam kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 1131 K/Pdt/2020. Adapun penelitian ini menggunakan bentuk penelitian dengan pendekatan doktinal terhadap hukum. Dalam hal ini, pemegang hak milik atas tanah yang secara sengaja tidak menguasai secara fisik, tidak mengusahakan, tidak mempergunakan, tidak memanfaatkan, dan/atau tidak memelihara tanah yang ia miliki dapat menyebabkan tanah miliknya tersebut dapat dikategorikan sebagai tanah terlantar dan mengakibatkan pemutusan hubungan hukum antara subjek pemilik hak atas tanah dengan objek tanah sehingga pihak pemilik di sini tidak lagi memiliki hak milik atas tanah yang berkaitan. Dengan demikian, maka pihak pemilik di dalam kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 1131 K/Pdt/2020 tidaklah berhak untuk melakukan jual beli atas tanah tersebut karena ia bukanlah pemilik yang sah atas tanah tersebut dan mengakibatkan jual beli tersebut menjadi batal demi hukum. Berkaitan dengan batal demi hukumnya jual beli tersebut, pihak pembeli yang berhak mendapatkan perlindungan hukum atas kerugian yang diderita akibat batalnya jual beli tersebut pembeli yang beritikad baik. Adapun pihak JJ selaku pembeli dalam kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 1131 K/Pdt/2020 tidak melakukan pengecekan fisik secara aktif dan cermat mengenai ada atau tidaknya pihak yang menguasai secara fisik obyek tanah yang akan dibelinya dan juga tidak menguasai objek tanah tersebut secara fisik. Dengan demikian, maka pihak JJ di sini tidak dapat dikategorikan sebagai Pembeli Beritikad Baik dan tidaklah berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum atas batal demi hukumnya perjanjian jual beli.

This research discuss the position of land owners who no longer physically control their land and also regarding legal protection for buyers who do not physically inspect the objects they buy in the case of Supreme Court Decision Number 1131 K/Pdt/2020. This research uses a form of research with a doctinal approach to law. In this case, the holder of property rights to land who deliberately does not physically control, does not cultivate, does not use, does not exploit, and/or does not maintain the land he owns can cause his land to be categorized as abandoned land and result in the termination of the legal relationship between the subject who owns the land rights and the land object so that the owner here no longer has ownership rights to the land in question. Thus, the owner in the case of Supreme Court Decision Number 1131 K/Pdt/2020 does not have the right to sell the land because she is not the legal owner of the land and this results in the sale and purchase being null and void. In connection with the nullity of the sale and purchase, the buyer is entitled to legal protection for losses suffered as a result of the cancellation of the sale and purchase, is the buyer who acted with good faith. Meanwhile, JJ as the buyer in the case of Supreme Court Decision Number 1131 K/Pdt/2020 did not carry out an active and careful physical check regarding whether or not there was a party who physically controlled the land object he was going to buy and also did not physically control the land object. Thus, JJ here cannot be categorized as a Buyer in Good Faith and is not entitled to legal protection against the nullity of the sale and purchase agreement."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fauzan Aziman Alhamidy
"Sertipikat Hak atas Tanah merupakan tanda bukti yang kuat untuk kepemilikan atas tanah. Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria bukti kepemilikan tanah di Indonesia harus didaftarkan sehingga memperoleh sertipikat. Girik hanya menjadi bukti pembayaran pajak atas tanah bukan bukti kepemilikan hak atas tanah. Untuk menjadi bukti kepemilikan atas tanah Girik tersebut harus ditingkatkan terlebih dahulu menjadi Sertipikat Hak atas Tanah. Girik yang tidak ditingkatkan berpotensi akan adanya sengketa kepemilikan, seperti yang terjadi pada kasus dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor 386/Pdt.G/2019/PN.JKT.BRT., dimana terjadi sengketa atas tanah yang melibatkan pemilik Sertipikat Hak atas Tanah dengan pemilik girik. Dalam putusannya hakim menyatakan bahwa Sertipikat Hak Pakai Nomor 248/Kebon Jeruk tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sejak semula. Penelitian ini menganalisis bagaimana pertimbangan hakim dan kewenangan Pengadilan Negeri dalam menyatakan Sertipikat Hak atas Tanah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak semula. Metode penelitian yang digunakan adalah metode doktrinal. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa Sertipikat Hak Pakai Nomor 248/Kebon Jeruk milik Direktorat Jenderal Pajak adalah sah menurut hukum karena dikeluarkan oleh badan yang berwenang yaitu badan pertanahan nasional serta menjadi bukti kepemilikan atas tanah sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang mengatur mengenai masa keberatan atas dikeluarkannya Sertipikat Hak atas Tanah memiliki jangka waktu hingga 5 (lima) tahun. Dalam kasus ini gugatan dari pemilik Girik diajukan setelah 28 (dua puluh delapan) tahun dari penerbitan sertipikat. Peradilan umum tidak berwenang untuk menyatakan bahwa Sertipikat Hak atas Tanah tidak memiliki kekuatan hukum tetap sejak semula sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintah dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melawan Hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang mana kewenangan menyelesaikan sengketa tanah yang melibatkan Badan Pertanahan Nasional selaku penerbit sertipikat berada pada Pengadilan Tata Usaha Negara.

A land title certificate is a strong proof of land ownership. After the enactment of Law Number 5 of 1960 concerning Basic Agrarian Principles Regulations, proof of land ownership in Indonesia must be registered in order to obtain a certificate. Girik is only proof of payment of tax on land, not proof of ownership of land rights. To become proof of ownership of the Girik land, it must first be upgraded to a land title certificate. Girik that is not upgraded has the potential for ownership disputes, as happened in the case in the West Jakarta District Court Decision Number 386/Pdt.G/2019/PN.JKT.BRT., where there was a dispute over land involving the owner of the land title certificate and girik owner. In his decision the judge stated that the Right to Use Certificate Number 248/Kebon Jeruk had no binding legal force from the beginning. This research analyzes how the judge's considerations and the authority of the District Court in declaring land title certificates do not have binding legal force from the start. The research method used is the doctrinal method. The results of the research show that the Right to Use certificate Number 248/Kebon Jeruk belonging to the Directorate General of Taxes is valid according to law because it was issued by the authorized body, namely the national land agency and is proof of land ownership in accordance with Government Regulation Number 24 of 1997 concerning Land Registration which regulates regarding the objection period for the issuance of a Certificate of Land Rights, it has a period of up to 5 (five) years. In this case the lawsuit from the owner of Girik was filed after 28 (twenty-eight) years from the issuance of the certificate. General courts do not have the authority to declare that certificates of land rights do not have permanent legal force from the beginning as regulated in Article 11 of the Supreme Court Regulation Number 2 of 2019 concerning Guidelines for Settlement of Disputes on Government Actions and the Authority to Adjudicate Unlawful Acts by Government Agencies and/or Officials. where the authority to resolve land disputes involving the National Land Agency as the certificate issuer rests with the State Administrative Court."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Victoria Natalie
"Pemerintah menerapkan pembatasan terhadap kepemilikan tanah di Indonesia. Pemerintah melarang badan hukum memiliki hak milik atas tanah, kecuali badan hukum yang dinyatakan oleh peraturan pemerintah. Dalam transaksi yang berkaitan dengan pertanahan, seringkali dijumpai badan hukum (yang tidak ditunjuk pemerintah) yang mengupayakan untuk dapat memperoleh tanah dengan status hak milik dengan mekanisme perjanjian pinjam nama. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum doktrinal berdasarkan data sekunder yang diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan dan data primer. Kasus pada putusan Mahkamah Agung Nomor 2305 K/Pdt/2020 menyatakan bahwa pemilik sebenarnya dari tanah dan bangunan objek sengketa adalah pihak Gapensi yang merupakan badan hukum berbentuk Perkumpulan. Majelis Hakim tidak mempertimbangkan perjanjian nominee yang dibuat dengan Akta Notaris No 7 antara Gapensi dengan Gito Suwiryo sebagai upaya penyelundupan hukum tetapi menjadikannya dasar bahwa tanah dan bangunan objek sengketa tersebut sebenarnya adalah milik Gapensi. Disisi lain perjanjian nominee tersebut apabila diuraikan berdasarkan syarat-syarat sah suatu perjanjian, maka perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat “suatu sebab yang halal”. Hal ini karena perjanjian nominee tersebut melanggar Pasal 21 ayat (2) jo Pasal 1 ayat (1) PP No 38 Tahun 1963 dan Pasal 26 ayat (2) UUPA, sehingga seharusnya perjanjian nominee tersebut menjadi batal demi hukum karena melanggar hukum. Akan tetapi dalam putusan, Majelis Hakim mengakui keabsahan perjanjian nominee yang dibuat dihadapan notaris.

The government imposes restrictions on land ownership in Indonesia. The government prohibits legal entities from having ownership rights to land, except for legal entities declared by government regulations. In land-related transactions, legal entities (which are not appointed by the government) are often found who try to obtain land with ownership status using a nominee agreement mechanism. This research uses a doctrinal legal research method based on secondary data obtained from the results of library research and primary data. The case in the Supreme Court decision Number 2305 K/Pdt/2020 states that the actual owner of the land and buildings subject to dispute is Gapensi which is a legal entity in the form of an association. The Panel of Judges did not consider the nominee agreement made with Notarial Deed Number 7 between Gapensi and Gito Suwiryo as an attempt to smuggle the law but used it as the basis that the land and building objects in dispute actually belonged to Gapensi. On the other hand, if the nominee agreement is described based on the legal terms of an agreement, then the agreement does not fulfill the requirement of "a lawful cause". This is because the nominee agreement violates Article 21 paragraph (2) in conjunction with Article 1 (1) PP No. 38 of 1963 and Article 26 (2) UUPA, so the nominee agreement should be null and void because it violates the law. However, in the decision, the Panel of Judges acknowledged the validity of the nominee agreement made before a notary."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jihan Permata Yofie
"Sertipikat kerap dikenal dengan tanda bukti atas hak kepemilikan tanah yang memiliki jaminan kepastian hukum atas tanah yang dimilikinya. Dalam hal pemegang Sertipikat tidak menguasai secara fisik, hal ini menyebabkan terjadinya konflik antara penguasa fisik dengan pemegang hak Sertipikat atas tanah sebagaimana terjadi pada Putusan Pengadilan Negeri Serang No. 131/PDT.G/2021/PN.SRG. Permasalahan dalam penulisan, bagaimana analisa putusan hakim yang menolak kumulasi gugatan para penggugat dan bagaimana perlindungan para pemilik tanah yang sah dalam perkara Putusan Pengadilan Negeri Serang No. 131/PDT.G/2021/PN.SRG. Dalam penulisan menggunakan metode pendekatan hukum normatif. Dari hasil penelitian Putusan Pengadilan Negeri Serang No. 131/Pdt.G/2021/PN.Srg adalah tidak tepat dan tidak sesuai karena Majelis hakim mengesampingkan syarat-syarat kumulasi gugatan yang seharusnya dapat diterima dan diperiksa secara bersama-sama dalam persidangan dan perlindungan hukum dapat diberikan kepada pemegang Sertipikat selama data fisik dan data yuridis tidak ada yang dapat membuktikan terbalik mengenai kebenarannya sedangkan penguasa fisik dapat dilindungi dalam hal menguasai fisik selama 20 (dua puluh) tahun, menguasai dengan itikad baik dan terdapat saksi yang mengetahui penguasaan fisik. Dalam hal ini Kementerian ATR/BPN Republik Indonesia harus lebih hari-hati dan cermat dalam menerbitkan Sertipikat hak atas tanah agar tidak terjadi sengketa kepemilikan hak atas tanah.

Certificates are often known as proof of land ownership rights that have guaranteed legal certainty over the land they own. If the certificate holder does not physically control, this causes a conflict between the physical ruler and the holder of land certificate rights as occurred in Serang District Court Decision No. 131/PDT. G/2021/PN. SRG. The problem in writing, how to analyze the judge's decision that rejected the cumulation of the plaintiffs' lawsuit and how to protect the legal landowners in the case of Serang District Court Decision No. 131 / PDT. G/2021/PN. SRG. In writing using the method of normative legal approach. From the results of the research, the Serang District Court Decision No. 131/Pdt.G/2021/PN.Srg is incorrect and inappropriate because the panel of judges overrides the requirements for the cumulative lawsuit that should be accepted and examined jointly in the trial and legal protection can be provided to the certificate holder as long as no physical data and juridical data can prove the reverse regarding its correctness, while the physical ruler can be protected in terms of physical control For 20 (twenty) years, mastering in good faith and there are witnesses who know physical mastery. In this case, the Ministry of ATR / BPN of the Republic of Indonesia must be more careful and careful in issuing land rights certificates so that there are no disputes over ownership of land rights."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Gusty Priscilia
"Tesis ini membahas mengenai pengaruh perubahan Peraturan Menteri Pertanian No. 98 tahun 2013 revisi terhadap Peraturan Menteri Pertanian No. 26 tahun 2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan terhadap Grup PT X yang berlokasi di Samarinda, Kalimantan Timur. Grup PT X terdiri 6 (enam) perusahaan. PT X merupakan pemegang saham mayoritas dari perusahaanperusahaan tersebut. PT X merupakan grup perusahaan dan atau kelompok perusahaan perkebunan kelapa sawit yang mempunyai hak kepemilikan luas lahan 100.000 hektar sesuai dengan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 98/Permentan/OT.140/9/2013. Grup perusahaan PT X telah memiliki Hak Guna Usaha seluas ± 70.587, 39 hektar dan Izin Usaha Perkebunan seluas ± 121.192 hektar artinya ada selisih luasan antara luasan HGU dengan IUP seluas ± 50.604,61 hektar. Sehingga, di dalam penelitian ini juga dilakukan kajian terhadap prosedur perizinan yang dikeluarkan oleh instansi yang terkait sehubungan dengan pemberian lahan untuk perkebunan kelapa sawit seta kewajiban alas hak tanah (Hak Guna Usaha) yang wajib dimiliki oleh PT X. Penulisan tesis ini merupakan penelitian yuridis normatif, yaitu dalam hal ini penelitian terhadap asas-asas hukum dan taraf sinkronisasi hukum. Sedangkan, analisa dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif dengan memiih pasal-pasal yang terdapat dalam Peraturan Menteri Pertanian dan peraturan perundang-undangan terkait sesuai dengan ruang lingkup permasalahan penelitian ini kemudian melakukan penelusuran terhadap teori dan asas-asas hukum sehubungan dengan hal tersebut.

This thesis focuses on the effects of some changes in the Law of the Minister of Agriculture Number 98/Permentan/OT.140/9/2013 revised to be the Law of the Minister of Agriculture Number 26 of 2007 on the Regulation Concerning Permission to Start Plantation Business for Palm Oil Plantation Companies to PT X Group located in Samarinda, East Kalimantan. PT X Group consists of 6 (six) companies. PT X, a major shareholder of these company groups, is a company operating oil palm plantations that have ownership rights to 100,000 hectares of land in accordance with the Minister of Agriculture Regulation. No. 98/Permentan/OT.140/9/2013. PT Group X has had a leasehold area of ± 70,587.39 hectares and Business License of ± 121,192 hectares of plantations, which means there is a difference between the area of the concession and IUP area of ± 50,604.61 hectares. Thus, this study also conducted a review of the licensing procedures issued by the relevant authorities in connection with the provision of land for oil palm plantation land title and liability (leasehold) which must be owned by PT X. This thesis is a juridical normative study, emphasizing the study of the principles of law and the legal standard of synchronization. Meanwhile, the analysis in this study is conducted qualitatively by selecting assorted provisions contained in the Regulation of the Minister of Agriculture and related laws and regulations in accordance with the scope of the problem in this research, and then perform a search on the theory and principles of law that pinpoint the urgency.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T41578
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naura Athiyya
"Proyek pembangunan sektor swasta awalnya hanya berpusat di Jakarta Raya, namun pembangunan skala besar mulai bergerak menuju lokasi pinggiran kota. Arus kapitalisme mampu mengubah lanskap wilayah Jabodetabek dari dominasi lahan perkampungan menjadi wilayah yang melayani real estate skala besar untuk kelas menengah ke atas. Kemunculan perumahan komersial menjadi tanda dari fase post-suburban yang mencapai Kecamatan Tapos. Walaupun terdapat beberapa jenis perumahan komersial yang tumbuh di Kecamatan Tapos, tetapi berdasarkan konteks lokalnya terdapat dinamika proses pengalihan hak atas tanahnya yang beragam di setiap tempat baik dari sekedar jual beli, tawaran tukar menukar, hingga adanya pemindahan terhadap warga ketika proses pembangunan perumahan. Faktor pendorong berupa pertumbuhan penduduk, harga tanah, dan jaringan jalan digunakan untuk membantu menjelaskan pengaruhnya terhadap persebaran dari jenis perumahan komersial yang tumbuh. Dengan menggunakan metode kualitatif, hasil yang didapatkan adalah dalam 3 periode yang berbeda, perumahan komersial dengan ukuran besar lebih cenderung dibangun pada sebelum tahun 2000 dan awal periode 2000-2010 sedangkan hingga tahun 2022 perumahan kecil semakin menjamur. Namun, pertumbuhan perumahan menengah dah besar melibatkan proses akumulasi terkontestasi melalui pemindahan yang lebih kental dan mendalam dibandingkan perumahan kecil.

Private sector development projects were initially only centered in Greater Jakarta, but large-scale development is starting to move towards suburban locations. The flow of capitalism can change the landscape of the Jabodetabek area from being dominated by village land to an area that serves large-scale real estate for the upper middle class. The emergence of commercial housing is a sign of the post-suburban phase that has reached Tapos District. Even though there are several types of commercial housing growing in Tapos District, based on the local context, there are dynamics in the process of transferring land rights ownership that vary in each place, from just buying and selling agreement, exchange offering, to the displacement of residents during the housing development process. Driving factors in the form of population growth, land prices, and road networks are used to help explain their influence on the distribution of growing types of commercial housing. Using qualitative methods, the results obtained are that in 3 different periods, large commercial housing tends to be built before 2000 and the beginning of the 2000–2010 period, while until 2022 small housing is increasingly mushrooming. However, the growth of medium and large housing involves a deeper process of contested accumulation through displacement than small housing."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>