Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 79 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Astania Budianti
"Agama adalah salah satu faktor penting bagi kehidupan manusia, karena agama merupakan pengendali dan pengatur manusia untuk menjalani kehidupan sehari- hari dengan hakikat untuk menghadap Tuhan YME. Ibadah sendiri adalah bentuk tingkah laku beragama yang beragam tergantung menurut agamanya masing-masing. Ibadah tersebut merupakan pengejawantahan dari pelaksanaan kepercayaan manusia terhadap Penciptanya.
Ibadah tersebut dijalankan oleh manusia karena mereka percaya dengan apa yang mereka dapatkan melalui agama. Untuk itu diperlukan pendidikan agama yang adekuat untuk memahami perlunya menjalankan Ibadah, terutama bagi para remaja yang sedang mengalami masa transisi untuk mencari identitas diri.
Keluarga dan Sekolah merupakan dua faktor penting yang mempengaruhi remajal. Apabila salah satu lingkungan memberi pengaruh yang kurang baik maka hal tersebut patut diperhatikan. Padahal terdapat berbagai jenis sekolah yang memberikan suasana dan lingkungan masing-masing yang juga turut mempengaruhi seseorang dalam berbagai hal, termasuk dalam hal agama.
Dalam penelitian ini dilihat pengaruh dua jenis sekolah yaitu SMU Islam dan SMU Swasta Umum terhadap keinginan siswa untuk menjalankan Ibadah. Perbedaan kedua jenis sekolah ini adalah pada materi pelajaran agama, SMU Islam memberikan materi pelajaran yang lebih banyak, kemudian fasilitas beribadahnya lebih lengkap dan juga lingkungan pergaulan yang homogen beragama Islam, sedangkan di SMU Swasta umum materi pelajaran agama tidak sebanyak di SMU Islam, fasilitas beribadah ada, namun tidak selengkap SMU Islam dan pergaulan beragamanya lebih beragam.
Selain lingkungan sekolah Theory of planned behavior sendiri menyatakan bahwa keinginan atau intensi seseorang dipengaruhi oleh tiga variabel, yaitu variabel sikap, Norma subyektif dan Perceived behavioral control. Dalam penelitian ini Pengaruh ketiga variabel tersebut dilihat masing-masing peranannya sehingga dapat dilihat gambaran yang Iebih jelas mengenai tingkah laku beribadah tersebut.
Dengan teknik non probability sampling sebanyak 60 siswa SMU Islam dan 60 siswa SMU Swasta umum, dilibatkan sebagai sampel penelitian. Data ke-120 siswa-siswa tersebut diolah dengan menggunakan komputer sebagai alat bantu untuk mendapatkan deskripsi sampel, mean, hasil analisis berganda dan hasil t-Test untuk melihat perbedaan Intensi kedua jenis sekolah.
Setelah penelitian dilaksanakan diketahui bahwa lingkungan sekolah SMU Islam dan SMU Swasta Umum temyata tidak menghasilkan perbedaan Intensi untuk menjalankan Ibadah. Siswa-siswa dari kedua jenis sekolah sama-sama menunjukkan intensi yang tinggi untuk menjalankan ibadah wajib. Selain itu dengan menggunakan analisis berganda diketahui bahwa terdapat hubungan linear yang signifikan antara sikap, norma subyektif dan perceived behavioral control terhadap intensi untuk menjalankan ibadah wajib. Dari ketiga hal tersebut, norma subyektiflah yang paling berpengaruh terhadap intensi tersebut. Artinya, persepsi individu terhadap tekanan sosial untuk menjalankan ibadah dan motivasinya untuk mematuhi tekanan sosial tersebut menentukan niat individu tersebut untuk memunculkan tingkah Iaku yang dimaksud.
Segi teoritis dari peneiitian ini adalah penerapan theory of establishment of ego identity dari Erikson dan theory of planned behavior pada bidang yang universal yaitu interaksi antara manusia dengan Penciptanya. Dari segi praktisnya, penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi pihak sekolah dan keluarga untuk dapat lebih memperhatikan kebutuhan remaja akan agama. Serta memberikan pengarahan dan pendidikan yang lebih baik lagi yang tentunya akan bermanfaat bagi masa depan para remaja."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1998
S2680
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eriza Fadhilah
"Faktor gizi adalah salah satu faktor terkuat dan faktor lingkungan yang secara nyata mempengaruhi waktu terjadinya pubertas. Penelitian dangan desain cross sectional ini benujuan untuk mengetahui karakteristik menars, status gizi dan gaya hidup pada remaja putri I0-I3 tahun di Jakarta pusat serla hubungan ketiga faktor tersebut (n=2l I). Proporsi remaja putri yang sudah mengalami menars sebanyak 23% dan rata-rata usia menars adalah l 1.6 tahun. 72.5% remaja putri mempunyai normal z Score BMI;/'or-age dan 53.3% remaja putri mempunyai kelebihan Iemak tubuh. Perubahan gaya hidup melalui pola makan yang sehat harus diterapkan olerh remaja putri ini melalui edukasi oleh lingkungan sekitar mereka.

Nutritional factors are the strongest and most obvious environmental factor affecting timing of puberty. This cross sectional study was conducted to determine the association between menarche, nutritional status and lifestyle among adolescent girls aged 10-13 years in Central Jakarta (n=2l I). The proportion of menarche among 10-13 years old girls was 28% and the age of menarche was ll.6 years old. About 72.5% of adolescent girls have normal BMI-for-age z-score. More than half (58.3%) of adolescent girls has over fat. The food habit of these adolescent girls should be changed by giving nutrition education to help them have better food habit."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
T32857
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Noer Qoryati Hanum
"Pubertas adalah masa dimana tubuh mulai berkembang dan berubah yang menandai peralihan dari masa anak-anak menjadi dewasa. Usia pubertas yang dialarni anak saat ini lebih cepat dibanding seratus tahun lalu. Percepatan ini disebabkan oleh 2 hal yaitu keadaan gizi yang relatif lebih baik dibanding seratus tahun lalu juga rangsangan audio visual yang dapat mempercepat kematangan fisiologis dan psikologis anak. Datangnya masa puber kadang tidak diikuti kesiapan fisik dan mental si anak sehingga timbul rasa gelisah dan ketidakpercayaan diri. Belum lagi semakin lamanya masa reproduksi akan menimbulkan resiko terjadinya perilaku hubungan seksual di usia dini.
Penelitian ini dilakukan untuk mendapat gambaran pengetahuan, sikap dan praktek mengenai pubertas siswa di SDN 2 dan SDI Al-Azhar Kecamatan Serang. Pengumpulan data dilakukan dengan metode diskusi kelompok terfokus dan wawancara mendalam. Sumber informasi adalah siswa SD kelas VI yang sudah megalarni pubertas, guru sains, orang tua siswa, kepala sekolah dan pihak dinas pendidikan setempat.
Hasil Penelitian menunjukkan pengetahuan siswa mengenai perubahan fisikiemosi, kehamilan, mimpi basah, menstruasi dan menjaga kebersihan diri cukup Namun demikian pengetahuan mengenai fingsi alat reproduksi laki-laki dan perempuan belum diketahui oleh siswa secara lengkap. Sikap siswa memasuki pubertas sebagian diliputi keresahan dan rasa tidak percaya diri seperti hadirnya menstruasi pada perempuan dan perubahan suara pada laki-laki. Antar lawan jenis kelamin saling mengeledek satu sama lain akibat perubahan tersebut meski sesama jenis mempunyai rasa toleransi untuk memberi dukungan agar rasa percaya diri tetap ada. Praktek siswa mengenai kebersihan diri sudah dilakukan dengan baik. Praktek pencarian informasi mengenai pubertas dilakukan dengan bertanya pada guru, orang tua, membaca majalah/buku atau menonton TV. Rasa ingin tahu siswa laki-laki mengenai seks sudah menunjukkan perilaku yang beresiko untuk memenuhi hasrat seksualnya.
Peranan orang tua dan guru di kedua sekolah sudah menunjukkan fungsinya sebagai pendidik, pembimbing dan pengawas bagi anak. Meski demikian guru di SDI Al-Azhar memiliki kapasitas dalam memberikan materi dan metode pendidikan yang lebih baik dibanding guru SDN 2. Selain itu, sebagian orang tua masih ada yang merasa sungkan atau tabu membicarakan masalah seksual pada anak, disamping karena keterbatasan pengetahuan yang dimiliki. Materi pubertas yang diberikan orang tua pada anak lebih banyak mengenai masalah menstruasi, menjaga hubungan antar lawan jenis, motivasi belajar dan kebersihan Pada akhirnya peranan orang tua, guru dan sekolah perlu ditingkatkan dalam memberikan pengetahuan pubertas, bimbingan dan pengawasan di saat anak mengalami pubertas. Komunikasi perlu dijalin lebih intensif agar adanya keterbukaan pada anak sehingga tidak ada jurang kornunikasi antara orang tua, guru dan anak dalam membicarakan masalah pendidikan seks yang sehat dan bertanggung jawab. Disamping itu anak perlu difasilitasi untuk menyalurkan energinya pada aktivitas yang dapat menunjukkan prestasi agar terhindar dari pengaruh yang negatif, sehingga si anak dapat memasuki usia pubernya dengan kesiapan fisik, mental, percaya diri dan rasa tanggung jawab akan kesehatan reproduksinya.

Puberty is a period when the body starts to grow and to change that indicates changing from children to adult. The age of puberty occurred by recent children is faster than them in a hundred years ago. It is caused by two things relatively good nutrition and audio visual stimulation; which both accelerate maturity of physiological and psychological children. When puberty comes, the children sometimes do not have physical and mental readiness so that they are nervous and unconfident. Besides, the longer reproductive period, the higher risk of sexual behavior in premature age.
This research was conducted to get an illustration of knowledge, attitude and practice about puberty in SDN 2 and SDI Al Azhar in Serang Sub Regency in 2007. The data was collected through Focus Group Discussion and deep interview. The sources of the information were the sixth grade students, science teacher, parents of interviewed students, school head and Education Service of Serang Regency staff.
The results of the research show that students' knowledge about physical or emotional changing, pregnancy, wet dream, menstruation, and maintenance of body health are good enough. But, their knowledge about functions of reproductive organs is not completely known. When entering puberty, the attitudes of most students are nervous and unconfident that is caused by such as menstruation on female students or voice changing on male students. Because of those changing, with different sex, they tease each other, but with same sex, they have a tolerance to give a support in order that they still have the confidence. The students have well practiced body health maintenance. They search information about puberty from asking their parents or teachers, reading books or magazines, or watching TV. The sex curiosity of male students has shown a risky behavior to full their sexual desire.
The role of parents and teachers in both school have shown their functions as educator, counselor, and supervisor to students. The teachers of SDI Al Azhar have better capacity to give educational materials and methods than the teachers of SDN 2. Some parents still feel reluctant or taboo talking about sex to their children because of their limited knowledge about sex education. The parents commonly give puberty knowledge to their children about such as menstruation, relationship restriction with different sex, motivation to study, and body health.
Finally, the role of parents, teachers, and school must be increased in that giving puberty knowledge, counseling and supervising to their children/students when they are entering puberty period. Both parents and teachers must develop communication to their children/students so intensively that there are no gaps among them when talking about healthy and responsible sex. The children/students need to be facilitated spending their energies on achieving activity to avoid negative influences. Thereby, when the children are entering puberty period, they will have physical and mental readiness, confidence, and responsibility to their own reproductive health.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2007
T34312
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fauziah Sandra Pertiwi
"Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara peer pressure terkait perilaku merokok dan perilaku merokok pada remaja awal, yaitu usia 13-15 tahun di Jakarta. Peer pressure terkait perilaku merokok ialah saat teman sebaya mengkomunikasikan perilaku merokok kepada orang lain dengan cara tertentu baik eksplisit maupun implisit.
Pengukuran peer pressure terkait perilaku merokok menggunakan alat ukur Smoking Peer Pressure Scale dan perilaku merokok menggunakan alat ukur Smoking Behavior Scale. Kedua alat ukur tersebut dikembangkan oleh Leventhal (1997). Responden pada penelitian ini berjumlah 339 remaja di Jakarta. Data penelitian kemudian diolah dengan teknik statistik Pearson Product Moment Correlation.
Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan positif signifikan pada peer pressure terkait perilaku merokok dan perilaku merokok pada remaja awal di Jakarta, r=0.796 (p<0.01). Dengan demikian, semakin tinggi peer pressure terkait perilaku merokok maka semakin tinggi pula perilaku merokok. Implikasi dari temuan penelitian dan saran dibahas lebih lanjut.

This research examined the relationship between smoking peer pressure and smoking behavior among early adolescence, an individual with age ranging from 13 to 15 years old, in Jakarta. Smoking peer pressure is when your own age communicate smoking behavior intended to explicitly or implicitly direct one’s behavior in a certain way.
In this research, smoking peer pressure is measured by Smoking Peer Pressure Scale and smoking behavior is measured by Smoking Behavior Scale. Both scales were developed by Leventhal (1997). The respondents of this research are 339 adolescents in Jakarta. Data was processed using Pearson Product-Moment Correlation technique.
The main results of this research showed that smoking peer pressure positively correlated significantly with smoking behavior among early adolescence in Jakarta, r=0.796 (p<0.01). The result revealed that greater smoking peer pressure, was predicted by higher level in smoking behavior. Research implications of findings and suggestions are discussed.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2015
S58987
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karinka Febritta Anindyasari
"ABSTRAK
Selfie saat ini menjadi sebuah tren yang mendunia diiringi dengan teknologi kamera yang semakin berkembang pesat dan meluasnya fungsi sosial media. Selfie adalah sebuah foto diri yang diambil oleh dirinya sendiri, biasanya menggunakan kamera smartphone atau kamera webcam dan biasanya di unggah ke sosial media. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran locus of control dan trait kepribadian pelaku selfie pada emerging adulthood. Pengukuran intensitas selfie menggunakan alat ukur Skala Intensitas Selfie, pengukuran locus of control menggunakan alat ukur IE-Locus of Control Scale yang disusun oleh Rotter (1966) dan pengukuran trait kepribadian menggunakan alat ukur Big Five Inventory yang disusun oleh John dan Srisvatava (1999). Penelitian ini melibatkan 321 responden pelaku selfie pada kelompok usia emerging adulthood. Hasil penelitian menggambarkan bahwa responden rata-rata berada pada kelompok locus of control internal, lalu skor trait kepribadian tertinggi ada pada trait openness to experience. Melalui teknik ANOVA, hasil penelitian menunjukkan adanya pola linier positif antara intensitas selfie dengan trait extraversion. Namun, untuk intensitas selfie dengan locus of control serta trait kepribadian agreeableness, conscientiousness, neuroticism dan openness to experience menunjukkan pola linier yang negatif.

ABSTRACT
Nowadays, selfie has become world’s trend followed by rapid growing of camera technology and social media. Selfie is a photograph that one has taken of oneself, typically with a smartphone or webcam and uploaded to a social media website. This research purposes is to know the locus of control and selfie personality trait towards emerging adulthood. Selfie intensity was measured using an instrument named Selfie Intensity Scale, locus of control was measured using an instrument named IE-Locus of Control Scale made by Rotter (1966) and personality traits was measured using an instrument named Big Five Inventory made by John and Srisvatava (1999). This research involved 321 respondents of Selfie-Doers in the age of emerging adulthood. This research captured that the respondents tend to have internal locus of control, and then the highest personality traits score is on openness to experience trait. Using ANOVA technique, it indicates a positive linear pattern between selfie intensity and extraversion trait. However, intensity selfie with locus of control and personality trait agreeableness, conscientiousness, neuroticism and openness to experience shows negative linear pattern.
"
2015
S60655
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jimny Hilda Fauzia
"Studi ini meneliti hubungan antara family functioning dan respons bystander bullying pada siswa SMA. Respons bystander bullying dikategorikan menjadi tiga, yaitu defender (menolong korban), outsider (tidak melibatkan diri), dan reinforcer (mendukung pelaku). Alat ukur yang digunakan adalah Family Assessment Device (Miller, Ryan, Keitner, Bishop, & Epstein, 2000) dan Alat Ukur Respons Bystander Bullying yang merupakan modifikasi dari penelitian Gini, Pozzoli, Borghi, dan Franzoni (2008). Sampel penelitian ini adalah 101 siswa SMA di Jakarta dan Depok.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara family functioning dan respons sebagai defender. Berikutnya, ditemukan bahwa terdapat hubungan yang negatif dan signifikan antara family functioning dengan respons outsider dan reinforcer. Implikasi dari penelitian ini adalah perlunya sekolah melibatkan keluarga dalam upaya minimalisasi respons outsider dan reinforcer, serta mencegah bullying di sekolah.

This research aims to study the relationship between family functioning and bullying bystander response among high school students. Bullying bystander responses are categorized into three, namely defender (to help victims), outsider (not involved), and reinforcer (supporting actors). The instruments used in this research are Family Assessment Device (Miller, Ryan, Keitner, Bishop, & Epstein, 2000) and the Bullying Bystander Response Measurement Tools which is a modification of the study conducted by Gini, Pozzoli, Borghi, and Franzoni (2008). The samples are 101 high school students in Jakarta and Depok.
The result indicates that there is no significant relationship between family functioning and response as a defender. The result also shows that there is a negative and significant relationship between family functioning with outsider response and reinforcer. The implication of this study suggest to involve families in effort to minimize bystander response as outsider and reinforcer, and also to prevent bullying at school.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2015
S60106
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ain Rahmiati
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah atribusi berperan sebagai mediator dalam hubungan persepsi siswa terhadap penilaian guru dengan self-efficacy siswa dalam pelajaran matematika. Terdapat empat penyebab dalam atribusi yang akan dilihat dalam penelitian ini, yaitu kemampuan, usaha, keberuntungan, dan derajat kesulitan tugas. Data penelitian dikumpulkan melalui kuesioner yang terdiri dari persepsi siswa terhadap penilaian guru, atribusi, dan self-efficacy dalam pelajaran matematika. Kuesioner diisi oleh 330 siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) kelas 7 tiga SMP Negeri di Pontianak dengan teknik pengambilan sampel secara accidental sampling.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa atribusi siswa pada kemampuan dan usaha pada saat sukses, serta kemampuan saat gagal berperan sebagai partial mediator dalam hubungan persepsi siswa terhadap penilaian guru dengan self-efficacy siswa dalam pelajaran matematika. Hal ini menunjukkan pentingnya pembentukan atribusi yang adaptif untuk meningkatkan self-efficacy siswa.

The aim of this study is to explore the role of attribution as mediator in the relationship between student's perception of teacher ability evaluation and self-efficacy in mathematics. The causes stem from four attribution categories, namely ability, effort, luck, and task difficulty. The data was collected through self-report questionnaire about student's perception of teacher ability evaluation, self-efficacy in mathematics, and causal ascription for success and failure. The questionnaire is filled by 330 of 7th-grade Junior High School students from three Public Junior High Schools in Pontianak.
Results show that the effect of student's perception of teacher ability evaluation on self-efficacy in mathematics was mediated partially by the ability attribution of success, effort attribution of success and ability attribution of failure. The results indicate the the important role of adaptive attribution to increase self-efficacy.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2016
T45540
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Santrock, John W.
"
"
Boston: mcGraw-Hill , 2005
305SANA002
Multimedia  Universitas Indonesia Library
cover
Risky Adinda
"Menjalani hubungan romantis yang memuaskan merupakan tugas perkembangan yang khas pada dewasa muda. Intimacy merupakan salah satu faktor penting dalam hubungan romantis, yang telah konsisten ditemukan mempengaruhi kepuasan hubungan. Penelitian-penelitian sebelumnya meneliti pola attachment sebagai faktor individual yang mempengaruhi baik intimacy maupun kepuasan hubungan. Pola avoidant dan anxious attachment yang memanifestasikan rasa tidak amannya dengan menghindari atau mencemaskan hubungan romantisnya berkorelasi negatif dengan tingkat intimacy dan kepuasan hubungan. Penelitian ini bertujuan untuk menguji efek pola avoidant dan anxious attachment sebagai moderator antara intimacy dan kepuasan hubungan berpacaran pada dewasa muda. Sebanyak 881 dewasa muda (18-30 tahun) berpartisipasi dalam penelitian. Intimacy diukur menggunakan Personal Assessment of Intimacy in Relationships (Schaefer & Olson, 1981; Constant dkk, 2016); pola attachment diukur menggunakan Experiences in Close Relationships-Revised (Fraley, Waller, & Brennan, 2000); dan kepuasan hubungan diukur menggunakan Relationship Assessment Scale (Hendrick, 1988). Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) intimacy dapat memprediksi kepuasan hubungan secara signifikan; (2) avoidant dan anxious attachment tidak signifikan memoderatori hubungan antara engagement dan communication intimacy dengan kepuasan hubungan; dan (3) pola anxious attachment signifikan memoderatori hubungan antara shared friends intimacy dan kepuasan hubungan. Dengan demikian, pengalaman shared friends intimacy dapat memberikan kepuasan hubungan yang lebih tinggi bagi individu dengan tingkat anxious attachment yang lebih tinggi.

Having a satisfying romantic relationship is a typical developmental task for young adults. Intimacy is one of the important factors in romantic relationships, consistently found to affect relationship satisfaction. Previous studies have examined attachment style as the individual factor that influences both intimacy and relationship satisfaction. Avoidant and anxious attachment, which manifest their feelings of insecurity by avoiding or worrying about their relationship, negatively correlated with intimacy and relationship satisfaction. This study aims to test the effect of avoidant and anxious attachment style as a moderator between intimacy and relationship satisfaction. A sample of 881 young adults (18-30 years old) participated in the study. Intimacy was measured using the Personal Assessment of Intimacy in Relationships (Schaefer & Olson, 1981; Constant et al, 2016); attachment style was assessed using the Experiences in Close Relationships-Revised (Fraley, Waller, & Brennan, 2000); and relationship satisfaction was measured using the Relationship Assessment Scale (Hendrick, 1988). Results showed that (1) intimacy significantly predicted relationship satisfaction; (2) neither avoidant nor anxious attachment significantly moderated the relationship between engagement and communication intimacy with relationship satisfaction; and (3) anxious attachment significantly moderated the relationship between shared friends intimacy and relationship satisfaction. Thus, the experience of shared friends intimacy can promote higher relationship satisfaction for individuals with higher level of anxious attachment."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fatira Aurelia
"Emerging adulthood (EA) adalah masa transisi seseorang dari remaja ke dewasa. Dengan karakteristik identity exploration dan instability, EA terdorong untuk berinteraksi dengan banyak orang, di mana memahami emosi ekspresi wajah lawan berbicara menjadi sangat penting. Terdapat serangkaian studi terdahulu yang mengkaji terkait bias atensi ekspresi wajah Marah dan Senang dalam sebuah kerumunan (Anger vs Happiness Superiority Effect/ ASE vs HSE). Disayangkan, hasil dari studi terdahulu tidak konsisten menjelaskan ekspresi wajah mana yang lebih kuat dalam menangkap atensi seseorang. Untuk menjembatani hal tersebut, penelitian ini menguji pengaruh Kepuasan Hidup terhadap ASE. Penelitian ini menggunakan Kepuasan Hidup (SWLS) dan pengukuran waktu reaksi saat partisipan (N = 91, 18-29 tahun, belum menikah) merespon ekspresi wajah Marah dan Senang yang dikemas dalam modified emotional stroop task (Preston & Stansfield, 2008). Hasil analisis ANOVA menunjukkan ekspresi wajah marah secara implisit diprioritaskan dalam pemrosesan informasi bila dibandingkan dengan emosi senang. Ditemukan juga bahwa kelompok Kepuasan Hidup rendah menunjukkan ASE yang lebih besar ketimbang kelompok Kepuasan Hidup tinggi. Temuan ini menjelaskan mengapa informasi berisikan emosi marah mendapatkan lebih banyak atensi dari khalayak, daripada emosi senang. Dengan temuan ini, diharapkan EA di Indonesia dapat lebih sadar akan emosi yang ada dalam informasi yang mereka terima dan meningkatkan Kepuasan Hidup mereka.

Emerging adulthood (EA) is the transition from adolescence to adulthood. With the characteristics of identity exploration and instability, EA is encouraged to interact with many people, where understanding the emotions of the other person's facial expressions is very important. Series of previous studies examined attentional bias of Angry and Happy facial expressions in a crowd (Anger vs Happiness Superiority Effect/ASE vs HSE). Unfortunately, the results from previous studies have not consistently explained which facial expressions are stronger in capturing someone's attention. To bridge this, current study examines the effect of life satisfaction on ASE. This study used Life Satisfaction (SWLS) and reaction time measurements when participants (N = 91, 18-29 years old, not yet married) responded to angry and happy facial expressions in modified emotional stroop task (Preston & Stansfield, 2008). Results of ANOVA analysis show that angry facial expressions are implicitly prioritized in information processing when compared to happy emotions. It was also found that the low Life Satisfaction group showed a greater ASE than the high Life Satisfaction group. This findings explains why information containing angry emotions gets more attention from audiences than happy emotions. With this awareness, it is hoped that EAs in Indonesia can be more aware of the emotions in the information they receive and increase their Life Satisfaction."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8   >>