Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 28 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lisa Diantika
"Ketika anak memasuki usia sekoiah (middle childhood), anak akan menerima lebih banyak umpan balik negatif dan mulai membandingkan dirinya dengan anak-anal: lain seusianya. Anak yang tidal: mampu mener-ima umpan balik negatif dari orang lain akan membentuk pikiran-pikiran negatif dan mcnilai diri secara negatif (Eccles, 1999). Hal yang demikian menyebabkan anak cemas dan takut dalam menghadapi situasi sosial baru.
Kesulitan dalam memasuki lingkungan baru yang asing bagi anak adalah salah satu karakteristik anak pemalu. Tingkah laku pemalu merupakan salah satu bentuk tingkah Iaku menghindari situasi sosial baru yang disebabkan olch tcrfokusnya sweorang pada opini atau evaluasi dari orang lain mengenai dirinya (Rubin 8: Asendorpf, 1993). Salah satu pcnyehab terbentuknya tingkah laku pemalu pada anak adalah rendahnya sebfeszeem pada anak dan penilaian diri yang negatif (Zolten & Long, dalam www. parenting-ed.org, 1997).
Pada kasus Ad, Ad merasa khawatir teman-teman tidak mau mengajaknya berkenalan. Ad pun mengatakan bahwa ia takut melakul-can kesalahan saat berbicara dengan teman-teman yang belum dikenalnya. Dengan perkataan lain, Ad menilai dirinya secara negatifyaitu Ad merasa tidak mampu berinteraksi dengan orang-orang yang belum dikenalnya. Ad pun mcrasa takut teman-teman tidak man mengajaknya berkenalan. Pikiran-pikiran negatifpada Ad mernbuat Ad mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baru dan berinteraksi dengan orang-orang yang belum dikenalnya. Terapi yang akan dilakukan dalam penelitian ini menggunakan prinsip cognitive behavior therapy (CBT), yaitu suatu teknik terapi yang mengubah kekeliruan pola berpikir pada individu dengan cara melakukan rcstruktmisasi kognitiff.
Hasil dari terapi mcnunjukkan bahwa program ini cukup efektif untuk menangani tingkah laku pemalu pada anak, sehingga pola pikir dan tingkah laku pun berubah menjadi lcbih baik.

When child enters middle childhood, hefshe will receive more negative feedback from others and starts to compare his/her self with others. Child who can not accept the negative feedback fiom others will have negative thoughts and perceived their selfnegatively (Eccles, 1999). Furthermore, child will have anxiety and shows some fears in new social situation.
The difficulty when entering new social situation is one of the characteristics of children with shyness. Shyness is one form of social withdrawal that is motivated by social evaluation concerns, primarily in novel setting (Rubin & Asendorf, 1993). There may be a specitic cause for shyness in some children, wlule in others shyness may occur for a number of different reasons. One ofthe reason why children beoorne shy is having low self esteem and negative opinion of oneself (Zolten & Long, on wwwwparenting-ed.org, 1997).
Our study presents a case that shows shyness in a child (Ad). Ad wonied that people do not want to become her friends. Ad also said that she has trouble thinking of what to say in social situation and afraid doing something wrong talking with others. Ad views herselffnegatively. She feels uncomfortable in unfamiliar situation and thinks that she can not deal with new social situation. Furthermore, these negative thoughts have become her difliculties to adapt in new situation and interact with others.
Effective treatments for shyuess exist One ofthe treatments is using the techniques of Cognitive Behavior Therapy (CBT). CBT is the therapy that change individual?s cognitive by doing cognitive restructuring. On this study, we will use CBT techniques for overcoming the shyness in child (Ad).
The result of this program shows that the application of CBT techniques is effective for overcoming shyness in child, so that the cognitive and behavior will change into better."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2007
T38435
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lina Erliana Muksin
"ABSTRAK
Multisystem Developmental Disorder (MSDD) atau Disorder o f Relating and
Communicating merupakan suatu klasifikasi diagnosis dalam Zero to Three
Classification, dengan tujuan sebagai suatu alternatif diagnosa pada anak usia 0 -
3 tahun yang mengalami kesulitan dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan
dunia di sekelilingnya. Aspek-aspek perkembangan yang paling sering terganggu
pada kondisi ini adalah perkembangan komunikasi dan hubungan dengan orang
lain, sehingga sering disebut sebagai Gangguan Relasi dan Komunikasi
(Greenspan,1997). Anak-anak dengan gangguan relasi dan komunikasi memiliki
ciri-ciri antara lain, gangguan secara bermakna dalam kesanggupan untuk
melakukan dan mempertahankan hubungan sosial dan emosional secara timbal
balik. Kesulitannya dalam berkomunikasi, ditandai oleh keterlambatan berbicara
atau berbicara hanya satu arah dan sulit mempertahankan pembicaraan. Mereka
juga sulit untuk melakukan interaksi yang timbal balik, cenderung sulit diarahkan
karena tampak semaunya dan menganggap kehadiran orang lain sebagai ‘benda’.
Mereka biasanya sulit untuk berinteraksi sosial dengan teman seusianya, kesulitan
mempergunakan isyarat non verbal sebagai pengganti komunikasi verbal untuk
mengatur interaksi sosial dan tidak tidak tanggap pada situasi sosial dan emosi
orang disekitamya serta mengalami kesulitan untuk bermain pura-pura seperti
yang biasanya dilakukan anak seumurnya.
Anak dengan gangguan relasi dan komunikasi juga mengalami disfungsi
sensoris dalam pemaknaan pada rangsang dengar maupun gangguan dalam
pemprosesan sensasi lainnya, seperti gangguan perencanaan gerak motorik,
kesulitan dalam melakukan keurutan gerakan atau tindakan.
Berbagai pendekatan terapi untuk mengatasi gangguan ini dengan upayaupaya
untuk meningkatkan kemampuan bahasa dan komunikasinya, telah banyak
dilakukan. Dewasa ini berkembang model penanganan yang memandang sudut
penggunaannya dalam situasi sosial, yang menekankan peningkatan komunikasi
sosial dengan struktur yang lebih fleksibel, serta aktifitas yang lebih bervariasi,
ditandai dengan interaksi yang timbal balik serta belajar melakukan aktifitas yang
bermakna, berdasarkan minat dan motivasi anak.
Pendekatan integratif dan interaktif yang berdasarkan perkembangan
individual anak disebut juga tehnik Floor Time, yaitu suatu cara atau tehnik
interaksi melalui bermain sebagai upaya untuk membantu anak dalam mencapai
tahapan perkembangan, terutama anak dengan gangguan relasi dan komunkasi.
Tehnik interaksi ini menekankan kekuatan relasi yang bersifat interaktif antara
orang tua atau pembimbing dengan anak. Prinsip utama tehnik Floor Time adalah
mencoba memanfaatkan setiap kesempatan yang muncul untuk berinteraksi,
dengan cara yang disesuaikan dengan tahap perkembangan emosi. Asumsinya,
bahwa perubahan cara anak ‘merasakan dan mengalami’ relasi akan
meningkatkan peran sertanya dalam interaksi itu sendiri secara lebih
komprehensif.
Peneliti ingin mengetahui bagaimana penerapan tehnik ‘Floor Time' dapat
memberikan dukungan untuk mengembangkan kemampuan interaksi pada anak,
khususnya anak dengan gangguan relasi dan komunikasi (Multisystem
Developmental Disorder).
Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan
studi kasus tunggal. Pengambilan sampel tidak dipilih secara acak, melainkan
mengikuti kriteria tertentu. Tehnik pengumpulan data yang digunakan adalah
observasi, wawancara, serta alat bantu rekam suara dan gambar. Proses analisis
data dimulai dengan memberikan koding pada data sesuai dengan kategori
perilaku yang muncul. Setelah tahap kategorisasi peneliti melakukan proses
analisis yang dibuat dalam bentuk naratif berdasarkan konsep teori pada penelitian
ini.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara kualitatif terdapat peningkatan
kualitas interaksi antara subjek dengan pembimbing. Peningkatan ini terutama
lebih terlihat pada aspek ketrampilan Menjalin Ikatan Komunikasi Timbal Balik
(MIKT) serta Ketrampilan Meniru (KM). Sedangkan pada kemampuan bahasa
tidak terlihat kemajuan secara mencolok. Minat subjek serta ketertarikan untuk
melakukan sesuatu bersama pembimbing, tampak semakin intens dan bervariasi.
Subjek mulai menunjukkan kedekatan dan keintiman dengan ibu. Selama
pelaksanaan Floor Time terlihat perilaku seperti memeluk, mencium, menyentuh
wajah ibu, menarik/mengulurkan tangan (meminta pertolongan) atau duduk
dipangkuan ibu lebih sering muncul dibanding sebelumnya. Ibu pun merasakan
bahwa subjek mulai ‘menempel’ dan mencari ibu disaat ibu tidak berada ditempat.
Perilaku menirukan suara pembimbing tampak semakin sering muncul.
Atas dasar hasil penelitian ini, disarankan kepada peneliti lain di bidang
psikologi, khususnya psikologi klinis anak untuk dilakukan penelitian dalam
jangka waktu yang lebih lama, agar dapat memperoleh gambaran yang lebih baik
mengenai kemajuan maupun informasi tambahan dari pelaksanaan Floor Time
pada anak dengan gangguan relasi dan komunikasi."
2005
T38022
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Mischa Indah Mariska
"[ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efektivitas terapi Resource Development and Installation (RDI) dengan Pendulation Exercise pada anak perempuan usia 12 tahun yang mengalami Developmental Trauma. RDI dilakukan dengan menggunakan protokol dasar RDI untuk anak yang dibuat oleh Korn dan Leeds (2002) untuk membangkitkan resource positif. Setelah itu dilakukan Pendulation Exercise untuk memroses pengalaman traumatik berupa perceraian orangtua yang menjadi sumber munculnya perilaku agresif pada anak. Tujuan dari terapi RDI adalah untuk membangkitkan resource guna membentuk positive cognition yang akan bermanfaat untuk mengubah negative cognition. Hasil dari intervensi menunjukkan penurunan perilaku agresif. Penurunan perilaku agresif ini menjadi bukti bahwa telah terjadi pemrosesan informasi yang adaptif. Hal tersebut nampak dari penurunan skor Child Behavioral Checklist (CBCL) pada area permasalahan perilaku agresif. Selain itu orangtua dan partisipan juga melaporkan bahwa partisipan sudah lebih mampu mengontrol perilaku saat marah.

ABSTRACT
This study is done to explain the effectiveness of Resource Development and Installation (RDI) with Pendulation Exercise in a 12 year old girl with Developmental Trauma. RDI is done using RDI basic protocol for children made by Korn and Leeds (2002) to activate positive resources. The other technique is using Pendulation exercise to process the traumatic experience: parental divorce as a source of aggressive behavior. The goal of RDI therapy is to activate the resources and install them for the adaptive information processing, and change the negative cognition into positive cognition. The result of this therapy is the reduction of aggressive behavior. The reduction of aggressive behavior reflects that there has been an adaptive information processing. Participant indicates behavioral changes that were reflected in the Child Behavioral Checklist (CBCL) scores. Parent and participant also report that participant was able to successfully control the anger., This study is done to explain the effectiveness of Resource Development and
Installation (RDI) with Pendulation Exercise in a 12 year old girl with
Developmental Trauma. RDI is done using RDI basic protocol for children made
by Korn and Leeds (2002) to activate positive resources. The other technique is
using Pendulation exercise to process the traumatic experience: parental divorce
as a source of aggressive behavior. The goal of RDI therapy is to activate the
resources and install them for the adaptive information processing, and change the
negative cognition into positive cognition. The result of this therapy is the
reduction of aggressive behavior. The reduction of aggressive behavior reflects
that there has been an adaptive information processing. Participant indicates
behavioral changes that were reflected in the Child Behavioral Checklist (CBCL)
scores. Parent and participant also report that participant was able to successfully
control the anger.]"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2015
T44156
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iletta Nathania Tjioe
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui penerapan Resource Development and Installation (RDI) untuk menurunkan simtom trauma pada anak dengan Posttraumatic Stress Disorder (PTSD). Partisipan merupakan anak laki-laki usia 8 tahun yang mengalami trauma seksual. Intervensi dilakukan selama 7 sesi menggunakan 4 teknik yaitu Point of Power, Container, Pendulation Exercise, dan Four Field.
Tujuan dari penerapan teknik RDI yaitu untuk mengurangi simtom trauma dengan meningkatkan sumber daya positif dan menurunkan perasaan-perasaan negatif.
Hasil intervensi menunjukkan adanya penurunan simtom trauma, peningkatan sumber daya positif, dan penurunan perasaan negatif yang terlihat dari penurunan skor CRIES-13. Selain itu, terjadi perubahan perilaku anak menjadi lebih adaptif. Anak merasa lebih mampu meregulasi emosi negatifnya dengan menggunakan sumber daya positif yang telah dipelajarinya.

This study was conducted to determine the therapeutic application of Resource Development and Installation (RDI) to reduce trauma symptoms on a child with Posttraumatic Stress Disorder (PTSD). Participant was an 8 year old boy who?s experiencing sexual trauma. The intervention process was conducted in a total of 7 sessions using 4 RDI techniques including Point of Power, Container, Pendulation Exercise, and Four Field.
The purpose of RDI application was to reduce trauma symptoms by increasing positive resources and minimize negative cognitions.
The results showed decreasing of trauma symptoms and negative cognitions and an increase of positive resources and cognitions that is marked by lowering of scores obtained from CRIES-13. In addition, participant's behaviors were noted to be more adaptive. The participant felt that he?s able to regulate his negative emotion more using his positive resources.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2016
T46585
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lena
"Tingginya angka penggunaan media elektronik pada anak tipikal dan autism spectrum disorder (ASD) di Indonesia sudah tergolong pada level mengkhawatirkan. Hal ini berkontribusi terhadap penurunan performa executive function (EF). Meskipun demikian, sejumlah penelitian terkini menemukan hubungan yang positif antara penggunaan media elektronik dan performa EF.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kontribusi kondisi perkembangan anak (tipikal dan ASD) dan durasi penggunaan media elektronik terhadap performa EF, dengan sebelumnya melakukan uji regresi antara kondisi perkembangan anak dan durasi penggunaan media elektronik. Partisipan terdiri dari 24 anak tipikal dan 9 anak ASD yang berusia 48-96 bulan dan memiliki tingkat inteligensi ≥ 70.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi perkembangan anak yang mengalami gangguan ASD berasosiasi secara signifikan dengan peningkatan durasi penggunaan media elektronik dan penurunan performa EF, namun durasi penggunaan media elektronik tidak berkontribusi dengan performa EF. Penelitian ini menekankan pentingnya mengatur penggunaan waktu media elektronik pada anak, baik tipikal maupun ASD, untuk mengoptimalkan EF mereka.

The high rate of electronic media usage in typical and autism spectrum disorder (ASD) children in Indonesia were highly concerning, which could contribute to the lowering executive function (EF) performance. However, recent studies found positive association between the use of electronic media and childrens EF performance.
This study aims to determine of the contribution of childrens development state (typical and ASD) and duration of electronic media use in childrens EF performance, with prior measurement using regression analysis for childrens development state and their duration of electronic media use. The participants of this study were 24 typical children and 9 children with ASD, which were 48-96 months of age and had IQ score of ≥ 70.
The results showed that childrens development state with ASD significantly associated with increasing in duration of electronic media use and decreasing in childrens EF performance. However, the duration of electronic media use was not contributed in childrens EF performance. This study emphasized in the importance of managing the duration of electronic media use in typical and ASD children, to promote optimum EF development.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
T53803
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gracia Stephanie
"ABSTRAK
Pentingnya peran pengasuhan dalam mengoptimalkan executive function (EF) anak membuat para peneliti bidang perkembangan kognitif berupaya menggali lebih jauh keterkaitan kedua variabel tersebut. Penggunaan bahasa orangtua (management language/ML) dalam mengontrol perilaku anak, baik pada anak typical maupun Autistic Spectrum Disorder (ASD) serta hubungannya dengan peforma EF menjadi topik riset pengasuhan yang cukup marak dilakukan saat ini untuk mendapatkan hasil yang konklusif. Sayangnya, riset yang dilakukan lebih berfokus pada peran pengasuhan ibu dibandingkan ayah. Padahal pengasuhan ayah mempunyai pola dan dampak yang berbeda pada anak sehingga keberadaannya tidak boleh diabaikan. Penelitian ini bertujuan mengukur kontribusi ML ayah dan kondisi perkembangan anak (typical dan ASD) terhadap performa EF anak dan mengamati bagaimana kondisi perkembangan anak memprediksi ML ayah. 22 anak typical dan 9 anak ASD bersama ayah mereka terlibat dalam penelitian ini. ML ayah diobservasi secara terstruktur melalui interaksinya dengan anak, sedangkan EF anak diukur melalui serangkaian tes EF. Hasil menunjukkan bahwa ML dengan tipe direction berkontribusi negatif terhadap perkembangan EF anak, bahkan setelah mengontrol variabel usia anak, inteligensi anak, status sosial ekonomi dan pendidikan ayah, sedangkan kondisi perkembangan tidak berkontribusi terhadap ML ayah. Riset ini menekankan perlunya meminimalisir penggunaan ML tipe direction dalam mengontrol perilaku anak, terlepas dari apapun kondisi perkembangannya.

ABSTRACT
The importance of the parentings role in optimizing the executive function (EF) of children makes researchers in cognitive development field conduct further study involving those two variables. The use of language (language management / ML) to control childrens behavior, both in typical and Autistic Spectrum Disorder (ASD) children and its relation to EF performance became the topic of parenting research, which frequently done nowadays to get conclusive results. However, prior studies emphasized more on the role of mothers, while fathers role actually have different patterns and influences on children that should not be ignored. This study aims to examine the contribution of paternal ML and the childs development condition (typical and ASD) on the childs EF performance and how childrens development predicts fathers ML. 22 typical children and 9 ASD children and their father were involved in this study. Fathers ML were observed in a structured manner through their interactions with children, while childrens EF is examined through the EF test. The results showed that the directive type of ML contributed negatively to EFs childrens development, even after controlling for the childs age, childrens intelligence, socio-economic status and fathers education, while childs development condition did not contribute to fathers ML. This study emphasizes the need to minimize the use of the direction type of ML in controlling children, regardless of the childs development condition.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
T53799
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizqina Permatasari Ardiwijaya
"Riset tentang kontribusi kualitas pengasuhan orangtua terhadap perkembangan Executive Function (EF) anak sudah banyak dilakukan. Hanya saja, dari riset tersebut belum bisa diketahui dengan jelas jenis pengasuhan mana yang lebih efektif untuk mendukung perkembangan EF. Di samping itu, penelitian terkait peran pengasuhan ayah juga masih terbatas. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kontribusi pengasuhan ayah (Autonomy Support dan Control) dan kondisi perkembangan anak (Tipikal dan Autism Spectrum Disorder) terhadap EF. Terdapat 31 orang partisipan ayah dan anak berusia 48-96 bulan (22 orang anak dengan perkembangan tipikal dan 9 orang anak dengan Autism Spectrum Disorder) yang ikut terlibat dalam penelitian ini. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hanya kondisi perkembangan anak yang memberikan kontribusi terhadap EF. Selain itu, pengasuhan control ayah dan kondisi perkembangan anak berkontribusi terhadap komponen cognitive flexibility. Hasil dari penelitian ini dapat memperkaya informasi untuk orangtua terkait penerapan pengasuhan yang efektif dalam meningkatkan kemampuan EF anak sesuai dengan kondisi perkembangannya.

Numerous research on the contribution of parenting quality to child's Executive Function (EF) has been carried out. However, those researches did not show which type of parenting that promotes child's EF development. Furthermore, research related to the role of father's parenting has not been thoroughly investigated. This study was conducted to determine the contribution of the father's parenting (autonomy support and control) and the child's developmental condition (typically developed and Autism Spectrum Disorder) on the EF. A total of thirty-one father and child participated in this study (22 typically develop children and 9 children with Autism Spectrum Disorder). The study found that only child's developmental conditions was significantly contributing to EF. In addition, the father's parenting control and child's developmental conditions has significant contribution to cognitive flexibility. This result can enrich the information for parents related to types of parenting style that is effective in improving the child's EF in accordance with the child's developmental conditions."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
T53460
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mutiara Aisha Maghfira
"Remaja rentan mengalami masalah kesehatan mental karena banyak perubahan yang terjadi di fase ini, serta berkaitan erat dengan kemampuan penyesuaian diri remaja dalam menghadapi tantangan. Fleksibilitas kognitif berperan penting dalam penyesuaian diri remaja dan menarik untuk dieksplorasi karena pemikiran remaja ditemukan unik dibandingkan dengan tahapan perkembangan lainnya. Penelitian sebelumnya juga menemukan hasil yang belum konsisten antara hubungan fleksibilitas kognitif dan penyesuaian diri di konteks yang berbeda, kemungkinan karena adanya faktor lain yang memediasi kaitan di antara keduanya, yaitu resiliensi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran resiliensi sebagai mediator pada hubungan antara fleksibilitas kognitif dan penyesuaian diri remaja. Penelitian ini adalah penelitian cross-sectional, menggunakan instrumen Brief Adjustment Scale-6 (BASE-6) untuk mengukur penyesuaian diri, Cognitive Flexibility Inventory (CFI) untuk mengukur fleksibilitas kognitif, dan Resiliency Scales for Children and Adolescents (RSCA) untuk mengukur resiliensi. Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 377 orang partisipan berusia 12─18 tahun. Hasil analisis mediasi menunjukkan bahwa resiliensi yang dilihat melalui sense of mastery dan emotional reactivity memediasi secara penuh hubungan antara fleksibilitas kognitif dan penyesuaian diri, sedangkan sense of relatedness memediasi secara sebagian hubungan antara keduanya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar pengembangan intervensi berbasis resiliensi bagi remaja.

Adolescence is a critical period marked by numerous changes, making it a vulnerable phase for mental health problems. The ability of adolescents to adjust and cope with the challenges they face is crucial for their overall well-being. One cognitive aspect that has been suggested to play a significant role in their adjustment is cognitive flexibility, which intriguing to explore because adolescents’ thinking is found to be unique compared to other developmental stages. However, previous research has yielded inconsistent findings regarding the direct relationship between cognitive flexibility and adjustment in various contexts. This may be due to the presence of mediating factors, such as resilience, which also plays a vital role in adolescents' adjustment. The present study aims to investigate the mediating role of resilience in the association between cognitive flexibility and adolescents’ adjustment. To achieve this, a cross-sectional research design was employed, utilizing three standardized instruments: the Brief Adjustment Scale-6 (BASE-6) to assess adolescent adaptation, the Cognitive Flexibility Inventory (CFI) to measure cognitive flexibility, and the Resiliency Scales for Children and Adolescents (RSCA) to evaluate resilience. A total of 377 participants, aged between 12 and 18 years, were recruited for this study. The results of the mediation analysis revealed that resilience, as observed through its components, namely, sense of mastery and emotional reactivity, fully mediated the relationship between cognitive flexibility and adolescent adaptation. Moreover, the sense of relatedness partially mediated this relationship. The study's implications lie in the potential development of targeted interventions based on resilience to promote positive adjustment among adolescents."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mutmainnah
"Masalah kesehatan mental pada remaja di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, namun tindakan mencari bantuan pada pihak profesional masih tergolong rendah. Diduga terdapat faktor lain yang menghambat intensi remaja untuk mencari bantuan pada pihak profesional ketika memiliki masalah. Sayangnya, penelitian mengenai faktor utama penghambat remaja mencari bantuan pada pihak profesional seperti stigma diri dan sikap terhadap tindakan mencari bantuan masih sangat terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran sikap sebagai mediator terhadap hubungan stigma diri dan intensi remaja untuk mencari bantuan profesional. Sebanyak 255 remaja Indonesia (laki-laki=57 dan perempuan=198) berusia 11-19 tahun (M= 15.31 tahun) menjadi partisipan dan mengisi serangkaian kuesioner meliputi Intention to Seek Counseling Questionnaire (ISCI), Self-Stigma of Seeking Help Scale (SSOSH) dan Mental Help Seeking Attitude Scale (MHSAS). Berdasarkan analisis mediasi ditemukan sikap memediasi secara penuh hubungan stigma diri dan intensi mencari bantuan tenaga kesehatan mental profesional. Semakin rendah stigma diri, maka sikap terhadap tindakan mencari bantuan pada pihak profesional semakin positif. Sikap yang positif selanjutnya akan meningkatkan intensi remaja meminta bantuan kepada pihak profesional. Temuan dalam penelitian ini mengindikasikan perlu digencarkannya program psikoedukasi berkaitan dengan pentingnya merawat kesehatan mental untuk remaja untuk menurunkan stigma diri dan mendorong sikap positif dan intensi mencari bantuan pada tenaga profesional remaja meningkat.

Mental health problems in adolescents in Indonesia are increasing from year to year, but the act of seeking professional help is still relatively low. It is suspected that other factors prevent adolescents from seeking professional help when they have problems. Unfortunately, research on the main factors inhibiting adolescents from seeking professional help such as self-stigma and attitudes toward seeking help is still minimal. This study aims to determine the role of attitude as mediator on the relationship bestween self-stigma and adolescents intention to seek professional help. A total of 255 Indonesian adolescents (boys = 57 and girls = 198) aged 11-19 years (M = 15.31 years) became participants. It filled out questionnaires including the Intention to Seek Counseling Questionnaire (ISCI), Self-Stigma of Seeking Help Scale (SSOSH), and Mental Help Seeking Attitude Scale (MHSAS). Based on the mediation analysis, it was found that the attitude of fully mediating the relationship of self-stigma and intention to seek help from professionals. The lower the self-stigma, the more positive the attitude towards seeking help from professionals. A positive attitude will further increase the intention of adolescents seeking help from professionals. The findings in this study need to be intensified with psychoeducational programs related to the importance of treating mental health for adolescents to reduce self-stigma, encourage adolescents positive attitudes, and increased intention ti seek help from proffesionals mental health."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>