Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 1350 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mukarto Siswoyo
"Keterlibatan anak-anak bekerja dalam dunia kerja upahan, membawa dampak negatif bagi perkembangan fisik maupun psikis anak. Mereka menjadi kehilangan kesempatan bermain dan sekolah serta masa kanak. Bahkan yang lebih memprihatinkan, mereka berada pada situasi kerja yang eksploitatif. Secara konseptual, eksploitasi adalah suatu tindakan individu, kelompok, atau kelas yang secara tidak adil atau secara tidak wajar menarik keuntungan dari kerja, atau atas kerugian orang lain. Dalam kaitan dengan pekerja anak, eksploitasi berarti anak yang dieksploitasi orang lain dalam keseluruhan bagian yang berkaitan dengan produksi tenaga kerja; dan anak bekerja dalam pekerjaan tertentu yang tidak sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan-kebutuhan perkembangannya.
Tujuan penelitian ini untuk memahami faktor pendorong dan penarik anak bekerja serta mengungkap terjadinya eksploitasi terhadap mereka. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan analisa kualitatif. Data dikumpulkan dari informan yang dipilih melalui wawancara mendalam, observasi dan studi dokumentasi.
Pertanyaan pokok penelitian tentang eksploitasi meliputi empat aspek berikut: a). Upah kerja, b). Jam kerja, c). Pemberian jenis pekerjaan, dan d). Hubungan dengan majikan. Hal yang ingin diungkap juga adalah faktor pendorong dan penarik anak bekerja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemiskinan orang tua menjadi faktor pendorong dan keberadaan pabrik genteng dilingkungannya menjadi penarik anak bekerja.
Atas hasil penelitian disimpulkan bahwa anak berada pada situasi kerja yang eksploitatif. Eksploitasi ditunjukkan oleh upah yang mereka terima setengah dari pekerja dewasa. Jam kerja diberlakukan lama dengan pekerja dewasa. Tidak ada pembedaan pemberian jenia pekerjaan antara pekerja dewasa dengan pekerja anak walaupun berisiko tinggi. Dan pola hubungan buruh-majikan, nampak terlihat menguntungkan pihak majikan dengan diciptakannya instrumen-instrumen pengikat sedemikian rupa sehingga anak menjadi tetap bekerja. Disamping itu, hak-hak sebagai pekerja tidak dijamin oleh pengusaha karena pengusaha merasa tidak berkewajiban untuk menyediakannya.
Atas dasar itu, peneliti menyarankan kepada pihak pemerintah untuk memberikan perlindungan maksimal melalui penerapan peraturan dan sangsi yang tegas Berta pemberian pelayanan sosial kepada anak-anak yang telah "terjebak" dalam situasi kerja upahan sehingga terhindar dari praktek eksploitasi."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasbullah
"Panti Sosial Asuhan Anak sebagai institusi pengganti fungsi keluarga diharapkan mampu memainkan peranannya dalam membina dan mengasuh anak-anak yang karena sesuatu dan lain hal mengalami kondisi keterlantaran. Salah satu kondisi kehidupan dalam panti yang mendukung atau menghambat perkembangan kepribadian anak adalah mutu pengasuhan yang diberikan oleh para pengasuh. Itulah yang melatarbelakngi penulis untuk melakukan kajian tentang praktik pengasuhan anak yang selama ini dilakukan di panti-panti sosial asuhan anak. Kerangka pemikiran yang digunakan dalam pengkajian tersebut berangkat dari 7 (tujuh) prinsip pengasuhan anak, yaitu keakraban, kepedulian, kebebasan, kemandirian, kedisiplinan, kestabilan emosi, dan realistik.
Bertalian dengan itu, maka penelitian ini bertujuan memperoleh data yang berkaitan dengan penerapan prinsipprinsip pengasuhan tersebut dalam praktik pengasuhan anak, dan bagaimana tanggapan mengenai penerapan prinsip-prinsip pengasuhan tersebut, serta bagaimana kaitannya dengan perumusan dan pengembangan program pendidikan dan pelatihan. Sehingga dengan demikian, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi penyusunan rencana dan prorgam pelatihan Tenaga Kesejahteraan Sosial Masyarakat (TKSM), khususnya pengelola dan pengasuh Panti-Panti Sosial Asuhan Anak.
Penelitian ini dilakukan pada enam buah panti sosial yang secara geografis dapat mewakili seluruh panti sosial yang ada di Kalimantan Selatan, yakni PSAA Budi Rahayu di Amuntai, Putera Harapan di Barabai, Budi Akhlaqul Karimah di Rantau, PSAA Puteri Harapan Ibu di Banjarmasin, Budi Mulia di Banjarbaru, dan Harapan Rita Tamban Barito Kuala, dengan jumlah responden sebanyak 30 orang pengasuh dan 90 orang anak asuh.
Hasil penelitian ini menunjukkan, bahwa prinsip-prinsip pengasuhan anak yang menjadi kerangka pemikiran dalam penelitian ini pada dasarnya telah dilaksanakan oleh para pengasuh di panti-panti sosial ini yang terimplementasi dalam beberapa bentuk perlakuan pengasuh terhadap anak-anak asuh. Hanya raja secara teoritis para pengasuh belum tahu atau bahkan sama sekali tidak tahu, bahwa yang mereka praktikkan selama ini adalah penerapan prinsip-prinsip pengasuhan dimaksud. Hal ini, mungkin saja disebabkan sebagian besar (46,67%) dari pengasuh belum pernah mengikuti diktat yang berkaitan dengan pengasuhan anak maupun pelayanan panti.
Berdasarkan pandangan pengasuh dan anak asuh terdapat kesenjangan dalam beberapa perlakuan yang diberikan oleh pengasuh kepada anak-anak asuh. Kesenjangan dimaksud adalah antara kenyataan yang diberikan oleh para pengasuh dengan kenyataan yang dirasakan dan dialami oleh anak-anak asuh. Kesenjangan dalam penerapan prinsip-prinsip tersebut, memerlukan adanya penyelarasan dan penyesuaian sehingga ada peningkatan wawasan pengetahuan dan pemahaman yang mendalam terhadap prinsip-prinsip pengasuhan anak tersebut melalui 2 (dua) jenjang pelatihan bagi pengasuh panti, yakni pelatihan teknis tingkat dasar dan pelatihan teknis tingkat pengembangan, dengan muatan materi tentang profesi dan praktik pekerjaan sosial. Dengan demikian, diharapkan akan terjadi peningkatan kinerja pelayanan dan pengasuhan di Panti-Panti Sosial Asuhan Anak."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Junaidi
"Tesis ini merupakan hasil penelitian tentang pemberdayaan masyarakat melalui Program Pengembangan Kecamatan (PPK) Fase II termasuk hambatan-hambatan dan upaya-upaya yang dilakukan untuk mengatasinya. Program Pengembangan Kecamatan Fase II merupakan kelanjutan dari Program Pengembangan Kecamatan sebelumnya. Program Pengembangan Kecamatan Fase II bertujuan untuk menanggulangi kemiskinan dengan memberdayakan masyarakat miskin dan perempuan sebagai pendekatan operasionalnya. Dilanjutkannya Program Pengembangan Kecamatan Fase II merupakan tanggung jawab antara Pemerintah Pusat dan daerah melalui mekanisme pembiayaan bersama yang di landasi dengan semangat Otonomi Daerah yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, tentang pemerintahan di daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999, tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah.
Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan metode kualitatif yang menghasilkan data deskriptif melalui studi kepustakaan, wawancara dengan informan, dan pengamatan di lapangan. Pemilihan informan dilakukan secara purposive sampling dan snowball sampling terhadap aparat pemerintah, fasilitator kecamatan dan desa, tokoh masyarakat dan warga masyarakat desa Gosong Telaga Selatan sebagai kelompok sasaran, dengan jumlah responden 12 orang. Hasil penelitian dianalisis dengan mengaitkan kebijakan sosial dan kerangka pemikiran tentang kemiskinan, pengembangan masyarakat, dan pemberdayaan masyarakat.
Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa pelaksanaan Program Pengembangan Kecamatan Fase II telah berjalan dari tahap sosialisasi sampai pelaksanaan kegiatan, belum mencakup tahap pengendalian dan pelestarian kegiatan. Pelaksanaan program dari tahap sosialisasi hingga ke tahap pelaksanaan kegiatan partisipasi masyarakat terutama masyarakat miskin dan perempuan terlihat dalam tahapan-tahapan kegiatan program pengembangan kecamatan. Peran petugas aparat pemerintah kecamatan yang terlibat langsung dilapangan yaitu PJOK dan pendamping yaitu Fasilitator Kecamatan (FK) bertugas memfasilitasi setiap kegiatan yang dilakukan masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan, memberi kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk merencanakan dan menentukan kegiatan yang akan dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang dimiliki desa.
Pelaksanaan program PPK Fase II mencakup kegiatan pembangunan sarana dan prasarana pendukung yaitu pembuatan Sumur Bor Dua Unit, pembangunan Polindes dan posyandu, Usaha Ekonomi Produktif (UEP) peningkatan usaha pembuatan Ikan Asin, dan Simpan Pinjam Perempuan (SPP) untuk penambahan modal usaha bagi perempuan. Pelaksanaan proses pemberdayaan masyarakat terlihat sejak dilakukannya sosialisasi program yang melibatkan masyarakat sebagai kelompok sasaran dengan melakukan pembentukan kelompok campuran berdasarkan kelompok dusun dan kelompok perempuan. Pembentukan kelompok dilakukan untuk mempermudah proses penggalian gagasan agar gagasan atau ide yang muncui betul-betul kebutuhan yang mereka inginkan. Begitu pula pada tahap pelaksanaan kegiatan, partisipasi dan peran aktif masyarakat sebagai penentu kegiatan terlibat langsung mensukseskan program. Pelaksanaan program yang diawali dengan tahap persiapan hingga ke tahap pelaksanaan program sudah terlihat, terjadinya perencanaan dan pelaksanaan keempat kegiatan oleh warga masyarakat menggambarkan telah berhasilnya pemberdayaan kelompok sasaran akan pengetahuan, keterampilan dan modal.
Dalam pelaksanaan Program Pengembangan Kecamatan masih terdapat kendala-kedala, baik dan masyarakat, pelaku PPK di desa maupun dan pelaku PPK di kecamatan. Kendala dari masyarakat yaitu: Pertama, sumber daya manusia yang masih rendah yang di dominasi tamatan SD dan SLIP. Kedua, pelaku PPK di desa yaitu terjadinya penyimpangan pada saat pembentukan kelompok sasaran yang dilakukan Kepala Dusun selaku ketua Kelompok dengan merekrut anggota berdasarkan hubungan kekeluargaan dan kekerabatan. Ketiga, kurangnya koordinasi pelaku PPK di Kecamatan dengan ketua Tim Koordinasi di Kabupaten yang mengakibatkan kendala proses administrasi. Keempat, lambatnya proses administrasi di bendahara proyek, mengakibatkan tertambatnya proses pencairan dana. Merujuk pada kendala-kendala tersebut, dikemukakan rekomendasi untuk penerapan program setanjutnya."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13358
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maspaitella, Marthin Jonas
"Program Pembinaan Kesejahteraan sosial masyarakat terasing (PKSMT), merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada kelompok masyarakat yang rawan sosial karena keterasingan dan atau keterbelakangannya, dengan tujuan untuk menciptakan kondisi sosial masyarakat yang bersangkutan menjadi lebih baik sehingga mereka mampu berkembang dan berpartisipasi dalam pembangunan. Untuk maksud inilah, maka kegiatan PKSMT selalu berorientasikan kepada kelompok-kelompok masyarakat yang karena lokalitasnya terpencil dan terisolasi, mengalami keterbelakngan komunikasi dengan masyarakat lain dan pelayanan Pemerintah sehingga mengakibatkan keterbelaknagan dalam taraf kehidupan dan penghidupan dan tertinggal dalam proses perkembangan kehidupan di bidang keagamaan, ideologi, politik, ekonomi maupun sosial dan budayanya.
Dalam konteks inilah, maka pada tahun 1984/1985 Pemerintah Cq. Departemen Sosial Propinsi Maluku telah melakukan aksi kegiatan PKSMT di Desa Honitetu dengan tujuan ialah untuk memukimkan warga binaan (orang-orang Wemale) ke dalam suatu unit pemukiman baru dan yang menetap. Upaya pemukiman bagi orang-orang Wemale dinilai berhasil dalam pelaksanaannya, hal ini tidak hanya ditunjang oleh aksi PKSMT, namun telah diperkuat oleh adanya Missi keagamaan (Protestan) yang masuk ke daerah pemukiman mereka (tahun 1922). Dari sinilah dapat dilihat bahwa pengaruh sistem keagamaan itu turut memberikan andil dalam upaya pemukiman tersebut yang sekaligus dapat mengintegrasikan mereka ke dalam suatu wilayah pemukiman baru dan yang menetap itu sendiri.
Ada dua sub problematika yang dikaji dalam penelitian ini, yakni : Pertama, Bagaimanakah pengaruh program PKSMT dalam upaya pemukiman menetap, Kedua, Apakah sistem keagamaan yang diyakini saat ini turut mendukung upaya pemukiman menetap bagi suku Wemale, khususnya dari sudut pandang integrasi masyarakat. Sebagai tujuan dari penelitian ini ialah "Untuk menggambarkan tentang pelaksanaan program PKSMT upaya pemukiman menetap, dipandang dari sudut integrasi masyarakat. Kesemuanya akan dianalisis dengan menggunakan pendekatan ilmiah yang bersifat kualitatif.
Adapun konsep pokok yang berkaitan dengan integrasi masyarakat wemale, berhubungan dengan tahap difusi dan tahap evaluasi dari sipenerima program. Program tersebut baik yang bersumber dari sistem keagamaan maupun pelaksanaan program PKSMT bagi masyarakat Wemale. Sebagai hasil yang diperoleh dari penelitian ini memperlihtkan bahwa kehadiran program PKSMT di tahun 1984/1985, dalam kenyataannya cukup berpengaruh terhadap penataan wilayah pemukiman baru dan yang menetap bagi orang-orang wemale. Adanya sarana umum/sosial yang disertai dengan bantuan stimulus berupa beras, gala, teh, uang dan berbagai peralatan teknologi baru (cangkul, linggis, sekop dan sebagainya) merupakan bahagian terpenting dalam rangka memperbaiki tata kehidupan dan penghidupan sosial yang sebaik-baiknya bagi mereka. Walaupun pada sisi lain masih terlihat bahwa hasil pelaksanaan program PKSMT belum tersentuh berbagai dimensi kehidupan di dalam masyarakat setempat. Hal mana dapat dilihat kelemahannya pada dimensi pendidikan anak, kesehatan masyarakat, sistem ekonomi (mata pencaharian hidup), maupun pada bidang administrasi pemerintahan di desa setempat. Kelemahan tersebut pada satu sisi dapat dipengaruhi akibat kuatya ikatan orang-orang wemale yang cenderung mempertahankan pola hidup yang bersifat tradisionalistik.
Kegagalan dari pada belum terealisasikan tahapan bina lanjut, turut mempengaruhi wujud keberhasilan program PKSMT di lapangan. Sedangkan menyangkut dimensi keagamaan memperlihatkan bahwa Sistem Keagamaan yang diyaklni saat ini (protestan) oleh orang-orang wemale di Desa Honitetu berhasil merubah dasar keyakinan agama lama (agama nunusaku) dan menjadikan mereka sebagai umat Tuhan yang percaya kepada Yesus Kristus, terhitung semenjak tahun 1922. Dalam konteks inilah, Agama Protestan melalui peran Gereja Protestan Maluku berhasil menempatkan orang-orang Wemale ke dalam suatu wilayah pemukiman baru dengan sasaran menghindari terjadinya pemukiman yang berpindah-pindah (nomaden). Usaha tersebut sekaligus betujuan untuk membuka keterasingan, keterisolasian dan mengintegrasikan mereka ke dalam wilayah pemukiman menetap, maka jadilah masyarakat Wemale sebagai masyarakat yang paripurna."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Afrinaldi
"Tulisan ini berusaha menyorot strategi pendampingan yang dilakukan oleh para pendamping IDT dari SP2W dan kemudian dikonfirmasikan dengan strategi pendampingan yang dilakukan oleh para pendamping "produk" Sekretariat Bina Desa, LSH yang lebih dahulu menggunakan strategi ini dalam memberdayakan masyarakat marginal, yang juga sebagai salah satu kontributor strategi pendampingan dalam program IDT. Karena itu dalam tesis ini, penulis khusus membahas tentang gagasan strategi pendampingan dari sisi konseptor. Baik gagasan konseptor yang muncul dari LSM (Sekretariat Bina Desa) sebagaimana strategi pendampingan ini diadopsi oleh pemerintah maupun dari pihak pemerintah sendiri sebagai pelaksana program. Bagaimana pemerintah melaksanakannya sementara LSM sebagai orang atau lembaga yang lebih dahulu menggunakan strategi ini hanya terlibat pada tataran konsepsional dan tidak pada tataran operasional.
Untuk menjawab pesoalan tersebut di atas, data bersumberkan dari hasil dialog secara mendalam dengan para responden dengan memakai guide quesioner. Disamping itu, analisa ini diperkuat dengan data sekunder berupa hasil evaluasi baik yang dilakukan oleh perorangan maupun kelembagaan, termasuk juga tulisan-tulisan yang berhubungan dengan fenomena implementasi program IDT. Kedua bentuk data di atas, diolah dan dianalisa serta dideskripsikan.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan memperlihatkan bahwa ternyata strategi pendampingan yang dilaksanakan dalam program IDT belum sesuai dengan "warna aslinya". Hal ini terkait erat dengan kapasitas pendamping itu sendiri yang tidak dipersiapkan dengan sosialisasi gagasan terutama tentang metode dan teknik serta strategi pendampingan. Sungguhpun telah dilakukan pelatihan guna memahami makna strategi tersebut sebelum mereka diterjunkan, tapi dalam kenyataannya, pelatihan yang diberikan lebih banyak kepada bentuk pembentukan sikap mental dan materi managemen usaha, yang menurut para pendamping tidak banyak berguna bagi pendamping dilapangan dan bukan tentang teknik, metode dan strategi pendampingan.
Akibatnya adalah bahwa secara operasional sulit bagi para pelaku yang terlibat dalam strategi pendampingan ini keluar dari bentuk-bentuk pendekatan yang selama ini ada, terutama dalam memahami makna pendamping. Begitu juga dengan peran dan fungsi sebagai seorang pendamping, sebagaimana yang dikatakan baik oleh Jim Ife, Kartjono ataupun para konseptor dari Bappenas, sangat sulit diwujudkan oleh pendamping. Sehingga dengan demikian, paradigma pembangunan berbasiskan pada masyarakat masih jauh dari realitasnya.
Namun demikian, berdasarkan apa yang telah dilakukan oleh para pelaku strategi ini, memiliki prospek yang cukup baik untuk ditindaklanjuti. Bahkan menurut para konseptor, hanya melalui pendekatan strategi inilah bisa dibangun kekuatan ekonomi kerakyatan dan pemberdayaan masyarakat yang menjadi kata kunci keberhasilan pembangunan itu bisa diwujudkan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Untung Basuki
"Permasalahan utama penelitian ini adalah peranan pembina kelompok dalam perkembangan kelompok penduduk miskin di pedesaan. Sedangkan ruang lingkup penelitian ini meliputi kondisi kehidupan keluarga miskin, efektivitas peranan pembina kelompok dalam pengembangan Kelompok Usaha Bersama (KUBE) serta hubungan antara pelaksanaan peranan pembina kelompok tersebut terhadap kinerja KUBE binaan mereka.
Penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan metode kualitatif. Pengumpulan data dilakukan melalui cara-cara yaitu; studi dokumentasi dari laporan pelaksanaan Program BRS di Gunungkidul yang terdapat di Kanwil Depsos DIY. Kedua pengamatan dan wawancara umum kepada pembina. KUBE serta pengurus KUBE dan beberapa anggota KUBE. Obyek penelitian ini ialah lima KUBE yang penerima Program Bantuan Kesejahteraan Sosial (BKS) pada tahun anggaran 19901991 di Kabupaten Tk II Gunungkidul DIY yaitu: KUBE Sidomulyo yang berada di Desa Dadapayu Kecamatan Semanu, KUBE Sumber Rejeki yang berada di Desa Kenteng Kecamatan Ponjong, KUBE Sumber Urip di Desa Watusiku Kecamatan Ngawen, KUBE Ngudi Lestasi di Desa Jatiayu Recamatan Karangmojo dan KUBE "Gembira" di Desa Karangsari Kecamatan Semin.
Hasil penelitian: Pertama; kondisi kehidupan keluarga miskin di daerah ini umumnya dicirikan dengan pemilikan tanah pertanian yang kecil (dibawah 0,50 ha). Karena produktivitas lahan yang rendah maka mereka bekerja serabutan (apa saja) untuk mempertahankan hidupnya. Usaha serabutan itu tidak menentu dan sangat bergantung pada musim dan pasaran kerja yang ada.
Kedua; Program BKS yang ditujukan untuk mengatasi masalah kemiskinan melalui pendekatan kelompok (KUBE) masih dihadapkan pada kinerja para pembina kelompok yang belum semua dapat berperan secara efektif. Tidak semua PSK berperan aktif dalam pelaksanaan seleksi serta penyadaran calon anggota KUBE dan mereka hanya mempercayakan tugas-tugas tersebut kepada aparat desa. Akibatnya PSK kurang memahami kondisi internal (potensi dan sumber-sumber) yang dimiliki anggota KUBE binaan mereka (KUBE Ngudi Lestari dan KUBE "Gembira").
Walaupun kelima PSK umumnya telah dapat memfasilitasi KUBE, (membentuk pengurus, membuat pembagian tugas, menciptakan norma-norma kelompok serta penyaluran stimulan kelompok) namun pada KUBE yang intensitas pembinaannya yang rendah, perangkat kelompok itu tidak dapat berfungsi untuk mendorong perkembangan KUBE. Intensitas pembinaan yang rendah membuat kelompok sulit memanfaatkan semua perangkat yang ada. Bahkan pada KUBE yang berprestasi rendah, timbul konflik diantara anggota yang'sulit dipecahkan.
Sebaliknya peran PSK pada dua KUBE Sidomulyo dan sumber Rejeki lebih dapat berkembang karena selain kedua pembina ini mampu memfasilitasi kelompok, mereka juga melaksanakan pembinaan secara intensif.
Dari penelitian pada lima KUBE di Gunungkidul ini diketahui bahwa secara umum intensitas pembinaan dari PSK pada PSH akan mempengaruhi pembinaan PSH kepada KUBE. Selanjutnya intensitas kedua pembina kelompok tersebut berpengaruh pada kinerja KUBE binaan mereka. Intensitas pembinaan yang tinggi oleh pembina kelompok akan diikuti dengan prestasi KUBE yang tinggi. Sebaliknya intensitas pembinaan yang rendah akan diikuti kinerja yang rendah pula.
Peran pembina kelompok dalam pengembangan usaha TUBE perlu mendapat perhatian serta penghargaan yang seimbang. Artinya peningkatan mutu PSI, maupun PSM sepatutnya memperoleh perhatian sehingga dapat meningkatkan gairah kerja dan tanggung jawabnya sebagai pembina TUBE. Selain itu dibutuhkan Pula suatu pola pembagian togas yang terintegrasi diantara para pembina kelompok, bank dalam materi maupun peran-peran yang seharusnya dilakukan masing-masing. Selanjutnya yang perlu dihindari dalam penampilan peranan ini adalah kecenderungan dominasi pembina kelompok sebagai pengambil keputusan dalam TUBE karena hal ini sangat bertentangan dengan asas pemberdayaan dan keswadayaan kelompok."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tampubolon, Joyakin
"ABSTRAK
Gerakan Nasional Orang Tua Asuh (GN-OTA) merupakan suatu gerakan yang bertujuan untuk memberikan bantunan pelayanan kepada anak asuh sehingga mereka dapat mengikuti program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun dengan berhasil. Selain itu juga diharapkan, dengan bantuan pelayanan tersebut dapat meningkatkan partisipasi keluarga dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekolah anak lainnya.
Masalah pokok yang diangkat dalam penelitian ini adalah : "apakah bantuan yang diberikan GN-OTA sesuai dengan kebutuhan anak untuk kurun waktu satu tahun dan apakah bantuan tersebut dapat meningkatkan partisipasi keluarga di dalam memenuhi kebutuhan anak lainnya ? Hipotesa yang diajukan adalah: (a) ada hubungan antara karakteristik orang tua / anak dengan pemenuhan kebutuhan sekolah anak; yang (b) ada perbedaan kebutuhan untuk kurun waktu satu tahun antara anak yang tinggal di Batuceper dengan anak yang tinggal di Ciledug dan antara laki-laki dan perempuan; (c) ada hubungan antara suasana / kondisi kekeluargaan (hubungan keluarga-anak) yang tercipta dalam keluarga dengan keberhasilan anak dalam sekolah; dan (d) ada hubungan antara tingkat kehidupan ekonomi keluarga dengan pemenuhan kebutuhan sekolah anak.
Pengukuran yang dilakukan didasarkan pada jawaban responder dengan menggunakan skala nominal, ordinal dan interval. Metode penelitian yang digunakan adalah: (a) eksploratif deskriptif yang bertujuan untuk memaparkan dan menggambarkan secara faktual kebutuhan anak untuk kurun waktu satu tahun; dan (b) metode eksplenasi bertujuan mencoba mendiskripsikan hubungan antara berbagai variabel penelitian yang mungkin menunjukkan suatu hubungan kausalitas atau kovarasional melalui pengujian Kolmogorov-Smimov, Kruskai-Walis, Kendall's tau-b dan r Pearson. Populasi dalam penelitian ini adalah pendudukan Kodya Tangerang yang berusia 7 - 17 tahun dan sedang mengikuti pendidikan SD sederajat dan atau SLTP, dengan unit analisis 9 keluarahan / desa pada 2 wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Batuceper dan Kecarnatan Ciledug. Teknik penarikan sampel dengan Purpose Stratified Random Sampling. Data yang digunakan berupa (a) data sekunder yaitu orang tua, wali kelas dan dari laporan-laporan yang ada; dan (b) data primer yang berasal dari hasil wawancara langsung dengan anak. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi dokumentasi, wawacara berstruktur, survey dan observasi berstruktur.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terlihat adanya suatu hubungan antara karakteristik keluarga, yang meliputi umur, jenis kelamin dan tingkat pendidikan dengan tingkat pemenuhan kebutuhan sekolah anak, baik antara orang yang berpendidikan dengan orang tua yang tidak berpendidikan sama sekali, maupun antara perempuan dan laki-laki. Pada umumnya menunjukkan suatu pola perilaku yang sama. Namun, bentuk hubungan kekeluargaan seperti ketenangan / rasa aman untuk belajar dan perhatian yang sungguh-sungguh yang diterima oleh anak dari orang tuanya lebih menunjukkan keberhasilan anak dalam sekolah. Hubungan ini menunjukkan suatu hubungan kovariasional positif.
Untuk kebutuhan-kebutuhan tertentu anak memiliki kebutuhan yang sama antara satu dengan yang lainnya. Hal ini terjadi karena adanya suatu aturan yang bertaku umum yang harus dikuti oleh anak. Namun, untuk kebutuhan-kebutuhan tertentu lainnya anak memiliki kebutuhan yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya untuk kurun waktu satu tahun. Perbedaan ini dilihat dari sudut wilayah yaitu antara anak yang tinggal di Batuceper dengan anak yang tinggal di Ciledug dan antara anak laki-laki dan perempuan serta antara tingkatan kelas anak dalam sekolah.
Tingkat kehidupan ekonomi keluarga cukup memprihatinkan, pada umumnya mereka bekerja sebagai buruh lepas dengan pendapatan yang sangat rendah dengan jumlah tanggungan antara 4 - 6 orang. Dilihat dari besaran permasalahan kehidupan ekonomi keluarga, paket bantuan yang diberikan GN-OTA kurang menyentuh permasalahan anak dan keluarga yang sesungguhnya. Bantuan tersebut terlalu stimulan sekali dan belum merupakan prioritas kebutuhan anak. Apalagi untuk meningkatkan partisipasi keluarga dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan anak lainnya.
Di dasarkan pada hasil penelitian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa eksistensi bantuan GN-OTA memang perlu, namun belum dapat menyentuh permasalahan anak dan keluarga, baik ditinjau dari segi jenis, kwantitas dan prioritas kebutuhan sekolah anak. Dalam kehidupan anak, keluarga merupakan unit yang terdekat terhadap anak dan tidak mungkin dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Sampai usia tertentu anak merupakan tanggung jawab orang tua atau keluarga. Didasarkan pada hasil penelitian dan kesimpulan di atas maka diajukan beberapa saran, yang pertama saran yang berkaitan dengan rumusan kebijakan pelayanan anak, yang kedua saran yang berkaitan dengan alternatif model pelayanan GN-OTA dan yang ketiga saran alternatif program yang ditujukan kepada keluarga."
1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marion Lukman
"Permasalahan kemiskinan pascakonflik sosial sudah berlangsung beberapa tahun, akan tetapi proses untuk merehabilitasi masyarakat tersebut belum berhasil secara optimal. Masyarakat pascakonflik sosial membutuhkan suatu upaya pemberdayaan yang dapat meningkatkan kemampuan masyarakat itu kembali ke keadaan semula, bahkan lebih baik.
Tesis ini bertujuan untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam mengenai pemberdayaan masyarakat pascakonflik sosial melalui program Community Based Livelihood Initiatives (CBLI) di desa Lalubi, kecamatan Crane Timur, kabupaten Halmahera Selatan, propinsi Maluku Utara. Program ini dijalankan oleh sebuah lembaga non pemerintah, yaitu Yayasan Tanggul Bencana (YTB).
Permasalahan ini diambil karena sudah begitu banyak pola pemberdayaan masyarakat yang dilakukan, baik oleh pemerintah maupun lembaga non pemerintah. Semuanya itu turut berperan dalam pembangtinan, sekecil apa pun peran mereka, termasuk program CBLI yang ditangani oleh YTB.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan berusaha untuk menggali informasi secara mendalam mengenai pola pemberdayaan masyarakat melalui program CBLI. Pemilihan informan merupakan informan yang lebih mengetahui secara teknis dan Iangsung sebagai sumber data yang dicari. Untuk pengumpulan data tersebut menggunakan teknik wawancara mendalam (in depth interview), partisipan observasi, dan studi dokumentasi. Ketiga teknik itu digunakan untuk saling melengkapi sehingga dapat mengungkapkan realita sesungguhnya dari berbagai jawaban informan.
Adapun teori yang dijadikan rujukan dan kerangka analisis dalam penelitian ini adalah konsep pemberdayaan oleh tentang pendekatan pemberdayaan dalam upaya menumbuhkembangkan peranan stakeholders dan mengembangkan metodologi pembinaan dalam pelaksanaan pemberdayaan itu sehingga menjadikan masyarakat berdaya yang berarti juga kemandirian masyarakat. Selain itu konsep Intervensi Kesejahteraan Sosial menurut Cox (2001) yang merupakan tahapan pemberdayaan dari tahapan persiapan, pengkajian, perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan terminasi program.
Hasil penelitian menunjukkan suatu hubungan peranan yang terjadi antara peran pemerintah desa, peran tokoh agama, peran organisasi non pemerintah yang dalam hal ini adalah YTB mempunyai peranan dalam penyediaan sarana dan prasarana serta program yang realistis bagi kebutuhan masyarakat.
Hasil penelitian dari wawancara mendalam adalah melalui pendekatan kelompok terjadi proses penguatan di dalam masyarakat. Masyarakat menentukan sendiri pengurus kelompoknya, membuat aturan-aturan, membuat sanksi-sanksi yang disepakati, pemecahan masalah secara musyawarah, kesadaran untuk mengembalikan dana pinjaman, dan adanya tabungan kelompok.
Dikaitkan dengan kebijakan YTB, hasil penelitian mendalam dari program CBLI belum sepenuhnya sesuai dengan konsep pemberdayaan yang mengarah kepada kemandirian, yang terlihat sangat kuat adalah pemberdayaan ekonomi. Akan tetapi variabel adanya menumbuhkembangkan kerja sama dan keterpaduan antara unsur stakeholders, menumbuhkembangkan fungsi partisipasi masyarakat dalam kelompok sasaran, peningkatan kesadaran, dan peningkatan motivasi sudah berjalan dengan baik. Sedangkan peningkatan sumber daya manusia (intelektual) melalui peningkatan ketrampilan belum sesuai dikarenakan kebutuhan yang baru berjalan dari proses pelaksanaan program hanya kepada pembimbingan administrasi pembukuan yang sederhana.
Penelitian ini juga menemukan, bahwa proses pelaksanaan program CBLI memiliki tahapan-tahapan dan relevan dengan tahapan Intervensi Kesejahteraan Sosial yang dirumuskan oleh Cox (2001). Meskipun dalam aktivitasnya berbeda, tetapi secara substansi pola penanganan program CBLI dan Cox relatif sama.
Kendala yang dihadapi lembaga dalam pemberdayaan masyarakat melalui program CBLI terkait dengan koordinasi secara strulctural dari pemerintah daerah dalam mengembangkan pembangunan di desa Lalubi, faktor internal dari WG yang secara personal hanya ditangani oleh satu orang saja, yang mengakibatkan CO hanya menunggu petunjuk dari WG, dan pada kelompok sasaran, dimana motivasi dan kepercayaan terhadap anggota kelompok yang lain belum sepenuhnya.
Berdasarkan temuan penelitian tersebut, maka disarankan agar lembaga melakukan konsolidasi pengurus WG yang difasilitasi oleh YTB, CO juga diberikan kepercayaan dalam mengelola kelompok. Saran kepada Kelompok Sasaran adalah pertemuan kelompok perlu terus dijaga agar menghindari ketidakpercayaan dan turunnya motivasi untuk mengembangkan diri, kelompok juga perlu menjaga aturan-aturan kelompok yang disepakati bersama, dan perlunya saling membantu dan mendukung semacam rantai agar anggota kelompok yang sudah menjalankan usaha dapat membeli dan menjual sehingga terjadi putaran uang yang lancar. Saran kepada Pemerintah Daerah adalah meningkatkan koordinasi dalam penyelenggaraan pemerintahan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13689
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kanita
"Tesis ini bertujuan untuk mengetahui garnbaran umum tentang korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan peran Lembaga Kalyanamitra Jakarta dalam menanganai kasus KDRT serta mengidentifikasi faktor penghambat dan faktor pendukung yang dihadapi oleh lembaga tersebut dalam penanganan kasus kekerasan. Fenomena ini diambil karena kekerasan dan ketidakberdayaan (powerless) lingkup KDRT kini semakin menonjol, dan menurut data yang ada setiap tahun kasus tindak kekerasan dalam rumah tangga ini mengalami peningkatan baik secara kuantitas maupun kualitas, sementara upaya-upaya dari pihak terkait untuk mengatasi masalah tersebut juga sangat terbatas.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan metode lebih ditekankan pada verstehen, yaitu memberi tekanan interpretatif terhadap pemahaman informan penelitian. Pemilihan informan dilakukan dengan non-probability sampling yang meliputi dewan pimpinan Lembaga Kalyanamitra, Koordinator Divisi Pendampingan, Pendamping lapangan, psikolog dan korban KDRT. Untuk mengumpulkan data dari penelitian ini digunakan teknik wawancara mendalam (in-depth interview), observasi partisipan dan studi dokumentasi. Ketiga teknik ini digunakan untuk saling melengkapi, sehingga dapat mengungkap realitas sosial dari berbagai jawaban informan. Adapun teori yang dijadikan rujukan dan kerangka analisis dalam penelitian ini adalah teori proses pekerjaan sosial (social work process) yang dikemukakan oleh Compton & Galaway (1994) yang dapat digunakan sebagai acuan dalam penanganan masalah kesejahteraan sosial, termasuk dalam penanganan kasus korban KDRT.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam konteks ini, kasus kekerasan suami terhadap istri masih dipandang sebagai aib, bila dibawa ke sektor publik atau diperkarakan secara hukum, tetapi dianggap sebagai kewajaran, yaitu sebagai bentuk pendisiplinan suami terhadap istri. Secara sosiologis, mereka lebih tepat disebut korban-korban tindak kekerasan suami terhadap istri atau KDRT. Pemahaman ini berangkat dari realitas bahwa sebagian besar dari mereka merupakan korban kejahatan dalam rumah tangga yang mengakibatkan timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, ekonomi dan psikologis, juga termasuk menerima ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang dalam lingkup rumah tangga.
Penelitian ini menemukan bahwa bentuk kekerasan yang paling banyak dialami korban adalah kekerasan ganda dan pada umumnya korban tidak menyangka kalau suami korban akan tega melakukan kekerasan terhadapnya. Dampak kekerasan yang dialami oleh korban adalah menimbulkan trauma fisik dan psikologis yang berlangsung lama (jangka panjang), menimbulkan kerugian moril dan materil, bahkan ada korban yang mengalami depresi berat sehingga membutuhkan pendampingan psikiater dan sampai sekarang kondisi jiwanya labil.
Kendala yang dihadapi lembaga dalam proses penanganan kasus korban tindak kekerasan dalam rumah tangga terkait dengan keterbatasan dana dan tidak dimilikinya tenaga pengacara untuk menangani kasus ligitasi; tidak adanya peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur anti-KDRT, sikap pelaku dan keluarga korban pada umumnya tak peduli terhadap program yang diselenggarakan Lembaga Kalyanamitra, dan sikap korban sendiri yang cenderung mengalah, pasrah dan ketidaktahuan dalam mencari akses bantuan.
Berdasarkan temuan penelitian ini, maka disarankan kepada Lembaga kalyanamitra untuk : menggali dana dari funding lain (fundraising), membentuk network yang solid dengan stakeholder dan pihak terkait di tingkat lokal, nasional maupun internasional sehingga basis sosial Lembaga Kalyanamitra kuat dan isue KDRT diangkat sebagai isue politis, perlu dipersiapkan petugas khusus yang menangani data pendukung (case record), merekrut atau mendidik pendamping yang berpendidikan ilmu pekerjaan sosial, tanggung jawab pendamping sesuai dengan jumlah korban dampingannya hingga proses penanganan selesai dan perlunya membuat kontrak penanganan antara korban dan lembaga."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13328
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nursyamsu
"Model pembangunan ekonomi yang berpusat pertumbuhan, menempatkan pendapatan perkapita sebagai indikator keberhasilan, tanpa melihat apakah pendapatan tersebut terdistribusikan kepada masyarakat secara seimbang, telah melahirkan banyak permasalahan sosial, seperti kesenjangan sosial, pengangguran, gelandangan dan pengemis, anak jalanan dan lain-lain tennasuk permasalahan kemiskinan. Berbagai fakta empirik menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak menjamin terciptanya pemerataan hasil-hasil pembangunan. Pembangunan ekonomi lebih bersifat sentralistik, dimana masyarakat dijadikan obyek dari program-program pembangunan. Konsep trickle down effect yang cenderung top-down pun tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Berangkat dari kebijakan otonomi yang memberikan keleluasaan daerah untuk melaksanakan program pembangunannya, Pemerintah DKI Jakarta mencoba pendekatan pembangunan yang cukup inovatif di kelurahan-kelurahan yang ada di wilayahnya. Proyek ini bernama Program Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (PPMK). Program ini merupakan produk pemikiran yang merupakan hasil pengalaman cukup panjang dari pelaksanaan berbagai Program Jaring Pengaman Sosial dan program pengentasan kemiskinan yang telah lalu.
Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan kualitatif, dengan tujuan untuk menghasilkan data dan informasi yang berkaitan dengan pelaksanaan PPMK di Kelurahan Bintaro, kendala yang ada dalam pelaksanaan PPMK, kemudian upaya yang telah dilakukan untuk menanggulangi kendala tersebut. Pemilihan informan bersifat purposive sampling yang meliputi, ketua BPM Kodya, Camat, Lurah, Ketua Dekel, UPKMK, TPK-RW, RT, LSM Pendamping, tokoh masyarakat, warga dan pemanfaat.
Hasil penelitian menunjukan bahwa pelaksanaan PPMK di Kelurahan Bintaro, mencakup proses perencanaan, persiapan, pelaksanaan, serta pengawasan. Dalam pelaksanaan PPMK terdapat peningkatan kondisi masyarakat, dilihat dari elemen-elemen pemberdayaan yang dilakukan tidak hanya untuk ekonomi, tetapi juga pemberdayaan terhadap lembaga kemasyarakatan (RT/RW). Institusi RT/RW telah melaksanakan peran pembimbing, pendamping dan pengawas. Peningkatan kondisi masyarakat setelah memperoleh bantuan PPMK ditunjukkan dengan beberapa perubahan, yaitu: omset usaha meningkat, pengetahuan pemanfaat terhadap usahanya bertambah, adanya tabungan, mengenal sistem sumber. SeIain perubahan dari sisi ekonomi, terdapat perubahan dari sisi sosial, berupa meningkatnya keakraban antar warga, yang mengakibatkan tumbuhnya kepedulian dan kegotongroyongan pada komunitas RW. Kendala yang dijumpai dalam pelaksanaan PPMK berkaitan dengan adanya dana macet/tunggakan dana bergulir, keberadaan kantor TPK-RW yang tidak memadai, lemahnya sanksi yang diberikan kepada penunggak.
Berdasarkan temuan lapangan, penulis mengajukan saran, yaitu adanya penguatan institusi lokal (RTIRW) melalui pembinaan dan pelatihan secara berkala pada komunitas RT/RW, untuk memberdayakan komunitas tersebut, yang diarahkan untuk meningkatkan kualitas yang merata pada seluruh level RT/RW di Kelurahan Bintaro. Kondisi ini ditopang oleh pengadaan atau pembenahan sekretariat di level RW, sebagai tempat pelaksanaan proses pemberdayaan. Hal ini untuk lebih menunjang pelaksanaan pemberdayaan di level komunitas RT/RW tersebut."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13715
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   4 5 6 7 8 9 10 11 12 13   >>