Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3509 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hutabarat, Aldrin M. P.
"Penelitian ini mengenai penyidikan tindak pidana anak di Polres Metro Jakarta Barat yang bertujuan untuk menggambarkan tindakan dan perilaku penyidik anak dalam melakukan penyidikan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana di Polres Metro Jakarta Barat.
Adapun permasalahan yang diteliti adalah pengorganisasian penyidikan tindak pidana anak yang difokuskan pada tindakan dan perilaku penyidik/penyidik pembantu anak dalam proses penyidikan tindak pidana anak di Satuan Reserse Kriminal Polres Metro Jakarta Barat.
Penyidikan suatu tindak pidana diawali dari diterimanya laporan dari masyarakat ataupun ditangkapnya pelaku tindak pidana dalam keadaan tertangkap tangan yang kemudian dituangkan di dalam suatu bentuk yang disebut laporan polisi. Berdasarkan laporan polisi tersebut dilakukanlah upaya untuk menemukan tersangka dan barang bukti melalui tahapan-tahapan penyidikan berupa penyelidikan, pemanggilan, pemeriksaan, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan hingga penyerahan berkas perkara dan penyerahan tersangka serta barang bukti ke Jaksa Penuntut Umum. Hal ini dimaksudkan agar tersangka dijatuhi hukuman sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dalam mempertanggung jawabkan perbuatannya yang telah dilakukannya.
Penyidikan tindak pidana anak terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana di Poles Metro Jakarta Barat diorganisasi dalam tingkatan-tingkatan penyidik pembantu, penyidik dan atasan penyidik, yaitu mulai dari Kepala Unit, Kepala Satuan Reserse Kriminal hingga kepada Kapolres Metro Jakarta Barat yang masing-masing telah diatur tugas dan tanggung jawabnya di dalam penyidikan tindak pidana yang terjadi.
Dalam penyidikan anak sebagai pelaku tindak pidana telah terjadi interaksi antara penyidik/penyidik pembantu anak dengan anak sebagai tersangka, orang tua anak, penasihat hukumnya dan pembimbing kemasyarakatan baik yang bersifat positif maupun negatif yang dari sini dapat dilihat tindakan dan perilaku penyidik di dalam proses penyidikan ataupun di luar proses penyidikan.
Timbulnya tindakan dan perilaku menyimpang dari penyidik/penyidik pembantu anak pada saat dilakukannya penyidikan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana anak maupun ketika di luar proses penyidikan dipengaruhi beberapa faktor yaitu faktor hukum, faktor penegak hukum, faktor sarana dan prasarana/fasilitas, faktor masyarakat dan faktor kebudayaan.
Di dalam tesis ini digambarkan bahwa tindakan dan perilaku penyidik/penyidik pembantu anak dalam proses penyidikan terhadap anak sebagai tersangka anak di mana telah ditemukan adanya beberapa tindakan dan perilaku menyimpang dari penyidik/penyidik pembantu anak. Tindakan dan perbuatan menyimpang tersebut adalah merupakan perbuatan melanggar hukum dan melanggar hak anak sebagaimana yang diatur dalam hukum acara pidana anak dan KUHAP. Hal tersebut dapat ditemukan pada tahap pemeriksaan terhadap tersangka anak perempuan dalam kasus narkotika yang tidak didampingi penasihat hukumnya dan dilakukan pada subuh hari yang dimulai dari jam 02.15 hingga jam 04.30 wib yang sebenarnya waktu itu adalah jam tidur/istirahat seorang anak. Selanjutnya, penahanan terhadap tersangka anak ditahan dalam satu sel tahanan dengan tahanan orang dewasa/residivis. Pada saat penggeledahan badan terhadap tersangka anak perempuan yang seharusnya dilakukan oleh polisi wanita atau PNS wanita, akan tetapi pada waktu itu dilakukan oleh polisi pria. Begitu juga dalam tahap penangkapan terhadap tersangka anak Hatta dilakukan pemukulan sebanyak dua kali pada bagian kepalanya. Sehingga perbuatan-perbuatan tersebut sangat merugikan tersangka anak dan dapat mempengaruhi jiwa anak sebagai penerus cita-city perjuangan bangsa yang memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial anak secara utuh, serasi, selaras dan seimbang."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11064
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iwan Gunawan
"Tesis ini merupakan kajian terhadap suatu brand di Amerika yaitu Aunt Jemima. Produk utama dari brand ini adalah makanan siap saji pancake dan jenis makanan lainnya. Brand ini mempergunakan gambar perempuan kulit hitam sebagai merek dagangnya. Aunt Jemima telah beredar di Amerika Serikat sejak tahun 1889 dan masih diproduksi sampai sekarang (tahun 2003).
Fokus perhatian utama dari penelitian saya adalah alasan perubahan citra dari brand tersebut dan hal-hal yang melatar belakanginya.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menjawab mengapa merek dagang tersebut bisa bertahan selama puluhan tahun, tanpa melakukan perubahan citra dan apa yang menyebabkan diubahnya citra merek dagang Aunt Jemima pada tahun 1968 dan tahun 1989.
Tesis ini menunjukkan bahwa pihak produsen mengubah pencitraan brand Aunt Jemima untuk mensiasati terjadinya perubahan sosial politik masyarakat Amerika terhadap masyarakat kulit hitam dari tahun 1889 hingga 1989. Citra mammy menjadi dasar bagi pencitraan Aunt Jemima di tahun 1889 hingga sebelum tahun 1968. Ia digambarkan sebagai ahli masak, pengabdi majikan, dan periang sesuai dengan karakteristik dasar stereotype flee happy slave, the devoted servants, dan The natural-born cook. Yang ingin disampaikan oleh penggunaan merek dagang tersebut adalah bahwa produk Aunt Jemima rasanya enak karena dibuat oleh ahli masak dari selatan. Citra yang tadinya mengarah pada stereotype "Mommy" tidak dapat dipertahankan lagi karena citra yang tadinya menimbulkan rasa nyaman dan aman tidak pada masa ini menjadi citra yang negatif karena mengingatkan pada masa perbudakan. Di tahun 1968 citra yang dibawakan Aunt Jemima adalah citra seorang perempuan yang mengatur rumah tangga, merawat keluarga dan mengurus dapurnya sendiri. Dengan menampilkan Aunt Jemima sebagai ibu rumah tangga ini, maka akan ada proses identifikasi dari konsumen produk Aunt Jemima yang secara mayoritas adalah ibu rumah tangga. Fungsi digambarkan dengan penghargaan atas peranannya mengurus rumah tangga. Dengan produk-produk sophisticated, dan modern, yang dapat membantu menyelesaikan masalah pekerjaan rumah tangga, seperti produk siap saji Aunt Jemima, pekerjaan ibu rumah tangga akan terlihat lebih menyenangkan. Pada tahun 1980-an banyak kecenderungan atau kemajuan yang dialami perempuan di Amerika. Citra Aunt Jemima di tahun 1989 ini adalah citra yang bukan sekedar wanita karir tetapi juga perempuan yang memperhatikan keluarganya. Secara implisit disampaikan juga bahwa Aunt Jemima menempatkan diri sebagai anggota masyarakat Amerika yang multikultural setara dengan pria atau perempuan lain dari etnik yang berbeda.
Hasil analisis teori menunjukkan bahwa kampanye yang dilakukan biro iklan pada tahun 1889 hingga 1950-an adalah menciptakan brand atau citra Aunt Jemima sebagai karakter pelayan yang mewakili masa "keemasan" wilayah Selatan Amerika. Kampanye yang dilakukan pada tahun 1960-an adalah upaya menciptakan citra Aunt Jemima sebagai ibu rumah tangga yang "modern". Ibu rumah tangga yang berupaya sekuat tenaga untuk menciptakan rumah tangga yang nyaman bagi suami dan anak-anaknya dengan mempergunakan teknologi yang canggih. Kampanye yang dilakukan pada tahun 1980-an adalah menciptakan citra Aunt Jemima sebagai perempuan profesional yang masih mengupayakan kenyamanan bagi keluarganya. Citra Aunt Jemimta mengalami perubahan bertahap. Citra ini dimulai dari Aunt Jemima sebagai pengurus rumah tangga keluarga kulit putih yang menimbulkan rasa nyaman. Kemudian pada tahun 1968, Aunt Jemima digambarkan dengan citra sebagai ibu rumah tangga yang dapat mengurus keluarganya sendiri bukan keluarga lain. Pada tahun 1989, citra Aunt Jemima adalah citra perempuan karir yang masih mempedulikan keluarganya.
Brand Aunt Jeminia selama masih beredar di pasaran masih akan mengubah citranya karena masyarakat Amerika masih akan terus berubah dan berkembang.

The changing Image of Aunt Jemima Brand from 1889 to 1989This thesis is study on an American brand - Aunt Jemima. The main product of this brand is an instant ready to cook pancake. This brand uses a picture of a black woman as its trademark. Aunt Jemima has been around since 1889 are still produced until now (2003).
The main focus of this research is the reason behind the changing image of the brand and to find out what was the background of these changes.
The aim of this research is to examine the reason why this brand can survive without changing its image for a long years and what makes it change in 1968 and 1989.
This research shows that the company changes the image of Aunt Jemima's brand in order to keep up with the changing social and political attitude toward American black peoples. The mammy stereotype was the basic of the Aunt Jemima's image from 1889 until 1968. Aunt Jemima was pictured as the happy slave, the devoted servants, and the natural-ban: cook. What was conveyed from using this image is that Aunt Jemima's product is tastes delicious since a Southern cook made it. This mammy image becomes a negative image. Mammy image reminds some people of slavery and it became less comforting. In the year 1968 the image that was carried out by Aunt Jemima was an image of a housewife. She was a black woman who took care of her house, kitchen, and nurturing her husband and children. By showing this image, there will be a process of identification from the consumer - which assumed came from the housewife majority. The role as a modem housewife was considered as an honorable career. As a modern housewife it was logical if they also use modern and sophisticated products such as Aunt Jemima's. Aunt Jemima helps modern housewife solves their problems. The jobs of a housewife will look more pleasant. In the eighties, there were a lot of progresses experienced by American women. The image of Aunt Jemima in the year 1989 became a career woman but she still care for her family. Implicitly it conveyed that Aunt Jemima positioning herself as a member of the multicultural society of America, equal to any other ethnic man or woman.
This research is a qualitative research, which employs a descriptive analysis method.
An analysis shows that the campaign executed by advertising agencies in the year 1889 to 1968 was to create the image of Aunt Jemima as a servant to represent the golden age of the South. The campaign since 1968 was to create an image of a modern housewife. The campaign in the 1989 was to create an image of an independence woman who still cares for her family. The image of Aunt Jemima changed gradually. It started as a housekeeper or servant of a white family that was comforting. She was a woman who doesn't have her own family. And then she became a housewife in 1968. She has her own family now. And she took good care of them. The third, in 1989, was an image of an independence woman who can decide her own path.
In the future, Aunt Jemima brand will still continue to change in accordance with the changing American society."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T 11065
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tugiyo
"Pengaruh pemaparan pestisida terhadap pemakai pestisida dapat diketahui secara dini dengan cara mengukur aktivitas kolinesterase darah pemakai pestisida tersebut. Penurunan aktivitas kolinesterase darah seseorang berkurang karena adanya pestisida dalam darah yang membentuk senyawa kolinesterase fosfor sehingga enzim tersebut tidak berfungsi lagi, yang mengakibatkan aktivitasnya akan berkurang.
Berdasarkan hasil pemeriksaan darah (aktivitas enzim kolinesterase) tenaga kerja perusahaan pengendalian hama di DKI Jakarta oleh Balai Laboratorium Kesehatan DKI Jakarta selama dua tahun berturut-turut (1998-1999) diperoleh data sebagai berikut : tahun 1998, dan 1213 orang yang diperiksa, 100 orang (8,2%) dinyatakan kadar kolinesterase di bawah normal dan pada tahun 1999, dari 1001 orang yang diperiksa, 57 orang (5,7%) dinyatakan kadar kolinesterase di bawah normal.
Masalah yang diteliti dibatasi hanya pada faktor-faktor penyebab terjadinya keracunan pestisida pada tenaga kerja penyemprot di perusahaan pengendalian hama di wilayah DK Jakarta.
Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi ada tidaknya hubungan antara penggunaan alat pelindung diri secara baik dan benar, lamanya pemaparan (jam kerja), dan status gizi (Body Mass Index = BMI) pekerja dengan risiko terjadinya keracunan pestisida, seta mengetahui faktor manakah yang paling dominan terhadap terjadinya keracunan pestisida pada tenaga kerja. Penelitian menggunakan metode Cross sectional study, analisis data menggunakan Chi-Square dan Regresi Logistik. Penelitian dilakukan di 18 perusahaan pengendalian hama dengan 44 orang responden (penyemprot). Data diperoleh melalui wawancara, peninjauan lapangan, dan penelusuran data hasil pemeriksaan aktivitas kolinesterase darah pekerja.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara penggunaan alat pelindung diri, lamanya pemaparan (jam kerja), dan status gizi dengan terjadinya keracunan pestisida pada tenaga kerja. Artinya bahwa tenaga penyemprot yang menggunakan alat pelindung diri tidak lengkap mempunyai risiko keracunan pestisida lebih besar dibanding dengan tenaga penyemprot yang menggunakan alat pelindung diri secara lengkap; tenaga penyemprot yang mempunyai jam kerja (terpapar) lebih dari 5 jam mempunyai risiko keracunan pestisida lebih besar daripada tenaga penyemprot yang mempunyai jam kerja kurang dan 5 jam; tenaga keja yang mempunyai status gizi (BMI) kurang dan 21 mempunyai risiko keracunan lebih besar daripada tenaga penyemprot yang mempunyai status gizi (BMI) lebih dari 21. Faktor paling dominan di antara ketiga penyebab keracunan pestisida pada penyemprot adalah penggunaan alat pelindung diri, artinya penggunaan alat pelindung diri secara lengkap dapat melindungi tenaga penyemprot terhadap keracunan pestisida.
Kesimpulan penelitian ini adalah : (1) Jumlah tenaga penyemprot yang keracunan pestisida karena menggunakan alat pelindung diri (APD) tidak lengkap (70,8%) lebih besar daripada tenaga penyemprot yang menggunakan APD secara lengkap (20,0%), dengan odds rasio 9,71; (2) Jumlah tenaga penyemprot yang keracunan pesitisida karena jam kerja lebih dari 5 jam per hari (73,3%) lebih besar daripada tenaga penyemprot yang mempunyai jam kerja kurang dari 5 jam per hari (34,5%), dengan odds rasio 5,22; (3) Tenagapenyemprot dengan BMI kurang dari 21 mengalami keracunan pestisida (66,7%) lebih besar daripada tenaga penyemprot yang mempunyai BMI kurang dari 21 (34,6%), dengan odds rasio 3,36.
Saran yang diajukan : (1) Perlu dilakukan penyuluhan dan pelatihan kepada para tenaga penyemprot, khususnya mengenai penggunaan alat pelindung diri, baik oleh pihak perusahaan pengendalian hama maupun Dinas Kesehatan DKI Jakarta; (2) Bagi perusahaan pengendalian hama yang mempekerjakan tenaga penyemprotnya lebih dari 5 jam per hari, disarankan agar mematuhi peraturan jam kerja yang berlaku; (3) Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang aktivitas kolinesterase untuk penetapan standar keracunan pestisida dalam suatu peraturan perundang-undangan.
SUMMARY
Program of Study in Environmental Science
Postgraduate Program University of Indonesia
Thesis, August 2003
xv + 52; Illustration: 1 picture, 8 tables, and 8 appendices.

Pesticide Intoxication of Workers Employed in the Pest Control Companies in JakartaPesticide intoxication of workers can be identified by measuring of the blood cholinesterase activity. Blood cholinesterase activity of workers as an indicator of the indicator showed in this study.
The results of cholinesterase examined by the Jakarta Health Laboratory on the two consecutive years shown as: in 1998, 100 were out of 1213 workers (8,2%) showed the results of blood cholinesterase value were lower than normal (value 2,3-7,4). In 1999, 57 workers (5,7%) out of 1001, showed the results were lower than normal.
This study was carried out to identify the relationship between those with protective clothing, duration of exposure and nutritional status of workers employed in the 18 pest control companies. Using a cross section study method and chi-square, logistic regression analysis with selected sample of 44 workers and questionnaire admitted from the field.
The results showed that there is a significant relationship between those whose use protective devices (such as clothing, mask, glove, safety shoes), duration of exposure, nutritional of status with who are not used. Its mean workers who are not used those mentioned above will have more risk.
Workers, who work more than 5 hours per day and those who have body mass index of 21 scales, will have high risk. The most dominant factor causing intoxication of this study was the use of protective devices.
The conclusion is : (1) The workers who have of workers pesticide intoxication and not using completely protective devices is (70,8%), more than on those who used it (20,0%); (2) Workers who have more than 5 hours every day duration of exposure is (73,3%); (3) Nutritional of status less than 21 scale of Body Mass Index with intoxication of (66,7%)."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T 11067
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elrosa Indah
"Dalam Peraturan Daerah No. 6 Tahun 1999 mengenai RT/RW DKI Jakarta, pada Pasal 10 ditetapkan wilayah Selatan Jakarta Selatan sebagai daerah resapan air. Salah satu upaya yang dilakukan untuk mewujudkan daerah tersebut sebagai resapan air, maka pengembangan wilayah dibatasi dengan ketentuan KDB rendah, serta intensitas pengembangan sangat rendah. Untuk mengetahui pelaksanaan ketentuan maka dilakukan penelitian terhadap penerapan peraturan KDB rendah dan menjadikan Kecamatan Jagakarsa sebagai studi kasus. Dilihat bagaimana penerapan KDB rendah pada wilayah perumahan. Dipilihnya wilayah perumahan karena berdasarkan tata guna lahan di wilayah ini, ternyata penggunaan utamanya adalah untuk perumahan (64%). Dalam ketentuan Rencana Rinci Tata Ruang Wilayah Kecamatan Jagakarsa, pada bagian Rencana Intensitas Bangunan ditetapkan KDB maksimal 20% untuk wisma (perumahan).
Untuk mengetahui apakah penerapan peraturan KDB pada wilayah perumahan sesuai dengan ketentuan atau justru sudah terjadi pelanggaran, dapat dilihat dari hasil nilai KDB. Sedangkan untuk mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi penerapan peraturan tersebut, maka dilakukan observasi lapangan, wawancara dengan menggunakan kueisioner dan wawancara berpedoman. Sumber informasinya adalah dari pihak pejabat pemerintah setempat, pihak pengembang perumahan, tokoh rnasyarakat dan warga di lingkungan tersebut.
Hasil analisis menunjukkan rata rata nilai KDB pada wilayah perumahan pada tahun 2003 sudah berada pada klasifikasi KDB tinggi, dengan demikian penerapannya sudah tidak sesuai dengan peraturan yang ditetapkan. Selain itu, diketahui hampir sebagian besar warga tidak mengetahui peraturan yang ada, hal ini disebabkan penyampaian informasi mengenai peraturan kurang optimal. Pihak pemerintah daerah setempat ternyata tidak konsekwen dalam menerapkan peraturan ini, dimana dalam pelaksanaannya mereka memberikan izin kepada warga unutk membangun rumah dengan nilai KDB yang lebih tinggi dari peraturan yang telah direncanakan (KDB maksimal 20%). Beberapa faktor yang mempengaruhi penerapan KDB (nilai KDB) yaitu pemahaman terhadap peraturan KDB rendah, kesediaan dalam penerapan peraturan, tingkat pendidikan, pekerjaan, serta alasan bermukim. Dengan demikian, beberapa faktor tersebut, perlu diperhatikan dalam upaya pencapaian KDB rendah.
Disarankan sosialisasi peraturan KDB perlu dtingkatkan melalui brosur dan pengumuman langsung ke warga, atau melalui media cetak dan elektronik yang mudah diakses oleh mereka. Kepastian izin penerapan KDB harus jelas sehingga antara penerapan dan peraturan dapat konsekwen. Lahan yang diperuntukkan sebagai RTH sebaiknya menjadi milik negara (dibebaskan). Karena kondisi penerapan KDB pada wilayah perumahan sudah tidak memungkinkan (tidak sesuai dengan ketentuan), rnaka untuk pengendalian lebih lanjut dapat dilakukan pada tingkat kawasan."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11157
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M.D. La Ode
"Tujuan penelitian ini ialah (a) mendeskripsikan peran militer pada era Orde Lama (Orla), Orde Baru (Orba), dan era Reformasi dilihat dari sudut Ketahanan Nasional (Tannas); (b) mengestimasi peran militer di masa depan. Metode penelitian ini melalui pendekatan sejarah, yakni melihat catatan-catatan sejarah melalui literatur dan bukti-bukti di lapangan. Metode penelitian terutama untuk nomor (b) dengan menggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP). Data yang digunakan sebagai data primer melalui wawancara terstruktur. Kriteria responden adalah yang dianggap mengetahui tentang komponen-komponen yang menjadi acuan dalam penelitian ini. Hasil yang didapat adalah:
a. Pada era Demokrasi Terpimpin (Orde Lama), peran militer dalam memperkuat Tannas sangat signifikan, yakni berhasil menumpas pemberontakan-pemberontakan DI/TII, berhasil mengembalikan Irian Barat ke dalam NKRI dari tangan penjajah Belanda, berhasil menangkal pengaruh-pengaruh negatif dari PKI dan di era Orde Baru peran militer berhasil menjaga politik keamanan, namun di bidang non-pertahanan keamanan keterlibatan militer terlalu jauh, sehingga relatif mengganggu Ketahanan Nasional.
b. Prediksi atau perkiraan peran militer di masa depan banyak dipengaruhi oleh sikap militer sendiri terhadap dirinya, yaitu dengan bobot sebesar 31,9%; sikap lembaga legislatif terhadap militer dengan bobot 20,7%; sikap lembaga eksekutif terhadap militer dengan bobot sebesar 27,7%; pandangan Partai Politik terhadap militer dengan bobot sebesar 9,2%; pandangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) terhadap militer dengan bobot sebesar 5,4%; dan pandangan Mass Media terhadap militer dengan bobot sebesar 5,1%.

This Research target is (a) to describe for the role of military at Old Order era (Orla), New Order (Orba), and Reform era seen from the aspect of Resilience National (Tannas); (b) estimate role of military in the future. Through this Research method approach of history, namely see history notes through evidence and literature in the field. Research method especially for number (b) by using Analytical Hierarchy Process (AHP). Data is used as primary data through structure interview. Responder criterion is which assumed know about components becoming reference in this research. Result the got is:
a. In the Democracy Led era (Old Order), role of military in strengthening Tannas very, namely succeed to put to rout, DI/TII rebellions, success return Irian West into NKRI of hand colonist of Dutch, success of negative influences preventive of PKI and in the New Order era role of success military take care of security politic, but in the area of non-defense of security involvement of military too, so that relative bother Resilience National.
b. Prediction or estimation of role of military in the future influenced many by military attitudes alone to itself, that is with weight equal to 31,9%; legislative institute attitude to military with weight 20,7%; attitude institute executive to military with weight equal to 27,7%; Political Party view to military with weight equal to 9,2%; Self-Supporting Institute view of Society (LSM) to military with weight equal to 5,4%; and Mass view to military with weight equal to 5,1%.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11158
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Seri Rezeki Kusumastuti
"Sampah dan pengelolaannya merupakan prioritas utama penanganan masalah yang harus diselesaikan di DKI Jakarta. Sistem yang diandalkan oleh Dinas Kebersihan DKI Jakarta adalah sistem sanitary landfill yang mengandalkan lahan Bantar Gebang sebagai TPA. Saat ini sistem sanitary landfill tidak dapat diandalkan lagi karena tidak sanggup menyelesaikan permasalahan persampahan dengan tuntas dan sudah mengalami tingkat kejenuhan, dan menimbulkan banyak masalah pencemaran. Selain itu, kontrak akan berakhir pada Bulan Desember tahun 2003. Strategi pengolahan sampah skala kawasan, misalnya kawasan permukiman, merupakan salah satu strategi yang dapat diandalkan untuk menyelesaikan masalah persampahan di Jakarta. Manfaat kegiatan ini adalah meningkatkan efisiensi dan efektivitas biaya serta memberikan dampak yang baik bagi lingkungan, dan dapat dilakukan secara mandiri oleh masyarakat atau bekerja sama dengan sektor informal. Selain manfaat yang dapat dirasakan oleh masyarakat, terdapat juga biaya yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan ini. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian manfaat dan biaya pengolahan sampah terpadu skala kawasan untuk mengetahui manfaatnya dari aspek ekonomi, dan lingkungan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar kemampuan pengolahan sampah terpadu skala kawasan ini dapat mengurangi jumlah timbulan sampah, menghitung manfaat dan biaya pengolahan sampah terpadu skala kawasan dan biaya yang harus dibayarkan oleh masyarakat sebagai jasa pengolahan sampah. Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat sebagai masukan bagi Pemda DKI Jakarta maupun swasta untuk dapat mengadakan pengolahan sampah terpadu dalam skala kawasan, sebagai salah satu solusi untuk mengatasi ketergantungan pada TPA.
Penelian ini mengkaji manfaat dan biaya pengolahan sampah terpadu skala kawasan dengan mengambil kasus di TPS Rawa Kerbau, Kotamadya Jakarta Pusat. Metode yang digunakan untuk memperoleh data primer dan data sekunder adalah metode eksperimental untuk mengetahui komposisi dan jumlah timbunan sampah, kemudian untuk memperoleh data proyeksi manfaat dan biaya pengolahan sampah terpadu skala kawasan digunakan metode survei dengan teknik wawancara langsung kepada pengelola TPS Rawa Kerbau, pakar sampah dari BPPT, Dinas Kebersihan Kotamadya Jakarta Pusat, Kelurahan Cempaka Putih Timur, Instansi terkait lainnya, masyarakat sekitar, dan studi kepustakaan. Analisis data menggunakan metode analisis biaya manfaat yang diperluas dengan memasukkan manfaat dan biaya lingkungan (extended benefit cost (analysis), serta analisis ekonomi.
TPS Rawa Kerbau memiliki luas 1.500 m2 dan melayani wilayah permukiman penduduk, yaitu RW 01 dan RW 02 dengan jumlah RT sebanyak 9 (sembilan) yang terdiri atas 406 KK. Jumlah timbulan rata-rata perhari di TPS Rawa Kerbau dari hasil pengujian adalah 13,14 m2 dan berat 3.096,75 kg. Komposisi sampah yang diperoleh terdiri atas 11 komponen, yaitu sampah organik (mudah membusuk), plastik, kertas, tekstil, kaca/gelas, kaleng, baterai, styrofoam, kayu, logam, dan campuran. Komponen sampah dalam % berat yang paling banyak adalah sampah organik 69,87%, sedangkan jenis sampah yang paling sedikit adalah styrofoam 0,04%.
Proses yang dirancang dalam usaha kegiatan pengolahan sampah terpadu skala kawasan ini berupa pemilahan dan pembuatan kompos. Sampah lainnya yang bernilai komersil langsung dijual ke bandar. Peralatan dan mesin yang digunakan dalam kegiatan berupa belt conveyor untuk membantu mempermudah pemilahan sampah dan alat pendukung lainnya, seperti sapu lidi, cangkul, sekop, sarung tangan, dan sepatu boot.
Proses yang sederhana dan penggunaan mesin yang seminimal mungkin akan lebih memudahkan pemeliharaannya dan masih memungkinkan untuk dikembangkan lebih lanjut. Hal ini dapat mendorong timbulnya keinginan masyarakat maupun sektor informal lainnya untuk melakukan usaha kegiatan pengolahan sampah terpadu skala kawasan. Dengan semakin banyaknya pusat pengolahan sampah terpadu skala kawasan, maka semakin mengurangi beban di TPA.
Manfaat langsung pengolahan sampah terpadu skala kawasan terdiri atas penghasilan dari penjualan kompos dan pemanfaatan daur ulang sampah komersil sebesar Rp. 203.228.400,00 / tahun. Manfaat tak langsung (lingkungan) adalah nilai kualitas lingkungan yang dihasilkan dengan adanya usaha tersebut sebesar Rp. 53.160.000,00 / tahun. Biaya yang diperlukan terdiri atas biaya investasi, biaya operasional dan perawatan sebesar Rp. 223.581.000,00 / tahun dan biaya perlindungan lingkungan sebesar Rp. 2.500.000,00 / tahun. Usaha kegiatan yang akan dilakukan bersifat padat karya sehingga perkiraan penggunaan alat dan biaya semaksimal mungkin mendekati harga yang dapat dijangkau oleh komunitas lokal.
Pengolahan sampah terpadu skala kawasan dengan sistem komposting dan pemanfaatan daur ulang sampah dapat mengurangi beban di TPA sebesar 2.716,39 kg/hari atau 87,71%/hari. Besarnya jasa yang dibebankan pada masyarakat untuk kegiatan pengolahan sampah terpadu skala kawasan ini adalah Rp. 8.800 per bulan per K.K.
Ditinjau dari segi ekonomi dengan menganalisis kelayakan usaha, nilai NPV analisis ekonomi dan extended analysis = Rp. 71.443.000,00 dan Rp. 212.747.000,00; NBCR analisis ekonomi dan extended analysis = 2,01 dan 3,82; IRR analisis ekonomi dan extended analysis = 58% dan 126%; payback period analisis ekonomi dan extended analysis = 1 tahun 6 bulan dan 10 bulan, maka usaha kegiatan pengolahan sampah terpadu skala kawasan ini layak dilaksanakan. Dari segi lingkungan, usaha kegiatan pengolahan sampah terpadu skala kawasan dapat meningkatkan sanitasi dan estetika lingkungan karena sampah tidak sempat menumpuk dan mengurangi pencemaran lingkungan serta meminimisasi sumber penyakit.

Cost and Benefit Analysis of Integrated Solid Waste Handling (Case Study: TPS Rawa Kerbau, Central Jakarta District)Solid wastes and its management are major priority to the success of problems solving in DKI Jakarta. Sanitary landfill as the disposal of wastes that is implemented by Cleansing Department (Dinas Kebersihan) DKI Jakarta is very depending on Bantar Gebang area as TPA (final disposal site). Nowadays this system is not appropriate enough to be implemented because it cannot overcome solid waste problems successfully, caused many pollution problems, and contract of Bantar Gebang will be ended on December 2003. Small-scale integrated solid waste handling (SISWH), ex. residential area, is one of strategies to solve waste problems in Jakarta. Benefits of the proposed practice are a cost effective and efficient, environmentally acceptable, and cold be conduct by host community or cooperate with informal sector. Besides, costs are needed to carry out this project. Hence, it is important to analyze cost and benefit of SISWH to investigate economic and environmental benefits.
The objectiveness of this research are to investigate the capability of small-scale integrated solid wastes handling in diminishing of wastes volume, to analyze cost and benefit, and tariff of wastes handling that is to be paid by host community as a service cost, and also to analyze the feasibility of this project. The result of this research is to provide the decision makers appropriate recommendation on the technical and economic merits of the planned small-scale integrated waste handling, as one of solutions to overcome the dependency on final disposal site.
This investigation analyzed the cost and benefit of small-scale solid wastes handling (SSWH), case of Rawa Kerbau TPS (temporary collection site), Central Jakarta District. The experimental method is used to compute the waste volume and composition. The survey method using direct interview technique to Rawa Kerbau collection site manager, expert, Cleansing Department Central Jakarta District, Cempaka Putih Timur village office, other department, local community, and study references is used to investigate cost and benefit estimation of the SSWH Data analysis was conducted using extended benefit cost and economic analysis method.
Rawa Kerbau collection site has 1.500 m2 wide and residential dwellings, i.e. 01 and 02 district society (9 RT, 406 Household). The average of solid waste quantity in volume is 13.14 m3 or 3096.75 kg daily. The wastes composition contain of 11 components, which are organic wastes (degradable wastes), plastics of all types, papers, textiles, glass, cans, battery, Styrofoam, wood, metals and mixed wastes. Based on the weight percentage, the largest waste component is organic waste (69.87 %), and the smallest waste is Styrofoam (0,04 %).
The design process of this small-scale integrated waste handling are recycling materials and composting. The economic of materials recycled are sold to collection center. Conveyor belt is used to make manual separation of wastes easier. Other supporting equipments are broom, hoe, gloves, and boots.
Simplifying method of process into labor intensive ones will make maintaining this machine easier and has possibility to be developed. It may support both host community and informal sector interest to the SISWH. The more center of SISWH, the least wastes to be transported to final disposal site.
Direct benefits of SSIWH are compost and recycled materials sale estimation equal to Rp. 203.228.400,00 / year. Indirect benefit (environmental benefit) is environmental quality estimation of the proposed practice equal to Rp. 53.160.000,00 / year. Costs of the project are capital, operational and maintenance estimation cost equal to Rp. 223.581.000,00 / year and cost of environmental protection equal to Rp. 2.500.00,00 / year. The proposed practice planned is a simplifying method of process into labor intensive ones, thus it would be administratively feasible and sensible to host community.
SISWH with recycling materials and composting could reduce wastes 2,716.39 kg daily or 87.71%. To this proposed practice, people have to pay about Rp. 8.800 monthly per Household. Charges of this SISWH were calculated based on capital, operational and maintenance costs divided to numbers of capita.
Based on economic analysis of feasibility study of this project is feasible because the value of NPV economic analysis = Rp. 71.443.000,00; and extended analysis = Rp. 212.747.000,00; NBCR economic analysis = 2,01 and extended analysis = 3,82; IRR economic analysis = 58% and extended analysis = 126% ; payback period economic analysis - 1 year 6 months and extended analysis 10 months. From terms of technology, SISWH could improve sanitation and aesthetic because wastes handled directly, minimize pollution and disease factors."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T 11159
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Moch. Indra Gautama
"Tesis ini membahas tentang proses pengawasan penyidikan di tingkat Polres. Tujuan tesis ini untuk menunjukkan model atau bentuk pengawasan penyidikan di tingkat Polres. Perhatian utama tesis ini adalah tindakan-tindakan para pengawas tingkat Polres sebagai hasil interaksi antara pihak-pihak yang mengawasi dengan yang diawasi. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan metode pengawasan, pengawasan terlibat, dan wawancara dengan pedoman. Model kasus yang diteliti adalah kasus kekerasan terhadap orang atau benda yang dilakukan secara bersama-sama atau pengeroyokan sebagaimana.diatur dalam pasal 170 KUHP. Kasus yang diteliti terdiri dari 2 kasus dalam kurun waktu antara bulan Pebruari sampai dengan Mei 2003 yang terjadi di wilayah hukum Polres Klaten. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa pengawasan penyidikan oleh Kapolres dan Kasat serse dilakukan sebatas pengawasan administrasi penyidikan, pengawasan oleh Kasat intel bersifat menunggu pengaduan atau perintah dari atasan, pengawasan Kapuskodal Ops sebatas untuk keperluan pendataan dan pelaporan kepada satuan atas, sedangkan pengawasan oleh Jaksa Penuntut umum dilakukan secara formalitas dan terbatas pada pengawasan administrasi penyidikan Selain itu, Kasat serse juga mengembangkan bentuk pengawasan yang digunakan untuk mengawasi sumber daya-sumber daya yang menghasilkan keuntungan, dengan cara menempatkan orang-orangnya dalam unit-unit. Model pengawasan demikian telah mengakibatkan timbulnya berbagai bentuk penyimpangan dalam penyidikan, seperti penyimpangan prosedur dan penyimpangan yang bersifat keprilakuan seperti korupsi dan kolusi. Model pengawasan tersebut diakibatkan karena rendahnya kualitas sumber daya manusia, terbatasnya dukungan anggaran penyidikan, rendahnya tingkat kesejahteraan dan terbatasnya sarana dan prasarana operasional penyidikan."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T11161
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Faisal Ibrahim
"Civil society merupakan istilah yang lahir dari Barat dan menyebar ke hampir seluruh negara di dunia, seiring dengan merebaknya konsep demokrasi. Munculnya istilah tersebut bukan tanpa problem, karena, dikalangan tokoh civil society sendiri seperti; Hobbes, Locke, Hegel, Adam Ferguson, Roussaue, Tacqueville dan Gramcsi telah terjadi pertentangan dalam memproposionalkan konsep civil society.
Bagi Negara-negara Arab, istilah civil society pertama kali dipopulerkan pada tahun 70-an oleh Burhan Ghaliyyun, seorang sosiolog asal Suriah. Kemudian tahun 80-an, mendapat perhatian yang sangat besar dari berbagai kalangan baik politisi, intelektual, akademisi, aktivis maupun birokrat dari kalangan pemerintah. Hal ini terbukti dengan apa yang dilakukan oleh Markaz ad-Dirasat al-Wihdah al Arabiyah (Pusat Kajian Uni Arab) yang berpusat di Libanon, dan Markaz Ibnu Khaldun Liddirasat Al-Inma'i (Pusat Kajian pengembangan dan pembangunan Ibnu Khladun) yang berpusat di Kairo. Puluhan buku telah diterbitkan dan berbagai seminar telah digelar oleh kedua pusat studi tersebut. Sejauh yang penulis teliti, setidaknya, telah dilakukan penelitian secara khusus terhadap 13 negara; Mesir, Kuwait, Libanon, Palestina, Suriab, Qatar, Somalia, Sudan, Yaman, Bahrain, Uni Emirat Arab, Yordania dan Train Civil society di Negara-negara Arab (Mesir, Suriah dan Kuwait) berkembang melalui dua faktor utama; pengaruh arus golobalisasi, dan sosial budaya dan sistem politik bangsa Arab yang bersifat diktator dan monarkhi. Baik di Mesir, Suriah dan Kuwait perkembangan civil society secara drastis berlangsung sejak tahun 80-an, dan difahami sebagai kerangka demokrasi.
Di Mesir, untuk menciptakan iklim demokrasi perlu penguatan civil society, diikenal dengan coraknya yang sekuler, telah membuka peluang besar untuk melakukan aktivitas-aktivitas orgnanisasi formal dan non formal, pemerintah dan non pemerintah. Sehingga pada 1993, organisasi di Mesir telah mencapai 14.000 lembaga. Namun, dominasi Partai Demokrasi Nasional atau Al-Hizb Al-Wathani Ad-Dimugraty, sebagai partai rezim penguasa, telah menjadi penghambat kebebasan partai-partai lain untuk menyuarakan suara rakyat.
Sementara di Kuwait, nampak hambatan-hambatan penerapan civil society yang lebih disebabkan oleh sistem pemerintahan yang kurang mendukung, Sistem Ke Emiran tidak sepenuhnya memberikan kebebasan kepada rakyatnya umtuk berkelompok dan berorganisasi. Contoh kasus, Partai menjadi kegiatan terlarang, karena tidak didukung oleh undang-undang yang berlaku. Namun fenomena civil society telah berlansung baik melalui pemberdayaan organisasi-organisasi dan asosiasi non formal atau non pemerintah. Karenanya, hingga 90-an hanya terdapat sekitar 50 lembaga dan asosiasi baik yang bersifat sosial maupun profesi.
Sedangkan di Suriah, civil society mengalami perjalanan yang lebih sulit bila dibandingkan dengan Mesir dan Kuwait. Meskipun diketahui bahwa tokoh yang pertama kali mempopulerkan istilah civil society adalah cendekiawan asal Suriah. Suriah telah menggunakan sistem partai tunggal, Partai Baath. Hanya Partai Baath-lah yang mendomiriasi segala bentuk kegiatan sipil di Suriah. Meskipun demikian, di Suriah terdapat 450 organiasi.
Singkatnya, perkembangan civil society di Negara-negara Arab dapat dikategorikan sebagai fase melampaui gelombang pertama menuju gelombang kedua, dimana proporsionalisasi pole civil society dalam fase ini sedang diupayakan legalitasnya dalam masyarakat Arab dan Timur Tengah. Meskipun ada yang menklaim, bahwa civil society dan demokratisasi di Timur Tengah adalah naif.
The Development of Civil Society In Arab States (Democratization Process in Egypt, Syria and Kuwait)Civil society that is term which born from west and disseminate to all state in the world, along disseminate conception democracy. Existence of the term non-without problem, because at figure of civil society like: Hobbes, Locke, Hegel, Adam Ferguson, Rousseau, Tacqueville and Gramsci have been happened opposition of substantive in conception civil society.
In Arabic States, term of civil society in the firs time popularized in 70s by Burhan Ghaliyyun, a sociologist from Syria, then, in 80s, profound interest from good everybody of politician, intellectual, academic, activist and also bureaucrat from government. Proven is by what conducted by Markaz ad-dirasat al-Wihdah Al-Arabiyah (Uni Arab Study Center) in Lebanon, and Markaz Ibnu Khaldun Lidirasaat al Inma'i (Development of Ibnu Khaldun and Study Center) In Cairo. Tens of books have been published and various seminars have been performed by second center Study. As far as in writer research, previous, have been a researched peculiarly to 13 state; Egypt, Kuwait, Lebanon, Palestine, Syria, Qatar, Somalia, Sudan, Yemen, Bahrain, Uni Emirate Arab, Jordan and Iraq. Civil society in Arab States (Egypt, Syria and Kuwait) expanding through two primary factor: influence of globalization current, and the political system nation Arab having character of dictator and monarchy. Either in Egypt, Syria and Kuwait growth civil society drastically takes place since 1980, and comprehended by as framework democratizes.
In Egypt, to create climate of democracy need support civil society recognized with its characteristic is secular, have opened big opportunity to (do/conduct) formal organizational activity and non-formal, government and non government. So those in 1993, organization in Egypt have reached 14.000 institutes. But, predominate Party of National Democratize or Al-Hizb AI-Wathany ad-Dimugraty, as party of power regime, have come to resistor freedom of other; dissimilar party to accommodate people aspiration.
For a while in Kuwait, applying resistance civil society what more because of system government which less support, emirate system is not full give freedom to his people to team and have the organization. Follow the example of case, party become forbidden activity, because is not supported by law going into effect. But phenomenon civil Society has taken place, goodness of through organizational enable ness and association of non formal or non government. Hence, till 1990 only there are about 50 association and institute of both for public spirited and also profession.
While in Syria, civil society experience of more difficult; journey if compared to Egypt and Kuwait. Though known that, the first figure multiply to popularize term civil society is origin Syria intellectual. Syria has used single party, Party Baath. Only Party Baath predominating all the form of the civil activity in Syria. Nevertheless, in Syria there are 450 organizations.
The conclusion from above opinion the growth of civil society in Arab can be categorized as first wave phase to second wave, where correct from of civil society in this phase is being strived its legality in Middle East and Arab Society. Though there is claiming, that civil society democratization and in Arab is not possible."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T 11162
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nyimas Masyito
"Kebijakan pembangunan rumah susun sebagai alternatif perumahan dan permukiman bagi penduduk padat dilaksanakan di Kota Palembang, rumah susun ini berada di Kelurahan 23 Ilir Kecamatan Bukit Kecil merupakan daerah strategis di tengah kota yang merupakan tujuan pendalang untuk menetap.
Wilayah rumah susun ini sebelumnya merupakan daerah perkampungan di tengah kota, dan dipicu oleh kebakaran yang terjadi pada bulan Agustus 1981 maka kebijakan untuk mengantisipasi terjadinya wilayah kumuh ditetapkan kebijakan pembangunan wilayah permukiman dan untuk masalah kebakaran yang terjadi, relokasi merupakan salah satu solusi agar tidak terjadi kekumuhan terhadap lahan yang ada.
Badan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun (BPPRS) yang semestinya badan yang mengelola rumah susun ini, namun kenyataan sekarang bahwa lokasi rumah susun tersebut terlihat kotor, padat dan kumuh terutama pada blok-blok tipe F.18 dan berada di Kelurahan 23 Ilir Kota Palembang yang merupakan daerah yang diobservasi dalam penelitian ini.
Permasalahan-permasalahan yang muncul menimbulkan pertanyaan bahwa faktor apa yang menjadi penyebab keadaan yang kumuh tersebut, dan bagaimana pula dengan kebijakan pemerintah dengan membangun rumah susun yang dihubungkan dengan keadaan yang demikian.
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan keadaan kumuh di rumah susun
2. Mengevaluasi hasil kebijakan pembangunan rumah susun oleh pemerintah daerah.
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini, adalah:
Terdapat hubungan antara kondisi lingkungan fisik rumah susun dan kondisi sosial ekonomi penghuni rumah susun di Kelurahan 23 Ilir Kota Palembang.
Lokasi Penelitian yaitu ada di 3 Blok dari Zona I yang terdiri dan 12 Blok. dan ketiga blok tersebut berada di Kelurahan 23 Ilir Kecamatan Bukit Kecil Palembang. Lokasi ditentukan berdasarkan purposive sampling, sampel ditentukan secara simple random sampling.
Variabel-variabel dalam penelitian ini, yaitu:
1. Variabel kondisi lingkungan fisik terdiri dari: variabel-variabel fisik lingkungan (keadaan drainase dan pengelolaan sampah) dan variabel-variabel fisik bangunan (keadaan ventilasi dan pencahayaan).
2. Variabel Kualitas Hidup (kemiskinan, pengeluaran non makan, pengadaan air bersih. kepadatan, tingkat pendidikan dan kesehatan balita).
Pengumpulan data primer dilakukan dengan observasi lapangan serta wawancara mendalam. Wawancara dilakukan untuk mengetahui lebih jelas informasi yang dirasakan belum mencukupi dalam penelitian ini. Data sekunder diperoleh dari literature dan pihak instansi yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Penyajian data dilakukan secara deskriptif dengan data kualitatif dan kuantitatif, analisis menggunakan rumus Chi-Kuadrat. Untuk memudahkan operasi perhitungan digunakan Software SPSS (Statistical Package for Social Sciences).
Berdasarkan hasil penelitian dapat dikemukakan bahwa:
Faktor yang menyebabkan keadaan kumuh di rumah susun Kelurahan 23 Ilir Kota Palembang adalah tidak berjalannya Badan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun, dengan didukung pula kualitas hidup penghuninya yang rendah.
Tidak terdapat hubungan antara kondisi lingkungan fisik dengan kondisi sosial ekonomi penghuni rumah susun di Kelurahan 23 I1ir (hanya 3 variabel yang berhubungan dari 24 variabel yang dihubungkan atau 12,5%) , menunjukkan bahwa pembangunan runah susun yang ditetapkan pemerintah untuk mencegah terjadinya kekumuhan antara lain meningkatkan kualitas hidup masyarakat, ternyata pembangunan tersebut tidak mampu meningkatkan kualitas hidup penghuninya, bahkan kondisi fisik rumah susun menjadi kumuh.
Perlu pertimbangan yang berbeda antara penghapusan kekumuhan dan peningkatan kualitas hidup dimana kedua masalah tersebut memerlukan solusi yang berbeda.
Untuk penanggulangan permasalahan kualitas hidup penghuni di rumah susun ini, penentuan mendahulukan penanganan yang paling kritis keadaannya seperti keadaan kemiskinan, air bersih dan faktor kepadatan penghuni perlu ditetapkan, disamping perlunya dibentuk kembali Perhimpunan Penghuni Rumah Susun untuk mengelola rumah susun tersebut.

Correlation between Multi-storey Residential Buildings and the Quality of life of its Inhabitants (A case study on multi-storey apartments at Kampong 23 I1ir Palembang City)Multi-storey residential building (MSRB) policy has been applied in Palembang City as an alternative for housing in dense-populated area. The MSRB built in Kampong 23 Ilir Bukit Kecil Sub District, is a strategic area in the city center that become a popular place to stay for the urban. The location was a slum area.
A fire on August 1981 forced the government to issue a regional development and relocation policy to prevent similar accidents happen. The policy included articles on housing to deter the prompt of other slum areas in the city.
The Association of MSRB Residents has founded to run its main function to manage the building. But the fact could be found currently is hardly contrasted from the slum since the association failed to act. The worse condition could be found in F.18-hype blocks that being observed by this research.
Based on those problems, there is some questions arose: 1). What are the main factors that prompted slum areas in the city?, 2) What are the government policies related to the problems?
The purposes of this research are:
1. To identify the main factors have caused the prompt of slum condition at MSRB,
2. To evaluate the government policies on the problems.
The hypothesis of this research is:
- There is correlation between the physical condition of the MSRB in Kampong 23 Ilir Bukit Kecil Sub District, and the social; economic status of its residents.
The research took place in three blocks on Zone 1 of the MSRB in Kampong 23 Ilir, Bukit Kecil Sub District Palembang City which consist 12 blocks. Data collected by using simple random sampling.
The variables of this research are:
1. Physical condition variables, including: environmental physic variables (drainage and waste management) and building physic variables (ventilation and lightening).
2. Life quality variables (Primary data were collected by field observation and deep interview. The deep interview was done to fill gap information needed. Secondary data were taken from literature and from related institution.
This is result presented descriptively from the qualitative and quantitative data supported by analysis used Chi Square formulation. The calculation was made by using Statistical Package for Social Science (SPPS) software.
The results of this research are:
- The main factor result in the slum condition at the MSRB: The Association of MSRB Residents is failed to function beside its residents life quality is low.
- There's no correlation between Physical condition at the MSRB and the social economic status of its residents (only 3 out of 24 variables has correlation or only 12,5% totally). The finding show that the MSRB policy made by government failed to come to its goals increasing the life quality of the community and to provide a good life conditions.
Difference consideration and judgment would be needed to solve the problems of the slum condition of the community since both problems need different solutions.
The poverty, non-consume expenses, clean water supply, population density, education degree and the health condition of the children under 5 years old). The main factors ill be done to increase a part of the problems the quality of life in this location beside the Association of MSRB is acted.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11164
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widodo Saptoputro Suparman
"Pada kegiatan eksploitasi dan produksi gas bumi yang dilakukan oleh Kontraktor Production Sharing (KPS Energy Equity EPIC (Sengkang) Pty. Ltd. disingkat EEES di Lapangan Gas Kampung Baru, Desa Poleonro, Kecamatan Gilireng, Kabupaten Wajo, Propinsi Sulawesi Selatan, gas yang dihasilkan dari sumur-sumur gas di Lapangan Kampung Baru, Blok Sengkang, Kabupaten Wajo, Propinsi Sulawesi Selatan pada umumnya mempunyai kandungan gas Hidrogen Sulfida (H2S) cukup tinggi, yaitu berkisar antara 50-600 ppm.
Kehadiran senyawa belerang di dalam bahan bakar sangat tidak disenangi dalam pengelolaannya, karena semakin tinggi kandungan belerang akan menjadikan mutu bahan bakar semakin rendah. Di samping itu, senyawa belerang dapat merugikan makhluk hidup karena menghasilkan gas-gas yang bersifat racun seperti hidrogen sulfida (H2S) dan sulfur dioksida (SO2). Selain itu gas hydrogen sulfida sangat korosif pada permukaan logam. Dengan demikian akan menimbulkan problema yang serius dalam pemipaan dan peralatan-peralatan produksi lainnya. Karenanya sebagai pengguna bahan bakar gas, PLTG Sengkang mensyaratkan bahwa kandungan H2S yang terdapat dalam gas maksimal 10 ppm.
Salah satu usaha yang dilakukan oleh EEES untuk menurunkan atau memisahkan senyawa belerang yang terkandung di dalam gas tersebut yaitu dengan memberikan campuran bahan kimia pada proses pentawaran (Sweetening Process).
Pemakaian bahan kimia tersebut sendiri dalam pelaksanaannya akan menghasilkan limbah cair maupun limbah padat dari bekas kemasannya. Selain itu, senyawa sulfida yang terdapat dalam bahan bakar (H2S) maupun yang terjadi akibat proses pembakaran (SO2) juga akan menghasilkan limbah gas yang dapat membahayakan lingkungan sekitarnya dimana kegiatan pemerosesan gas tersebut berada.
Pusat Pemrosesan Gas Alam (Central Processing Plant) Kampung Baru yang berada di Kecamatan Gilirang, Kabupaten Daerah Tingkat II Wajo, Propinsi Sulawesi Selatan, dengan luas mencapai 147 km2, wilayah ini adalah 5,86% dan wilayah Kabupaten Wajo, atau 0,15% dari luas wilayah propinsi Sulawesi Selatan yang luasnya sekitar 100.500 km2. Kondisi tanah di sekitar lokasi penelitian cenderung tanah kapur, sebagian besar lahan merupakan sawah tanah hujan yang ditanami padi satu kali, dan sungai sering mengalami kekeringan dan bahkan sampai defisit air.
Limbah cair yang dihasilkan dari proses produksi (produced water) tersebut ditampung di suatu kolam dan di evaporasikan dengan bantuan sinar matahari, limbah cair domestik dibuang langsung ke sungai, sedangkan limbah gas di bakar melalui flare stack setinggi 30m.
Seat ini Pusat Pemerosesan Gas Alam (Central Processing Plant) Kampung Baru akan ditingkatkan kapasitas produksinya dari 27,5 menjadi 53 juta setara kaki kubik gas setiap hari, sesuai dengan meningkatnya laju permintaan bahan bakar gas untuk pembangkit listrik.
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk memilih cara yang efektif dalam mengelola lingkungan pada proses pengilangan gas alam yang bersifat asam pada pabrik pemrosesan gas alam di Lapangan Gas Bumi Kampung Baru, dan secara khusus untuk mengetahui pengaruh penggunaan bahan kimia dalam proses pengilangan gas alam yang bersifat asam tersebut terhadap kualitas lingkungan.
Diharapkan dari penelitian ini didapatkan hasil: (1) dengan berkurangnya pemakaian bahan kimia dalam proses pengilangan gas alam yang bersifat asam akan dapat mengurangi terjadinya limbah yang dihasilkan dari pabrik pemerosesan gas alam tersebut terhadap lingkungan sekitar, (2) dengan semakin berkurangnya bahan kimia yang digunakan, dari segi ekonomi akan mengurangi biaya produksi dan pengelolaan lingkungan.
Hipotesis kerja yang diajukan adalah (1) Penggunaan bahan kimia dalam pemerosesan gas alam yang bersifat asam dapat meningkatkan konsentrasi logam dalam produk gas alam maupun limbahnya, dan (2) Keberadaan Pabrik Pengilangan Gas Alam yang bersifat asam dapat mempengaruhi lingkungan perairan dan udara sekitarnya.
Penelitian dilakukan dengan metode Kuasi Eksperimental dan dilaksanakan dari bulan Juni 2001 sampai dengan Agustus 2002, dimana data yang digunakan adalah data primer dan sekunder dalam bentuk time series. Sebagai variabel bebas dalam penelitian ini adalah kualitas gas alam dari sumur gas, dan sebagai variabel tidak bebas adalah kualitas cairan terproduksi (produced liquid) yang diambil di pipa outlet dan kolam penampung limbah (Evaporation pond). Sebagai kontrol juga dilakukan pengambilan sampel air tanah/permukaan, tanah dan udara ambient dan lokasi sekitar. Data primer yang diperoleh dari pengukuran secara langsung di lapangan dan di laboratorium, serta data salt-under yang diperoleh dari penelitian sebelumnya, studi pustaka dan sebagainya, kemudian dianalisis secara deskriptif.
Berdasarkan hasil penelitian penulis berkesimpulan bahwa: (1) Penggunaan bahan kimia dalam proses pengilangan gas alam yang bersifat asam akan berpengaruh terhadap konsentrasi logam (ppm) yang terdapat dalam bahan kimia bekas (Cr, Cu), dan air buangan (As, Cr), serta menghasilkan limbah padat (sludge) yang bersifat reaktif dan korosif, (2) Bahan kimia meningkatkan konsentrasi logam (ug/m3) dalam gas alam tersebut (Ba, Zn, Cad Cu, Cr, Se); (3) Terjadinya limbah B3 dari padatan yang terperangkap pada Coalescing Filter yang dipasang di Patila Metering Station sebelum gas alam tersebut digunakan untuk bahan bakar turbin; (4) Terdapat kandungan logam berat yang cukup tinggi dalam air limbah di Iuar parameter yang tercantum dalam Kep.MNLH No.Kep-42/MNLH/10/96 maupun SK.Gub.Sulsel No.465/1995; (5) Kemungkinan terjadinya pencemaran tanah dan air tanah disekitar lokasi penelitian dengan melihat adanya kandungan hidrokarbon pada contoh tanah dan pemeriksaan kualitas air tanah yang memperlihatkan beberapa parameter sudah melebihi baku mutu yang ditetapkan Peraturan Menteri No. 416/Menkes/Per.IX/1990; (6) Terjadinya pencemaran udara di sekitar lokasi, yaitu dengan melihat hasil pengukuran terhadap kandungan debu/partikulat sudah melampaui batas baku mutu menurut PP No. 41/1999, dan diperkirakan konsentrasi SO2 dari emisi gas maksimum adalah 2794,9 ug/m3, melampaui baku mutu menurut PP No. 41/1999 yang besarnya 900 ug/m3; (7) Terjadi pencemaran bau yaitu dengan mendengar pengaduan masyarakat sekitar mengenai adanya bau telur busuk; (8) Terjadinya peningkatan penyakit ISPA dan terdapatnya penyakit anemia dan penyakit kulit alergi pada masyarakat disekitar Pusat Pengilangan Gas Alam sejak beroperasinya pabrik tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan diatas penulis menyarankan untuk: (1) mencari alternatif lain mengenai bahan kimia yang ramah lingkungan; (2) memperbaiki atau mengubah desain dari sistem pengolah limbah cair terproduksi dan desain sistem pengolah limbah cair domestik yang ada sekarang; (3) mengadakan kajian lebih lanjut mengenai Kep.MNLH No. Kep-42/MNLH/14/96 jo Kep-09/MNLH/4/97 mengenai Baku Mutu Limbah Cair bagi Kegiatan Minyak dan Gas Bumi serta Panas Bumi; (4) perlu dilakukan pemantauan dan pengelolaan atas debu (partikulat) dan emisi SO2 yang keluar dari flare stack, agar terjadinya pencemaran udara dari kegiatan pengilangan gas alam yang bersifat asam dapat diminimalisasikan; (5) melakukan pengelolaan lebih lanjut untuk filter bekas; dan (6) melakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh kegiatan Pengilangan Gas Alam terhadap kesehatan masyarakat yang tinggal di sekitarnya.

The Effect of Natural Gas Processing Refinery Activity on the Environment (Case study at Kampung Baru Central Processing Plant, Sengkang Block Gas Field, Wajo Regency, South Sulawesi)In the exploration and production of natural gas activities performed by Energy Equity Epic (Sengkang) Pty. Ltd, the Production Sharing Contractors of Badan Pelaksana MIGAS, abbreviated as Energy Equity Epic Sengkang (FEES), at Kampung Baru Gasfield, Poleonro Village, Gilireng District, Wajo Regency, the South Sulawesi Province, the natural gas produced by gas wells generally contain relatively high content of Hydrogen Sulfide (H2S), which is between 50-600 PPM.
The higher content of Sulfur in gasoline makes lower quality gas fuels. Beside, the Sulfur compound can bring damage to the living creatures as it produces poisonous gas such as Hydrogen Sulfide (H2S) and Sulfur Dioxide (SO2). Also the Hydrogen Sulfide is corrosive to metal surface. It can make serious problems to piping and other production equipment. Therefore, as the user of gas, Sengkang Gas Power Plant requires maximum 10 PPM of H2S in gas. One of the efforts conducted by EEES in reducing or filtering the Sulfur compound contained in gas is by giving chemical substance in sweetening process.
The chemical itself produce liquid and solid waste (from the packaging). The Sulfur compound contained in H2S and the one produced as the result of incineration (SO2) also produces waste harmful to the surrounding environment.
The Kampung Baru Central Processing Plant is located at Gilirang District, Regency of Wajo, South Sulawesi. The area is 147 km2, 5,86% of the total area of Wajo Regency, or 0.15% from 100,500 km2, the total area of South Sulawesi. The area is partly limestone and mostly is one time planted rice field, and the river is frequently dry.
The Liquid waste produced from production process is put into a pond and evaporated with sun energy, while domestic waste is channeled directly to the river. Gas liquid is incinerated through flare stack with high level of 30 in.
The production capacity of Kampung Baru Central Processing Plant is going up from 27.5 to 53 mmcf per day, following the increase of demand for gas supply for power plant.
This research is conducted to find out (1) the effective environmental management for gas processing in gas produced from the Kampung Baru gas field, in particular and (2) to find out the impact of chemical use in processing gas towards environment.
The expected results are (1) the decrease of sulfur level will reduce the use of chemical substance in gas processing which also will reduce the waste produced from the plant, (2) the less chemical substance used, the less cost for production and environmental management.
The proposed work hypothesis are (1) the use of chemicals in gas processing can increase metal concentrate contained in natural gas and the waste produced, and (2) The existence of acidic Gas Processing Plant can give impact to the surrounding waters and air.
The research was conducted with Experimental Kuasi method. It was conducted from June 2001 until September 2002, where the data used was primary and secondary data in a form of time series. The free variable in this research is the gas quality from gas field and the non-free variable is the quality of produced liquid taken from the outlet pipe and the evaporation pond. The sample was also taken from soil and air from the surrounding area. The primary data obtained from direct measuring at the field and in laboratories, and the secondary data obtained from the previous research, book research and etc, and then analyzed descriptively.
Based on the research, the writer conclude that the writer conclude that (1) the use of chemical gas processing will give impact to metal concentrate (ppm) contained in used chemical (Cr, Cu) and wasted water (As, Cr), sludge which is corrosive and reactive, (2) the chemical increase the metal concentrate (ug/m3) contained in gas (Ba, Zn, Cd, Cu, Cr, Se); (3) the solid matter stuck in coalescing filter installed at PMS before the gas is used for turbine fuel produces B3 waste. (4) There is relatively high contain of heavy metal in waste water exceeding the parameter stated in the Decree of Environmental Minister No. Kep-42/MNLH/14/96 and Decision Letter of the Governor of South Sulawesi No.465/1995; (5) the possibility of soil and ground water pollution in the surrounding research area because there is hydrocarbon content in the soil sample and the examination on ground water showed that some parameter had exceeded the quality standard stated in the Ministerial Regulation No.416/Menkes/Per.IX/1990; (6) pollution occurred in the surrounding area as resulted in the metering on particulate content which had exceeded the limit of quality standard according to the Government Regulation No.41/1999, and it is estimated that the SO2 concentrate from gas emission is 2794.9 ug/m3, exceeding the limit of quality standard according to the Government Regulation No.41/1999 which is 900 ug/m3; (7) an air pollution occurred which produces bad odor based on the report from surrounding residents; (8) There is an increase of ISPA disease, anemia and allergic skin problems suffered by community live in the Gas Processing Plant surrounding ever since the plant started its operation.
Based on the research and the conclusion above the writer suggests the following:
(1) to look for other alternative to use chemicals that are environmental friendly;
(2) to change the design of produced liquid and domestic waste processor system available at present; and
(3) to study further regarding Kep.MNLH No.Kep-42/MNLH/14/96 dated 9 October 1996 regarding the Quality Standard of Liquid Waste for Activities in Oil and Gas and Geothermal;
(4) it requires monitoring and management on particulate and gas emission as the result of flare stack, to minimize the air pollution produced from the gas processing plant; and
(5) to do more intensive a research on the impact of activities at Gas Processing Plant toward community health in the surrounding area."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11165
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library