Cerita masalah transportasi di Jakarta adalah cerita tentang kesemrawutan angkutan umum yang sepertinya tidak pernah berakhir. Sebagian besar masyarakat menganggap bahwa permasalahan itu hanyalah menyangkut ketidakdisiplinan sopir untuk mematuhi peraturan lalu lintas dan rendahnya pelayanan pada penumpang. Salah satu jenis angkutan umum darat yang dianggap sebagai penyebab utama kemacetan lalu lintas adalah sopir mikrolet. Tanpa mau tahu permasalahan yang sebenarnya terjadi, masyarakat enggan untuk mencoba mengerti tentang kesulitan yang sebenarnya dialami oleh sopir mikrolet dan mengapa mereka sampai melakukan pelanggaran lalu-lintas dan tidak melayani penumpang dengan baik. Celakanya, pemerintah pun akhirnya hanya menganggap sopir sebagai obyek yang harus mematuhi peraturan lalu-lintas yang secara dominan diproduksi oleh pemerintah.
Melihat fenomena di atas, tesis ini berusaha untuk menjembatani kesenjangan yang ada. Rendahnya data dan informasi yang berasal dari kehidupan sopir secara mendalam, serta minimnya literatur yang tidak meletakkan sopir sebagai objek yang hanya dianalisis dengan melupakan konteks sesungguhnya dari kehidupan sopir, mendorong penulis untuk mengadakan penelitian mendalam mengenai kehidupan sopir. Penulisan tesis ini akan menggali pertanyaan-pertanyaan seputar kehidupan sopir, baik pada saat ia menjalankan profesinya maupun pada saat sopir menjalani kehidupan sosialnya sebagaimana manusia normal lainnya, agar masyarakat bisa memberikan pemahaman tentang sopir yang berimbang dan mendalam. Untuk lebih memfokuskan pembahasan, penulis akan berusaha mendalami kehidupan sopir mikrolet M-20 Purimas Jaya. Jenis angkutan dan lokasi trayek ini dianggap memiliki beberapa karakter-karakter khas yang sangat menarik untuk diteliti, misalnya waktu trayek mereka bisa mencapai 24 jam, lokasi jalan yang strategis karena melewati Bumi Marinir Cilandak dan Jalan sekitar rumah Presiden, serta struktur organisasi koperasi yang dianggap cukup melindungi kepentingan sopir.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan kualitatif dan metode etnografi sebagai metode yang dianggap terbaik untuk memahami dan menafsirkan "kebudayaan khas" yang diciptakan oleh satu komunitas tertentu. Metode ini juga ditunjang oleh beberapa tinjauan literatur untuk memperkuat kerangka penafsiran atas tindakan budaya masyarakat, serta beberapa data tertulis yang terkait berikut pendataan awal terhadap subyek penelitian untuk mengetahui data dasar/primer.
Dari hasil penelitian yang penulis lakukan, ditemukan beberapa halpokok berkaitan dengan beberapa persoalan penulisan sebagai berikut:
1. Profesi sopir angkutan umum menjadi sangat penting dalam proses penciptaan kamtibcarlantas karena mereka menjadi ujung tombak dari mekanisme yang berjalan. Tidak adanya konsep mass rapid transport (sistem angkutan umum massal) yang terpadu dan sempurna di Jakarta, membuat posisi angkutan umum menjadi sangat signifikan sebagai alternatif utama sarana transportasi. Karena itu, secara umum dapat dikatakan bahwa masyarakat kota Jakarta sangat mendambakan keberadaan sopir yang taat pada peraturan lalu-lintas dan mampu memberikan pelayanan yang optimal pada para penumpang agar sistem transportasi tersebut dapat berjalan dengan baik.
2. Dalam menjalankan profesinya, ternyata sopir lebih banyak dirugikan oleh kondisi-kondisi yang tidak menguntungkan dirinya. Beban yang menghimpit sopir datang dari aspek internal dan eksternal. Secara internal, mereka dihadapkan pada tuntutan pemenuhan kebutuhan rumah tangga dan pribadi yang kurang dapat terpenuhi lewat penghasilan mereka dari menyupir. Sedangkan tekanan eksternal dapat dibagi dua yaitu secara struktural dan personal. Secara struktural mereka dirugikan oleh implementasi kebijakan yang tidak mendukung mereka. Kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah (dari pemerintah pusat sampai pemda), DLLAJ, Kepolisian, dan pihak terminal, melalui penelitian ini terbukti sangat merugikan posisi sopir. Belum lagi tekanan yang berasal dari tindakan-tindakan personal yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu, seperti aksi pungli yang dilakukan oleh calo, timer, petugas terminal, dan pak ogah yang semakin mereduksi penghasilan mereka. Aksi penyelewengan yang dilakukan oleh oknum tertentu seperti pihak kepolisian dan pihak DLLAJ dalam bentuk uang damai, uang jago, dan korupsi, semakin menambah penderitaan para sopir. Tindakan-tindakan tersebut belum lagi ditambah oleh beban-beban setoran yang diberikan oleh pemilik kendaraan serta retribusi dan tambahan beban retribusi yang dilakukan oleh pihak koperasi. Pada akhirnya, semua tekanan itu berimplikasi pada pelayanan sopir terhadap penumpang yang sangat buruk.
3. Untuk mengatasi atau paling tidak menyiasati tekanan-tekanan yang ada, sopir mengembangkan strategi adaptasi yang akhirnya membentuk budaya baru yang khas. Strategi adaptasi tersebut dikembangkan untuk dapat mempertahankan kehidupannya, walaupun pada batas subsistem (paling dasar). Sopir berusaha untuk mengurangi dampak buruk tekanan-tekanan tersebut agar tidak terlalu berpengaruh pada penghasilannya. Selain itu, para sopir berusaha untuk dapat hidup dalam tekanan, dan malah menyiasati agar tekanan tersebut bisa bermanfaat bagi dirinya. Contohnya, tekanan yang dilakukan oleh Pak Ogah dalam bentuk pungli "cepek" setiap saat, dituruti oleh sopir, namun sopir pun berusaha untuk mengambil keuntungan dari pihak pak ogah dengan cara bekerjasama untuk mengawasi polisi saat sopir melanggar peraturan lalu-lintas.
4. Secara internal, sopir mengembangkan strategi menghemat, menghutang dan bersabar untuk dapat memenuhi kebutuhan keluarga dan pribadinya. Secara eksternal, mereka mengembangkan pola-pola hubungan pertemanan, perantaraan dan patron-klien. Bentuk-bentuk adaptasi yang dilakukan sopir dapat dibagi dalam empat tipe yaitu akomodasi, kerjasama, persaingan dan konflik. Keseluruhan hal tersebut membentuk pola-pola hubungan baru yang khas, yaitu pola hubungan yang didasarkan atas usaha untuk bertahan dari tekanan-tekanan agar dapat tetap memenuhi kebutuhan pribadi dan rumah tangganya. Sejauh ini, jenis pola hubungan konflik berada dalam titik minimal, artinya tekanan-tekanan tersebut dapat diserap ataupun diatasi dengan baik karena tidak terlalu memberatkan kehidupan sopir. Meskipun ada konflik-konflik yang terjadi saat ini, namun ekskalasinya (penyebarannya) serta intensitas konflik tergolong rendah. Hal ini berbeda pada masa-masa awal ketika hubungan yang tercipta lebih menonjolkan sisi konflik akibat tekanan yang dirasakan tidak lagi pada batas toleransi sopir. Artinya keteraturan sosial yang terbentuk berjalan baik, meskipun tidak terlalu sesuai dengan peraturan baku yang sudah digariskan.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis, implikasi terhadap Polri dalam penciptaan kamtibcarlantas adalah kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa banyaknya pelanggaran lalu lintas oleh sopir angkutan umum serta rendahnya pelayanan pada penumpang lebih banyak disebabkan oleh faktor-faktor eksternal yang tidak mendukung profesi mereka dan tuntutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu, proses penciptaan kamtibcarlantas harus beranjak dari usaha pembebasan sopir dari beban-beban yang menghimpit mereka serta upaya untuk terus meningkatkan kesejahteraan sopir. Hal itu bisa terwujud dengan meninggalkan paradigma lama yang menempatkan sopir hanya sebagai obyek peraturan lalu-lintas, dan beralih pada paradigma baru yang menempatkan sopir sebagai faktor penting untuk menciptakan kamtibcarlantas. Salah satu langkah kongkrit yang dapat diwujudkan adalah dengan menghilangkan peraturan-peraturan yang menjadi beban buat mereka dan menggantikannya dengan peraturan-peraturan baru yang mendukung profesi sopir. Untuk lebih mengefektivitaskan keberhasilan perbaikan nasib sopir, maka segala penyelewengan (KKN) dalam implementasi kebijakan harus ditindak dengan tegas.